Senin, 14 Juli 2014

Hari Nusantara



“Segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada negara Republik Indonesia. Lalu-lintas yang damai diperairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Batas laut teritorial Indonesia yang sebelumnya 3 mil diperlebar menjadi 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau dari wilayah negara Indonesia pada saat air laut surut.” Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957.

Latar Belakang
Muhammad Yamin dalam rapat BPUPKI tahun 1945, menyatakan: “Tanah air Indonesia ialah terutama daerah lautan dan mempunyai pantai yang panjang. Bagi tanah yang terbagi atas beribu-ribu pulau, maka semboyan “mare liberum” –laut merdeka menurut ajaran Hugo Grotius itu dan yang diakui oleh segala bangsa dalam segala seketika tidak tepat dilaksanakan dengan begitu saja, karena kepulauan Indonesia tidak saja berbatasan dengan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, tetapi juga berbatasan dengan beberapa lautan dan beribu-ribu selat yang luas atau yang sangat sempit. Di bagian selat dan lautan sebelah dalam, maka dasar “laut merdeka” tidak dapat dijalankan, dan jikalau dijalankan akan sangat merendahkan kedaulatan negara dan merugikan kedudukan pelayaran, perdagangan laut dan melemahkan pembelaan negara. Oleh sebab itu, maka dengan penentuan batasan negara, haruslah pula ditentukan daerah, air lautan manakah yang masuk lautan lepas. Tidak menimbulkan kerugian, jikalau bagian Samudera Hindia Belanda, Samudera Pasifik dan Tiongkok Selatan diakui menjadi laut bebas, tempat aturan laut merdeka. Sekeliling pantai pulau yang jaraknya beberapa kilometer sejak air pasang-surut dan segala selat yang jaraknya kurang dari 12 km antara kedua garis pasang-surut, boleh ditutup untuk segala pelayaran di bawah bendera negara luaran selainnya dengan seizin atau perjanjian negara kita.”
M. Yamin secara eksplisit menyebutkan untuk “menutup wilayah laut pedalaman”, pendapat demikian pada waktu itu tidak lazim dalam hubungan antarnegara. Selain itu, kita hanya memiliki aturan hukum wilayah laut warisan dari Belanda, yakni: TZMKO 1939 –Territoriale Zee en Marietieme Kringen Ordonantie, yang hanya mengatur lebar laut teritorial sejauh tiga mil saja. Dalam ketentuan Ordonantie 1939 tersebut, memuat empat kelompok mengenai perairan Indonesia. Pertama, apa yang disebut dengan “de Nederlandsch Indische territoriale zee” –Laut Teritorial Indonesia. Kedua, apa yang disebut dengan “Het Nederlandsch-indische Zeege bied” –Perairan Teritorial Hindia Belanda, termasuk bagian laut teritorial yang terletak pada bagian sisi darat laut pantai, daerah luar dari teluk-teluk, ceruk-ceruk laut, muara-muara sungai dan terusan. Ketiga, apa yang dinamakan “de Nederlandsch-Indische Binnen Landsche wateren” yaitu semua perairan yang terletak pada sisi darat laut teritorial Indonesia termasuk sungai-sungai, terusan-terusan dan danau-danau, dan rawa-rawa Indonesia. Keempat, apa yang dinamakan dengan “de Nederlandsch-Indische Wateren“, yaitu laut teritorial termasuk perairan pedalaman Indonesia. Dengan demikian, Ordonantie 1939 –Staatblad tahun 1939 No.442 tersebut memunculkan banyak wilayah laut bebas di antara pulau-pulau yang ada di Indonesia. Laut bebas ini, membuat wilayah Indonesia menjadi: terpisah-pisah.
Pasca kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia tidak mempunyai waktu untuk membenahi masalah perbatasan. Pertama, konsentrasi pemerintah terkuras untuk mengurus masalah dalam negeri yang penuh gejolak. Kedua, ada masalah Papua Barat yang masih ditongkrongi Belanda. Masalah perbatasan Indonesia, mulai mendapat perhatian di masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956 – 14 Maret 1957). Gagasan untuk mengubah Ordonantie 1939 muncul atas desakan dari beberapa departemen yang merasa hukum laut warisan Belanda itu tidak dapat melindungi keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adanya laut bebas itu, dikhawatirkan akan digunakan oleh kapal-kapal Belanda untuk mengganggu kedaulatan negara. Apalagi pada waktu itu, kita masih bersengketa mengenai status Irian Barat. Atas dasar itulah, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo membentuk sebuah tim yang ditugaskan untuk membuat Rancangan Undang-Undang tentang Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim. Tim ini terbentuk berdasarkan Keputusan Perdana Menteri RI No. 400/P.M./1956, dan dipimpin oleh Kolonel Laut R.M.S. Pirngadi. Setelah hampir satu tahun lebih, tim Pirngadi akhirnya dapat menyelesaikan rencana RUU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim. Sebagian besar isi dari RUU itu hampir sama dengan Ordonantie 1939, namun memiliki perbedaan pada penentuan garis teritorial yang sebelumnya 3 mil, menjadi 12 mil laut. RUU tersebut belum sempat disetujui, karena Kabinet Ali Sastroamidjojo II kemudian bubar, dan digantikan oleh Kabinet Djuanda (9 April 1957 – 10 Juli 1959).

