Rabu, 18 Desember 2013

Islam dan Barus



Bahwa Ta-shi –istilah Cina untuk menyebut Arab, mempunyai seorang Buddha –maksudnya Nabi, yang bernama Ma-ha-mat –Muhammad. Dalam sehari mereka lima kali sembahyang, dan setiap tahun berpuasa selama sebulan penuh. Dinasti Ta-shi ada dua macam, yaitu Pon-ni-mo-huan –Bani Marwan dari dinasti Umayyah, serta Ta-shi yang didirikan raja A-po-lo-pa –Abul-Abbas. Pada tahun 651 Masehi, raja Ta-shi bernama Han-mi-mo-mi-ni –Amirul Mu’minin, gelar resmi para khalifah Islam, mengirimkan utusan ke istana Cina. Bahwa pada tahun 674 terdapat pemukiman pedagang Ta-shi di Po-lu-shih, daerah pantai barat Sumatera”.
Berita Cina, Hsin-Tang-shu (Catatan Dinasti Tang, 618-907), dan Chu-fan-chi (Catatan Negeri-negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua pada tahun 1225.
Barus, Kota Bertuah.

Barus dan Fansur
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer Selatan Medan. Barus saat ini hanya sebuah ibukota kecamatan, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Begitu juga dengan Desa Lobutua –sekitar 4 km ke arah Barat dari Kota Barus, juga layaknya sebuah desa, yakni: sepi.
Barus, pesisir Barat Sumatera.
Sebagai emporium –pelabuhan niaga samudera, Barus (Lobu Tua) diperkirakan sudah ada sejak 3.000 tahun sebelum Masehi. Bahkan, ada memerkirakan lebih jauh dari itu sekiar 5.000 tahun SM. Perkiraan itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummi Fir'aun Mesir Kuno salah satu pengawetnya menggunakan kanper/kamper atau kapur Barus. Getah kayu itu yang paling baik kualitasnya, kala itu hanya ditemukan di sekitar Barus.
Berdasarkan arsip-arsip tua berasal dari kitab suci, misalnya di Injil Perjanjian Lama, menceritakan Raja Solomon –Nabi Sulaiman as, memerintahkan rakyatnya melakukan perdagangan dan membeli rempah-rempah hingga ke Ophir. Ophir patut diduga sebagai Barus/Lobu Tua. Perkiraan itu punya jejak spiritual berbentuk kepercayaan monotheisme. Misalnya Ugamo Parmalim yang menjadi agama asli etnis Batak, meyakini Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan Ompu Mulajadi Na Bolon.
Seorang pengembara Yunani Claudius Ptolomeus mencatat perjalanannya hingga ke Barousai –Barus, sekitar tahun 70 M. Dalam bukunya –Geographike Hyphegesis ia menuliskan nama negeri Barousai di Chryse Chora (Pulau Emas) –oleh van der Meulen disimpulkan sebagai Sumatera. Pencatat sejarah Yunani –yang menjadi gubernur di Iskandariah/ Alexandria-Mesir itu menyebutkan bahwa selain pedagang Yunani, pedagang Venesia, India, Arab dan Tiongkok juga lalu lalang ke Barus untuk mendapatkan rempah-rempah. Bandar niaga bernama Barousai itu menghasilkan wewangian dari kapur barus. Diceritakan, kapur barus yang diolah dari kayu kamfer –kanper dari Barousai itu merupakan salah satu bahan pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Fir’aun sejak Ramses II, atau sekitar 5.000 tahun Sebelum Masehi.
Pada arsip tua India "Kathasaritsagara" sekitar tahun 600 M, mencatat perjalanan seorang Brahmana mencari anaknya hingga ke Barus. Brahmana itu mengunjungi Keladvipa –pulau kelapa, diduga Sumatera, dengan rute Ketaha –Kedah, menyusuri pantai Barat hingga ke Karpuradvipa –Barus.
Bangsa Tiongkok sejak lama mengenal Barus sebagai Po Law Che. Misalnya, dari catatan Hsuan Tsang dari era Dinasti Tang tahun 645 M dan pengembara I Tcing, tahun 685 M.
Pedagang Arab memasuki Barus sekitar 627-643 M atau sekitar tahun 1 Hijriyah, dan menyebarkan agama Islam di daerah itu. Di antaranya Wahab bin Qabishah mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekitar tahun 634 M. Sejak itu, tercatat bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya "Silsilatus Tawarikh”.
Tome Pires –penjelajah Portugis yang melakukan perjalanan ke Barus awal abad ke-16 mencatat Barus sebagai pelabuhan yang ramai dan makmur. "Kami sekarang harus bercerita tentang Kerajaan Barus yang sangat kaya itu, yang juga dinamakan Panchur atau Pansur. Orang Gujarat menamakannya Panchur, juga bangsa Parsi, Arab, Bengali, Keling, dst. Di Sumatera namanya Baros (Barus). Yang dibicarakan ini satu kerajaan, bukan dua," demikian catatan Pires.
Penjelajah terkenal bangsa Italia Marcopolo menjejakkan kakinya di bandar perniagaan itu pada 1292 M. Sedangkan sejarawan muslim ternama Ibnu Bathuthah dari Maroko mengunjungi Barus pada 1345 M. Berikutnya pelaut Portugis berdagang di Barus pada 1469 M. Sedangkan pedagang dari berbagai belahan dunia lain menyinggahi Barus, tercatat dari Ceylon (Sri Lanka), Yaman, Persia, Inggris dan Spanyol.
Pada tahun 1872 GJJ Deutz seorang bekas kontrolir Belanda, banyak menemukan pecahan batu –batu Lobutua, peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut. Batu bersurat itu bertahun Saka 1010 atau 1088 Masehi di zaman pemerintahan Raja Cola yang menguasai wilayah Tamil, India Selatan. Prasasti itu dengan tulisan Tamil menyebutkan bahwa paling sedikit sejak abad ke-11, telah bermukim di kota Barus sebuah koloni bangsa Tamil. Mereka tergabung dalam sebuah perusahaan bernama “kelompok 500″ yang tidak asing lagi bagi orang-orang India waktu itu. Perusahaan swasta yang mereka wakili, merupakan perusahaan dagang cukup kuat, merdeka dalam tindakan dan tidak gampang tunduk pada salah satu raja yang berkuasa di sekitar Barus. Perkumpulan dagang suku Tamil sebanyak 1.500 orang di Lobu Tua itu memiliki pasukan keamanan, aturan perdagangan, dan ketentuan lainnya. Mereka yang berdiam di Barus inilah yang membeli beberapa hasil dari rakyat –utamanya kapur barus untuk diekspor ke luar negeri. Lobu Tua di Barus ini, ditinggalkan secara mendadak oleh penghuninya pada awal abad ke-12 sesudah kota tersebut diserang oleh kelompok yang dinamakan Gergasi.

