Minggu, 30 Juni 2013

Ingatan Dunia




Sejak Indonesia menjadi bagian dalam Ingatan Dunia (Memory of the World/MOW) pada tahun 2006 (dengan terbentuknya Komite Nasional MOW), sampai saat ini setidaknya telah didaftarkan tiga karya unggulan bangsa Indonesia, yaitu: Negarakretagama (Manuskrip berbentuk Kakawin berbahasa Jawa Kuno karya pujangga Majapahit Empu Prapanca), I La Galigo (Karya prosa lirik panjang asal Bugis), Mak Yong (Kesenian Melayu), dan Babad Diponegoro (catatan pribadi yang ditulis Raden Mas Ontowiryo/Pangeran Diponegoro).

Memory of the World
Memory of the World merupakan salah satu program UNESCO yang mulai dirintis pada tahun 1992. Program ini dilatar-belakangi oleh kesadaran akan pentingnya kelestarian, dan akses ke, warisan dokumenter di berbagai belahan dunia. Perang dan pergolakan sosial, serta kurangnya sumber daya, telah memperburuk masalah yang signifikan terhadap koleksi di seluruh dunia: penjarahan, penyebaran, perdagangan ilegal, kerusakan, kurangnya sarana dan prasarana dan pendanaan menjadi cukang lantaran dibentuknya program ini.
Ingatan Dunia (Memory of the World) atau disebut warisan documenter, didefinisikan dengan: “ingatan manusia dari peradaban kuno dan modern yang mewakili sebagian besar dari warisan budaya dunia yang mencerminkan keragaman bahasa dan budaya”. Kebanyakan dari dokumen tersebut ada di perpustakaan, museum dan pusat arsip nasional dan banyak yang dalam keadaan terancam punah karena terkena bencana seperti: banjir, kebakaran, perang atau karena tidak terpelihara dengan baik. Oleh karena itu UNESCO (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization) bersama dua badan internasional lainnya yaitu IFLA (International Federation of Library Association) dan ICA (International Council on Archives) telah mendirikan Program dan Komite Memory of the World yang bertujuan untuk melestarikan, melindungi dan membuka akses pada warisan dokumenter dunia ini.
Sebagian besar Warisan dokumenter di Indonesia yang tersimpan di perpustakaan, pusat arsip kebanyakan dalam keadaan relatif baik dan terawat, namun banyak pula yang memprihatinkan. Kebanyakan warisan dokumenter di Indonesia direkam/disimpan pada media yang ringkih dalam arti secara fisik dan kimiawi tidak stabil seperti bahan yang terbuat dari kulit kayu, kayu, lontar, dan bambu. Lagi pula, warisan dokumenter ini terancam rusak akibat kelembaban dan suhu yang tinggi serta mengundang jamur dan serangga yang berbahaya untuk keutuhan media penyimpan itu.
Di Indonesia program Memory of the World telah diselenggarakan selama 3 tahun sejak 2005, dengan hasil sebagai berikut:
1.    Seminar satu hari tentang Memory of the World pada tanggal 22 Maret 2005 di Gedung Widya Graha LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Seminar ini bertujuan untuk mensosialisasikan program Unesco mengenai Memory of the World, dan merencanakan pembentukan Komite Nasional Memory of the World Indonesia. Pada saat itu LIPI ditunjuk untuk mengurus pembentukan komite nasional tersebut.
2.    Pembentukan Komite Nasional Memory of the World berdasarkan SK Kepala LIPI Tanggal 1 Juni 2006 , yang beranggotakan instansi-instansi KNIU (Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO), Ristek (Riset dan Teknologi), LIPI, Perpustaan Nasional RI, Arsip Nasional, Pusat Bahasa, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Pusat Arkeologi, dan para pakar di bidang terkait. Keanggotaan dalam Komite Memory of the World Indonesia ini berdasarkan karena kepakaran di bidang terkait dan jabatan (ex officio). Sekretariat Komite ini adalah PDII LIPI (Pusat Dokumentasi Informasi Ilmiah LIPI) bekerjasama dengan Ristek.
3.    Lokakarya Memory of the World dengan tema: Menemukan ingatan kolektif: meningkatkan martabat bangsa yang diselenggarakan pada tanggal 14-15 September 2006 di Arsip Nasional RI.
4.    Workshop Memory of the World dengan tema: Nominasi Indonesia untuk Ingatan Kolektif Dunia pada tanggal 10 Mei 2007 di Perpustakaan Nasional RI.
Tujuan
Pada dasarnya, Memory of the World yang menjadi program UNESCO ini bertujuan melestarikan kekayaan bangsa-bangsa di dunia dalam bentuk warisan budaya terdokumentasi /documentary heritage karena mengandung nilai tinggi. Dokumen asli ini dapat berbentuk: manuskrip, benda bersejarah, film, foto, dan lain-lain.
Tiga tujuan dari program Memory of the World adalah sebagai berikut:
1.    Untuk memfasilitasi pelestarian dokumen;
2.    Untuk membantu akses pada warisan dokumenter dunia;
3.    Untuk meningkatkan kesadaran dari keberadaan dan pentingnya warisan dokumenter dunia.
Komite Nasional Memory of the World
Komite MOW Indonesia merupakan unit nonstruktural yang berada dan bertanggung-jawab di dalam lingkungan organisasi LIPI serta ditetapkan dengan Keputusan Ketua LIPI dan bersifat koordinatif dengan Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU).
Anggota Komite MOW INDONESIA adalah mereka yang dipandang mempunyai komitmen kuat terhadap pelestarian budaya, peninggalan sejarah/ purbakala, kekayaan alam hayati, dan pengetahuan tradisional yang dimiliki Indonesia.
Keanggotaan Komite Nasional ini terbuka untuk berbagai Institusi Pemerintah, Swasta maupun Perorangan, di antaranya, yaitu: Kementerian Negara Riset dan Teknologi, LIPI, Museum, Lembaga Swadaya Masyarakat, Arsip Nasional, Perpustakaan Nasional, Media Cetak dan Elektronik, Perguruan Tinggi, Dunia Usaha dan lain-lainnya.
Fungsi
Komite Nasional MOW Indonesia menjalankan fungsi sebagai berikut:
1.    Sebagai payung dari berbagai kelembagaan yang berhubungan dengan program MOW di Indonesia;
2.    Sebagai lembaga intermediasi antara UNESCO dengan lembaga-lembaga di Indonesia yang terkait dengan program MOW.
Tugas
Komite Nasional MOW Indonesia bertugas untuk:
1.    Merumuskan program dan strategi yang berhubungan dengan kegiatan MOW Indonesia;
2.    Mengajukan usulan registrasi MOW International, regional, dan nasional pada UNESCO;
3.    Berkoordinasi dengan Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) mengenai program dan kegiatan MOW Indonesia; Memberikan publikasi secara luas kepada masyarakat terkait dengan program MOW;
4.    Memberikan masukan atau rekomendasi kebijakan kepada Departemen Teknis dalam hal menjaga warisan budaya nasional.

Negarakretagama
Naskah Negarakretagama
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (Unesco), Kamis (20/6-2013). Resmi mengumumkan Negarakretagama sebagai Daftar Ingatan Dunia (Memory of the World). Negara Kertagama di terima UNESCO sebagai MOW untuk kawasan Asia Pasifik dan baru tahun 2008 naik posisinya ke tingkat dunia. Negarakretagama berkisah tentang kebesaran Kerajaan Majapahit di bawah Hayam Wuruk dan patih Gajah Mada. Keduanya digambarkan peduli terhadap rakyat, kemakmuran masyarakat, menyokong pluralisme, dan lain-lain. Pengajuan Negarakretagama dilakukan bersama antara Perpustakaan Nasional dan Koninklijk Instituut voor Taal- Land-en Volkenkunde (KITLV) atau Lembaga Ilmu Bahasa, Negara, dan Antropologi Kerajaan Belanda. Pengajuan MOW dilakukan bersama karena naskah Negarakretagama tersimpan di Perpustakaan Nasional Indonesia dan KITLV.

I La Galigo
Naskah I La Galigo
Naskah I La Galigo di usulkan bulan November 2012. Setelah itu diseminarkan, dievaluasi oleh MOW tingkat regional Asia Pasifik baru diserahkan ke UNESCO. Naskah I La Galigo dinilai sudah memenuhi syarat diajukan ke UNESCO. Naskah ini unik sebab merupakan naskah terpanjang di dunia melebihi epos Mahabharata. Selain itu I La Galigo memiliki nilai lintas negara dan lintas zaman. Naskah ini juga terancam punah, sehingga diajukan untuk bisa mendapat sertifikat UNESCO.
Kebesaran I La Galigo sudah sangat meluas. Kisah I La Galigo merupakan epos masyarakat Bugis mengenai awal kehidupan di bumi. Naskah I La Galigo terdiri dari 113 naskah terpisah. Seluruhnya mencapai 31.500 halaman. Pada abad ke 19, seorang perempuan raja Bugis, I Colli Puji’e Arung Tanete, menuliskan kembali sepertiga dari keseluruhan pokok cerita I La Galigo setebal 2851 halaman berukuran polio. Setelah naskah ini mendapatkan pengakuan dunia, pihak manapun boleh menggunakannya, tetapi mesti mencantumkan referensi sumber dari Sulawesi Selatan. Ini penting sebab I La Galigo sudah masuk berbagai kepentingan, termasuk kapitalisasi.
UNESCO memiliki tiga kategori untuk pengakuan objek budaya. Kategori meliputi Intengible Cultural Heritage (diberikan kepada Batik Indonesia), World Heritage (untuk Candi Borobudur) serta Memory of the World. Naskah I La Galigo masuk kategori Memory of the World, sebab memenuhi kriteria sebagai koleksi dokumenter yang membangkitkan ingatan kolektif. Naskah I La Galigo termasuk warisan budaya nasional yang terancam punah. UNESCO mengkategorikan terancam punah dari sikap abai, dan terancam bencana.
I La Galigo diusulkan karena merupakan salah satu karya sastra besar dunia. Di dalamnya ada cerita berbingkai, ibarat cerita bersambung yang tak pernah habisnya. Naskah aslinya ada 6000 halaman, di mana per halaman ada 50 baris, atau lebih kurang 300.000 baris panjangnya. "Sekitar 1,5 lebih panjang dari epos Mahabrata,".
Cuplikan I La Galigo:
I La Galigo kembali ke Luwu. Saweri Gading, sang ayah yang telah bersumpah tak mau kembali ke kampung halaman, hatinya luluh. Seluruh keluarga akhirnya reuni di Luwu. Itulah bagian akhir naskah. Memang jarang kisah lengkap I La Galigo diketahui orang, bahkan pemuka-pemuka Bugis sendiri. Itu karena epik tersebut tertulis dalam bahasa Bugis kuno, semacam Sanskertanya Jawa. Terjemahan La Galigo ke dalam bahasa Indonesia pun baru dua jilid. Satu terbitan PT Jembatan, satu Universitas Hassanudin. Dan itu pun masih bercerita seputar kehidupan Saweri Gading, belum La Galigo.
Pada zaman kolonial, seorang wanita bangsawan Sulawesi, Arung Pancana Toa, menyalin ulang kisah La Galigo. Salinannya ada 12 jilid, dan itu "diselamatkan" Dr. B.F. Matthes ke Leiden.
"Keunikan La Galigo itu kalimatnya tidak punya spasi, tapi kalimatnya selalu berpatokan pada lima kata, seperti Sa-we-ri-ga-ding, I-la-ga-li-go,". Itulah sebabnya ia enak dinyanyikan.
Sesungguhnya La Galigo punya banyak versi, kisah La Galigo bak batang pohon. Di tengah membentuk cabang dan ranting ke kiri dan kanan, dan ada ranting yang bisa melenting masuk kembali ke batang. Pokok pohon atau batang itu adalah 12 jilid salinan Arung Pancana Toa. Sedangkan lainnya adalah cerita-cerita carangan. Kehidupan pemuda La Galigo sendiri justru banyak pada teks carangan itu. Carangan yang lisan tak kalah banyak. Tiap daerah di Sulawesi Selatan bisa memiliki versinya sendiri. Misalnya ada kisah lisan Saweri Gading selama tujuh tahun berada di Mekkah. Di sana Saweri bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Saweri sakti, menantang, tapi kalah. Saweri Gading menyusun telur bertumpuk tegak seperti pohon, tapi Nabi mengambil satu per satu telur di tengah, tanpa menjatuhkan susunan. Di Pare-Pare, ada sebuah teks disimpan dalam sebuah kotak yang tak pernah dibuka, tapi tiap malam Jumat dipotongkan kambing. Bila kita bayangkan, ratusan tahun lalu di berbagai rumah di pedesaan Sulawesi, seorang penembang dalam ruang gelap-gulita menyanyikan I La Galigo. Para pendengar terpesona, dan setelah pulang menambah sendiri-sendiri cerita itu. Memang masuk akal bila kemudian La Galigo adalah epos terpanjang di dunia.

Mak Yong                                                           
Kesenian Mak Yong
Pemerintah Indonesia dan Malaysia bersama-sama mengajukan kesenian Mak Yong sebagai catatan ingatan dunia (Memorial of The World) kepada Unesco. Pengajuan ke Unesco sudah dimulai dari bulan Mei tahun 2008 bersama Pemerintah Malaysia, karena Malaysia juga mempunyai kesenian Mak Yong. Kesenian Mak Yong, berasal dari daerah Narathiwat, Pattani, Thailand dan berkembang di daerah Kelantan, Malaysia, Medan dan di daerah Mantang Arang (Mantang Lama) serta daerah Keke, Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Jadi pengajuan ke Unesco tersebut bukan untuk mengklaim kalau Mak Yong adalah kesenian yang berasal dari Bintan (Indonesia) atau Kelantan (Malaysia), tapi untuk menjadi catatan ingatan dunia kalau kesenian Mak Yong berkembang di Bintan (Indonesia) maupun Malaysia. Pertentangan dengan negara Thailand tidak akan terjadi, karena di negara asalnya kesenian Mak Yong tersebut tidak berkembang. Masih ada kekurangan yang harus dilengkapi untuk mendapatkan pengakuan dari Unesco tersebut dan sedang dilengkapi bersama dengan Malaysia. Yang masih harus dilengkapi adalah buku tentang Mak Yong mengenai aspek sejarah, notasi lagu, catatan tari, busana, properti yang dipakai saat pertunjukan, dan pandangan masyarakat setempat mengenai kesenian Mak Yong mulai dari tokoh sampai ke masyarakat nelayan. Selain itu, pembukuan kesenian Mak Yong meliputi: Mak Yong dalam ingatan dan catatan, gambaran "etnografis" lingkungan sosial pelaku, serta Mak Yong dalam wacana kebudayaan kontemporer. Untuk persyaratan yang sudah dilengkapi bersama-sama dengan pihak Malaysia berupa dokumentasi pertunjukan, seperti yang diselenggarakan baru-baru ini di Desa Mantang Lama, Bintan. Pemerintah Indonesia sudah melengkapi berbagai persyaratan seperti empat judul lakon yang didokumentasikan ditambah dokumen-dokumen lama yang disimpan di RRI dan Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) semenjak tahun 1977. Mak Yong diusulkan karena memiliki kekuatan yang luar biasa sebagai penanda identitas ke-Melayu-an. Ini sebagai bukti bahwa Melayu memiliki repertoar yang melebihi dari apa yang kita kenal sekarang. Tentang Mak Yong ini, Malaysia tidak punya naskahnya, tidak punya topeng serta alat musik khas kesenian Mak Yong, yakni: Gedomba. Alat musik tersebut pernah mau dibeli Malaysia, berapa pun harganya, tapi pewaris kesenian Mak Yong tak mau menjualnya.

Babad Diponegoro
Babad Diponegoro
Babad Diponogoro adalah  catatan pribadi yang ditulis Raden Mas Ontowiryo (Pangeran Diponegoro), ketika diasingkan Belanda di Manado, Sulawesi Utara, Mei 1831 hingga February 1832. Catatan itu dalam macapat, yang dinilai sebagai otobigrafi pertama dalam literatur Jawa modern. Indonesia  antusias memasukkan Babad Diponegoro ke Memory Of The World (WOM).  Pertama kali diajukan pada tahun 2011, tetapi dikembalikan UNESCO agar di lengkapi. Ada tiga syarat sebuah arsip bisa masuk MOW, yaitu: dampak dalam negeri, dampak Internasional, dan naskah ini harus asli. Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (Unesco), Kamis (20/6-2013), resmi mengumumkan Babad Diponegoro sebagai Daftar Ingatan Dunia (Memory of the World). Keputusan itu diumumkan resmi melalui situs unesco.org setelah Direktur Jendral UNESCO Irina Bokova menyetujui keputusan komite  pada pertemuan di Gwangju, Korea Selatan. Pengajuan Babad Diponegoro dilakukan bersama antara Perpustakaan Nasional dan Koninklijk Instituut voor Taal- Land-en Volkenkunde (KITLV) atau Lembaga Ilmu Bahasa, Negara, dan Antropologi Kerajaan Belanda. Pengajuan MOW dilakukan bersama karena naskah Babad Diponegoro tersimpan di Perpustakaan Nasional Indonesia dan KITLV. Naskah salinan Babad Diponegoro  yang ditulis dalam bahasa Jawa dimiliki Perpustakaan Nasional. Sementara itu, naskah Babad Diponegoro berbentuk manuskrip bertuliskan Arab Gundul (Pegon), tulisan tangan Diponegoro, di simpan di Belanda.
 
Raden Mas Ontowiryo (Pangeran Diponegoro)

Bujangga Manik dan Ingatan Dunia
Naskah Bujangga Manik
Sejak ditemukan dan kemudian diserahkan ke Perpustakaan Bodleian, Oxford pada tahun 1627 oleh Saudagar Andrew James, seorang Saudagar asal Newport, naskah ‘Bujangga Manik’ sempat ‘terlupakan’ selama kurun waktu tiga abad lamanya. Barulah kemudian pada tahun 1968 (341 tahun kemudian), seorang peneliti Sunda asal Belanda, Jacobus Noorduyn, memanfaatkan data yang terdapat dalam naskah Bujangga Manik. Dan hanya seorang Noorduyn pula, yang selama berpuluh-puluh tahun mengabdikan dirinya bergelut dengan naskah ini. Upayanya berujung pada artikel singkatnya: "Bujangga Manik Journeys through Java: Topographical Data from an Old Sundanese Source" (BKI, 138:413-42). Sayangnya, Noorduyn berpulang sebelum sempat mengumumkan penelitiannya yang menyeluruh atas naskah ini. Untunglah, seorang sahabat yang juga peminat budaya Sunda dan Nusantara berkebangsaan Belanda, A. Teeuw melengkapi kajian-kajian Noorduyn atas tiga puisi Sunda kuna (termasuk Bujangga Manik) dan kemudian diterbitkan dalam bukunya: ‘Three Old Sundanese Poem’ (2006). Noorduyn dan A Teeuw memperkirakan bahwa kisah perjalanan Bujangga Manik berlangsung (atau ditulis?) pada masa Kesultanan Malaka masih menguasai jalur perniagaan Nusantara –sebelum jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Seperti umum diketahui, bahwa Malaka menguasai jalur perniagaan sejak tahun 1440. Dalam rentang waktu itulah kiranya, perjalanan suci Bujangga Manik berlangsung. Dari hasil-hasil penelitian itulah kita bisa memperoleh gambaran, bahwa teks Bujangga Manik menceritakan seorang petapa Sunda-Hindu –yang meskipun berkedudukan sebagai Tohaan (Pangeran) di istana Pakuan, lebih memilih hidup sebagai petualang yang senantiasa mencari kepuasan rohaninya. Petualangannya menjelajahi tempat-tempat itulah yang selalu kita ingat di masa kini. Tempat yang ia singgahi lebih dari 450 tempat, termasuk di antaranya ada sedikitnya 90 nama gunung dan 50 nama sungai, terbentang dari Sunda bagian Barat (Pakuan) sampai pulau Bali. Singkatnya, sebagaimana diungkapkan Teeuw, selain mempunyai fungsi sastra yang indah dan menghibur, teks Bujangga Manik juga menjadi petunjuk ensiklopedis mengenai berbagai segi kehidupan kontemporer baik, budaya; geografi; sejarah; bahasa; dan lain-lain. Keistimewaan lain dari naskah puisi yang berjumlah 1641 baris ini, ialah bahwa pada kenyataannya –seperti naskah-naskah Sunda kuno yang kebanyakan otentik dan tidak disalin, naskah Bujangga Manik tiada duanya dan hanya satu-satunya di dunia (codex uniqus).
Daerah yang dijelajahi Bujangga Manik
Naskah Bujangga Manik merenah pisan apabila terdaftar sebagai salah satu masterpiece melalui Ingatan Dunia (Memory of the World) ini. Bagaimanapun, Bujangga Manik merupakan salah satu kekayaan budaya masyarakat Sunda dan Nusantara yang mampu ‘mengembalikan’ ingatan urang Sunda pada masa lalunya, menyembuhkan amnesia terutama kepada tempat-tempat yang pernah ia singgahi. Simak saja catatannya dalam perjalanan melalui Citarum: “leumpang aing ka baratkeun/ datang ka bukit Paténggeng/ Sakakala Sang Kuriang/ masa dék nyitu Ci-Tarum/ burung tembey kasiangan”. Dari sekelumit catatan itu, jelas sudah bahwa kisah legenda Sangkuriang membuat bendungan telah ada sekurang-kurangnya pada abad ke 16, dan ingatan itu tetap melekat pada urang Sunda berabad-abad lamanya.
Dari gambaran singkat di atas, kiranya kita bisa ngabungbang naratas jalan, menjadikan naskah ini bagian dari dunia melalui Memory of the World yang menjadi program UNESCO. Tarekah untuk itu, bisa dimulai dengan membentuk komite lokal yang terdiri dari para ahli, praktisi, budayawan, dan pemangku kebijakan tingkat lokal. Dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud), peneliti, filolog, akademisi dan lembaga pendidikan seperti UNPAD, UPI, UNPAS, dan UIN untuk bersinergi merumuskan langkah-langkah strategis sekaligus mempersiapkan semua keperluan teknis yang dibutuhkan, untuk kemudian diajukan kepada Komite Nasional. Barulah kemudian, Komite Nasional melanjutkan pada Komite Internasional. Secara formal, poin-poin justifikasi kelayakan terhadap naskah Bujangga Manik tidak perlu disangsikan. Keotentikan naskah ini telah dibuktikan dengan cukup memuaskan oleh telaahan Noorduyn dan Teeuw sejak tahun 1968, bahkan data-data yang terdapat di dalamnya telah dimanfaatkan oleh disiplin lain. Signifikansi dan keunikan naskah Bujangga Manik telah memenuhi syarat karena di dalamnya berisi rekaman perjalanan, gambaran geografis, sosial, kehidupan keagamaan, yang ditulis berdasarkan kesaksian seorang pribumi. Jangan lupa pula bahwa Bujangga Manik, dengan penuh kesadaran mempunyai visi jauh ke depan untuk generasi selanjutnya ketika ia menegakkan lingga dan membuat arca (nu peundeuri). Memang agak disayangkan, bahwa naskah Bujangga Manik pada kenyataannya bukan milik lembaga penyimpanan di Indonesia. Ia tersimpan dalam sebuah tempat penyimpanan nun jauh di Oxford, Inggris sana. Tapi ketika kita membaca kisahnya yang mengagumkan, dengan ungkapan Sunda bihari yang sebagian masih dapat dikenali oleh orang Sunda kiwari, membuat kita (urang Sunda) bergumam dalam hati: “Ini adalah milik kita…!”.

 ***

Rabu, 26 Juni 2013

Mapay Laratan Sunda Wiwitan





Saméméh cunduk ka anu dimaksud, seja sanduk-sanduk heula ka paramitra mun dina ieu tulisan ngagunakeun istilah agama. Paralun anu ka suhun, teu aya maksud mapandékeun ka agama anu resmi diaku ku nagara. Ieu mah ngan ukur nginjeum istilah, sangkan ngagampangkeun kana anggapan. Sabab mun dipaksakeun “Agama Hiyang” atawa “Agama Sunda Wiwitan” dipapandékeun kana “Aliran Kapercayaan” (Kejawén), ogé kurang keuna, da puguh teu sarua. Mugia ngama’lum.

Bubuka
Saacan rurusuhan nyebutkeun yén urang Sunda téh baheulana muja roh karuhun, urang Sunda téh asalna ti mana ?
Numutkeun Drs. Saleh Danasasmita dina Buku “Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat” jilid ka-2:
Penelitian tentang asal-usul penduduk Indonesia, mulai dilakukan secara sungguh-sungguh oleh Prof. Kern melalui Ilmu Bahasa dalam tahun 1889 dengan cara membandingkan 30 patah kata benda (hewan dan tumbuhan, ditambah dua kata untuk besi dan kapal) yang terdapat dalam 113 bahasa daerah. Dari hasil penelitiannya, ia kemudian berkesimpulan bahwa tempat asal Melayu-Polinesia (termasuk di dalamnya, bangsa Indonesia) itu dahulu mungkin sekali daerah: Campa, Kochin-China, Kamboja dan daerah-daerah di sekitarnya sepanjang pantai. (Danasasmita, 1984:22).
Téori Kern cikénéh dirojong ku hasil-hasil pamanggihna jeung panalungtikan arkeologis, sabab artefak atawa alat-alat tina batu jeung logam titinggal mangsa pra-aksara anu kapanggih di wilayah Kulon kapuloan Indonesia, beuki ngalér (beuki ngadeukeutan daratan Asia Tenggara) jieunanana beuki kasar, kalawan mibanda modél jeung bahan nu sarua.
Penelitian lebih lanjut oleh Prof. Slamet Mulyana melalui Ilmu Bahasa menghasilkan daerah asal nenek moyang bangsa Indonesia yang lebih luas dan lebih menyebar ke arah Barat daripada dugaan Kern. Ternyata wilayah Burma dan daerah Bukit Asam di perbatasan India termasuk pula ke dalam lingkungan tempat asal nenek moyang bangsa Indonesia. (Danasasmita, 1984:22).
Laju, Danasasmita ngabanding-banding hasil panalungtikan Prof. Kern; Prof. Slamet Mulyana; jeung hasil panalungtikan Pangéran Wangsakerta Cirebon (1677 M), nu diantarana nyebutkeun:
Kaum pendatang ini berasal dari: Yawana; Campa; Syangka; dan dari daerah-daerah sebelah Timur Gaudi (Benggala). Mereka datang menyebar ke Ujung Mendini (Semenanjung Malaysia); Pulau Sumatera; Pulau Jawa; Kutalingga; Gowa; Makassar; dan pulau-pulau lain di belahan Timur Nusantara termasuk Nusa Bali. Mereka tiba di sini kira-kira 20.000 tahun sebelum tarikh Saka. (Danasasmita, 1984:20).
Ngarungsina urang “Tatar Kalér” ka Dwipantara (Nusantara) terus-terusan lumangsung nepi ka taun 100 saacan taréh Saka.
Kaum pendatang baru yang tiba di Pulau Jawa antara tahun 300 sampai 100 sebelum Saka, telah memiliki ilmu yang tinggi (widyanipuna). Mereka telah mengetahui cara memperdagangkan serbaneka barang. (Danasasmita, 1984:26).
Satuluyna ngeunaan “agama” anu diaragem ku urang Jawa Barat harita, dumasar kana hasil panalungtikan Pangéran Wangsakerta Cirebon, ku Danasasmita dijéntrékeun:
Yang dipuja penduduk waktu itu bermacam-macam, tetapi yang terutama ialah arwah leluhur. Mereka memohon kepada arwah yang dipujanya dengan do’a pujaan lengkap dengan tata upacara dan sembahyang serta sesajen. (Danasasmita, 1984:24).
Nu carunduk ka Pulo Jawa, hususna ka Jawa Barat, lain baé nu ngarungsi ti Buana Kalér, tapi anu ti tebéh Kulon ogé aya.
Dalam awal tarikh Saka, datang orang-orang dari Barat, yaitu: dari negeri Singa (Sri Lanka); Salihwana; dan Benggala di bumi Bharatawarsya (India). Mereka tiba di Pulau Jawa dengan perahu. Mula-mula mereka menuju ke Jawa Timur, lalu ke Jawa Barat karena kegiatan perdagangannya dengan penduduk di sini. Pribumi di sini (Jawa Barat) asal-usulnya juga orang-orang pendatang dari kawasan Benua Utara yang leluhurnya tiba di sini beberapa ratus tahun lebih dahulu. (Danasasmita, 1984:29).
Anu daratang ti tebéh Kulon, salian ti daragang, nu ti India mah bari nyebarkeun agama Hindu.
Para pendatang dari India itu ada yang mengajarkan agama yang dianutnya dan menyiarkannya kepada penduduk di desa-desa. Mereka mengajarkan pujaannya yang disebut Dewa Iswara, yaitu: Dewa Brahma; Dewa Wishnu; dan Shiwa yang disebut Trimurtiswara. (Danasasmita, 1984:30).
Anu daratang ti India, tangtuna gé lain cacah-kuricakan, tapi ti golongan bangsawan anu ngarti kana urusan agama Hindu, sakumaha nu dijéntrékeun ku Danasasmita:
Kebanyakan diantara pendatang itu berasal dari keluarga Calankayana dan Pallawa di bumi India. Dari keluarga inilah yang paling banyak membawa perahu besar-kecil dibawah pimpinan Dewawarman dari keluarga Pallawa. Mereka itu datang di Jawa Barat pertama kali untuk tujuan berdagang. Selanjutnya mereka selalu datang di sini dan kembali ke negerinya membawa rempah-rempah. Di sini Sang Dewawarman telah bersahabat dengan penduduk pesisir Jawa Barat; Nusa Api (Krakatau); dan pesisir Selatan Pulau Sumatera. Dalam hal ini Dewawarman pun bertindak sebagai Duta Maharaja Pallawa. (Danasasmita, 1984:31-32).
Anu disebut “penduduk pesisir Jawa Barat”, saterusna Danasasmita ngajéntrékeun:
Adapun sang penghulu atau penguasa daerah pesisir Barat Jawa Barat waktu itu bernama Aki Tirem alias Aki Luhur Mulya. Puterinya yang bernama Pohaci Larasati diperisteri oleh Sang Dewawarman. Tokoh ini oleh para mahakawi disebut Dewawarman Pertama. (Danasasmita, 1984:31).
Basa Sang Panghulu Aki Tirem maot, Sang Dewawarman kapilih jadi gaganti mitohana. Dina jaman ieu, pamaréntahan napas Nusantara ngésér kana napas pamaréntahan Hindu. Sabab Sang Dewawarman ngamekarkeun padukuhan Pulasari anu diadegkeun ku Sang Panghulu Aki Tirem, jadi hiji nagara napas Hindu munggaran di Jawa Barat anu disebut Salakanagara, ngadeg dina taun 130 Maséhi atawa abad ka-2 Maséhi.
Salakanagara diparéntah ku Dinasti Dewawarman tepi ka Dinasti ka-8, saterusna sakumaha anu geus disabit-sabit saméméhna, karajaan corak Hindu téh diteruskeun ku Tarumanagara nu ngadeg taun 358 Maséhi, dirajaan tepi ka 12 raja, kalawan raja pamungkas: Maharaja Linggawarman.
Sabada pamaréntahan Maharaja Linggawarman, karajaan pejah jadi dua bagéan:
1.      Ti walungan Citarum ka Kulon disebut Karajaan Sunda, puseur dayeuhna di Pakuan (Bogor), dirajaan ku Maharaja Tarusbawa;
2.      Ti walungan Citarum ka Wétan disebut Karajaan Galuh, puseur dayeuhna di Karangkamulyan (Ciamis), dirajaan ku Prabu Wretikandayun.
Bates Sunda jeung Galuh
Ngeunaan agama Hindu, anu saterusna Danasasmita ngajéntrékeun:
Tentang pemelukan agama Hindu itu, baik Wangsakerta (1677) maupun Pleyte (1905) menjelaskan, bahwa hal itu hanya berlaku dalam lingkungan keraton para pejabat. Rakyat banyak, tetap setia kepada ajaran leluhurnya, yaitu: pemujaan roh nenek moyang (pitarapuja). Agama Hindu bertopang pada dua jalan (marga), yaitu: jalan bakti (bhaktimarga); dan jalan pengetahuan (jnanamarga). Gelora bakti yang biasanya diwujudkan dalam berbagai bentuk upacara, rupa-rupanya mulai memudar bersamaan dengan terpecahnya Tarumanagara menjadi Sunda dan Galuh. (Danasasmita, 1984:39).

Pitarapuja
Kabiasaan muja ka arwah karuhun, dilaksanakeun ku urang Jawa Barat, jauh ti béh ditu kénéh, 600.000 taun anu geus kaliwat. Pitarapuja ieu tangtuna ogé dibawa ngungsi ti nagri luluhurna, diaragem kénéh tepikeun ka maranéhna jadi pangeusi Jawa Barat. Ngeunaan “nagri luluhur” urang Jawa Barat, Pangéran Wangsakerta Cirebon ngajéntrékeun –sakumaha anu dicutat ku Danasasmita, diantarana:
Mereka berasal dari Yawana, lalu menyebar ke Semenanjung Malaysia; Sumatera; dan (Pulau) Jawa. (Danasasmita, 1984:19).
The Hammond World Atlas
Dipalebah mana ari Yawana téh ? ieu anu kudu disusud enya-enya, sabab Kern jeung Slamet Mulyana teu kungsi nyabit-nyabit Yawana, pikeun nangtukeun tempat asal luluhur bangsa Nusantara.
Waktu mukaan The Hammond World Atlas, terbitan Time (USA) taun 1980. Dina kaca 81 nembrak peta Burma (Myanmar); Thailand; Indochina; jeung Malaysia. Kaléreunana, di daratan Cina Kidul, pancegna di provinsi Kunming (Yunan) aya hiji wewengkon anu dina éta peta disebutna Yuanmow, teu pati jauh ti walungan Yuan (Yuantse) anu ngamuara dibasisir kota Ninh Binh (Vietnam bagéan Kalér).
Sebutan Yuanmow dina lafal létah Cina, bisa jadi sesebutan asalna mah: Yawana. Sabab nagri Taruma; Kalingga; jeung Yawadwipa ogé dina naskah Cina mah ditulisna: To-lo-mo; Ho-ling; jeung Ye-tiau. Kitu deui Yuan, bisa jadi ditulis anu sabenerna mah: Yu-wan atawa Yuwana.
Bawirasa kitu, lain hartina urang Sunda téh turunan Cina. Sabab bangsa Cina anu asli mah mangrupa turunan manusa purba Peking. Jadi, ras-na béda jeung urang Yawana. Ieu bisa dibuktikeun ku nilik tuturunan bangsa Yawana anu sumebar jadi bangsa: Myanmar; Thailand; Vietnam; Laos; Polinesia (Hawaii); jeung Indonesia (kaasup urang Jawa Barat), béda pisan jeung ras Cina turunan manusa purba Peking.
Yunnan, Cina Kidul.
Ku katerangan kitu, teu matak héran mun kasenian Tarawangsa ti Cibalong Tasikmalaya jeung ti Rancakalong Sumedang, sarua jeung kasenian Tarawangsa anu hirup kénéh di masarakat tradisional Vietnam. Kitu deui kadaharan pokona, sarua sangu. Hartina, urang nagri Yawana, ti baheula mula geus melak paré keur pangabutuh kahirupan sapopoéna.
Naon hubunganana antara Pitarapuja bangsa Yawana jeung agama Hiyang ? jeung naon deuih anu disebut agama Hiyang téh ?
Danasasmita kungsi ngabahas “Kahiangan” dina majalah Baranangsiang Nomer 2 taun 1964. Sanggeus ngabanding-banding jeung kecap Po Yang (Campa), Tempayang (Tempat-Yang) dina basa Dayak jeung kecap Kahiangan; Hiang; Hiyang; Yang; Kihiang; Tihiang; sarta Rahiyang anu aya dina basa Sunda, istilah Hiyang téh nuduhkeun sesebutan keur anu dianggap suci. Danasasmita nandeskeun, yén sesebutan Hiyang lain impor ti basa agama Hindu India, éstu sesebutan urang Nusantara. Sabab anu sajajar jeung sesebutan Hiyang dina agama Hindu, nya éta: Déva atawa Déwa.
Dina naskah Siksakandang Karesian (1581 M), leuwih jéntré deui yén urang Sunda nempatkeun Déwa-déwa Hindu India di sahandapeun Hiyang.
Sasakala batara jagat, basa ngretakeun bumi niskala. Basana: Brahma, Wisnu, Isora, Mahadewa, Siwa, bakti ka Batara ! Sing para dewata kabeh pada bakti ka Batara Seda Niskala. (Danasasmita, 1984:86).
Pikeun jéntréna ngeunaan tokoh Batara Seda Niskala, urang cutat katerangan ti Danasasmita anu nétélakeun:
Dalam dasaperbakti diantaranya disebutkan, “ratu bakti di dewata, dewata bakti di hiyang” (raja tunduk kepada dewata, dewata tunduk kepada hiyang). Jadi, Hiyang-lah yang paling tinggi. Kemudian dinyatakan bahwa dewa-dewa seperti: Brahma, Wisnu, Iswara, Siwa, dan lain-lainnya tunduk kepada Batara Seda Niskala. Dialah Batara Jagat (penguasa alam) “nu ngretakeun bumi niskala” (yang mengatur dunia gaib). Seda Niskala adalah nama Hiyang yang di Sangsakerta-kan (Seda=sempurna; Niskala=gaib). Nama itu dapat diartikan: “Yang Maha Gaib”. (Danasasmita, 1984:41).
Najan enya agama Hindu kungsi mangaruhan sistim pamaréntahan di Jawa Barat (jaman Salakanagara jeung Tarumanagara) tapi dina periodeu Karajaan Sunda; Galuh; jeung Pajajaran, anasir Hindu geus peuray, kasilih ku agama luluhur Nusantara (agama Hiyang). Bisa jadi sakumaha anu dijéntrékeun dina naskah kuna Siksakandang Karesian téh mangrupa pikukuh anu nandeskeun baralikna deui urang Sunda kana agama heubeul. Ku kituna bisa dijieun kacindekan yén agama urang Sunda harita (bisa jadi ti jaman Pitarapuja kénéh), anu jadi sesembahan utamana téh nya éta: Hiyang Seda Niskala (Yang Maha Sempurna/ Yang Maha Gaib). Jadi henteu polytheismeu jiga Hindu, tapi Monotheismeu (bertuhan satu).

Panutup
Nepi ka poé ieu, urang Kanékés (Baduy) ngaraku yén agama anu diagem ku maranéhna disebutna agama Sunda Wiwitan, anu pihartieunana: agama Sunda nu Mimiti. Hasil panalungtikan Judistira Garna; Adang Affandi; jeung Anis Jatisunda, sarua nyebutkeun yén sesembahan urang Kanékés téh teu dua teu tilu, tapi hiji: Batara Tunggal.
Anu matak hélok, di Kanékés aya carita legenda ngeunaan proses lahirna Nabi Adam. Judulna “Adam Kaisinan”, urang Kanékés nganggap jeung percaya yén Batara Tunggal kungsi nyieun Adam téh dua kali. Adan anu kahiji mah gagal, tepi ka kaisinana, nya maotna jadi gunung. Anu kaduakalina, karak Adam anu sampurna, anu ngarundaykeun urang Kanékés.
Saliwat mah asa pikaseurieun, tapi ana dibanding-banding jeung kanyataan ku kapanggihna tangkorék manusa purba Pithecantrophus di Pulo Jawa, laju dina naskah Pangéran Wangsakerta ogé nyaritakeun ayana manusa purba Bhutapurusa di Pulo Jawa, dongéng urang Kanékés téh jadi aya benerna. Sabab anu disebut manusa-purna atawa manusa sampurna ku Pangéran Wangsakerta dina pustakana, nya éta manusa-manusa anu daratang ti buana Kalér, tegesna ti Yawana téa. Sedengkeun di Nusantara (Kalimantan; Sumatera; jeung Jawa) harita dieusian ku manusa purba Bhutapurusa (Yaksapurusa; Yaksamantare; Wamanapurusa; jeung Wamanapurusageung/ manusa Jawa purba).
Arca Domas
Di Kanékés unggal taun aya acara muja, tempatna di Sasaka Domas. Anu dipujana taya lian: Batara Tunggal. Di Sasaka Domas aya Arca Domas tina batu.
Mun diheureuyan, “Naha urang Kanékés bet nyembah Arca Domas ?”. Jawabna kalah malikkeun, “Naha umat Islam ogé bet nyembah batu Ka’bah di Mekah ?”. Upama dijawab, “Éta mah ciri kiblat !”. Pokna téh, “Arca Domas ogé sarua, ngan ukur ciri !”.
Lebah kasedekkeun, urang Kanékés sok ngajak kompromi, “Geus baé, da sarua. Dia mah nabina Muhammad, aing mah Adam. Dia mah Sunda Téré, aing mah Sunda Wiwitan !”.
Lebah dieu, urang teu bisa nyebutkeun yén urang Kanékés téh primitip. Sabab aya konsépsi réligi anu jelas nu dianut kumaranéhna. Malah ari dilelebah mah, moal kitu anu disebut agama Sunda Wiwitan téh sarua jeung agama Hiyang di Pajajaran jeung Pitarapuja anu dibarawa ku urang Yawana ?
Pikeun ngajawabna, moal anggeus ku sabéngbatan, tapi kudu ditalungtik deui sacara ilmiah kalawan dibarengan ku haté anu jembar.
Ngan anu pasti, pangna agama Islam jadi panutan urang Sunda, sarta urang Sunda téh 99,9% Islam, bisa jadi tadina ogé geus boga konsép réligi anu sarua: Monotheismeu.
Malah najan geus kasebut Islam, urusan Pitarapuja –najan geus ngésér tina jejer asal, tapi ari lebah Hari Raya Iedul Fitri mah ku urang Sunda anu geus Islam, sok dimangpa’atkeun bari: Nyekar, ngembang ka makam almarhum-almarhumah anu jadi luluhurna.
Sadar atawa henteu, anu disebut Nyekar jeung Ngembang téh dilengkepan ku upacara “nawurkeun kembang” di luhureun makam. Béh ditu mula, kembangna téh kudu anu sareungit tur tujuh rupa. Leuwih ti béh ditu, jaman Pitarapuja, anu diawurkeun di tempat Hiyang Karuhun. Lain kembang, tapi batu-batu warna-warni.
Ayeuna oge ari palebah ziarah ka makam, tradisi nyekar jeung ngembang mah teu bisa leungit. Ngan tangtu aya bedana, jaman Pitarapuja mah kaci barangpénta ka Karuhun, ari ayeuna mah (sanggeus urang Sunda arasup Islam) teu kaci barangpénta !.


Cag.