Rabu, 19 November 2014

Barter Daerah Jajahan



Melalui Traktat London tanggal 17 Maret 1824, Belanda menyerahkan Malaka dan Tumasik kepada Inggris. Sedangkan Inggris, menyerahkan Bencoolen kepada Belanda. Perjanjian ini dilakukan untuk mengatasi konflik yang bermunculan akibat pemberlakuan Perjanjian Britania-Belanda 1814. Jadi, berdasarkan perjanjian itu, Bencoolen jadi milik Belanda, dan Malaka serta Tumasik jadi milik Inggris. Itu mereka lakukan agar mudah mengontrol wilayahnya masing-masing, karena jajahan Inggris berada di Semenanjung Melayu dan jajahan Belanda di Nusantara.

Nama Bengkulu –Bencoolen diperkirakan diambil dari sebuah nama bukit di Cullen, Skotlandia, Bin of Cullen (atau variasinya, Ben Cullen). Sumber tradisional menyebutkan bahwa Bengkulu atau Bangkahulu berasal dari kata ‘Bangkai’ dan ‘Hulu’ yang maksudnya: ‘bangkai di hulu’. Konon menurut cerita, dulu pernah terjadi perang antara kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Bengkulu. dan dari pertempuran itu banyak menimbulkan korban dari kedua belak pihak di hulu sungai Bengkulu. Korban-korban perang inilah yang menjadi bangkai tak terkuburkan di hulu sungai tersebut maka tersohorlah sebutan Bangkaihulu yang lama-kelamaan berubah pengucapan menjadi Bangkahulu atau Bengkulu. Penamaan seperti ini mirip dengan kisah perang antara pasukan Majapahit dengan pasukan Pagaruyung di Padang Sibusuk –daerah sekitar bekas wilayah kerajaan Dharmasraya, yang juga mengisahkan bahwa penamaan Padang Sibusuk itu dari korban-korban perang yang membusuk di medan perang. Sumber lain menyebutkan, nama Bengkulu berasal dari bahasa Melayu dari kata “Bang” yang berarti: Pesisir dan “Kulon” yang berarti: Barat, kemudian terjadi pergeseran pengucapan Bang berubah menjadi Beng dan Kulon menjadi Kulu. Sedangkan cerita yang lebih banyak dikenal di masyarakat Bengkulu tentang asal usul nama Bengkulu, yaitu diambil dari kisah perang melawan orang Aceh yang datang hendak melamar Putri Gading Cempaka –anak Ratu Agung Sungai Serut. Lamaran tersebut ditolak, sehingga menimbulkan perang. Anak Dalam –saudara kandung Putri Gading Cempaka yang menggantikan Ratu Agung sebagai Raja Sungai Serut, berteriak “Empang ka Hulu ” yang berarti hadang mereka dan jangan biarkan mereka menginjakkan kakinya ke tanah kita. Dari kata-kata tersebut maka lahirlah kata Bangkahulu atau Bengkulu.
Malacca

Malaka dan Tumasik
Setelah kolonial Portugis masuk ke Semenanjung Malaka pada tahun 1511, Belanda berhasil mengalahkan Portugis dibantu Kerajaan Johor. Mereka pun berhasil menduduki wilayah tersebut, namun bukan menyerahkan kepada Kerajaan Johor. Malaka,  malah justru masuk daerah jajahan Belanda. Malaka Belanda (1641-1824) adalah periode terpanjang Malaka di bawah kekuasaan asing. Belanda menguasai Malaka selama hampir 183 tahun. Namun, Belanda lebih memilih Batavia –Jakarta sebagai pusat ekonomi dan administratif di wilayah kekuasaan mereka. Menguasai Malaka, hanya untuk mencegah wilayah tersebut dikuasai oleh negara Eropa lainnya. Berdasarkan Traktat London tanggal 17 Maret 1824, Belanda memperoleh daerah Bengkulu –meski harus menyerahkan Malaka dan Tumasik (Singapura) kepada Inggris. Belanda memandang Bengkulu sebagai wilayah yang potensial dengan kekayaan alam yang melimpah, salah satunya bahan tambang emas yang dimiliki daerah Lebong. Melihat potensi tersebut dan setelah Bengkulu menjadi miliknya, maka Belanda berusaha mendirikan tambang-tambang emas di daerah Lebong. Eksplorasi dan pertambangan emas pertama kali dilakukan Belanda di Lebong Donok pada tahun 1897 oleh Lebonggoud Syndicaat. Selain di Lebong Donok, tambang emas juga ditemukan di Tambang Sawah –yang mulai dieksplorasi pada tahun 1901. Secara keseluruhan pertambangan emas di dua daerah tersebut berlangsung sampai dengan tahun 1941 –karena telah dianggap habis. Selain mengeksplorasi tambang emas di Lebong, Belanda juga membuka perkebunan teh di daerah Kabawetan.

Selebar, Bencoolen, Bengkulu
Pada pertengahan abad ke-13 sampai dengan abad ke-16, di daerah Selebar –Bengkulu terdapat 2 kerajaan, yaitu: Kerajaan Sungai Serut dan Kerajaan Selebar. Pada tahun 1685, Inggris masuk ke Bengkulu yang dipimpin oleh Kapten J. Andiew dengan menggunakan 3 Kapal yang bemama: The Caesar; The Resolution; dan The Defence. Inggris menguasai Bengkulu, selama kurang lebih 139 tahun (1685-1824). Dalam masa ini, ratusan prajurit Inggris meninggal karena kolera, malaria dan disenteri. Kehidupan di Bengkulu pada saat itu, sangat menyusahkan bagi orang Inggris. Selain jauhnya jarak –perjalanan pelayaran dari Inggris ke Bengkulu memakan waktu 8 bulan, sering terjadi juga pertempuran-pertempuran dengan penduduk setempat
Benkulen
British East India Company (EIC) sejak 1685 mendirikan pusat perdagangan lada di Bencoolen –demikian orang Inggris menyebut Bengkulu dan kemudian gudang penyimpanan di tempat yang sekarang menjadi Kota Bengkulu. Saat itu, ekspedisi EIC dipimpin oleh Ralph Ord dan William Cowley untuk mencari pengganti pusat perdagangan lada –setelah Pelabuhan Banten jatuh ke tangan VOC Belanda, dan EIC Inggris dilarang berdagang di sana. Traktat dengan Kerajaan Selebar pada tanggal 12 Juli 1685 mengizinkan Inggris untuk mendirikan benteng dan berbagai gedung perdagangan. Kemudian Benteng York didirikan oleh Inggris tahun 1685 di sekitar muara Sungai Serut, yang berfungsi sebagai benteng dan gudang..
Sejak 1713 di bawah pimpinan wakil Gubernur British East India Company (EIC) yaitu Joseph Collet, dibangun benteng Marlborough (selesai 1719) –hingga sekarang masih tegak berdiri. Namun demikian, perusahaan ini lama kelamaan menyadari tempat itu tidak menguntungkan karena tidak bisa menghasilkan lada dalam jumlah yang mencukupi. Karena kesombongan dan keangkuhan Joseph Collet, begitu Benteng Marlborough selesai dibangun pada tahun 1719 rakyat Bengkulu di bawah pimpinan Pangeran Jenggalu menyerang pasukan Inggris di Ujung Karang, sampai akhirnya Benteng Marlborough berhasil mereka kuasai serta Inggris dipaksa meninggalkan Bengkulu –peristiwa heroik ini sampai sekarang diperingati sebagai hari jadi Kota Bengkulu. Namun pasukan Inggris kembali lagi ke Bengkulu, dan perlawanan rakyat Bengkulu terhadap Inggris tetap berlanjut. Pada tahun 1807 resident  Inggris Thomas Parr dibunuh dalam suatu pertempuran melawan rakyat Bengkulu. Parr diganti Thomas Stamford Raffles, yang berusaha menjalin hubungan yang damai antara pihak Inggris dan penguasa setempat.
Sejak dilaksanakannya Perjanjian London pada tahun 1824, Bengkulu diserahkan ke Belanda, dengan imbalan Malaka sekaligus penegasan atas kepemilikan Tumasik –Singapura dan Pulau Belitung. Alasannya, karena Gubernur Inggris Sir Thomas Stamford Raffles memandang Tumasik lebih strategis. Sejak perjanjian itu, Bengkulu menjadi bagian dari Hindia Belanda. Bengkulu dalam bahasa Belanda disebut Benkoelen atau Bengkulen.

Traktat London, Ruislag/Tukar-Guling Koloni
Inggris dan Belanda melakukan persetujuan melalui Traktat London –Perjanjian London pada 17 Maret 1824, yang berisikan: pertukaran daerah koloni antara Inggris dan Belanda. Dalam perjanjian tersebut, dijelaskan bahwa Belanda menyerahkan Malaka dan Semenanjung Melayu –termasuk Penang dan sebuah pulau kecil tidak bertuan –Tumasik/Singapura kepada Inggris. Sedangkan, Britania –Inggris menyerahkan pabriknya di Bencoolen –Bengkulu dan seluruh kepemilikannya di pulau Sumatera kepada Belanda. Pertukaran kekuasaan ini juga termasuk dalam Kepulauan Karimun, Batam, dan pulau-pulau lain yang terletak sebelah Selatan dari Selat Singapura. Perjanjian tersebut dilakukan pada 17 Maret 1824 di London, dimana Belanda diwakili oleh Hendrik Fagel dan Anton Reinhard Falck, sedangkan Inggris diwakili oleh George Canning dan Charles Watkins Williams Wynn. Perjanjian ini dilakukan untuk mengatasi konflik yang bermunculan akibat pemberlakuan Perjanjian Britania-Belanda 1814. Jadi, berdasarkan perjanjian itu, Bengkulu jadi milik Belanda, dan Malaka serta Tumasik jadi milik Inggris. Itu mereka lakukan agar mudah mengontrol wilayahnya masing-masing, karena jajahan Inggris berada di Semenanjung Melayu dan jajahan Belanda di Indonesia. Tetapi penjanjian Inggris-Belanda telah memecahkan kawasan jajahan Johor yaitu Riau-Lingga dan sebagian besar Sumatera.