Masuknya Islam ke Nusantara
Makam Mahligai, Barus.
Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Islam masuk ke Barus pada tahun 1 Hijriah –berdasarkan penemuan batu nisan Syekh Rukunuddin, di komplek pemakaman Mahligai. Batu nisan itu menginformasikan Syekh Rukunuddin wafat dalam usia 100 tahun, 2 bulan dan 22 hari pada tahun "ha"-"mim" Hijratun nabi. "ha"-"mim" ditermahkan sebagai  8 - 40 yang kemudian dijumlahkan menjadi 48 H. Perhitungan itu berdasarkan Ilmu Falak –astronomi dari Kitab Tajul Muluk. Namun pandangan itu disangkal, dengan alasan: bukti nisan tidak dapat dijadikan dasar penentuan. Alasan lainnya, dua huruf ‘Ha’ dan ‘mim’ yang menunjukkan tahun di batu nisan itu bukan 48 H melainkan 408 Hijriah. Untuk nama, memang harus dijumlah tapi untuk tahun harus dipadukan, sehingga menjadi 408 Hijriah.
Barus, Perkampungan Arab-Islam di pesisir Barat Sumatera.
Makam Papan Tinggi, Barus.
Perhitungan masuknya Islam di Barus itu, didukung pula dengan temuan 44 batu nisan penyebar Islam di sekitar Barus bertuliskan aksara Arab dan Persia. Misalnya batu nisan Syekh Mahmud di Papan Tinggi. Makam dengan ketinggian 200 meter di atas permukaan laut itu, hingga kini ada sebagian tulisannya tidak bisa diterjemahkan –disebabkan tulisannya merupakan aksara Persia kuno yang bercampur dengan aksara Arab. Syekh Mahmud berasal dari Hadramaut, Yaman, merupakan ulama besar. Sedangkan batu nisan menjadi pertanda makam itu banyak ditemukan di India. Sejarawan Belanda Dr. Ph. S. Van Roenkel menyatakan Syekh Mahmud merupakan penyebar Islam pertama sekitar 1.000 tahun lalu berhasil mengajak masuk Islam Raja Guru Marsakkot. Namun, karena hal itu tidak disukai kalangan kerabat Raja Batak, ulama itu kemudian dibunuh, sehingga terjadi huru-hara besar di daerah itu. Syekh Mahmud berasal dari Hadramaut, Yaman, diperkirakan datang lebih awal dari Syekh Rukunuddin, yakni pada era 10 tahun pertama dakwah Rasulullah Muhammad SAW di Makkah. Masa kedatangan ulama –yang diduga kerabat dan sahabat nabi itu, membawa ajaran Islam Tauhid tanpa Syari’at. Itu sebabnya di makam itu belum ada penanggalan, melainkan sabda Nabi bermakna tauhid. Selain itu, ketinggian makam itu dibanding 43 makam bersejarah lainnya, menjadi alasan terdahulunya kedatangan Syekh Mahmud ketimbang para penyebar Islam lainnya. Karena Barus, laut dan pantainya di perbukitan Bukit Papan Tinggi sekitar 200 meter di atas permukaan laut. Atau paling tidak dulunya daratan ini masih rawa-rawa dalam. Seiring dengan perubahan ekologis, laut atau rawa-rawa itu jadi daratan. Bukti pendukung teori itu disebutkan banyaknya ditemukan batu karang di daratan Barus sekarang, jika penggalian dilakukan hanya semeter dari permukaan tanah. Dengan demikian, Syekh Mahmud merupakan penyebar Islam pertama, sedangkan 43 ulama lainnya merupakan pengikut dan murid-muridnya. Ke-43 makam ulama penyebar Islam itu di antaranya: makam Syekh Rukunuddin, Tuanku Batu Badan, komplek Bukit Hasang, Tuanku Ambar, Tuan Kepala Ujung, Tuan Sirampak, Tuan Tembang, Tuanku Kayu Manang, Tuanku Makhdum, Syekh Zainal Abidin Ilyas, Syekh Ahmad Khatib Siddiq, dan makam Imam Mua’azhamsyah. Selanjutnya makam Imam Chatib Miktibai, Tuanku Pinago, Tuanku Sultan Ibrahim bin Tuanku Sultan Muhammadsyah Chaniago, dan makam Tuan Digaung, serta beberapa makam lainnya. Kesemua makam dari 43 ulama itu berada di Barus dan sekitarnya.
Selain itu, keberadaan Islam di Barus, berhubungan langsung dengan Islam di Aceh. Beberapa temuan arsip kuno menunjukkan adanya tiga ulama Islam terhubungkan antara Barus dan Aceh. Misalnya, keberadaan ulama terkenal Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin as Sumatrani paham keagamaan mereka berseberangan dengan Syekh Abdul Rauf as Singkili. Diyakini banyak sejarawan Islam, kedua ulama terdahulu bermukim dan menyebarkan pahamnya di Barus, setelah paham Wujudiah mereka mendapat serangan dari Syekh Abdur Rauf as Singkili dan tidak diakui di Kerajaan Islam Samudera Pasai Aceh.

Kapur Barus dan Kemenyan, melambungkan nama Barus
Kota Barus ini segera membawa ingatan kita pada kapur barus –kamfer dalam bahasa Belandanya, mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab. Begitu pula kemenyan –beruoe dalam bahasa Belanda, mungkin dari kata Arab (lu) ban-jawi atau kemenyan Sumatera. Kapur barus dan kemenyan tersebut sudah lama sekali diekspor dari Barus di samping hasil-hasil lainnya seperti: emas, gading gajah dan cula badak. Tetapi, kapur barus yang paling penting, sebab komoditi inilah yang membuat kota Barus begitu terkenal di dunia waktu itu. Kapur barus asal kota Barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebi mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain –Marco Polo pernah menyebut, harga kapur barus seperti emas dengan berat yang sama. Dapat dibayangkan bagaimana majunya sebuah daerah yang memegang monopoli suatu komoditas –kapur barus dan kemenyan yang sangat dicari “dunia maju” tempo dulu, baik di Asia maupun Afrika bagian utara dan mungkin di Yunani. Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu, yaitu: kapur barus dari Kalimantan dan Sumatera –Dryobalanops aromatica, kapur barus dari China dan Jepang –Cinnamomum Camphora, yang banyak beredar di pasaran dan yang ketiga adalah Blumea balsamifera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal dari kapur barus China dan Jepang –Hobson-Jobson, Glossary of Anglo-Indian Words and Phares.
Barus dalam media cetak
Tempat yang menghasilkannya memang terbatas, yaitu di kawasan dekat sebuah anak sungai yang bernama Sungai Singkel. Hasil kapur barus dibawa ke Singkel –kini: Singkil melalui Sungai Singkel, kemudian diangkut melalui jalan darat, dan akhirnya sampai di Barus. Walau untuk ke pelabuhan Barus dari arah laut agak sulit –jika dibandingkan dengan keadaan di pelabuhan Singkel atau Sibolga, tetapi Barus tetap menjadi pelabuhan terpenting pada abad ke-16, sebagaimana dilaporkan oleh Tomé Pires. Selain kapur barus ini masih ada lagi komoditas lain, yaitu: kemenyan. Kemenyan ini tumbuh di hutan-hutan Bukit Barisan di daerah Tapanuli dan Dairi. Sesungguhnya, Dairi termasuk daerah penghasil kapur barus dan kemenyan yang diekspor melalui Barus di sepanjang sejarah Kota Barus. Barus hanyalah merupakan pelabuhan yang menjadi tempat perdagangan kapur barus dan kemenyan, tapi Dairi termasuk daerah yang menghasilkan kedua  komoditas tersebut. Di sinilah sebenarnya peranan Dairi di dalam sejarah Barus, sehingga sejarah Dairi merupakan bagian dari sejarah Barus yang sudah berlangsung sejak ribuan tahun. Sejarah Dairi, tidak dapat dipisahkan dari sejarah Barus.
Dalam naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama juga sudah menunjukkan bahwa, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi. Sementara Prof. Kern pernah menulis bahwa Kota “P’o-lu-chi” yang dimaksud I Tsing di abad ke-7, tidak lain adalah: Barus.

Kamper
Bila di Korea dan Jepang, pohon yang menghasilkannya dikenal dengan nama Cinnamomum camphora dari keluarga Lauraceae, maka kamper asli dari daerah Barus, yang disebut kapur Barus atau kapur Borneo diperoleh dari pohon Dryobalanops aromatica Gaertn, yang masuk dalam keluarga Dipterocarpaceae. Istilah yang dipakai dalam bahasa beberapa bangsa di benua Eropa untuk penyebutan kamper itu dipinjam dari bahasa Arab: kafur –dari kata alcanfar. Dalam beberapa bahasa terdahulu terdapat penyebutan yang hampir serupa, seperti kafura –dalam bahasa Sanskerta dan kapor –dalam bahasa Khmer. Berdasarkan semua alasan ini, pakar etimologi berpendapat bahwa semua penyebutan tersebut berasal dari bahasa Melayu, kapur.
Pohon Kamper, Kapur Barus.
Kapur barus atau kamper adalah zat padat berupa lilin berwarna putih dan agak transparan dengan aroma yang khas dan kuat. Zat ini adalah terpenoid dengan formula kimia C10H16O. Zat ini ditemukan dalam kayu tanaman jenis pohon laurel kamperCinnamomum camphora, pohon besar yang ditemukan di Asia, terutama di Sumatera, Kalimantan dan Taiwan, juga pohon Dryobalanops aromatica, pohon besar yang tumbuh di hutan Kalimantan. Kamper juga dapat disadap dari pohon-pohon jenis lain dari keluarga laurel, misalnya Ocotea usambarensis. Daun rosemary kering –Rosmarinus officinalis, dan keluarga tanaman mint lainnya juga mengandung hingga 20% kamper. Kapur barus juga dapat dibuat secara sintetis dari terpentin. Zat ini biasanya digunakan sebagai wewangian, sebagai bumbu makanan –hanya di India, serta sebagai cairan pembalseman, untuk keperluan obat-obatan, kimia, ataupun upacara keagamaan. Bahan pembuat kamper utama di Asia adalah selasih kamper.
Kamper, Kapur Barus.
Sebagian besar pohon kapur tumbuh di belahan utara garis 3° LU, dan hanya sebagian kecil yang tumbuh di bagian timur Pulau Sumatera. Pohon kapur tumbuh liar pada tanah datar –dengan serapan air yang baik maupun pada daerah lereng bukit di hutan tropis yang mencapai ketinggian hingga 500 meter dari permukaan laut. Umumnya pohon ini tumbuh dengan ukuran diameter batang yang besar dan membentuk barisan pohon dengan ketinggian yang relatif sama dan rata.  Diketahui bahwa pada abad ke-17, selain di daerah Barus pohon ini juga banyak tumbuh di daerah Dairi dan Kelasan yang merupakan daerah pegunungan, serta di tepi sungai Cinendang, Singkel. Ciri pohon kapur adalah batangnya yang tegak lurus dengan tinggi mencapai 60 hingga 70 meter dan diameter batang pohon minimum 70 cm. Kayu dari pohon kapur barus disenangi sebagai bahan bangunan dan perabot rumah karena mudah diolah, tahan lama, dan tidak termakan atau dirusak serangga perusak tiang-tiang kayu. Daunnya kecil, lonjong agak kebulat-bulatan, tulang daun sejajar, dan berakhir di ujung yang panjang. Unsur yang dimanfaatkan dari pohon kapur ini adalah kristal kapur dan minyak kapur. Kristal kapur diperoleh pada bagian tengah –bagian dalam batang pohon. Kedua unsur tersebut tidak selalu ada pada pohon kapur terutama pada pohon yang berusia ratusan tahun. Proses pengambilan kristal kapur meliputi beberapa tahap, mulai dari memilih dan menebang, kemudian memotong batangnya dalam bentuk balok-balok. Tidak selamanya pemilihan pohon berhasil mendapatkan barang yang dicari. Penebanganpun dilakukan secara sembarangan sebelum menemukan sebatang pohon yang berisikan cukup kapur barus. Bila kemudian ditemukan pohon yang memang berisikan cukup kapur barus, barulah dilakukan proses pengumpulan/pengambilannya. Ada dua cara untuk itu: Pada cara pertama, potongan balok kayu dimaksud dikumpulkan dan satu-persatu dibelah. Dari setiap potongan balok inilah diperoleh kristal kapur. Pengambilan kristal kapur itu juga dapat dilakukan dengan cara mentakik tiap potongan balok.  Dari satu pohon yang ditebang dapat diperoleh sekitar 1,5 hingga 2,5 kilogram kristal kapur dengan kualitas yang berbeda, yang biasanya diistilahkan dengan sebutan kapur atas dan kapur bawah. Kristal kapur yang terbaik ditemukan dalam ukuran besar berbentuk bilah-bilah kristal berwarna putih dan transparan, sedangkan kualitas yang tidak terlalu baik –kualitas rendah disebabkan karena dalam kristal kapur itu bercampur bahan lain berupa serbuk –serpihan kulit kayu pohon. Percampuran ini terjadi ketika kristal kapur diambil dengan cara menggaruk bagian permukaan batang. Untuk memisahan kristal kapur dari serbuk kayu dilakukan perendaman dalam air. Hasil rendaman dimasukkan dengan memakai saringan ke dalam wadah berbentuk lubang-lubang. Melalui proses penyaringan ini serbuk kayu akan tertinggal sehingga diperoleh kristal kapur murni. Adapun besarnya lubang saringan tergantung pada ukuran butiran kristal kapur. Untuk mempercepat proses dari bentuk cair menjadi bentuk kristal padat, hasil saringan itu dikeraskan dengan minyak kapur barus melalui proses oksidasi. Adapun cara lain pengambilan kristal kapur adalah dengan mengambil langsung dari batang pohon kapur yang keluar secara alami dari pori-pori kulitnya. Untuk pengerasan kristal kapur barus, proses yang dilakukan sama pada cara yang pertama.
1.    Kamper dalam sumber tertulis Arab
Sebuah teks berjudul: ahbar as si n wa l-hind –Catatan Mengenai Cina dan India, ditulis pada tahun 851 M. Catatan dengan tokoh utama bernama Sulayman ini merupakan catatan awal dalam sumber tertulis Arab tentang Fansur sebagai penghasil kamper bermutu tinggi.  Disebutkan di dalamnya antara lain adalah: “Dalam pelayaran ke Ceylon –Srilanka, di laut ini –Laut Harkand tidak terdapat banyak pulau tetapi tiap pulau yang dijumpai cukup luas. Walaupun tidak ada informasi terinci mengenainya, namun dapat diketahui bahwa di antaranya terdapat sebuah pulau bernama Lambri dengan beberapa raja yang berkuasa. Di pulau yang mengandung banyak emas itu terdapat sebuah tempat yang bernama Fantsour –Fansur, yakni sebutan Arab untuk Barus yang menghasilkan banyak kamper bermutu tinggi.”
Catatan lain yang sezaman dengan catatan di atas ditulis oleh Ibn Khordadhbeh. Karya berjudul: Kitab al-masalik wa-l-mamalik –Buku Tentang Jalan-Jalan dan Kerajaan-Kerajaan, itu ditulis dari sekitar tahun 850 M di Samarra –Irak. Kitab ini memberitahukan tentang semua pos-pos pergantian dan jumlah pajak di setiap provinsi. Tersebut di dalamnya bahwa: “Di antara Pulau Langabalos dan Pulau Kilah terdapat Pulau Balus yang dihuni oleh manusia kanibal. Pulau ini menghasilkan kamper yang bermutu tinggi, pisang, kelapa, tebu, dan beras.”
Kemudian dalam kamus Lisan al’-arab yang dibuat oleh ibn Manzur –ahli tata bahasa dari Mesir, meninggal tahun 1311 M, disebutkan bahwa istilah kafur selain berarti kamper juga dipakai untuk suatu ramuan bumbu yang diperoleh dari kafur al-tal’ –sejenis daun pohon palem, juga ada kafur al-karm yaitu sejenis daun dari pohon anggur.
Juga dalam karya dua sejarawan, Ibn al-Atir –meninggal tahun 1233 M dan Ibn al-Baladuri –meninggal tahun 1473 M, tercatat bahwa pada tahun 16 H/637 M, sewaktu perebutan ibu kota Dinasti Sassanid, yaitu Ctesiphon, penakluk-penakluk Arab menemukan kamper –yang semula dikira garam di antara rempah-rempah dan wangi-wangian hasil rampasan. Jika cerita ini benar, maka dapat dikatakan bahwa kamper sebagai komoditi yang dihasilkan pohon kapur sudah dikenal pada awal zaman berkembangnya agama Islam.
Adalah ahli geografi al-DimaÅ¡ki –meninggal tahun 1325 yang mencatat dalam karyanya: Nuhbat al-dahr fi a’ ga’ib al-barr wa-l-bahr –Beberapa Keajaiban di Darat dan di Laut, bahwa Fansur menghasilkan kamper yang terbaik. Selain memuat deskripsi rinci tentang cara mengambil kamper, dicatat pula bahwa kamper terbaik adalah ribahi dan fançuri yang hanya dijumpai di bagian puncak pohon atau dahan-dahan yang warnanya merah mengkilat.
Sebetulnya sebelum dikatakan dalam sumber yang disebut di atas, Al-Quran telah mencatat istilah kamper. Itu terdapat  dalam surat ke-76, Al-Insaan (manusia), yang berbunyi:  Bukanlah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut ? Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala. Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kamper/kafur, (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya.
Keterangan dari sumber tertulis Arab menyebutkan bahwa kapur barus difungsikan tidak hanya untuk pewangi saja melainkan juga dalam pengobatan, membersihkan/merempahi tubuh mayat, bahan campuran rempah-rempah. Bahan ini juga banyak digunakan sebelum maupun sesudah operasi pembedahan tubuh manusia.
2.    Kamper dalam sumber tertulis Cina
Kronik Dinasti Liang. Dalam kronik ini digunakan istilah: polü xiang untuk kamper, dan menunjuk Funan dan Langyaxiu sebagai daerah penghasilnya. Besar kemungkinan yang disebut Langyaxiu terletak di pantai timur Semenanjung Malaysia. Di Asia Tenggara, daerah ini dikenal sebagai penghasil awal Dryobalanops aromatica, sejenis kamper yang juga terdapat di Borneo dan Barus.
Youyang zazu, karya Duan Chengshi (863 M). Pada catatan tersebut kamper disebut: gubu polü –kapur Barus. Deskripsi ringkas tentang pohon kamper serta cara memperolehnya menyebutkan bahwa: pohonnya setinggi 80 hingga 90 kaki dengan lingkaran batangnya dapat mencapai enam atau tujuh jengkal. Daunnya bulat dengan sisi belakang hitam dan tidak ada bunga atau buah.
Catatan dari masa Dinasti Tang. Diketahui adanya istilah lain untuk menyebut kamper seperti: jiebuluo xiang dan jiebuluo xiang –huruf yang kedua dalam nama pertama kadangkala diganti dengan: po, misalnya poluo.
Zhufan zhi (1225 M) karya Zhao Rugua. Dalam karya tersebut dikatakan bahwa kamper berasal dari Borneo dan Binsu –silabel pertama menjadi ban dalam bahasa Kanton, yang diperkirakan sama dengan Pancur –ditulis Pansur.  Nama Pancur juga muncul dalam satu sumber tertulis yang lebih muda, dengan judul Sejarah Raja-Raja Barus. 
Kemudian dalam berita Cina lain yang berasal dari abad ke-13 juga diketahui keberadaan Sriwijaya sebagai sebuah kerajaan besar di wilayah barat Kepulauan Nusantara. Disebutkan bahwa Sriwijaya merupakan pelabuhan tempat penimbunan komiditi yang disinggahi perahu-perahu asing dan lokal. Ini memperlihatkan bahwa Sriwijaya telah memainkan peran sebagai pelabuhan antara –entreport.  Para pedagang mengambil kamper yang dihasilkan dari beberapa daerah di bawah pengaruhnya yaitu Pahang, Trengganu, Langkasuka di daerah pantai barat Semenanjung dan Tanah Melayu. Pasokan kamper juga diperoleh dari Kalimantan dan daerah pesisir Timur Sumatera, yang sayang sekali keberadaan tempat tumbuhnya pohon kapur di kedua daerah tersebut sejauh ini belum banyak diceritakan sebagaimana daerah Barus dan sekitarnya di wilayah pesisir Barat Sumatera. Selain kapur barus ada beberapa sumberdaya alam lain yang diambil untuk diekspor ke negeri Arab maupun Cina, diantaranya kayu gaharu, gading, timah, kayu eboni, kayu sapan, rempah-rempah, dan kemenyan. Adapun ekspor ke negeri Cina berupa gading, air mawar, kemenyan, buah-buahan, gula putih, cincin kristal, gelas, batu karang, pakaian kapas, cula badak, wangi-wangian, dan bumbu masak serta obat-obatan.
3.    Kamper dalam sumber tertulis Eropa
Selain sumber tertulis Arab dan Cina, sumber Eropa juga mencatat perjalanan Marcopolo ke beberapa pelabuhan di Sumatera pada tahun 1291. Dalam catatan perjalanan itu disebut nama sebuah tempat di bagian barat Pulau Sumatera, yakni Fansur. Disanjungnya bahwa kualitas kamper dari negeri Fansur –toponim yang umumnya berasosiasi dengan Barus itu sebagai yang terbaik di dunia dan harganyapun sangat mahal.
Melalui komoditi tersebut maka negeri Barus menjadi dikenal bangsa-bangsa di belahan Barat maupun Timur. Hal ini tampak melalui penyebutan kapur barus dalam berbagai bahasa yang digunakan oleh beberapa bangsa di dunia,  diantaranya adalah: camphora –bahasa Latin/Yunani,  al canfor –Spanyol, kamphor –Jerman, campher –Inggris, kafura –Arab, campgre –Perancis, kamfora –Rusia, serta haboruan –bahasa Batak.