Deklarasi Djuanda
MR. Mochtar Kusumaatmaja
Kabinet Djuanda –Djuanda Kartawidjaja yang merupakan zaken kabinet (kabinet ahli) masih melanjutkan RUU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim, dengan menugaskan Meester in de Rechten Mochtar Kusumaatmaja untuk mencari dasar hukum untuk mempertahankan wilayah Republik Indonesia. Mr. Mochtar Kusumaatmaja kemudian memberikan gagasan yang disebut Archipelagic Principle yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Internasional pada tahun 1951. Dengan demikian, tim tersebut telah berhasil menyusun lebar laut teritorial seluas 12 mil sesuai dengan perkembangan yang terjadi dalam hukum internasional. Kemudian Chaerul Saleh –Menteri Veteran mendatangi Mr. Mochtar Kusumaatmaja, dan tidak setuju dengan usulan tim penyusun. Alasannya adalah: jika aturan diterapkan, maka: “terdapat laut bebas antara pulau-pulau di Indonesia sehingga kapal-kapal asing bisa bebas keluar masuk”. Hal tersebut jelas dapat “mengganggu” kedaulatan Indonesia yang masih berumur muda. Saran dari Chaerul Saleh adalah untuk menutup perairan dalam –Laut Jawa sehingga tidak ada kategori laut bebas didalamnya. Chaerul Saleh berpendapat demikian dengan alasan strategis, yaitu: demi menjaga kesatuan –integral wilayah Indonesia, karena Chaerul Saleh mempunyai latar belakang militer. Mochtar berjanji, masukan dari Chaerul Saleh tersebut akan didiskusikan dengan tim –meski ide Chaerul Saleh tersebut, sebenarnya bertentangan dengan hukum internasional pada saat itu. Mochtar menerima ide Chaerul Saleh, karena hampir sama dengan pendapat negara Norwegia di Mahkamah Internasional pada kasus: “Norwegian Fisheries Case” tahun 1951. Sebagai alternatif terhadap RUU dan gagasan Archipelagic Principle itu, kemudian dibuatlah konsep ’Asas Negara Kepulauan’. Konsepsi ini memandang: “segala perairan di sekeliling dan di antara pulau-pulau dinyatakan sebagai bagian yang integral dari wilayah Indonesia”. Ir. Djuanda mempunyai pemikiran bahwa harus segera mengesahkan RUU tersebut, karena banyak kapal Belanda yang melakukan intervensi dari dan menuju New Guinea di zona laut yang bebas. Hari Jumat, 13 Desember 1957, tim RUU Laut Teritorial menghadap kepada Perdana Menteri Djuanda. PM. Djuanda meminta untuk dijelaskan perihal hasil rancangan tim, dan Mochtar Kusumaatmadja sebagai ahli hukum internasional –hukum laut tampil ke depan untuk menjelaskan. Gagasan Mr. Mochtar Kusumaatmaja yang menggunakan Asas Negara Kepulauan, diterima pada saat sidang parlemen tanggal 13 Desember 1957. Kemudian, diputuskan untuk mengeluarkan sebuah deklarasi. Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan pengumuman yang dikenal kemudian sebagai Deklarasi Djuanda. Fakta di atas memunculkan “tiga aktor” penting hingga dikeluarkanya Deklarasi Djuanda, yaitu; Djuanda Kartawidjaja; Mochtar Kusumaatmadja; dan Chaerul Saleh. Satu hal yang pasti ialah Deklarasi Djuanda merupakan keputusan PM. Djuanda, karena posisi dia saat itu sebagai pengambil kebijakan.

