Rabu, 21 Januari 2015

Jejak Penginapan Hindia Belanda



Berdirinya penginapan-penginapan di Hindia Belanda (Indonesia), bermula sebagai respon dari penduduk atas keluhan terhadap tidak tersedianya tempat tinggal yang layak bagi parapria terhormat jika mereka berkunjung ke kota. Stadsheerenlogement atau penginapan bagi pria terhormat di kota, mulai dibangun pada tahun 1754, dan berada di bawah pengawasan VOC. Kemudian, muncul pula semacam tempat penginapan yang dikenal dengan nama: Herberg. Adapun bangunan-bangunan yang nantinya berfungsi sebagai penginapan atau hotel tersebut, pada awalnya merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal milik pribadi.
Hotel Ngamplang Garut dengan fasilitas lapangan tenis

Periode Logementen dan Herbergen, 1754-1850
Sejarah perkembangan penginapan di Hindia Belanda, dapat ditelusuri hingga pada masa VOC. Penginapan pertama pada waktu itu, adalah: stadsheerenlogement atau penginapan bagi pria terhormat di kota. Losmen –logement ini, dibangun pada tahun 1754 sebagai respon dari penduduk atas keluhan terhadap tidak tersedianya tempat tinggal atau penginapan yang layak bagi parapria terhormat jika mereka berkunjung ke kota –dalam hal ini, kota Batavia. Tempat penginapan ini, berada di bawah pengawasan VOC. Tetapi kemudian, jumlah penginapan ini berkembang hingga menjadi 12 penginapan –perkembangannya sangat baik hingga tahun 1798.
Sebenarnya pada masa tersebut, di Batavia juga sudah ada semacam tempat penginapan yang dikenal dengan nama: Herberg. Ada pegawai rendahan VOC –bernama Jerg Schreiner yang mendirikan herberg di Batavia, hanya untuk mendapatkan uang tambahan. Pada tahun 1739, Georg Bernhardt Schwartz mengambil alih herberg tersebut, karena Jerg Schreiner pulang ke negerinya. Schwartz membeli perabotan dengan harga 30 daaldersuang logam yang bernilai satu setengah gulden. Selain itu, dia membeli parabudak yang membantu di herberg itu seharga 44 daalders –terutama budak yang dapat memasak dan berbicara bahasa Belanda. Tetapi untuk budak yang tua dan jelek, Schwartz hanya membelinya seharga 25 daalders. Selain menerima orang yang tinggal di herbergnya, di sana dijual pula minuman anggur, brandy serta bir buatan sendiri dari gula dan beberapa tanaman ramuan. Selain minuman, di herberg tersebut dijual pula budak.
Sekitar 1800-1809 ada Zimmer seorang pensiunan tentara, bakmeester, penjual daging, pemilik toko dan losmen, penyewa kereta kuda dan spekulan yang mendirikan semacam penginapan di Weltevreden Batavia –penginapan yang menjadi pesaing stadsheerenlogement. Kemungkinan, losmen tersebut merupakan pendahulu dari Marine Hotel yang didirikan Payan pada 1820. Sejak 1820-an, H.S.van Hogezand telah memiliki usaha penginapan kecil yang tidak jauh dari lokasi “kleine boom” di Sungai Ciliwung dekat Sunda Kelapa –kleine boom adalah kantor pabean di pelabuhan lama yang letaknya di muara Sungai Ciliwung (sekarang pelabuhan Sunda Kelapa). Setelah membayar bea, kapal diperbolehkan masuk untuk menaikkan maupun menurunkan penumpang beserta barang bawaannya. Pada 1849 sejak perpindahan kleine boom dari tepi Barat ke tepi Timur Sungai Ciliwung, Hogezand mendirikan stadsherberg. Sementara itu, di Molenvliet didirikan pula Hotel de Provence yang oleh Chaulan –dalam “Java The Wonderland, Guide and Tourist Handbook” (1910) dan “Isles of the East” (1912), dijumpai istilah hotel yang diterjemahkan menjadi: roemah makan.
Pada 1840 di sebuah rumah tertua di Rijskwijk, dibuat sebuah hotel oleh JP. Faes, yakni: Hotel der Nederlanden. Dahulu rumah itu merupakan tempat tinggal Thomas Stamford Raffles, pada 1846, memiliki nama ‘Palace Royale’. Disamping itu juga, rumah tersebut menyandang nama Hotel Amsterdam, dan kemudian pada 1856 diberi nama Java Hotel.
Periode Hotel Keluarga, 1850-1930
Pada periode ini, penginapan atau hotel yang dibangun, memiliki karakteristik gemeenschapelijke tafelmeja bersama. Maksud dari meja bersama ini, adalah adanya kebersamaan dan keakraban diantara pemilik dan para tamu hotel. Para pemilik atau pengurus hotel, berperan sebagai ‘ibu’ atau ‘ayah’ atau keluarga bagi para tamu-tamunya. Sebagai contoh: “Moeder” –ibu Spaanderman pemilik Java Hotel, yakni Tante Meyer, yang pernah menjalankan Hotel der Nederlanden. Adapun bangunan-bangunan yang nanti berfungsi sebagai hotel tersebut, pada awalnya merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal milik pribadi. Seperti Hotel Ernst di Batavia yang dibangun pada 1745-1767, lalu difungsikan sebagai hotel tahun 1860 dengan memakai nama “Ernst” –yang mengacu pada pemiliknya, yaitu: Moeder (Ibu) Ernst. Pada 1890, nama hotel tersebut kemudian diganti menjadi: Hotel Wisse. Demikian pula dengan Hotel der Nederlanden di Rijswijk yang dibangun tahun 1794 dan merupakan rumah pribadi milik Pieter Tency yang kemudian dijual kepada salah seorang anggota Raad van IndiëDewan Hindia, yakni: W.H. van Ijsseldijk. Selanjutnya, rumah itu dibeli oleh Raffles lalu kembali dijual kepada pemerintah Hindia-Belanda pada 1840.
Periode Hotel Modern Internasional, 1930
Pada tahun 1930-an fasilitas penginapan –khususnya di Jawa, sudah menawarkan fasilitas hotel modern bertaraf internasonal. Buku panduan resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah menyebutkan: ada sekitar 200 hotel di Jawa. Mulai dari hotel-hotel modern mewah di kota-kota besar, sampai penginapan-penginapan kecil di pinggiran kota. Hotel-hotel berskala internasional tersebut, tidak hanya berada di kota-kota besar di Jawa. Namun, juga terdapat di kota-kota kecil, terutama di daerah pegunungan –berghotel. Hal ini, berkaitan dengan fungsi awal hotel tersebut yang merupakan tempat beristirahat dan tempat penyembuhan bagi penderita tubercolosis (TBC). Seperti Hotel Sanatorium Ngamplang di Garut, Hotel Sanatorium Tosari, dan Hotel Nongkodjadjar dekat Pasuruan. Hotel-hotel yang ada di kota-kota besar, biasanya berada dekat dengan stasiun kereta api. Seperti Hotel Belle View di Bogor, hotel di Cianjur, dan Hotel van Horck di Garut. Lokasi hotel yang berada dekat dengan stasion kereta ini, tentunya, memudahkan bagi akomodasi paratamu atau turis yang datang ke suatu kota tertentu. Sebelum kereta api menjadi sarana transportasi yang digunakan, maka lokasi tempat penginapan, umumnya berada dekat pelabuhan.
Fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh hotel-hotel di Jawa, dapat diketahui dari daftar hotel yang dikeluarkan oleh Vereeniging Toeristenverkeer (VTV) pada 1938. Antara lain, fasilitas: untuk berperahu; bermain golf; berkuda; orkestra musik; kolam renang; hingga fasilitas tenis lapangan. Fasilitas tersebut diberi kode sebagai berikut:  B = boating (berperahu), G = golf (golf), H = horses (berkuda), O= hotel orchestra (orkes musik), S = swimming (kolam renang), T = tennis (tenis). Dari daftar hotel-hotel yang dikeluarkan oleh Travellers Official Information Bureau (1938) tersebut, kita dapat mengetahui hotel mana yang memberikan tarif termahal dan tarif termurah. Tidak hanya fasilitas, hotel-hotel tertentu, misalnya Hotel Dekker dan Stations Hotel di Batavia serta Hotel Bellevue Dibbets di Bogor kerap menampilkan tulisan “onder Europ[eesch] beheer, Europeesch beheer (dikelola atau diurus oleh orang Eropa atau istilah sekarang di bawah manajemen), hal ini seakan-akan menunjukkan bahwa paraturis tidak perlu mengkhawatirkan pelayanan dan fasilitas hotel tersebut karena pengelolanya adalah orang Eropa yang memahami keinginan para-tamunya.
Daftar Hotel di Hindia Belanda beserta Tarif dan Fasilitas, tahun 1938
Kota
Hotel
Tariff Per-Malam
Fasilitas
Batavia
Hotel des Indes
8 – 26 gulden
O
NV Hotel der Nederlanden
7 – 22 gulden
O
Hotel des Galeries
9 – 17 gulden

Bandung
Grand Hotel Preanger
9 – 23 gulden
G.S.T.O
Grand Hotel Savoy-Homann
9 – 23 gulden
G.S.T.O
Hotel Isola
11 – 27,50 gulden
G.S.T
Buitenzorg
Hotel Bellevue Dibbets
6 – 20 gulden

Cirebon
Grand Hotel Ribberink
7 – 16 gulden

Garut
Grand Hotel Ngamplang
6,50 – 20 gulden
G.S.T.H

Grand Hotel Cisurupan
6 – 17 gulden
S.T.H

Hotel Papandayan


Lembang
Grand Hotel
6 – 17 gulden
S.T.H
Sukabumi
Grand Hotel Selabatu
7 – 20 gulden
S.T
Grand Hotel Selabintana
7 – 20 gulden
G.S.T
Grand Hotel Mooi Wanasari
6 – 15 gulden
G.S.T
Semarang
Hotel Bellevue
7 – 20 gulden

Hotel du Pavillon
7 – 23 gulden
O
Solo
Hotel Slier
7 – 26 gulden
S.T
Yogyakarta
Grand Hotel Yogya
8,50 – 22 gulden
S
Hotel Mataram
4,50 – 13 gulden

Hotel Tugu
5 – 15 gulden

Kopeng
Hotel Kopeng
6 – 16 gulden
G.S.T.H
Hotel Montagne
5 – 11 gulden

Wonosobo
Grand Hotel Dieng
7 – 21,50 gulden
S.T.H
Park Hotel
5 – 11 gulden
S.T
Surabaya
Hotel Brunet
5,50 – 17 gulden
S
Hotel Ngemplak
5 – 12 gulden

Oranje Hotel
6,50 – 17 gulden

NV Simpang Hotel
5,50 – 17 gulden

Malang
Hotel Astor
5,5 – 18,5 gulden
G.S.T
Palace Hotel
6 – 18 gulden
G.S.T
Hotel Splendid
5 – 15 gulden
G.S.T
Jember
NV Hotel Jember
6,50 – 15 gulden

Nongkojajar
Grand Hotel Nongkojajar
6 – 23 gulden
G.S.T
Pujon
Hotel Huize Justina
5 – 14 gulden
T
Prigen
Badhotel Prigen
5 – 13 gulden
S.T
Punten
Badhotel Selecta
6 – 15 gulden
G.S.T
Sarangan
Grand Hotel Sarangan
4,50 – 14 gulden
B.S.T.H
Tosari
Bromo Hotel
4,50 – 12 gulden
T
Grand Hotel Tosari
6,50 – 20 gulden
G.T.H
Tretes
Badhotel Tretes
5,50 – 15 gulden
S.H
Denpasar
Bali Hotel
10 – 25 gulden
Music&Dance
Satrya Hotel
6,50 – 13 gulden

Kintamani
KPM Bungalow Kintamani
8 – 15 gulden

Brastagi
Grand Hotel Brastagi
6 – 30 gulden
G.S.T.H
Medan
Hotel de Boer
7 – 20 gulden
O
Grand Hotel Medan
7 – 16 gulden
O
Prapat
Prapat Hotel
7 – 14 gulden
B.G.S.T
Fort de Kock
Hotel Centrum
6 – 17,50 gulden
G.S.T
Park Hotel
5,50 – 14 gulden
G.S
Padang
Hotel Central
5 – 15 gulden
T
Oranje Hotel
5,5 – 17,5 gulden
G.S.T
Palembang
Hotel Buys
8 – 17 gulden
G.S
Hotel Smit
8 – 22,50 gulden

Makassar
Empress Hotel
7 – 20 gulden
T
Grand Hotel
8 – 16 gulden

Sumber:  List of the Principal Hotels in the Netherlands Indies (Batavia: The Travellers Official Information Bureau of the Netherlands Indies & Kolff, 1938), hal. 3- 5.
Hotel Ngamplang Garoet
Selain dapat tinggal atau menginap di hotel atau losmen yang terletak di kota, paraturis dapat pula menginap di pesanggrahan. Pesanggrahan ini, sebenarnya, merupakan bangunan tempat peristirahatan bagi para raja atau kaum bangsawan yang terletak di luar kota. Letak pesanggrahan, ada di daerah pegunungan dan tepi pantai yang kadang-kadang sangat sulit dicapai dengan transportasi biasa –kelak bangunan pesanggrahan ini menjadi tempat beristirahat atau bermalam bagi para pejabat atau pegawai pemerintah Hindia-Belanda yang sedang melakukan perjalanan dinas ke daerah-daerah yang tidak memiliki fasilitas hotel atau penginapan. Pesanggrahan juga dapat digunakan oleh para pelancong, meskipun demikian, sebelumnya mereka harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat seperti asisten residen, kontrolir, atau wedana, untuk dapat menggunakan pesanggrahan. Namun, bila di suatu tempat terdapat fasilitas penginapan atau hotel, maka izin untuk menggunakan pesanggarahan belum tentu diperoleh. Pada suatu periode tertentu, ada kewajiban bagi parapenduduk di Jawa untuk melakukan kerja wajib –heerendienst membangun dan merawat pesanggrahan. Kewajiban ini, kemudian dihapus pada tahun 1882. Pengelolaan pesanggrahan, biasanya dilakukan oleh pemerintah setempat (kabupaten/keresidenan) atau dinas-dinas dari pemerintah Hindia Belanda, seperti: B.O.W (Burgerlijke Openbare Werken/ dinas pekerjaan umum); dinas kehutanan; dinas irigasi/pengairan; serta pengawas hutan dan milik pribadi. Anggaran untuk merawat tiap pesanggrahan tersebut, dimasukkan dalam anggaran kabupaten. Hal ini terdapat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indië bagian regentschap, pada bagian Xe afdeeling 20 (Staatsblad van Nederlandsch Indië 1924 no 576, Departementen van Algemeen Burgerlijke Bestuur). Pada tahun 1930, tercatat kurang lebih 160 pesanggrahan di Jawa dan Bali. Apabila dibandingkan dengan hotel, tarif pesanggrahan ini lebih murah. Alasannya, adalah: fasilitas yang disediakan “tidak seperti hotel” dan juga pesanggrahan hanya menyediakan “tempat menginap sederhana”. Tarif bermalam di pesanggrahan, antara 3 sampai 13,5 gulden per malam.

Pelayan Penginapan
Dalam dunia akomodasi turisme kolonial –seperti dalam hotel dan losmen, digunakan pula istilah yang dikenal dalam rumah tangga kolonial. Hal ini, sepertinya sesuatu yang wajar jika kita melihat perkembangan akomodasi di Hindia-Belanda. Hotel-hotel yang kelak menjadi hotel modern dan memiliki standar internasional, berawal dari rumah tangga yang menyewakan kamar atau pavilyun rumah.
Pada masa VOC, mulai digunakan istilah slaven para budak, baik yang bekerja untuk VOC maupun partikelir atau swasta. Orang Belanda menggunakan para budak sebagai tenaga kerja dalam gudang-gudang dan kapal-kapal mereka, pembantu rumah tangga serta dijadikan lambang untuk menaikkan status. Di pihak lain, orang pribumi menggunakan budak untuk mengatasi keterbatasan tenaga kerja dalam produk-produk pertanian, hutan dan laut. Di beberapa wilayah lain di Nusantara, para budak mempunyai fungsi seremonial dan pertunjukan atau bahkan digunakan untuk menyediakan orang-orang bersenjata dengan kesetiaan tertentu atau untuk produksi domestik dan pertahanan hidup. Para budak mengisi posisi personil rumah tangga secara khusus, seperti juru masak, juru lampu, pelayan, pembantu rumah tangga, penjahit, pesuruh, penyetrika pakaian, pembuat sambal, pembuat roti, pembuat teh dan kusir. Para budak menjadi bagian besar penduduk dari wilayah VOC di Batavia pada abad ke-17. Banyak budak pria yang menjadi budak yang bekerja di rumah. Ada pula yang bekerja sebagai pembantu atau musisi. Selain itu VOC juga membeli para budak yang dimanfaatkan untuk menggali kanal, mendirikan bangunan. Para budak itu pun dapat dimerdekakan oleh pemiliknya. Perdagangan budak di Batavia sudah menjadi semacam lembaga. Budak-budak yang dibeli tersebut oleh para majikan untuk bekerja dalam rumah di Batavia dengan alasan memudahkan mereka untuk pengawasan. Dalam regeringsreglement 1818 (Staatsblad 1818 no 18, pasal 113, 234) terdapat larangan perdagangan budak internasional untuk rumah tangga di Hindia-Belanda. Dengan kata lain ada larangan mengimpor budak untuk dijual pada rumah tangga-rumah tangga di Hindia-Belanda. Lalu mulai 1 Januari 1860 perbudakan di seluruh Hindia Belanda dihapuskan.
Seiring dengan tumbuhnya kota-kota di Hindia Belanda –terutama di Jawa, menyebabkan banyak orang pribumi dari desa mencari pekerjaan di kota –terutama kalangan petani yang tidak lagi memiliki tanah. Sensus tahun 1920 memperlihatkan, bahwa 6,63 % penduduk Jawa tinggal di kota-kota. Sebagian besar populasi perkotaan adalah penduduk yang bekerja di sektor informal perekonomian perkotaan, salah satunya adalah bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Setelah 1870, makin banyak perempuan Eropa –Belanda datang ke Hindia Belanda. Hal demikian berakibat diterbitkannya bermacam-macam buku panduan bagi mereka yang hendak pergi ke Hindia Belanda. Mereka yang baru datang ini, dikenal sebagai: barenorang baru pertama kali menginjakkan kaki di Hindia Belanda. Di samping berisi petunjuk –antara lain: pakaian apa yang pantas dan cocok dikenakan di Hindia Belanda, buku panduan tersebut juga memuat antara lain bagaimana cara mengatur rumah tangga di Hindia Belanda, serta bagaimana bergaul dengan para personil rumah tangga di Hindia Belanda. Sekurangnya pada setiap rumah tangga di Hindia, memiliki dua atau tiga personil rumah tangga –apalagi jika memiliki anak, setidaknya lima pembantu yang dibutuhkan. Pada setiap rumah tangga Eropa pada abad ke-20 setidaknya memiliki empat hingga enam personil rumah tangga –para personil rumah tangga itu kemudian disebut sebagai: a legion. Semakin kaya, maka semakin banyak jumlah personilnya.
Dalam buku panduan tersebut, dijelaskan bahwa para pembantu rumah tangga Eropa di Hindia terdiri dari beberapa personil. Mereka terdiri dari djongos atau sepen (pembantu laki-laki), kebon (pembantu yang merawat kebun atau kuda), baboe (pembantu perempuan), wasbaboe (tukang cuci), dan kokkie (juru masak). Namun, tidak semua personil rumah tangga tersebut tinggal dalam rumah yang sama. Masing-masing personil, memiliki tugasnya masing-masing. Istilah djongos yang berasal dari jongens ini memiliki berbagai varian antara lain huisjongen. Makna sebenarnya adalah anak laki-laki atau boy dalam bahasa Inggris. Makna ini kemudian mengalami pergeseran menjadi: pembantu (laki-laki).
Selain djongos, dikebanyakan rumah tangga Eropa, terutama yang memiliki kebun atau taman, ada pembantu rumah tangga yang dinamakan: kebon. Seorang kebon, adalah: ‘manusje van alles’pesuruh yang serbaguna. Ia dapat menggosok atau ‘melaburi dengan kapur’ sepatu-sepatu, merawat sepeda, mengambil dan mengantarkan barang, mengepel lantai, menyikat kamar mandi, membantu mencuci piring, mengantar makan siang untuk majikan, serta menyiram bunga dan menyiangi tanaman.
Personil lainnya adalah baboe yang bertugas membersihkan kamar tidur, membersihkan lemari dari kecoak atau hewan-hewan kecil, setiap minggu menjemur pakaian di bawah sinar matahari, merawat dan membersihkan sepatu-sepatu majikan perempuan serta melakukan perbaikan kecil untuk pakaian luar dan dalam. Dia juga, mengatur pakaian-pakaian kotor yang akan dicuci oleh wasbaboe. Kata baboe berasal dari mbah iboe, khususnya yang bertugas merawat anak. Istilah baboe ini pada awalnya memiliki arti: pengasuh anak. Selain bertugas bertanggung jawab di kamar, para baboe mengurus anak-anak majikan mereka –para sinyo dan noni. Namun, untuk memberi makan, tetap menjadi tugas para ibu. Para baboe tidak diperkenankan memberi anak-anak majikan mereka, makan. Seiring dengan meningkatnya jumlah perempuan Eropa –Belanda, maka status baboe sebagai pengasuh anak, hilang, dan menjadi pembantu. Bahkan, istilah baboe semakin bermakna rendah, yang berarti: perempuan kampung.
Personil yang tak kalah pentingnya dalam rumah tangga kolonial, adalah: kokkie. Para kokkie juga mendapatkan tugas ke pasar untuk berbelanja bahan makanan –di sini, keterampilan para kokkie menawar menjadi penting walaupun selisihnya hanya beberapa sen.
Personil lain, meskipun tidak selalu tinggal dalam rumah yang sama, adalah: wasbaboe atau babu cuci. Peran babu cuci ini menarik, bila dikaitkan dengan siapa yang sebenarnya melakukan pekerjaan ini sehari-hari. Berdasarkan lukisan-lukisan dari tahun 1851, 1853, dan 1857, kegiatan mencuci di kalangan pekerja rumah tangga dilakukan oleh kaum pria atau para jongos. Dari ketiga lukisan tersebut tidak tampak ada pekerja rumah tangga atau babu yang sedang mencuci. Bahkan dalam salah satu lukisan memperlihatkan seorang babu yang sedang mandi dengan latar belakang dua orang jongos yang sedang mencuci. Hal tersebut, mungkin dapat dijelaskan karena mencuci dengan cara yang berlaku saat itu merupakan pekerjaan yang sangat membutuhkan tenaga yang besar, pekerjaan yang cocok dilakukan oleh laki-laki. Pergantian tugas mencuci dari laki-laki ke perempuan dikalangan pekerja rumah tangga, baru terjadi ketika para orang kaya –yang mempekerjakan mereka mulai memiliki sumur sendiri di rumah, dan pakaian mereka tidak lagi dicuci di kanal atau sungai karena alasan kebersihan, kesehatan, atau alasan sosial lainnya seiring dengan perubahan mutu air kanal atau sungai. Selain personil rumah tangga di atas, ada pula tukang kusir atau supir. Mereka bertugas mengantar majikan bepergian, baik ke tempat kerja maupun tempat lainnya.
Satu hal lainnya yang dikemukakan oleh buku panduan tersebut adalah jika kita hendak menerima pembantu, kita harus meminta surat keterangan dari kepala kampung. Surat itu menerangkan, jika pembantu tersebut tidak pernah berurusan dengan pihak kepolisian. Selain itu juga kita dapat bertanya, di mana dan kepada siapa dia terakhir kali bekerja dan apakah dia memiliki bukti berupa surat. Surat ini berfungsi memberikan jaminan keamanan kepada para majikan baru, bahwa pembantu yang mereka pakai, tidak pernah berurusan dengan polisi. Rekruitmen para pembantu tersebut, biasanya dilakukan dari mulut ke mulut atau juga berdasarkan rekomendasi dari teman.
Memasuki abad ke-20, ketika air ledeng, gas dan listrik masuk ke rumah tangga kolonial di kota-kota besar, jumlah pembantu rumah tangga menurun. Rencana pembangunan kota-kota baru dan pembangunan rumah-rumah yang lebih kecil dengan sanitasi modern, hal tersebut juga berpengaruh kepada para pembantu yang biasanya tinggal di belakang rumah majikan mereka atau di sekitar mereka. Mereka tidak tinggal lagi dengan para majikan, tetapi pulang ke rumah setelah bekerja.
Para personil rumah tangga yang awalnya hanya melayani para tuan dan nyonya rumah mereka, akhirnya melayani juga para tamu majikannya ketika rumah tangga sudah beralih fungsi menjadi hotel. Istilah-istilah seperti djongos, baboe, wasbaboe, kokkie, kebon juga menjadi bagian dalam akomodasi turisme kolonial.
Ada satu istilah yang sebelumnya hanya akrab di bidang perkebunan atau pabrik yaitu mandoer. Istilah ini juga digunakan dalam dunia akomodasi kolonial. Biasanya istilah ini menjadi hotel-mandoer atau mandoer saja yang diartikan sebagai pengawas. Makna pengawas ini, sama dengan istilah mandoer dalam perkebunan atau pabrik yang diartikan opzichter (pengawas). Istilah mandoer di Hindia-Belanda, berasal dari bahasa Portugis mandador yang berarti orang yang diberi mandat/dikirim untuk tujuan tertentu. Kata benda mandadar ini berasal dari kata kerja mandar yang berarti mengirim. Istilah mandor juga berarti pengawas pekerja pribumi, pembantu utama di hotel, pesanggrahan dan tempat mandi. Mandoer di hotel merupakan jabatan tertinggi diantara para pembantu lainnya.
Sementara itu istilah djongos (dari kata jongens) yang dalam rumah tangga kolonial sering disebut huisjongen, dalam dunia akomodasi turisme kolonial menjadi hoteljongens, kamerjongen atau jongosadapula istilah lain yang digunakan, yaitu: lijfjongens. Seperti halnya jongos dalam rumah tangga kolonial, jongos di hotel berurusan dengan masalah konsumsi. Dari kalimat praktis buku panduan turisme dapat diketahui beberapa tugas jongos, antara lain: menyediakan dan melayani makan dan minum. Jongos di hotel, bertugas mengantar minuman teh atau kopi ke kamar kita serta membangunkan tamu. Para jongos ini tinggal juga di hotel tempat mereka bekerja –biasanya mereka tinggal di dekat atau masih dalam lingkungan hotel. Mereka pun mengenakan seragam, seperti: ikat kepala dari kain batik, sarung, dan tanpa alas kaki. Mereka mengenakan jas tutup berlengan panjang berwarna putih. Dalam beberapa foto, tampak seragam yang dikenakan mandur dan jongos tidak jauh berbeda. Hal yang membedakan adalah adanya dua garis di lengan jas yang mereka kenakan –mereka yang mengenakan garis adalah para mandur.
Jongos tidak hanya dijumpai di hotel-hotel atau losmen, para jongos juga dijumpai di kapal-kapal K.P.M, seperti: kapal ‘van Linschoten’ dan ‘van Waerwiyck’, yang membawa calon turis yang berkunjung ke Hindia Belanda. Secara tidak langsung, para calon turis dan tamu hotel berkenalan dengan para jongos yang mengenakan seragam serupa dengan para jongos di hotel-hotel.
Kesetiaan, ketaatan, dan pengabdian para mandor dan jongos pun mendapat penghargaan. Penghargaan diberikan kepada para mandor dan jongos, yang sudah mengabdi puluhan tahun. Seperti, pemberian medali A.B.H.N.IAlgemeenen Bond Hotelhouders in Nederlands-Indië, Ikatan pemilik hotel di Hindia-Belanda yang meliputi daerah: Priangan, Batavia, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Kalimantan, Maluku. Penghargaan diberikan kepada para mandor atau jongos yang sudah mengabdi selama 50 tahun, 25 tahun, atau 15 tahun. Rupanya, penghargaan tidak hanya diberikan kepada para mandor dan jongos. Dalam salah satu surat pembaca het Hotelblad, diusulkan untuk memberikan penghargaan kepada koki yang sudah bekerja selama 10 tahun.