Kemenyan, Haminjon
Kemenyan adalah getah –eksudat kering, yang dihasilkan dengan menoreh batang pohon kemenyan (Styrax spp., suku Styracaceae; terutama S. benzoin Dryand. dan S. paralelloneurus Perkins). Resin yang kering berupa keping-keping putih atau keputihan, yang terbenam dalam massa coklat bening keabuan atau kemerahan, keras namun rapuh, dan berbau harum enak. Kemenyan ini dalam perdagangan internasional dikenal sebagai kemenyan Sumatera. Kemenyan digunakan dalam industri farmasi sebagai bahan pengawet dan campuran obat batuk serta dalam industri parfum sebagai bahan baku wewangian. Secara tradisional, kemenyan digunakan sebagai campuran dupa dalam kegiatan spiritual . Kemenyan mempunyai sifat fiksatif sehingga mengikat minyak atsiri agar tidak terlalu cepat menguap. Penggunaan lainnya adalah sebagai bahan campuran dalam industri rokok klembak-menyan.
Pohon Kemenyan
Jenis komoditi unggulan yang dibudidayakan masyarakat Kabupaten Tapanuli Utara adalah tanaman kemenyan –kemenyan dalam bahasa Batak ini disebut dengan nama Haminjon. Tanaman kemenyan –haminjon termasuk dalam ordo Ebanales, famili Styracaceae dan genus Styrax spp. Terdapat dua jenis tanaman kemenyan yang diusahakan dan bernilai ekonomis yang tumbuh tersebar terutama di Tapanuli Utara. Masyarakat menyebutnya Haminjon Toba –Styrax paralleloneurum, dan Haminjon Durame –Styrax benzoin. Pohon kemenyan memiliki ukuran sedang sampai besar dengan diameter antara 20 hingga 30 cm dengan tinggi mencapai 20 hingga 30 meter. Berbatang lurus dengan percabangan yang sedikit dan kulit batang berwarna kemerahan. Kemenyan berdaun tunggal yang tersusun spiral dan berbentuk oval, bulat memanjang dengan ujung daun meruncing. Buah kemenyan berbentuk bulat dan lonjong dengan ukuran yang agak kecil. Biji berwarna cokelat terbungkus dalam daging buah yang tebal dan keras. Tempat tumbuh tanaman kemenyan bervariasi yaitu mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi pada ketinggian 60 hingga 2.100 meter di atas permukaan laut. Tanaman kemenyan tidak memerlukan persyaratan yang istimewa terhadap jenis tanah. Dapat tumbuh pada tanah podsolik, andosol, latosol, regosol dan berbagai asosiasi lainnya mulai dari tanah yang bertekstur berat sampai ringan dan tanah yang kurang subur sampai yang subur. Jenis tanaman ini tumbuh pada tanah yang berporositas tinggi sehingga mudah meresapkan air, dan pemeliharaan tanaman kemenyan yang biasa dilakukan adalah: penyiangan, pendangiran, penyulaman, pemupukan, penjarangan, dan perlindungan tanaman dari hama dan penyakit. Kegiatan ini dilakukan pada tahun pertama, kedua, dan ketiga. Penjarangan pohon pelindung perlu dilakukan secara bertahap untuk member ruang tumbuh lebih luas kepada tanaman kemenyan, agar memperoleh banyak sinar matahari. habitat tanaman ini hanya di sekitar dataran tinggi bukit barisan Sumatera Utara seperti: Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Dairi dan Tapanuli Selatan. 
Getah Kemenyan
Di Indonesia terdapat tujuh jenis atau varietas kemenyan (Styrax spp.) yang menghasilkan getah akan tetapi hanya dua jenis yang lebih umum dikenal dan diusahakan di Sumatera Utara, yaitu Styrax sumatrana J.J.SM yang disebut dengan kemenyan toba dan Styrax benzoin DRYAND yang disebut dengan kemenyan (haminjon) durame. Dari kedua jenis ini tersebut, jenis yang pertama lebih dominan karena memiliki kualitas getah yang lebih baik dan bernilai ekonomi lebih tinggi dibandingkan dengan jenis yang terakhir. Ciri khas kemenyan toba (Styrax sumatrana) adalah kandungan atau kadar asam sinamatnya cukup tinggi. Jelas bahwa jenis ini dapat menghasilkan getah kualitas pertama dengan ciri-ciri memiliki aroma yang lebih wangi, berwarna putih dan tidak lengket. Sedangkan ciri khas jenis kemenyan durame (Styrax benzoin) bahwa jenis ini dapat menghasilkan getah kemenyan seperti tahir yang memiliki kualitas getah lebih rendah dengan ciri-ciri berwarna hitam kecoklatan dan agak lengket. Ekstraksi kimia getah kemenyan menghasilkan tincture dan benzoin resin yang digunakan sebagai fix active agent dalam industri parfum. Ekstraksi kemenyan juga dapat menghasilkan beberapa senyawa kimia yang diperlukan oleh industri farmasi antara lain asam balsamat, asam sinamat, benzyl benzoate, sodium benzoate, benzophenone, ester aromatis dan sebagainya. Di negara-negara industri maju seperti negara Eropa, kemenyan (Styrax spp.) dipergunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan asam benzoate atau asam sinamat dan ester-esternya, industri farmasi (obat-obatan), industri kosmetika dan bahan pembuatan parfum, pabrik porselin, sabun, plastik sintetis, bahan pengawet pada industri makanan dan sebagainya.
Memanjat Pohon Kemenyan
Ketika memanjat pohon kemenyan, biasanya para pemanen kemenyan akan berpijak pada sepotong kayu. Begitu pula salah satu tangan, berpegangan pada kayu di atas. Kedua kayu yang terhubung dengan tali itu berfungsi sebagai tangga –piranti itu dinamakan: julu-julu. Getah pohon akan mengalir ketika batang dilukai 3 bulan sebelumnya dengan terlebih dahulu membersihkan batang dengan cuncun –besi mirip tang. Dengan demikian kulit pohon tidak akan mengotori getah karena mengalir ke kulit yang sudah bersih. Bila tidak bersih, kulit kayu dan getah akan mengering dan bersatu. Akibatnya kualitas getah turun sehingga harganya anjlok. Lalu getah melekat di lubang atau luka di kulit pohon. Sebagian lainnya meleleh di kulit pohon dan mengering. Untuk mencongkel getah, biasanya digunakan: panuktuk –semacam pisau untuk mencongkel getah yang melekat dengan pohon. Hasil cungkilan berupa getah yang mengering dan bercampur potongan kulit kayu, dimasukkan ke dalam: curu-curu –wadah terbuat dari rotan yang tersangkut di bahu. Hasil congkelan pertama menghasilkan getah berwarna putih, getah putih itu dinamakan: sidukabi –mata zam-zam. Torehan kedua itu menghasilkan getah jalur atau juror, umumya menuai getah jalur tersebut dilakukan 2 hingga 3 bulan setelah memanen mata zam-zam. Setelah itu muncul getah ketiga yang disebut tahir. Harganya jauh lebih murah daripada harga mata zam-zam dan jurur. Ada yang unik saat memanen getah pohon kemenyan, para pemanen mengucapkan mantra: “Duruhko kemenjen, duruhko kemenjen...”, agar pohon mengeluarkan banyak getah.
Cuncun, alat pembersih batang pohon kemenyan.