Perjuangan Diplomasi
Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut, maka Ordonantie 1939 sudah tidak berlaku lagi di Indonesia, dan garis teritorial laut Indonesia –yang sebelumnya 3 mil menjadi 12 mil. Namun, tidak lama setelah Indonesia mengeluarkan peraturan tersebut, muncul beberapa reaksi terhadap peraturan tersebut. Reaksi protes datang dari beberapa negara seperti dari Amerika Serikat –pada tanggal 30 Desember 1957; Inggris –tanggal 3 Januari 1958; Australia –3 Januari 1958; Belanda –3 Januari 1958; Perancis –8 Januari 1958; dan Selandia Baru –11 Januari 1958. Reaksi penolakan tersebut sudah dipikirkan oleh pemerintah Indonesia, dan sudah pula diumumkan bahwa reaksi-reaksi dari berbagai negara tersebut akan diperhatikan dan dibahas dalam konferensi internasional mengenai hak-hak atas lautan yang akan diadakan pada 1958 di Jenewa. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia telah siap dengan reaksi protes yang diajukan dan siap berdebat pada konferensi di Jenewa.
Delegasi Indonesia yang datang pada konferensi internasional mengenai hak-hak atas lautan yang diadakan di Jenewa, terdiri atas: Mr. Ahmad Subardjo Djojohadisuryo, S.H. –pada waktu itu menjabat sebagai Duta Besar RI di Swiss; Mr. Mochtar Kusumaatmadja; Goesti Moh. Chariji Kusuma; dan M. Pardi –Ketua Mahkamah Pelayaran. Dalam kesempatan itu, delegasi Indonesia mengemukakan asas “Archipelagic Principle” dalam pidatonya. Inilah untuk pertama kalinya, masyarakat internasional mendengar penjelasan mengenai implementasi “Archipelagic Principle” terhadap suatu negara yang melahirkan “Archipelagic State Principle”yang pada waktu itu masih asing bagi dunia internasional. Asing, karena asas ini eksis tapi belum ada satu pun negara di dunia yang menggunakannya. Meskipun telah dijelaskan lewat pidato, negara-negara yang pernah menyampaikan protes kepada pemerintah Indonesia belum dapat menerima. Hanya saja, Indonesia mendapatkan dukungan dari: Ekuador; Filipina; dan Yugoslavia. Pemerintah Indonesia kemudian menggunakan beberapa cara untuk mendapat simpati dari negara-negara lain, misalnya dengan menyebarkan tulisan: “The Indonesian Delegation to the Conference on the Law of the Sea. Usaha itu mulai membuahkan hasil, dan setelah itu mulai banyak negara-negara yang bersimpati dengan perjuangan Indonesia.
Pemerintah Indonesia kemudian merancang peraturan 13 Desember 1957 menjadi undang-undang agar kedudukannya menjadi lebih kuat. Pada tahun 1960 pengumuman tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) No. 4/ 1960, selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang “Perairan Indonesia”. Dengan peraturan tersebut, luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya –Papua Barat yang walaupun wilayah Indonesia tapi waktu itu belum diakui secara internasional. Produk hukum inilah yang kemudian juga disampaikan pada Konferensi Hukum Laut PBB kedua yang diselenggarakan tahun 1960, namun usul Indonesia masih belum dapat diterima. Pada tahun 1962, Indonesia kembali menerbitkan PERPU No. 8/ 1962 mengenai “Lalu-lintas Laut Damai Kapal Asing dalam Perairan Indonesia”, dan masih terus menyempurnakan implementasi Asas Negara Kepulauan dalam sistem hukum di Indonesia. Jalan Indonesia untuk memperjuangkan diakuinya Asas Negara Kepulauan mulai menemui kemudahan ketika pada tahun 1971 Indonesia dipilih menjadi anggota Committee of the Peaceful Uses of the Sea-Bed and Ocean Floor beyond the Limit of National Jurisdiction yang merupakan badan PBB untuk mempersiapkan Konferensi Hukum Laut PBB. Dipilihnya Indonesia sebagai anggota badan tersebut, membuat Indonesia lebih mudah dalam menyosialisasikan implementasi prinsip negara kepulauan agar mendapatkan pengakuan dari pihak internasional. Pada tanggal 12 Maret 1980, dengan menggunakan dasar Hukum Laut Internasional mengenai Economic Exclusive ZoneZone Ekonomi Eksklusif (ZEE) Pemerintah Indonesia juga mengumumkan peraturan tentang ZEE selebar 200 mil diukur dari garis dasar. Pada tahun 1983, pengumuman ini disahkan menjadi Undang-Undang RI No. 5/ 1983.

Kemenangan Indonesia
Konsep negara kepulauan sendiri, baru disetujui oleh mayoritas negara-negara di dunia pada 10 Desember 1982 pada Konvensi Hukum Laut Internasional PBB ketiga –United Nations Convention on the Law of The Sea (UNCLOS). Deklarasi Djuanda yang diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB tersebut, dipertegas kembali oleh pemerintah RI dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang “Pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan”. Tidak hanya konsep negara kepulauan saja yang disetujui, namun juga mengenai ZEE. Lebih dari itu, konsep negara kepulauan juga dimasukkan sebagai bagian dari Konvensi Hukum Laut PBB. Suatu kemenangan diplomasi Indonesia yang patut dicatat sejarah. Berdasarkan fakta sejarah itulah, maka pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Penetapan Hari Nusantara ini dipertegas oleh Presiden Megawati dengan menerbitkan Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara, sehingga tanggal 13 Desember resmi menjadi hari perayaan nasional tidak libur. Maka sejak saat itulah, setiap tanggal 13 Desember diperingati sebagai “Hari Nusantara”. Kini tanggal 13 Desember, hari di saat “UU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim” dan di terimanya “Asas Negara Kepulauan”, diperingati sebagai Hari Nusantara. Hari di saat para stake holder bangsa kita memperjuangkan kedaulatan wilayah NKRI di masa lalu. Kolaborasi antara: Djuanda Kartawidjaja; Mochtar Kusumaatmadja; dan Chaerul Saleh, telah berhasil merumuskan sebuah politik hukum yang menguntungkan kepentingan republik. Hebatnya lagi, Deklarasi Djuanda dapat diterima oleh masyarakat internasional dan konsepsi negara kepulauan ditetapkan menjadi bagian hukum internasional dengan dicantumkannya dalam UNCLOS 1982.
Bravo… Indonesia.



***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar