Minggu, 02 Februari 2014

Kertas Daur Ulang



Pada masa dahulu, media yang dipergunakan untuk menulis karya intelektual yang luar biasa tersebut adalah: daun lontar, kertas daluang atau dluwang, serta bambu atau kulit kayu. Dengan demikian, keberadaan kertas sebagai media karya intelektual dalam kehidupan manusia cukup penting. Karena selain sebagai dokumen pencatat ilmu pengetahuan, kertas juga berfungsi sebagai media untuk promosi perdagangan ataupun sarana untuk menyampaikan pikiran serta gagasan. Di atas permukaannyalah terletak berbagai informasi yang ingin disampaikan, misalnya: tulisan atau gambar.
Naskah Cangkuang dari kertas daluang, pohon kayu saeh.

Daluang
Kertas Daluang atau Kertas Dluwang, kertas ini, kini berkonotasi sebagai Kertas Daur Ulang. Pada masa lalu, kertas daluang atau daluwang ini digunakan sebagai media tulis menulis –selain menggunakan kertas lontar sebagai media tulis. Selain itu, kertas –yang kemudian dikenal sekarang, pada masa itu diimpor dari Cina, Arab maupun Eropa melalui perantara para pedagang –baik pedagang Belanda, Eropa, Arab dan Cina yang mengunjungi Nusantara.
Di kepulauan Nusantara hingga kawasan kepulauan di Samudera Pasifik, sejak zaman pra-sejarah, masyarakatnya memiliki keterampilan membuat bahan pakaian dari serat sejenis pohon yang dihasilkan dengan cara dipukul-pukul dan dikerjakan oleh kaum wanita. Bahan pakaian tersebut di Polynesia dikenal dengan nama Tapa, sedangkan di Sulawesi Tengah disebut dengan Fuya. Tumbuhan yang berkembang biak dengan akar rimpang atau geragih ini, sangat baik sebagai bahan baku pembuatan kain tradisional. Menurut Heyne, pakaian kulit kayu ini pada masanya sangat digemari masyarakat Nusantara –baik kaum Hawa maupun kaum Adamnya. Terlebih menjadi pakaian tidur, ia memberikan rasa teduh dan nyaman. Saat ini, masih ada beberapa suku di pedalaman Kalimantan (Dayak), Sumatera (Kubu) dan Sulawesi (Banggai) yang masih memproduksi dan memakai pakaian kulit kayu.
Menurut Rumphius –seorang etnolog, proses pembuatan daluang tidak jauh beda dengan proses pembuatan kain (pakaian) dari kulit kayu yang dibuat di pedalaman Kalimantan (suku Dayak) dan Sulawesi (Banggai). Akan tetapi proses pewarisan sistem teknologi dan pengetahuan tradisional pembuatan daluang ini telah terputus, maka dibutuhkan sebuah upaya untuk mereka-ulang proses pembuatan tersebut. Saat ini pohon tersebut ditumbuhkan lagi di daerah Garut (Jawa Barat), Ponorogo (Jawa Timur), Madura dan Sulawesi Tengah. Akan tetapi proses pewarisan sistem teknologi dan pengetahuan tradisional pembuatan daluang ini telah ”terputus”. Karena generasi berikutnya sudah tidak tertarik lagi untuk melanjutkan tradisi pembuatan daluang.
Kertas ini terbilang tahan lama, bahkan bisa berumur ratusan tahun. Hal ini terbukti dari fakta kesejarahannya setelah ditemukan beberapa naskah kuno dan perkamen kebudayaan kuno Indonesia di museum-museum di tanah air. Konon, mereka yang menggunakan serat kayu ini menjadi kertas untuk menuliskan tradisi tulis atau mantera-mantera adalah orang-orang suci. Di Bali, kertas daluang ini hanya boleh digunakan oleh kaum Brahmana, untuk kepentingan upacara ritual masyarakat Hindu sejak abad 3 SM hingga sekarang.
Sejarah kertas ini pada awalnya dikenal berfungsi sebagai alat bantu kehidupan sehari-hari, pakaian misalnya. Pada abad ke-3 SM ditemukan sebuah “paneupuk” dari batu –penumbuk kulit kayu di Desa Cariu, Kabupaten Bogor. Masyarakat jaman itu menamakannya “tapa”, yaitu hasil olahan kulit kayu yang ditumbuk untuk kebutuhan sehari-hari masayarakat di sana. Kemudian, di dalam buku Literatur of Java muncul nama Daluang pada jaman kebudayaan Hindu di Nusantara.
Kertas Daluang ini –saat itu, digunakan untuk menuliskan cerita wayang beber dalam bentuk gambar-gambar. Dan kertas Daluang ini juga digunakan sebagai pakaian pelengkap para Pandita Hindu.
Pada tahun 1970-an, masyarakat Hindu di Bali menggunakan kertas daluang untuk pelaksanaan upacara Ngaben. Daluang menjadi salah satu syarat wajib dalam pelaksanaan upacara Ngaben, yang disimpan di dalam “Kitir” berbentuk kupu-kupu yang berfungsi simbol magis. Konon, “Kitir” itu adalah medium pengantar arwah ke Nirwana. Selain itu juga terdapat “Kajang” dengan bahan dasarnya daluang ini –Kajang, bagi masyarakat Hindu Bali dipakai sebagai penutup jenazah dalam sebuah upacara.
Bagi masyarakat Pacitan Jawa Tengah, kertas daluang digunakan sebagai kertas penulisan cerita Ramayana. Kata Dalu berarti “malam” dan Wang berarti “orang”. Dalu + Wang = orang yang bekerja pada malam hari. Hal ini karena proses pengerjaan kertas daluang, dikerjakan oleh kaum Brahmana pada malam hari untuk menuliskan cerita atau teks penting di jamannya. Pada masa kebudayaan Hindu di daerah Kediri, daluang digunakan untuk menuliskan Cerita Panji untuk pergelaran wayang beber. Kemudian pada jaman ke-Islam-an di Nusantara, fungsi daluang diganti menjadi medium untuk menuliskan ayat-ayat Al-Quran atau karya seni kaligrafi. Hal ini juga terjadi di pondok pesantren Jetis Jawa Timur, bahwa kertas daluang digunakan oleh para ulama dan santri untuk menuliskan kitab-kitab.
Kertas Daluang
Produk dari kertas daluang
Selain itu, kertas daluang juga digunakan untuk membungkus tembakau. Kulit pohon saeh yang sudah di proses tidak hanya bisa digunakan untuk kertas daluang atau dijadikan sebagai map untuk menyimpan arsip di perkantoran saja, tetapi juga bisa digunakan untuk: pelapis tembok; cetak foto; pembatas buku; juga pengganti kanvas melukis. Dapat dibentuk menjadi boneka atau topi, dengan mengeringkannya di atas cetakan atau model. Uniknya, kertas daluang ini dapat digunakan beberapa kali. Dan bila ingin difungsikan sebagai kain, maka kertas itu harus dibasahi secukupnya hingga menemukan elastisitas kain pada umumnya. Hal lainnya, serat pada kertas daluang ini sangat kuat –tak mengherankan bila naskah-naskah kuno yang berumur ratusan tahun masih nampak utuh. Di Bali, daluang masih dijadikan salah satu bahan untuk menuliskan rajah dalam upacara Ngaben. Kertas daluang yang digunakan untuk berbagai keperluan tersebut, kini mulai kembali diperkenalkan kepada masyarakat. Nilai artistik tersendiri dari kertas ini –ketika menjadi karya seni rupa, menimbulkan kesan antik dan kuno.
Sangat disayangkan memang, pemerintah baru sebatas pengguna atau konsumen kertas ini, yaitu sering memesan kertas daluang untuk pembuatan sertifikat atau piagam penghargaan. Padahal kertas tradisional ini berpotensi sebagai salah satu kekayaan budaya tradisional milik kita.