Rujukan:
Ambary, Hasan Muarif, 1998.   Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Drakard, Jane, 1998.  Sejarah Raja-Raja Barus, Dua Naskah dari Barus. Jakarta-Bandung: Penerbit Angkasa dan EFEO
Guillot, Claude, ed., 2002.  Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Marsden, William, 1999.   Sejarah Sumatera (diterjemahan oleh A.S. Nasution dan Mahyudin Mendim). Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Ptak, Roderich, 2002.  Kumpulan Rujukan Cina yang Mungkin Berkaitan Dengan Daerah Barus (Dari Dinasti Tang sampai Dinasti Ming), dalam Claude Guillot (ed), Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Stéphan, Nouha, 2002.  Kamper Dalam Sumber Arab dan Persia Produksi dan Penggunaannya, dalam Claude Guillot (ed), Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Tjandrasasmita, Uka, 1993. Sejarah Nasional Indonesia III, Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia (± 1500-1800). Jakarta: Balai Pustaka.
Wibisono, Sonny Chr, 1986.   Pemukiman Kuno Di Barus: Model Ekologi, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV. Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala Jakarta.




***

Rabu, 11 Desember 2013

Muslimah dari Leran



Bismillahirrahmanirrahim,
kullu man Alaiha Fanin wayabqa
wajhu rabbika dzul jala Li wal ikram
hadza qabru syahidah Fatimah binti maimun bin hibatullah (sebagian orang membacanya: hibatallah) tuwuffiyat Fi yaumi al jum’ah….min rabiul’awal (sebagian orang membacanya: rajab) wa fii sanatin khomsatin wa tis’ina wa arba’i mi’ atin ila rahmati (sebagian orang membaca kata “wa tis’ina“ dengan bacaan “wa sab’ina“) Allah…..shodaqallah al adzim wa rasulihi al karim

Batu Bersurat
Kubur Panjang, Leran.
Data arkeologis menunjukkan bahwa Islam sudah ada di Jawa pada akhir abad ke-11. Data tersebut berupa inskripsi pada bangunan makam (nisan) yang terdapat di Desa Leran, Kecamatan Manyar –delapan kilometer Utara kota Gresik - Jawa Timur. Kompleks makam Islam kuno tersebut menempati lahan seluas 2.280 m², terletak di tepi Sungai Manyar yang merupakan salah satu jalur transportasi air dari daerah pesisir menuju ke pedalaman. Kubur Panjangsesuai dengan namanya, komplek pemakaman yang berada di Desa Leran ini memiliki panjang hingga 9 meter, jauh lebih panjang dari makam-makam lainnya.
Dalam kompleks pemakaman ini terdapat salah satu makam dengan bangunan cungkup dari batu putih yang memiliki inskripsi Arab pada batu nisannya. Hasil pembacaan dari inskripsi tersebut menyebutkan nama seorang wanita yaitu: Fatimah Binti Maimun Bin Hibatullah, meninggal pada hari Jumat 12 Rabiul’awal 475 Hijriyah / 1082 Masehi (Moquette, 1921:397. Menerjemahkannya tanggal 7 Rajab 475 H atau bertepatan dengan tanggal 25 Nopember 1082).
Inskripsi nisan terdiri dari tujuh baris, berikut ini adalah bacaan J.P. Moquette yang diterjemahkan oleh Muh. Yamin, sbb.
Atas nama Tuhan Allah Yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah
Tiap-tiap makhluk yang hidup di atas bumi itu adalah bersifat fana
Tetapi wajah Tuhan-mu yang bersemarak dan gemilang itu tetap kekal adanya
Inilah kuburan wanita yang menjadi kurban syahid bernama Fatimah binti Maimun Putera Hibatullah yang berpulang pada hari Jumiyad ketika tujuh Sudah berlewat bulan Rabiul’awal dan pada tahun 475 (sebagian membaca 495 H).
Yang menjadi kemurahan Tuhan Allah Yang Maha Tinggi
Bersama pula Rasulnya Mulia
Baris pertama merupakan basmalah sedangkan baris 2-3 merupakan kutipan Surah Ar-Rahman ayat 25-26, yang umum dalam epitaf umat Muslim, terutama di Mesir. Huruf yang digunakan untuk menulis pada nisan tersebut menggunakan huruf Kuffi (Arab). Bukti tersebut menunjukkan bahwa pada sekitar abad XI sudah ada suatu komunitas Islam di sekitar Gresik. Belum diketahui secara pasti ketokohan dari Fatimah Binti Maimun Bin Hibatullah serta peranannya dalam sejarah Gresik sendiri.
Makam Fatimah binti Maimun, Leran. Cungkup makam berupa gedung tembok persegi dari batu kapur putih.
 
