Jumat, 28 Februari 2014

Nol Kilometer di Titik Ba'U



Sebuah lagu nasional karya R. Surarjo, awalnya bersyair: "Dari Barat sampai ke Timur, berjajar pulau-pulau", tetapi bait tersebut kemudian diubah atas masukan Presiden Soekarno tahun 1960-an saat mempersatukan Irian Barat ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahannya menjadi: ‘Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau’. Kebanggaan itu terus berakar, menanamkan kesan kuat bahwa batas Barat negara Indonesia ialah Kota Sabang dan di sisi Timur-nya ialah Kota Merauke.
Bung Karno, bukannya tanpa alasan memberikan masukan demikian. Pada dasarnya, slogan terkenal ‘Dari Sabang sampai Merauke’ yang dipopulerkan oleh Bung Karno tersebut bertujuan untuk mematahkan ucapan seorang perwira Belanda bernama Jenderal J.B. van Heutsz saat sang jenderal mengklaim ‘kemenangannya’ dalam Perang Aceh tahun 1904, yaitu “vom Sabang tot Merauke”.

Weh, vom Sabang tot Merauke
Pulau We, mirip huruf  'W'.
Pulau Wehatau: We, tanpa huruf ‘h’, adalah pulau vulkanik kecil yang terletak di Barat Laut Pulau Sumatera. Pulau Weh sendiri merupakan pulau utama dan terbesar yang terpisahkan dari daratan Aceh oleh Selat Benggala. Pulau ini pernah terhubung dengan Pulau Sumatera, namun kemudian terpisah oleh laut setelah meletusnya gunung berapi terakhir kali. Pada masa Kesultanan Aceh, wilayah Pulau Weh sendiri merupakan tempat Geupeuwehpengusiran atau dipindahkan bagi seseorang yang dikenakan hukuman berat dari kesultanan. Sebutan geupeuweh kemudian dilekatkan kepada nama pulau ini, dan seiring dengan waktu, kemudian pelafalannya menjadi Weh dan diartikan sebagai: ‘pulau pindah’ atau ‘pulau yang terpisah’. Menurut legenda dari warga di Gampong Pie Ulee Lheueh Banda Aceh, Pulau Weh sebelumnya bersambung dengan Ulee Lheue. Daratan Ulee Lheue di Banda Aceh sebenarnya adalah Ulee Lheueh –yang terlepas namun ketika ada gunung berapi yang meletus, menyebabkan kawasan ini menjadi terpisah. Menurut warga yang berasal dari Luar Nanggroe, Pulau Weh terkenal dengan nama: Pulau We –tanpa huruf H. Mungkin diberi nama Pulau We karena bentuknya seperti huruf W.
Kota Sabang berada di Pulau Weh dan merupakan Ibukotanya –karena terletak di Pulau Weh, banyak orang yang menyebut Pulau Weh sebagai Pulau Sabang. Sabang merupakan kota kecil yang indah dengan struktur tanah berbukit-bukit sehingga warga setempat menyebut kota Sabang dengan dua nama yaitu: Kota Bawah dan Kota Atas. Dari segi geografis Indonesia, wilayah Kota Sabang berada pada 95°13'02" BT hingga 95°22'36" BT, dan 05°46'28" LU hingga 05°54'28" LU, merupakan wilayah administratif paling Utara, dan berbatasan langsung dengan negara tetangga, yaitu: Malaysia; Thailand; dan India. Wilayah Kota Sabang dikelilingi oleh Selat Malaka di Utara, Samudera Hindia di Selatan, Selat Malaka di Timur dan Samudera Hindia di Barat.
Kata "Sabang" berasal dari bahasa Aceh yaitu: Saban –yang berarti, ‘sama hak dan kedudukan dalam segala hal. Hal ini dikaitkan dengan keberadaan Sabang yang dulunya banyak didatangi pendatang dari luar untuk membuka seuneubokkebun atau usaha lainnya. Pendatang tersebut berasal dari berbagai daerah dengan budaya yang berbeda –baik, sikap; nilai; maupun adat istiadat. Lambat laun terjadi asimilasi, dimana beragam perbedaan tersebut akhirnya memudar dan kedudukan mereka menjadi sama. Istilah saban ini telah lama melekat kepada Pulau Weh yang kemudian perlahan berubah penyebutannya menjadi "Sabang".
Dalam literatur lain, nama Sabang berasal dari bahasa Arab: Shabag –yang artinya, ‘gunung meletus. Mungkin dahulu kala masih banyak gunung berapi yang masih aktif di Sabang, hal ini masih bisa dilihat di gunung berapi di Jaboi dan Gunung berapi di dalam laut Pria Laot.
Menurut legenda setempat, dahulu kala, ada putri cantik jelita yang mendiami pulau ini meminta kepada Sang Pencipta agar tanah di pulau-pulau ini bisa ditanami. Sang Putri, bersedia membuang seluruh perhiasan miliknya sebagai bukti keseriusannya. Dan sebagai balasannya, Sang Pencipta kemudian menurunkan hujan dan gempa bumi di kawasan tersebut. Kemudian terbentuklah danau yang kemudian diberi nama Aneuk Laot. Danau seluas lebih kurang 30 hektar itu, hingga saat ini menjadi sumber air bagi masyarakat Sabang –meski ketinggian airnya terus menyusut. Di akhir legenda, setelah keinginannya terpenuhi, Sang Putripun menceburkan diri ke laut. Wallohu ‘alam. Meski tidak ada sumber tertulis yang jelas, keinginan sang putri agar Sabang menjadi daerah yang subur dan indah, telah dikabulkan dan menjadi kenyataan –setidaknya tercermin dari adanya taman laut yang indah di sekitar Sabang. Kondisi yang demikian kenyataannya juga telah memberi penghidupan kepada masyarakat.

