Selasa, 30 Desember 2014

Garut Bangkit



Untuk melepaskan predikat tertinggal, memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tetapi, ketika semua bergandeng tangan, bahu membahu bersama-sama, tidak ada pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan. Bukan waktunya lagi untuk saling menyalahkan, kerja keras dan kerja cerdas akan menjadi kunci untuk menyelesaikan masalah. Karena pada dasarnya tidak ada daerah tertinggal, yang ada adalah daerah yang salah urus. Ayo… Garut Bangkit, Garut Berprestasi !

Kabupaten Tertinggal
Sebutan Kabupaten Tertinggal ditujukan untuk daerah yang masyarakat dan wilayahnya, relatif kurang berkembang, dibandingkan dengan daerah lainnya. Sembilan tahun sudah, Kabupaten Garut menyandang predikat daerah tertinggal –yang disematkan pemerintah sejak tahun 2005. Selain Garut, berdasarkan penilaian pemerintah, Kabupaten Sukabumi juga termasuk daerah tertinggal di Jawa Barat. Kedua kabupaten ini, masuk dalam dua kali periode target pembangunan daerah tertinggal –yakni, periode 2004-2009 dan periode 2010-2014.
Hingga di tahun 2014, Kabupaten Garut dipastikan menjadi “satu-satunya” kabupaten di Jawa Barat yang masih berstatus daerah tertinggal –menyusul keberhasilan Kabupaten Sukabumi meraih predikat terentaskan dari status daerah tertinggal di periode 2010-2014, berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal/PDT. Bagaimana tidak, Kabupaten Garut –yang menjadi daerah penyangga ibukota provinsi dan tidak begitu jauh dari ibukota negara, justru dinyatakan: jauh tertinggal.
Meski berlabel daerah tertinggal, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Garut sebenarnya tidak berada di urutan paling bawah –dari 26 kabupaten/kota se-Jawa Barat. Bahkan, IPM Kabupaten Garut di atas capaian kabupaten/kota yang tidak termasuk daerah tertinggal sekalipun. Sebagai bukti, pada tahun 2012, IPM Kabupaten Garut mencapai 72,12 poin. Nilai sebesar itu, berada di atas IPM Kabupaten Indramayu (68,89 poin); Cirebon (69,56 poin); Cianjur (70,02 poin); Karawang (70,89 poin); Majalengka (71,15 poin); Sukabumi (71,50 poin); Subang (71,78 poin); Kuningan (71,99 poin); dan Kota Banjar (72,10 poin). Demikian pula dengan Indeks Pendidikan Kabupaten Garut pada tahun 2012, sesungguhnya berada di atas raihan Provinsi Jawa Barat. Berada di angka 82,36 poin, Indeks Pendidikan Kabupaten Garut lebih tinggi 0,14 poin dari capaian Provinsi Jawa Barat. Sementara itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik Garut, jumlah sekolah dan tenaga pendidik di Kabupaten Garut –selama periode 2010-2012, mengalami peningkatan di setiap jenjang pendidikan –kecuali jenjang SMA. Jumlah sekolah pada jenjang Sekolah Dasar, mengalami peningkatan dari 1.548 unit menjadi 1.572 unit. Jenjang Sekolah Menengah Pertama, mengalami peningkatan dari 271 unit menjadi 300 unit. Begitu juga dengan jumlah tenaga pendidik, meningkat dari 12.528 menjadi 13.586 orang. Berdasarkan data inilah, Pemerintah Kabupaten Garut sempat menyampaikan permintaan agar status daerah tertinggal Kabupaten Garut dievaluasi kembali oleh Kementerian PDT. Tetapi permintaan ini, tidak mendapatkan respon dari pihak Kementerian PDT.

Kriterian Daerah Tertinggal
Penetapan daerah tertinggal, dilakukan dengan menggunakan perhitungan 6 kriteria dasar dan 27 indikator utama. Dua kriteria dasar, diantaranya: Sumber Daya Manusia –dengan indikator utama: angka harapan hidup; rata-rata lama sekolah; serta angka melek huruf, dan Kemampuan Keuangan Daerah –dengan indikator utama: celah fiskal. Dari kedua kriteria dasar itu saja, Kabupaten Garut memang masuk kriteria daerah tertinggal. Lama pendidikan warga Garut, hanya 7,37 tahun –artinya, hanya sampai kelas 1 SMP. Angka ini, terpaut 0,71 tahun di bawah capaian Provinsi Jawa Barat. Meski tingkat kecukupan fasilitas dan tenaga pendidik naik, tetapi tidak serta merta meningkatkan Rata-rata Lama Sekolah. Di sisi lain, yang lulusan sarjana, tidak lebih dari 2,1 % dari jumlah penduduk. Meski sudah banyak juga yang lulusan hingga magister (S2) maupun doktor (S3), tetapi kalau diakumulasi dengan seluruh warga Garut, maka baru mencapai kelas VII SMP. Kemudian, kapasitas fiskal 60 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Garut, masih untuk belanja pegawai, bukan untuk pembangunan. Sedangkan, APBD atau fiskal yang sehat itu adalah: 60 % untuk pembangunan.
Persentase Penduduk Usia Tahun menurut Ijasah/STTB yang dimiliki di Kab. Garut
Tahun 2012
Ijasah/STTB yang dimiliki
Jenis Kelamin
Jumlah
Laki-laki
Perempuan
Tidak punya ijasah SD
SD/MI/sederajat
SLTP/MTs/sederajat/kejuruan
SMU/MA/sederajat
SMK
Diploma I/II
Diploma III
Diploma IV/S1
23,45
43,64
17,82
9,01
2,63
0,44
0,88
2,13
28,80
42,41
17,63
6,96
1,57
0,19
0,38
2,07
26,12
43,03
17,73
7,99
2,10
0,31
0,63
2,10
Sumber: BPS Kab. Garut, Kabupaten Garut Dalam Angka Tahun 2013
Sebagaimana diketahui, unit terkecil daerah tertinggal yang digunakan dalam Strategi Nasional ini, adalah wilayah administrasi Kabupaten –hal ini sesuai dengan kewenangan otonomi daerah yang secara penuh diberikan kepada pemerintah Kabupaten. Ketertinggalan dinilai berdasarkan dua aspek, yaitu: masyarakat dan wilayah, yang dirinci menjadi enam kriteria dasar dan dua puluh tujuh indikator utama, yakni: (1) Perekonomian Masyarakat, dengan indikator utama: 1Persentase Keluarga Miskin, dan 2Konsumsi Perkapita; (2) Sumber Daya Manusia, dengan indikator utama: 3Angka Harapan Hidup, 4Rata-rata Lama Sekolah, dan 5Angka Melek Huruf; (3) Prasarana (Infrastruktur) dengan indikator utama: 6Jumlah Jalan dengan Permukaan Terluas Aspal/Beton, 7Jalan Diperkeras, 8Jalan Tanah, dan 9Jalan Lainnya, 10Persentase Pengguna Listrik, 11Persentase Pengguna Telepon dan 12Persentase Pengguna Air Bersih, 13Jumlah Desa dengan Pasar Tanpa Bangunan Permanen, 14Jumlah Prasarana Kesehatan per-1000 Penduduk, 15Jumlah Dokter per-1000 Penduduk, 16Jumlah SD-SMP per-1000 Penduduk; (4) Kemampuan Keuangan Daerah, dengan indikator utama: 17Celah Fiskal, (5) Aksesibilitas, dengan indikator utama: 18Rata-rata Jarak dari Desa ke Kota Kabupaten, 19Jarak ke Pelayanan Pendidikan, 20Jumlah Desa dengan Akses Pelayanan Kesehatan lebih besar dari 5 km dan (6) Karakteristik Daerah, dengan indikator utama: 21Persentase Desa Rawan Gempa Bumi, 22Tanah Longsor, 23Banjir, dan 24Bencana Lainnya, 25Persentase Desa di Kawasan Lindung, 26Desa Berlahan Kritis, dan 27Desa Rawan Konflik satu tahun terakhir. Penetapan Daerah Tertinggal, ditentukan dengan indeks komposit dari nilai indeks enam kriteria dasar tersebut.
Derajat besaran indeks ketertinggalan, diklasifikasikan menjadi lima kelompok yaitu: Tidak Tertinggal/Maju, Agak Tertinggal, Tertinggal, Sangat Tertinggal, dan Sangat Parah. Kategorisasi Daerah Tertinggal adalah sebagai berikut:
No
Nilai Indeks
Status
1
Indeks <  0,000
Maju
2
0,000 < Indeks <  0,500
Agak Tertinggal
3
0,500 < Indeks <  1,000
Tertinggal
4
1,000 < Indeks <  2,000
Sangat Tertinggal
5
Indeks  > 2,000
Sangat Parah
Celah Fiskal sendiri merupakan Selisih Penerimaan Keuangan Daerah dengan Belanja Pegawai.

Dalam APBD, pos Penerimaan Keuangan Daerah terdiri dari: Pendapatan Asli Daerah (PAD); Dana Perimbangan (Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus); Penerimaan Lain-lain yang sah; Pinjaman Daerah; serta Sisa Anggaran Tahun Lalu.
Namun, pos Penerimaan Keuangan Daerah yang dipakai dalam perhitungan kriteria daerah tertinggal hanya pada pos Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, DAU, dan Penerimaan Lain-lain yang sah.
Dengan demikian, Celah Fiskal di sini adalah: Penerimaan Keuangan Daerah (diluar dari DAK, Pinjaman Daerah, dan Sisa Anggaran Tahun lalu) dikurangi dengan Belanja Pegawai. Artinya bahwa Celah Fiskal ini untuk melihat berapa dana yang tersisa bagi pemerintah daerah untuk melakukan pembangunan setelah dikurang biaya tetap –yaitu, biaya yang harus dikeluarkan untuk belanja pegawai. Sementara itu, penetapan Daerah Tertinggal juga kurang memperhatikan keberadaan Daerah Otonom Baru (DOB). Asumsi yang kurang tepat, ketika DOB yang dimekarkan dari "daerah induk" yang berstatus Daerah Tertinggal, langsung ditetapkan sebagai Daerah Tertinggal. Sebetulnya perlu kajian yang lebih mendalam, karena boleh jadi dari DOB tersebut ada yang tidak tertinggal, atau sebaliknya DOB yang dimekarkan dari Non Daerah Tertinggal yang justru kondisinya lebih tertinggal yang tentunya menjadi lebih berhak untuk mendapatkan perhatian. Saat ini, masih banyak daerah yang luput dari perhatian karena kelemahan dalam penetapan Daerah Tertinggal. Gagasan untuk menghitung ulang Daerah Tertinggal, patut dipertimbangkan. Terlebih kita tahu, bahwa salah satu sumber data yang digunakan untuk menghitung kabupaten yang terentaskan menggunakan data Potensi Desa (Podes) 2011. Oleh sebab itu, untuk penetapan Daerah Tertinggal pada RPJMN 2015-2019, sangat logis dan bijak jika dihitung ulang dengan menggunakan data mutakhir.
 
 
Problema
Sejumlah kendala –baik langsung maupun tidak langsung, menjadi penghambat tersendatnya capaian Rata-rata Lama Sekolah warga Garut, yang hanya 7,37 tahun, pada tahun 2012. Kendala pertama, adalah: distribusi guru yang belum merata. Akibatnya, di satu daerah ada yang menumpuk banyak guru, dan di daerah lainnya ada yang kekurangan guru –bahkan di titik-titik daerah tertentu, sangat kekurangan guru. Kendala kedua, adalah: sarana dan prasarana pendidikan yang secara kuantitas masih kurang. Saat ini, Kabupaten Garut masih kekurangan ruang kelas –terutama untuk tingkat SMP. Selain itu juga, masih banyak bangunan SD yang perlu direhab berat atau total. Distribusi sarana pendidikan juga, menjadi permasalahan tersendiri. Aksesibilitas daya jangkau dari rumah ke sekolah, masih jauh. Kendala ketiga, sarana dan prasarana umum masih kurang. Kondisi geografis Garut yang berupa pegunungan dengan kontur medan yang naik-turun, secara otomatis akan memerlukan pembangunan ruas jalan yang cukup panjang. Jembatan juga harus banyak dibangun, karena banyaknya sungai. Sarana dan prasarana yang masih kurang tersebut, dapat menghambat warga Garut untuk mengakses sekolah. Kendala keempat, motivasi orangtua untuk menyekolahkan anaknya yang masih kurang. Secara umum, anak masih diperlukan tenaganya oleh orangtua untuk membantu pekerjaan mereka –terutama pengerjaan lahan pertanian. Bagi mereka, bila sang anak sudah bisa baca dan tulis, itu sudah cukup –dengan demikian, tidak perlu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Adapula yang keluar sekolah, karena menikah.

Upaya
Pemerintah Kabupaten Garut, sudah membuat rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2014-2019. Nantinya, setelah mendapat persetujuan bersama dengan DPRD Garut, rancangan RPJMD ini akan disahkan menjadi RPJMD 2014-2019 yang dituangkan dalam Peraturan Daerah. Tentunya, RPJMD ini berbasis data. Data dan fakta di lapangan, akan menjadi dasar membuat RPJMD maupun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Dalam rancangan RPJMD tersebut, Indeks Pendidikan –sebagai bagian dari IPM tentunya menjadi salah satu bagian yang diupayakan untuk ditingkatkan. Khususnya di bidang pendidikan, selain mengumpulkan data dan fakta dilapangan –agar pembangunan menjadi terarah dan terfokus, Pemkab. Garut berupaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan perbaikan manajemen Dinas Pendidikan. Hal ini berkaitan dengan: periodesasi kepala sekolah; penguatan/implementasi kurikulum; ataupun peningkatan kualitas guru.
Pencapaian IPM Kabupaten Garut
Tahun 2009-2013
Indikator
Pencapaian
Proyeksi 2013
Target 2014
2009
2010
2011
2012
IPM
70,98
71,36
71,70
72,12
72,73
73,85
A.    Indeks Pendidikan
82,15
82,27
82,35
82,36
83,01
83,41
Angka Melek Huruf (%)
Rata-rata Lama Sekolah (tahun)
98,93
7,29
98,94
7,34
98,96
7,37
98,98
7,37
99,28
7,57
99,32
7,74
B.    Indeks Kesehatan
67,00
67,67
68,33
68,98
69,76
69,50
Angka Harapan Hidup (tahun)
Angka Kematian Bayi (per 1.000 Kelahiran Hidup)
Angka Kematian Ibu (per 1.000 Kelahiran)
65,20
51,65

219,64
65,60
50,87

210,86
66,00
50,62

202,07
66,39
49,95

193,29
66,86
49,29

184,50
66,70
48,76

175,70
C.    Indeks Daya Beli
63,76
64,13
64,42
65,00
65,41
68,65
Kemampuan Daya Beli (Rp)
636,01
637,49
638,77
641,28
643,05
657,05
Sumber: Rancangan RJPMD 2014-2019
Berdasarkan tabel di atas, meskipun dengan kontribusi yang relatif rendah –bila dibandingkan dengan indeks daya beli dan indeks kesehatan, namun derajat pendidikan masyarakat secara makro, mengalami peningkatan. Hal tersebut terefleksi dari pencapaian nilai indeks pendidikan pada tahun 2013 yang diproyeksikan sebesar 83,01 poin, mengalami peningkatan sebesar 0,86 poin (1,04%) dibandingkan pencapaian pada tahun 2009 sebesar 82,15 poin.
Pencapaian nilai Indeks Pendidikan ini, dipengaruhi oleh nilai Rata-rata Lama Sekolah –dimana pada tahun 2013, RLS diproyeksikan mencapai 7,57 tahun, yang berarti meningkat 0,28 tahun (3,84%) dari pencapaian RLS tahun 2009 sebesar 7,29 tahun. Seperti diketahui, Rata-rata Lama Sekolah adalah jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk berusia 15 tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal. RLS turut ditentukan oleh variabel angka putus/melanjutkan sekolah, dan angka partisipasi sekolah –APM/APK pada masing-masing tingkat pendidikan.
Cara paling efektif untuk menaikkan waktu RLS, tentunya bukan dengan menyekolahkan kembali penduduk yang telah berusia lanjut, akan tetapi dengan mengupayakan agar tidak ada lagi peserta didik yang putus sekolah. Oleh karenanya, upaya yang dapat ditempuh adalah: (1) dengan memperkecil angka putus sekolah dan meningkatkan jumlah angka yang melanjutkan antar-jenjang pendidikan melalui peningkatan partisipasi dan mutu sekolah pada jenjang: pendidikan dasar; pendidikan menengah universal; dan pendidikan yang berdaya saing, (2) peningkatan mutu pendidik dan tenaga pendidikan, serta (3) penyelenggaraan pendidikan non formal, berupa: Kejar Paket A –setingkat Sekolah Dasar; Paket B –setingkat Sekolah Menengah Pertama; dan Paket C –setingkat Sekolah Menengah Atas.
Dalam rangka meningkatkan partisipasi pendidikan masyarakat, maka perlu dilakukan peningkatan aksesibilitas pendidikan, melalui pembangunan: Unit Sekolah Baru; Ruang Kelas Baru; peningkatan perbaikan/rehab sekolah; serta penyelenggaraan pendidikan SMP Terbuka (Satu Atap) –terutama di daerah terpencil. Dengan demikian, Angka Melek Huruf –sebagai salah satu variabel dari Indeks Pendidikan pada tahun 2013, diproyeksikan sebesar 99,28% –mengalami peningkatan 0,35% dari tahun 2009 yang sebesar 98,93%. Kondisi ini memberikan gambaran, bahwa: sampai dengan tahun 2013, kemampuan baca masyarakat Kabupaten Garut, terus mengalami kenaikan.
Rata-rata Lama Sekolah juga, dipengaruhi oleh tingkat responsibilitas masyarakat terhadap fasilitas-fasilitas pendidikan. Dengan demikian, RLS tidak hanya tergantung pada jumlah sekolah saja, akan tetapi, tergantung pada “ketertarikan” masyarakat untuk bersekolah. Untuk itu, dapat diintervensi dengan: mengefektifkan peran guru yang tersebar di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) untuk mengedukasi dan memotivasi masyarakat mengenai pentingnya pendidikan; penyaluran Bantuan Operasional Sekolah; beasiswa; maupun program-program lainnya.
Terakhir, jika berpisahnya 16 wilayah kecamatan dari Kabupaten Garut, menjadi Daerah Otonom Baru (DOB) Garut Selatan, kemungkinan besar dengan minus 16 kecamatan tersebut, kondisi IPM Kabupaten Garut, termasuk indeks kesehatan; daya beli; dan indeks pendidikan, akan meningkat.


***