Makam Fatimah berada dalam kelambu, berjajar di sampingnya: makam Putri Kucing dan Putri Keling.
Makam Siti Fatimah binti Maimun, Leran Gresik-Jawa Timur.


Kuffi
Batu Bersurat, Nisan Fatimah binti Maimun.
Gaya Kuffi pada tulisan Arab di nisan tersebut menunjukkan, bahwa di antara pendatang di kawasan pantai tersebut, terdapat orang-orang yang berasal dari Timur Tengah dan bahwa mereka juga merupakan pedagang, sebab nisan kubur dengan gaya Kuffi serupa juga ditemukan di Phanrang, Champa Selatan –Kamboja. Hubungan perdagangan Champa-Jawa Timur tersebut adalah bagian dari jalur perdagangan komunitas Muslim pantai pada abad ke-11 yang membentang di bagian Selatan Cina, India, dan Timur Tengah.
Prof. DR. PA. Hoesien Djajadiningrat menyatakan, "Bukti agama Islam masuk ke Nusantara dari Iran (Persia), ialah ejaan dalam tulisan Arab, baris di atas, di bawah, dan di depan disebut Jabar, Jeer dan Pees. Ini adalah bahasa Iran. Kalau menurut bahasa Arab, ejaannya adalah Fathah, Kasrah dan Dhammah. Begitu pula huruf Sin yang tidak bergigi, sedangkan huruf Sin dalam bahasa arab adalah  bergigi, ini adalah salah satu bukti yang terang.”

Perniagaan
Di pantai Tuban banyak ditemukan kepingan uang emas dinar Arab bertarikh abad ke-9 hingga 10 masehi, yang menunjukkan bahwa lalu lintas niaga antara Jawa dan Timur Tengah sudah pesat. Akan halnya kedudukan Gresik yang istimewa itu, ahli obat-obatan bangsa Portugal, Tom Pires, yang menyusuri Utara pantai Jawa pada Maret sampai Juni 1513, mencatat dalam jurnalnya, "Mereka mulai berdagang di negeri itu dan bertambah kaya. Mereka berhasil membangun masjid dan mullah, para ulama di datangkan dari luar."
Mengenai kemampuan melaut orang Jawa, Babat Tanah Jawi versi J.J. Meinnsma menggambarkan betapa kapal layar Jawa telah mengarungi samudera jauh sampai ke negeri Sophala di pantai Afrika Timur yang berhadapan dengan Madagaskar. Penjelajahan itu terkait dengan kemajuan bidang industri pembuatan alat pertanian, seperti cangkul dan sabit, serta alat persenjataan, yakni: keris, yang bahan bakunya harus dicari sampai ke Afrika Timur. Itulah sebabnya, orang Jawa memberanikan diri berlayar ke Sophala dengan tujuan mencari bahan mentah besi yang ada di sana. Akan tetapi ahli keris B.K.R.T. Hertog Djojonegoro menyatakan bahwa yang dicari jauh-jauh itu bukan hanya besi, melainkan juga batu metorit –watu lintang atau batu bintang sebagai bahan pamor atau "kesaktian" pada keris atau tombak. Pamor yang baik ada 111, antara lain berasal dari Gunung Uhud, di Arab Saudi, misalnya pamor "Subhanallah, Alif dan Ahadiyat" yang sangat besar kewibawaannya, serta pamor "Rahmatullahi" yang mendatangkan banyak rezeki. Pengambilan pamor dari Gunung Uhud, menurut Hertog, menunjukkan bahwa suku bangsa Jawa khususnya, dan bangsa Indonesia umumnya pada masa dahulu merupakan bangsa pelaut dan pedagang yang sudah mengunjungi tanah Arab dan sudah memiliki hubungan dagang dengan banyak negeri di kawasan Timur Tengah. Diakui oleh bangsa asing melalui tulisannya bahwa dalam periode lama sebelum tarikh Masehi, orang Indonesia merupakan bangsa pelaut, bahari dan pedagang ulung yang mencapai puncaknya pada zaman Sriwijaya, Syailendra, dan Majapahit. Kemudian masih berlangsung pada masa Demak dan Mataram di bawah Sultan Agung. Keahlian membuat keris hanyalah satu dari 10 ilmu asli yang dimiliki orang Jawa: Wayang, Gamelan, Metrik (cara dan alat penimbang), Batik, Logam (dan cara mengolahnya), sistem uang, ilmu pelayaran, Astronomi (ilmu perbintangan), penanaman padi basah, dan sistem pemerintahan yang sangat teratur.