Tugu Monumen Kilometer Nol Indonesia dan Titik Ba’U
Tugu Kilometer Nol di Kota Sabang
Pulau Weh yang beribukota di Kota Sabang, adalah bagian dari kepulauan Indonesia yang paling Baratmeskipun pada kenyataannya, titik paling Barat Indonesia adalah Pulau Lhee Blah yakni: pulau kecil di sebelah Barat Pulau Breuh, pulau yang termasuk dalam kelompok Kepulauan Aceh sekitar 20 meter di sebelah Barat Pulau Weh. Titik Barat sebenarnya merupakan titik yang terisolasi di sebelah Barat Desa Meulingge yang sangat sulit dijangkau. Untuk menandakan bahwa Pulau Weh adalah bagian paling Barat dari Indonesia, maka Pemerintah Daerah membangun sebuah monumen di Titik Ba’Udi lokasi paling Barat dan paling Utara dari Pulau Weh. Monumen ini dinamakan: “Monumen Kilometer Nol Indonesia“. Monumen ini berada di kawasan Gampong Iboih, Kota Sabang, Pulau Weh, Nanggroe Aceh Darussalam. Monumen di Titik Ba’U ini, berbentuk silinder –bentuk lingkaran berjeruji dengan tinggi sekitar 22,5 meter dan diameter sekitar 15 meter. Bagian tugu dicat putih, dan bagian atas lingkaran menyempit –seperti mata bor. Di puncak tugu ini, terdapat patung burung Garuda menggenggam angka Nol dilengkapi prasasti marmer hitam yang menunjukkan posisi geografisnya.
Tugu KM 0 Indonesia
Sekilas tampak tak ada yang menarik dari Tugu Monumen Kilometer Nol Indonesia ini, selain sebuah menara usang dengan tiga buah plakat prasasti. Di lantai pertama monumen terdapat sebuah pilar bulat dan terdapat prasasti peresmian tugu yang ditandatangani Wakil Presiden Try Sutrisno, pada 9 September 1997. Di lantai kedua terdapat sebuah beton bersegi empat dimana  tertempel dua prasasti yaitu prasasti pertama ditandatangani Menteri Negara Riset dan Teknologi/Ketua BPPT BJ. Habibie, pada 24 September 1997. Dalam prasasti itu bertuliskan penetapan posisi geografis KM-0 Indonesiaposisi tersebut diukur oleh pakar BPPT dengan menggunakan teknologi Global Positioning System (GPS). Prasati kedua  menjelaskan posisi geografis tempat ini, yaitu: 05054’21,99’’ Lintang Utara; 95012’59,02" Bujur Timur. Data teknis berdirinya tugu ini tertoreh di atas lempeng batu granit yang menyebutkan “Posisi Geografis Kilometer 0 Indonesia, Sabang. Lintang: 05054’21.42” LU dan Bujur: 95013’00.50” BT. Tinggi: 43.6 Meter (MSL). Posisi Geografis dalam Ellipsoid WGS 84”. Jarak tugu monumen dari pusat Kota Sabang, kurang lebih 15 km, dengan perjalanan darat.




***

Noong Bentang



Geus ti bihari –baheula, masarakat Indonesia niténan langit katut dalit jeung tradisi palintangan pikeun kapentingan: tatanén; nunjukkeun arah; nangtukeun waktu; jeung ritual kaagamaan. Ngaran-ngaran rasi béntang jeung sistim pananggalan, éta téh minangka bukti kagiatan palintangan bangsa Indonesia anu geus dilakonan ti béh ditu kénéh.

Observatorium Bosscha (Bosscha Sterrenwacht)
Awal abad ka-20, para astronom dunya mimiti sadar yén diantara béntang aya patula-patalina jeung ngabentuk sistim galaksi. Ngan hanjakal, keur naliti béntang di beulahan Bumi Kidul –Selatan acan aya nagara anu bogaeun teleskop –teleskop ukuran badag ngan aya di beulahan Bumi Kaler (Utara), utamana di Eropa jeung Amerika Utara. Ide ngawangun observatorium di Hindia Walanda, jolna ti insinyur-astronom wedalan Madiun, nya éta: Dr. Joan George Erardus Gijsbertus Voute. Tadina Voute naliti di Cape Observatory –Afrika Selatan, kulantaran pamaréntahna kurang ngadukung, antukna Voute balik deui ka Batavia. Sobat dalitna Voute, nya éta: Karel Albert Rudolf Bosschasi Raja Entéh Priangan jeung Rudolf Albert Kerkhoven, ngarojong kana pangajak Voute pikeun ngawangun observatorium.
Karel Albert Rudolf Bosscha
Pangwangunan Peneropongan Bintang Bosscha, dibaladah ku ngadegna Nederlandch Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV/Perhimpunan Ilmu Astronomi Hindia Belanda) anu dipupuhuan ku Karel Albert Rudolf Bosscha –tuan tanah di perkebunan entéh Malabar jeung Tanara anu nyanggupan pikeun nyadiakeun dana pangwangunan. Kaping 12 Séptémber 1920, rapat munggaran NISV di Hotel Homann Bandung. Sanggeusna survey, tempat nu cocog keur ngadegkeun observatorium téh nya éta di Lembang. Lahan anu legana genep hektar –meunang hibah ti kulawarga Ursone (pangusaha sapi perah Baroe Adjak), sarta luhurna 1.310 meter tina beungeut laut.
Taun 1922, mimiti pangwangunan konstruksi –keur ngawaskeun meuli instrumen observatorium, Voute jeung Bosscha méré mandat ka Observatorium Leiden. Tug nepi ka 1 Januari 1923, sabagéan geus réngsé –wangunan réngsé sagemblengna ngahontal waktu 5 taun: 1923 – 1928. Mitembeyanana diluuhan ku Gubernur Jenderal D. Fock kalayan direktur observatorium munggaran nya éta Dr. Joan George Erardus Gijsbertus Voute ku anjeun. Rancangan wangunan didesain ku Schoemaker –inyana ogé anu ngadesain: Villa Isola (IKIP/UPI Bandung); Hotel Preanger Bandung; jeung Societeit Concordia (Gedung Merdeka Bandung).
Kaping 10 Januari 1928, kakara datang teleskop dobel refraktor Zeiss (buatan pabrik optik kawentar Jérman: Carl Zeiss Jena) anu diaméterna 60 cm jeung panjang fokus 11 méter diturunkeun tina Kapal Kertosonobogana Rotterdamsche Llyod. Dua puluh tujuh peti badag –anu eusina 30 ton diakut ka Bandung ku pausahaan Kereta Api Negara (Staats Spoorwegen) kalayan haratis. Laju, ti Bandung ka Lembang diakut ku Batalyon Genie Angkatan Darat –ogé haratis. Biro Bangunan SS mancén tugas pikeun nyieun wangunan beton kubah jeung masang sagala instruménna.
Publikasi internasional Observatorium Bosscha anu munggaran, diémbarkeun dina taun 1933 –nanging teu lami, kapaksa dieureunkeun heula alatan perang dunya II.
Pangwangunan Kubah Zeiss, Voute (ngangkat topi) jeung Bosscha.
KAR Bosscha, diapit ku Voute jeung Ina (garwana Voute).
Peneropongan Bintang Bosscha jeung sabudeureunna, taun 1900-1930.
Wewengkon di sabudeureun Peneropongan Bintang Bosscha, taun 1900-1930.

Teleskop di Observatorium Bosscha
Refraktor Zeiss
Teleskop Dobel (ganda) Réfraktor Zéiss, teleskop anu ngagunakeun lénsa (réfraktor) diwengku ku dua teleskop utama jeung hiji teleskop pencari (finder). Digunakeun pikeun niténan astrométri kalayan akurat dina orde sapersapuluh detik busur keur panalungtikan orbit béntang ganda visual. Kagunaan séjéna, pikeun: nalungtik gerak béntang dina gugus béntang; ngukur paralaks béntang; sarta niténan citra detail komét; kawah Bulan; oposisi Planét Mars, Saturnus, jeung Jupiter –tepi ka kiwari, aya kira-kira sapuluh rébu data hasil paniténan béntang ganda visual.


Bamberg
Teleskop Réfraktor Bamberg, teleskop jenis lénsa (réfraktor) ieu digerakkeun maké sistim bandul gravitasi. Digunakeun pikeun ngukur fotométri samagaha béntang; niténan Bulan; jeung bintik Panonpoé –ieu teleskop gé remen digunakeun keur: pendidikan publik, noong citra kawah Bulan, citra béntang ganda visual, ogé citra planet.








Schmidt Bima Sakti
Teleskop Schmidt-Bima Sakti, teleskop anu ngabogaan sistim optik Schmidtsering disebat Kaméra Schmidt. Digunakeun pikeun kaperluan survéy langit –niténan objek langit tina panjang gelombang biru tepi ka inframérah dekat, jeung nalungtik struktur galaksi Bima Sakti.









Cassegrain, Goto.
Teleskop Goto, Jenis Réfléktor Cassegrain. Lénsa utamana, bentuk parabola, sedengkeun lénsa sekunderna, bentuk hiperbola. Teleskop ieu, bantuan ti Kementerian Luar Negeri Jepang ngaliwatan program ODA (Overseas Development Agency) taun 1989. Digunakeun pikeun ngukur kuat cahaya béntang jeung nalungtik spéktrum béntang.







Refraktor Unitron
Teleskop Réfraktor Unitron, digerakkeun maké sistim bandul gravitasi. Digunakeun pikeun motrét jeung niténan samagaha Bulan katut samagaha Panonpoé.







Teleskop Surya
Teleskop Surya, ngarupakeun teleskop Panonpoé anu diwengku ku tilu Teleskop Coronado, sumbangan ti opat lembaga: (1) Kementerian Pendidikan, Sains, dan Kebudayaan Belanda; (2) Leids Kerkhoven-Bosscha Fonds; (3) Departemen Pendidikan Nasional; jeung (4) Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Digunakeun pikeun proyéksi citra Panonpoé.













Teleskop Radio 2,3m
Teleskop Radio 2,3m, nya éta instrumen radio jenis SRT (Small Radio Telescope) anu didesain ku Observatorium MIT-Haystack, tur dijieun ku Cassi Corporation. Digunakeun pikeun nalungtik hidrogén netral di galaksi Bima Sakti, ogé pikeun nalungtik obyek-obyek jauh –sapertos, ékstragalaksi jeung kuasar.














Kaping 26 November 1928, KAR Bosscha tilar dunya. Alatan yasa-yasana, éta observatorium anu munggaran di Bumi Beulah Kidul téh dingaranan: Observatorium Bosscha.
Ieu observatorium, ping 17 Oktober 1951 ku NISV dipasrahkeun ka pamaréntah Indonesia –kiwari, keur pengelola tur fasilitatorna dipasrahkeun ka ITB. Salian ti lembaga panalungtikan, Observatorium Bosscha gé jadi sarana pendidikan formal astronomi di Indonesia tur ngagumelarkeun astronom-astronom Indonesia. Sering didongdon ku pelajar sarta warga umumna. Salaku bagéan ti Fakultas MIPA-ITB, Observatorium Bosscha ogé ngalayanan pangabutuh keur pendidikan sarjana jeung pascasarjana ITB –hususna Program Studi Astronomi FMIPA-ITB. Taun 2004, ku pamaréntah dinyatakeun sabagé Benda Cagar Budayadilindungi UU Nomor 2/1992 tentang Benda Cagar Budaya. Laju, dina taun 2008 ku pamaréntah ditetepkeun: sebagai salah satu Objek Vital Nasional yang harus diamankan. Hasil-hasil panalungtikan jeung kontribusina Observatorium Bosscha kana kamekaran astronomi dunya, mungguh diajénan pisan ku International Astronomical Union (IAU).



***

Kamis, 27 Februari 2014

Konvensi Hukum Laut



Konferensi Internasional pertama yang membahas masalah laut teritorial adalah Codification Conference pada tanggal 13 Maret hingga 12 April 1930 di Den Haag, di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa dan dihadiri delegasi dari 47 negara. Konferensi ini tidak mencapai kata sepakat, terutama tentang: batas luar dari laut teritorial dan hak menangkap ikan dari negara-negara pantai pada zona tambahan. Ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (oleh 20 negara), 6 mil (12 negara), dan negara sisanya menginginkan 4 mil. Pada tahun 1957, Indonesia mendeklarasikan penguasaannya atas laut diantara pulau-pulau di Indonesia melalui: Deklarasi Djuanda. Hal ini merupakan respon atas Ordonansi 1939 (Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie) yang dianggap tidak menguntungkan bagi Indonesia yang berbentuk kepulauan. Menurut Ordonansi tersebut, dengan hanya memiliki 3 mil laut dari masing-masing pulau, berarti ada banyak 'laut bebas' diantara pulau-pulau di Indonesia. Selanjutnya, hal ini diperjuangkan di dunia internasional. Melihat fenomena klaim kawasan laut yang bersifat 'sporadis' ini, maka pada tahun 1958 PBB merasa perlu adanya pengaturan penguasaan atas laut. Dilakukanlah Konferensi PBB Pertama tentang: Hukum Laut, pada tanggal 24 Februari hingga 29 April 1958 di Jenewa yang menghasilkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1958). Meski dianggap 'langkah maju', namun UNCLOS 1958 tidak menghasilkan keputusan tentang luas yang maksimum dari laut teritorial. Pada tanggal 17 Maret hingga 26 April 1960, diselenggarakan Konferensi PBB Kedua. Namun, konferensi gagal menghasilkan kesepakatan internasional. Konferensi ini sekali lagi gagal untuk memperbaiki luas yang seragam untuk wilayah, dan gagal menetapkan konsensus tentang 'Hak-hak Penangkapan Ikan Berdaulat'. Dalam perkembangannya, terjadi penyempurnaan hingga disepakati konvensi terbaru, yakni: UNCLOS 1982. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) –juga disebut Konvensi Hukum Laut atau Hukum Perjanjian Laut, adalah perjanjian internasional yang dihasilkan dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III) yang berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1982, ditandatangani pada 10 Desember 1982 di Montego Bay - Jamaika. Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut. Konvensi kesimpulkan pada tahun 1982, menggantikan perjanjian internasional mengenai laut tahun 1958. UNCLOS diberlakukan pada 16 November 1994, setahun setelah Guyana menjadi negara ke-60 untuk menandatangani perjanjian. Untuk saat ini, 158 negara dan Masyarakat Eropa telah bergabung dalam Konvensi.
Sedangkan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima instrumen ratifikasi dan aksesi. Perserikatan Bangsa-Bangsa menyediakan dukungan untuk pertemuan negara pihak Konvensi, PBB tidak memiliki peran operasional langsung dalam pelaksanaan Konvensi. Peran tersebut dimainkan oleh organisasi-organisasi, seperti: Organisasi Maritim Internasional, Komisi Penangkapan Ikan Paus Internasional, dan Otorita Dasar laut Internasional –yang terakhir, yang didirikan oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Hukum Laut Internasional
1.    Landas Kontinen
Landas Kontinen adalah wilayah laut dari suatu negara pantai, meliputi: dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritori sebatas landas kontinen yang merupakan wilayah kelanjutan dari daratan alamiah –hingga jarak 200 mil diukur dari garis pangkal.
Cara Mengukur Landas Kontinen:
1)   Ditarik garis lurus mulai dari garis pangkal hingga 200 mil ke arah laut.
2)   Untuk wilayah di atas 200 mil harus ditetapkan batasnya dengan cara menarik garis lurus tidak boleh lebih dari 60 mil.
3)   Untuk negara yang berbatasan, maka harus ditentukan batasnya dari tempat titik pangkal di mulai menarik garis dan di tentukan titik koordinatnya demi tercapainya penyelesaian yang adil sesuai dengan ketentuan.
4)   Peta-peta koordinat tersebut harus diumumkan sebagaimana mestinya oleh negara pantai.
2.    Hak Negara Pantai dan Negara Asing di Wilayah Landas Kontinen
Setiap negara memiliki hak-hak atas landasan kontinen. Hak negara-negara tersebut ialah sebagai berikut:
2.1. Hak Negara pantai:
1)   Hak berdaulat dengan tujuan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alam.
Negara pantai memiliki hak untuk mengeksplorasi mauapun mengekploitasi kekayaan yang ada di laut maupun tanah di wilayah landas kontinen untuk kepentingan negara tersebut. Baik itu kekayaan alam hayati –berupa makhluk hidup, seperti: ikan, kerang, dan biota laut lainnya baik untuk kepentingan komersial maupun penelitian dan kekayaan non hayati, seperti: mineral, tambang minyak bumi, gas alam, batubara, nikel, tembaga, nikel, bauksit dan lain sebagainya. Semua dapat di manfaatkan untuk kepentingan negara pantai. Negara pantai adalah negara yang berdaulat penuh atas landas kontinen.