Taktik Raffles
Berakhirnya pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles di Nusantara, ditandai dengan adanya Convention of London pada tahun 1814. Perjanjian tersebut ditandatangani di London, oleh wakil-wakil Inggris dan Belanda. Isinya:
1.    Nusantara dikembalikan kepada Belanda;
2.    Jajahan Belanda, seperti: Sailan, Kaap Koloni, dan Guyana, tetap di tangan Inggris;
3.    Cochin (di pantai Malabar) diambil-alih oleh Inggris, sedangkan Bangka diserahkan kepada Belanda sebagai gantinya.
Raffles yang sudah terlanjur tertarik kepada Nusantara, sangat menyesalkan lahirnya Convention of London ini. Akan tetapi, Raffles cukup senang karena bukan ia yang harus menyerahkan kekuasaan kepada Belanda, melainkan penggantinya yaitu: John Fendall, yang berkuasa hanya lima hari. Raffles kemudian diangkat menjadi gubernur di Bengkulu yang meliputi wilayah Bangka dan Belitung.
Setelah gagal membujuk Imam Bonjol agar memihak kepada Inggris, sejak tahun 1818 Raffles mengalihkan perhatiannya ke Selat Malaka yang sangat strategis sebagai lalu lintas perdagangan internasional. Sesuai dengan Konvensi London 1814, Belanda beranggapan bahwa Selat Malaka berada di bawah kekuasaannya. Pada tahun 1818, Malaka jatuh ke tangan Belanda. Raffles yang cerdik, kemudian mendirikan Singapura pada tahun 1819 yang dibelinya dari Tengku Husein, Sultan Johor. Peristiwa ini menimbulkan protes keras dari Belanda, bahwa Inggris telah melanggar Konvensi London. Namun Raffles menjawabnya bahwa daerah yang harus dikembalikan kepada Belanda, hanyalah daerah-daerah yang dulu direbut Inggris dari Belanda. Selebihnya, Inggris bebas mengadakan perjanjian dengan raja-raja dari daerah yang tidak direbutnya. Konvensi London memang tidak jelas menyebut daerah-daerah yang harus diserahkan, sehingga Inggris dan Belanda mempunyai penafsiran sendiri-sendiri.
Berdirinya Singapura, menimbulkan perselisihan mengenai batas wilayah kekuasaan pendudukan Inggris dan Belanda. Masalah ini kemudian diselesaikan melalui Treaty of London pada tahun 1824 yang isinya sebagai berikut:
1.    Kedua negeri (Inggris dan Belanda) berhak untuk saling memasuki wilayah jajahan masing-masing;
2.    Belanda menarik diri dari jajahannya di Asia Daratan, yaitu: Benggala, Gujarat, Malaka, dan Singapura;
3.    Inggris menarik diri dari Nusantara dan menyerahkan Bengkulu, Bangka, dan Belitung;
4.    Kemerdekaan Aceh dihormati oleh kedua belah pihak, karena Aceh dijadikan bufferstaat, yaitu daerah pemisah kekuasaan Belanda di Nusantara dengan kekuasaan Inggris di Malaka dan Singapura;
5.    Inggris dan Belanda bertanggung jawab atas keamanan di Selat Malaka.
Traktat London ini merupakan kemenangan besar bagi Inggris dalam menguasai jalur pelayaran internasional di Selat Malaka. Bagi Belanda, Traktat London menjadi penghalang untuk meluaskan daerah jajahannya ke wilayah Sumatera bagian Utara –Aceh. Pada tahun 1873 ditandatangani sebuah perjanjian antara Inggris dan Belanda, yang dikenal dengan Traktat Sumatra. Isi pokok dari perjanjian tersebut adalah Inggris tidak akan menghalang-halangi upaya Belanda untuk meluaskan wilayah ke Sumatera bagian Utara (Aceh). Perjanjian inilah, yang kemudian memicu terjadinya Perang Aceh (1873-1904).

Segitiga Emas Robusta
Kemasyuran sebagai wilayah penghasil kopi, membuat Bengkulu; Lampung; dan Sumatera Selatan, dijuluki: Segitiga Emas Robusta. Bangsa Belanda dan Inggris turut berperan dalam penanaman kopi di Sumatera, meskipun dilakukan secara paksa. Inggris memasukan kopi ke wilayah Selebar –nama Bengkulu pada waktu itu, untuk dibudidayakan pada abad ke-17. Sayangnya, proses menghasilkan komoditas penting itu dilakukan dengan kekerasan. Jejaknya masih dapat kita saksikan di Bengkulu. Di dekat Fort Marlborough, berdiri monumen Thomas Parr –nama orang Inggris yang terbunuh dalam haru biru rakyat Bengkulu melawan Inggris.


***