Siapakah Fatimah binti Maimun
Fatimah binti Maimun, Champa - Kamboja.
Pada saat ditemukan batu nisan (prasasti) tersebut tidak dalam keadan menancap pada tanah –sebagaimana layaknya batu nisan sebuah makam, tapi bersandar pada dinding gedung makam yang menurut cerita orang-orang setempat adalah makamnya Raden Ayu Mas Putri atau Dewi Retno Suwari yang bernama asli Aminah binti Mahmud Saddah Alam atau Mahmud Syah Alamkebenaran yang harus dibuktikan tentang 5 makam yang ada dalam cungkup (gedung makam) adalah makamnya Aminah binti Mahmud dan para dayangnya. Dan apabila “penghuni makam” tersebut adalah keluarga Syeh Maulana Malik Ibrahim, maka yang dimaksud adalah Aminah binti Mahmud Saddad Alam, yang tugasnya adalah mengajak Prabu Brawijaya masuk Islam dengan cara damai tanpa kekerasan. Dalam legenda masyarakat setempat, Dewi Suwari –Dewi Suvara atau Dewi Swara, dikenang karena suaranya yang menarik masyarakat sekitar meskipun mungkin masyarakat sekitar tidak tahu arti dari bacaan Dewi Suwari, beliau seorang pembaca Al Quran yang merdu dan mampu mempengaruhi jiwa masyarakat sekitar untuk masuk menjadi seorang Muslim. Sumber tertulis tertua yang menulis legenda mengenai seorang putri dari Leran ialah Sajarah Banten, yang ditulis tahun 1662 atau 1663. Disebutkan bahwa pada masa Islamisasi Jawa, seorang bernama Putri Suwari dari Leran ditunangkan dengan raja terakhir dari Majapahit. Moquette juga menyampaikan legenda setempat yang dicatatnya saat ia mengunjungi Leran, bahwa makam tersebut adalah kubur seorang putri raja bernama Putri Dewi Suwari, yang memainkan peranan penting di awal sejarah Islam di Pulau Jawa. Putri tersebut dihubung-hubungkan dengan Maulana Malik Ibrahim (wafat 822 H/1419 M), seorang wali terkenal yang makamnya terdapat di kota Gresik. Legenda tersebut tidak dapat diterima karena terdapat jarak 400 tahun antara kedua tokoh tersebut.
Desa Leran di Kecamatan Manyar
Versi lain menyebutkan bahwa Fatimah binti Maimun yang dikenal dengan Putri Retno Suwari adalah putri Raja Kamboja, Sultan Machmud Syah Alam. Kedatangannya ke tanah Jawa adalah untuk misi penyebaran agama Islam, dimana pada waktu itu hampir seluruh penduduk Jawa masih menganut ajaran Hindu/Budha. Belum diketahui pasti strategi politik yang digunakan, mengapa untuk penyebaran Islam di tanah Jawa tersebut harus mengirim seorang wanita untuk menyebarkan ajaran Islam
Cungkup makam beliau pun cukup unik, terbuat dari batu putih berbentuk persegi empat dengan dinding yang cukup tinggi, tebal, dan atap berbentuk limasan serta disekeliling dinding makam dihiasi lubang-lubang angin. Makam ini dikeliling oleh tembok setinggi pinggang, dengan sebuah gapura masuk yang rendah, sehingga orang harus menundukkan kepala dan membungkukkan badan ketika melewatinya, konon sebagai perlambang pemberian hormat bagi penghuni makam.
Sebenarnya, pada akhir abad XI tersebut merupakan suatu masa di antara pemerintahan raja Airlangga –yang turun tahta pada tahun 1042, dengan masa pemerintahan raja-raja Kadiri –yang mulai berkuasa pada tahun 1222. Agaknya di tengah masa antara dua mata rantai sejarah ini telah terjadi hubungan antara penduduk yang bermukim di pesisir Utara Pulau Jawa dengan para pendatang dari luar yang menyebarkan ajaran Islam di Gresik. Dapat dipastikan bahwa hubungan daganglah yang memungkinkan terjadinya pertemuan antara para pendatang yang membawa ajaran Islam di belahan Barat dengan orang dari Timur yang dahulunya banyak menganut agama Hindu dan Budha. Demikian juga dengan berita yang di buat oleh tim penelitian arkeologi, nomer 48, judulnya “laporan penelitian arkeologi di situs pesucinan kecamatan Manyar (1994-1996)“. Di situ ditemukan sebuah mangkuk keramik abad ke-10 dan 11 masehi yang di temukan berdasarkan hasil penggalian dan eskavasi di dusun pesucinan desa Leran Manyar Gresik.
Di salah satu pulau nusantara, Jawa pada zaman itu sudah terjadi interaksi sosial yang bersifat global, dan bahwa juga masyarakat Gresik telah mengenal pedagang-pedagang Islam yang bersifat penuh sopan santun dan akhlaq yang mulia, sehingga menimbulkan rasa simpati dari penduduk sekitar.
Naskah Pangeran Wangsakerta
Ahli sejarah Cirebon abad ke-17, Pangeran Wangsakerta, sebagai pangeran ketiga keraton, pernah melakukan Gotrasawala (musyawarah kekeluargaan) ahli sejarah se Nusantara menelusuri silsilah para Syekh, guru agama dan Sultan keturunan Nabi Muhammad SAW yang menjadi tokoh penyebar agama Islam di Nusantara. Wangsakerta berdiskusi dengan Mahakawi sejarah dari Pasai, Jawa Timur, Cirebon, Arab, Kudus, dan Surabaya, serta ulama dari Cirebon dan Banten. Hasilnya sebagai berikut: Rasulullah Muhammad SAW berputri Fatimah yang menikah dengan Ali bin Abi Thalib, berputra Husaian, berputra Zainal Abidin, yang menurunkan Muhammad Al-Baqir –bapak Ja'far Shadiq, berputra Ali Al-Uraidi –ayah Sulaiman Al-Basri, yang menetap di Persia, Sulaiman Abu Zain Al-Basri, yang menurunkan Ahmad Al-Baruni –ayah Sayyid Idris Al-Malik, yang berputra Muhammad Makdum Sidiq, yang terakhir ini adalah ayah Hibatullah, kakek Fatimah binti Maimun. Masih menurut penelusuran itu, Fatimah menikah dengan Pria bernama Hassan yang berasal dari Arab bagian Selatan.
Sedangkan pasangan peneliti H.J. de Graaf dan Th. Piqeaud menghubungkannya dengan tradisi Lisan Jawa, tentang putri Leran atau putri Dewi Swara. Dalam kaitan ini, kedua pakar Belanda ini juga menerima anggapan bahwa Gresik merupakan pusat tertua agama Islam di Jawa Timur. Dengan demikian, tidak mustahil Fatimah binti Maimun itu pendakwah Islam pertama di Tanah Jawa, bahkan sangat boleh jadi di Nusantara.
Namun ada penulis yang menyatakan, kakeknya pedagang dari Timur Tengah, Hibatullah, menetap di Leran, dan menikah dengan wanita setempat, bahkan di duga sudah membangun masjid.
Leran
Cendikiawan Muslim Oemar Amin Hoesin, misalnya berpendapat, di Persia itu ada satu suku namanya "Leren", suku inilah yang mungkin dahulu datang ke tanah Jawa, sebab di Giri ada kampung Leren juga namanya. Begitu pula, ada suku Jawi di Persia. Suku inilah yang mengajarkan huruf Arab yang terkenal di Jawa dengan huruf Pegon.
Moh. Hari Soewarno mencatat, Leran sebenarnya nama suku di Iran. Mungkin Fatimah berasal dari Parsi (Persia), sebab data itu bisa dibandingkan dengan data lain di Iran sendiri. Di sanapun terdapat desa yang namanya Jawi, sehingga dapat di tarik kesimpulan, pada abad ke-11 itu sudah ada lalu lintas dagang antara negeri kita dengan negeri Parsi. Peristiwa itu pasti terjadi berulang-ulang serta dimengerti banyak orang, baik di Jawa maupun di Iran. Menurutnya, orang Parsi, yang datang ke Jawa merasa kerasan, lalu menetap. Sebaliknya orang Jawa yang merasa senang di Iran lalu menetap di sana dan menamai desanya Jawi –untuk menunjukkan perkampungan orang Jawa di sana.
Jadi, dapat disimpulkan, Fatimah binti Maimun adalah orang Parsi yang menetap di Jawa –tepatnya di Gresik, lalu perkampungannya di sana hingga sekarang terkenal sebagai desa Leran. Lebih jauh diketahui, di Kediri pada Abad ke-11 sudah banyak orang membuat rumah indah dengan genting warna-warni, kuning dan hijau. Gaya rumah demikian banyak kita jumpai di Parsi. Apakah juga faktor kebetulan jika dari tanah Persia, Fatimah binti Maimun merantau ke pelabuhan Gresik, kemudian tinggal serta wafat dan dimakamkan di sana?
 
Kubur Panjang di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik-Jatim.
Bacaan:
Harkatiningsih, Naniek, dkk., 1997/1998. Laporan Penelitian Situs Pasucinan, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur, No. 48. Jakarta: Proyek Penelitian Arkeologi Jakarta.
Umiati, N.S., 2003. Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Makam Islam di Jawa Timur. Surabaya: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur.



***