2)   Memasang kabel dan pipa bawah laut
Semua negara pada dasarnya berhak untuk memasang kabel dan pipa bawah laut, dengan memperhatikan: tidak ada yang dirugikan dari pemasangan tersebut. Dan sebagai negara berdaulat atas landas kontinen, maka negara pantai memiliki hak untuk memasang pipa maupun kabel bawah laut dengan tidak menganggu aktivitas lainnya di permukaan laut.
2.2. Hak negara asing atas landas kontinen
1.    Hak melayari.
Setiap negara mempunyai hak untuk berlayar di atas landas kontinen, asalkan tidak berada di landasan kontinen yang terletak wilayah laut teritori
2.    Hak membuang sauh atau jangkar.
Setiap negara mempunyai hak untuk berhenti –berlabuh di tengah laut di daerah wilayah landasan kontinen.
3.    Hak memasang pipa dan kabel bawah laut.
Negara asing berhak melakukan pemasangan kabel maupun pipa bawah laut, dengan ketentuan: tidak mengganggu dan mendapat izin dari negara yang berdaulat. Sementara itu, negara berdaulat tidak boleh menghalangi pemasangan kabel dan pipa bawah laut oleh negara asing.
Pun demikian tiap negara yang melekukan kegiatan di daerah landas kontinen, tidak boleh mengganggu aktivitas pelayaran maupun aktivitas laut lainnya di atas landasan kontinen. Juga terkait pencemaran yang timbul akibat pemasangan pipa, kabel, serta eksplorasi dan eksploitasi, semua pihak negara, berkewajiban untuk merawat dan melestarikan kelangsungan kehidupan di wilayah landasan kontingen
3.    Landas Kontinen (Perbandingan Konsep UNCLOS 1982 dan Konvesi Jenewa 1958)
Cukup banyak persamaan pada UNCLOS 1982 dengan Konvensi Jenewa tahun 1958. Namun demikian, terdapat juga hal-hal yang telah dirubah atau berbeda. Namun substansial perubahan juga berdampak besar pada pengertian dan seperti apa landas kontinen suatu negara.
Perbedaan antara UNCLOS 1982 dengan terdapat pada luas wilayah teritorial. Menurut kedua pakta tersebut tentang sedimentasi lanjutan dari daratan, memang masih di sepakati namun jelas jika dalam UNCLOS di katakan luas terbatas sampai daerah di titik 200 mil dari titik pangkal, maka dalam Konvensi Jenewa sampai pada daerah berkedalaman 200 meter dari titik pangkal dan ini masih bisa bertambah sampai pada daerah yang lebih dalam –asal masih bisa di eksplorasi bahkan sampai pada daerah berkedalaman 500 meter lebih.
Beberapa persamaan yang ada dalam UNCLOS 1982 dan Konvensi Jenewa 1982, meliputi: status hukum dan hak-hak negara atas landas kontinen, baik negara pantai maupun negara asing. Meskipun dari redaksinya ada yang berubah namun pada substansialnya memiliki kesamaan pengertian tentang apa yang diatur oleh kedua pakta tersebut.
Meski ada perbedaan dari segi redaksi kata, namun dapat dipastikan status hukum dari landas kontinen adalah tidak berpengaruh apapun pada laut dan udara di atasnya. Kedaulatan negara pantai hanya sebatas memanfaatkan sumber daya yang ada di bawahnya. Untuk kepentingan negara lain di atas laut di landas kontinen, maka hak-hak tersebut tetap dijamin dan tidak ada alasan untuk menggangu hak tersebut.
Sedangkan terkait hak negara pantai dan hak negara asing, juga dia atur dan cenderung ada persamaan dari segi substansi hukum dari kedua pakta tersebut –dimana hak-haknya itu tidak ada yang berubah. Menurut kedua pakta kedaulatan dari negara pantai atas landas kontinen tersebut adalah hak untuk meng-eksplorasi dan meng-eksploitasi kekayaan alam yang ada di bawah laut dan tanah yang ada di bawahnya. Serta memasang pipa dan kabel di bawah laut dengan memperhatikan keadaan lingkungan tidak sampai mengganggu aktivitas pelayaran dan eksloitasi/eksplorasi. Jadi, sama sekali tidak mengganggu hak-hak negara asing lainnya terkait hak dari negara asing itu sendiri di atas landas kontinen, seperti: hak berlayar, hak membuang sauh atau melempar jangkar –berlabuh di daerah landas kontinen suatu negara pantai adalah tidak boleh dilarang. Demikian juga tentang hak negara lain dalam hal pemasangan kabel dan pipa bawah laut, sama sekali tidak boleh dilarang oleh negara pantai. Dan pemasangan tersebut tetap harus memperhatikan kondisi lingkungan, tidak sampai mengganggu pelayaran serta eksplorasi dan eksploitasi.
Sumberdaya yang di manfaatkan pun sama apa saja yang di atur di dalam UNCLOS maupun Konvensi Jenewa 1958. Baik pemanfaatan sumberdaya alam hayati maupun non hayati. Yakni sumberdaya sedenter yangada di bawah laut dan tanah yang ada di bawahnya. Terkait ikan bergerak dan tidak bergerak ataupun menempel pada dasar laut. Mineral yang ada di dalam tanah di bawah laut, seperti: timah, tembaga, bauksit, minyak bumi, dan gas alam.

Referensi:
1. UNCLOS 1982
2. UU No. 19 Tahun 1961 (isi: UU Ratifikasi dari Konvensi Jenewa 1958)



***