Dengan diperolehnya bintang dari A.B.H.N.I –khususnya yang berhubungan dengan masa kerja, secara tidak langsung dapat diketahui jenjang karir orang tersebut di hotel. Para mandor yang mendapatkan penghargaan, tentunya, ada yang mulai berkarir dari sebagai jongos. Unsur pengabdian, kesetiaan, dan ketaatan para mandor dan jongos ini, menarik. Mengingatkan kita kepada konsep pengabdian para abdi dalam terhadap tuan pribumi, yang tidak mengharapkan imbalan materi. Meskipun telah mendapatkan imbalan –dalam bentuk upah, namun kesetiaan dan ketaatan mereka tidak hilang, bahkan menjadi jenjang karir untuk mereka.
Personil lain di hotel, adalah: baboe. Berbeda dengan tugas baboe dalam rumah tangga kolonial, salah satu tugas babu dalam akomodasi turisme kolonial adalah: menyajikan makanan yang juga merupakan tugas jongos.
Personil rumah tangga yang juga terdapat dalam dunia akomodasi turisme kolonial lainnya, adalah: kokkie. Mereka yang menyiapkan hidangan rijsttafel serta memanggang kue tar di atas pan dengan kayu bakar.
Selain personil di atas, ada personil lain yang juga bagian atau mungkin di luar dari personil hotel, yaitu: toekang menatoe. Pelayan hotel akan mengatur baju-baju para tamu, untuk dapat dicuci oleh toekang menatoe yang merupakan seorang pria, dengan ongkos 5 hingga 10 sen per pakaian.
Para personil pribumi yang bekerja di hotel-hotel, rupanya juga, membentuk suatu serikat karyawan hotel. Seperti laporan Kaoem Moeda, 5 Desember 1918, yang menyebutkan bahwa: pada tahun 1918, serikat karyawan hotel di Bandung dibentuk. Ketua serikat yang juga merupakan karyawan senior dan paling lama di industri hotel, menyatakan tujuan dibentuknya serikat adalah untuk meningkatkan persatuan dan persaudaraan para karyawan hotel serta untuk menyediakan bantuan apabila ada anggota yang tertimpa kemalangan, seperti kematian. Serikat ini, mendapatkan 40 orang anggota.
Seperti halnya para personil rumah tangga yang memerlukan persyaratan dan rekomendasi baik –dari para majikan sebelumnya, untuk menjadi personil tingkat tertentu di hotel apalagi hotel-hotel berstandar internasional, harus memenuhi persyaratan khusus. Begitu pula dengan mereka yang telah mendapatkan medali dari A.B.H.N.I, dapat menjadi salah satu rekomendasi jika mereka hendak mencari pekerjaan. Kualitas para pelayan hotel tersebut juga, menjadi perhatian penting. Pada 1938 di Bandung didirikan sebuah kursus khusus hoteljongen (pelayan hotel) di bawah pimpinan Fr. J.A.van Es –direktur Hotel Homann. Ada sekitar 40 pelayan pribumi yang mengikuti kursus tersebut dua kali seminggu, mulai pukul 9 sampai 12 siang. Kursus tersebut, berlangsung selama 3,5 bulan. Setelah mengikuti kursus tersebut, para peserta kursus akan diuji dengan ketat oleh Fr. J.A.van Es. Mereka yang lulus, akan mendapatkan ijazah. Ijazah tersebut dapat dipergunakan untuk melamar ke hotel-hotel di Hindia Belanda, perusahaan pelayaran dan untuk bekerja sebagai pelayan tetap di Hotel Homann. Para peserta kursus, dididik cara menata meja, menyajikan anggur, menerima telefon dan berbagai pekerjaan lainnya di hotel. Bahkan, mereka mendapatkan pelajaran bahasa Inggris praktis dan sederhana. Pelajaran-pelajaran praktik, diberikan oleh van Es jr, v. Herb dan Kohlër yang semuanya bekerja di Hotel Homann. Kursus tersebut, tidak dikenakan biaya dan khusus ditujukan kepada para pelayan hotel. Tidak tertutup kemungkinan peserta kursus yang terbaik, akan menjadi mandor.

Referensi:
De (The) Garoet Express and Tourist Guide. (1922-1923). Garoet: Maatschappij Onderlinge Hulp.
Isle of the East. (1912). Batavia: Royal Packet Steam Navigation Co. (K.P.M.).
Java: The Wonderland. (1910). Welvreden: Official Tourist Bureau.
Wertheim, W.F. (1999). Masyarakat Indonesia dalam Transisi. terjemahan. Yogyakarta: Tiara Wacana.

 ***