Rekam Jejak
Awalnya, manusia mengungkapkan perasaan dengan cara menggambar, seperti: menggurat, mengukir, mentakik atau menoreh di atas permukaan batu, atau tulang belulang. Melalaui medium ekspresi ini, dapat diketahui bahwa kelompok piktograf dan ideograf memainkan peranan penting pada fase-fase awal sejarah kebudayaan manusia. Hali inidapat diketahui melalui obelisks yang memuat pahatan huruf hieroglyphs Mesir dan huruf-huruf Paku (cuneiform) bangsa Sumeria di daerah Sungai Eufrat dan Tigris (Irak). Media ekspresipun berubah ketika ditemukannya suatu tanaman air yang dikenal dengan nama papyrus, telah menghasilkan bahan yang lebih lunak dibanding batu atau tulang. Papyrus merupakan suatu tanaman yang sangat menarik perhatian, tangkainya tumbuh dari 10 hingga 15 kaki tingginya. Tangkainya berbentuk segitiga secara bersilangan dan di sekeliling dasarnya tumbuh beberapa daun yang berserabut pendek. Papyrus sangat halus atau merata, tanpa bonggol-bonggol dan duri-duri yang menuju pada kelompok bunga besar, nyaman dan berbentuk rumbai. Tanaman tersebut tumbuh dengan indah di tepian danau yang kecil dan sungai-sungai di bagian Afrika. Perdagangan kertas Mesir telah berkembang dengan pesat pada abad ke-3 dan berlanjut hingga abad ke-5 SM. Naskah-naskah Maya dan Aztec yang dibuat dari suatu bahan serupa kertas dengan cara memukul kulit pohon fig (ficus) dan mulberry (morus). Orang Maya menyebut kertas kulit pohonnya dengan istilah huun dan menggunakannya dalam pembuatan tabel-tabel hieroglyphic mereka. Sementara orang-orang Aztec telah membuat suatu zat yang disebut amatl dengan cara merebus lembar-lembar kulit kedalam suatu campuran yang kemudian dipukulkan dan ditorehkan pada lembaran-lembaran. Buku-buku besar tersusun dari lembaran-lembaran kayu, telah dipakai sebelum masa Homer (abad 9 SM). Bahan utamanya, berasal dari pohon citron. Setiap bagian kayu biasanya ditutup dengan suatu lapisan kayu halus tipis dari: lilin; kapur; atau plester, dan tanda-tanda atau tulisan ditorehkan pada lapisan itu dengan menggunakan sebuah logam atau tulang yang berbentuk runcing. Teknik ini memungkinkan untuk menghapuskan tulisan dengan cara pelapisan kembali lembaran-lembaran kayu tersebut. Lembaran kayu itu kemudian diikat bersama-sama dengan sabuk kulit, sehingga menjadi susunan buku yang disebut codex. Buku ini tetap dipakai hingga abad ke-14. Di Negeri Timur, tanda-tanda itu ditulis dalam bilah-bilah bambu kering yang diikat bersama-sama sehingga membentuk bundelan atau ikatan. Ukuran barang tersebut tanggung, sehingga sukar untuk menyimpannya. Setiap kali buku dipergunakan, maka tali itu harus diikatkan kembali. Orang-orang Tiongkok (Cina) dahulu kala, tidak memberikan nomor pada bilah-bilah bambu tersebut sehingga membingungkan urutannya tatkala tali pengikatnya putus atau bilah-bilah tersebut dibongkar. Orang yang menemukan kertas untuk pertama kali secara pasti tidak diketahui, meskipun dokumen-dokumen sejarah Tiongkok Lama secara hati-hati dan tegas menyebutkan Ts'ai Lun membentuk kertas pertama kali pada tahun 105 Masehi. Terlepas dari pro dan kontra tentang penemu kertas, sejarah telah mencatat: Ts'ai Lun mempersembahkan kertas hasil ciptaannya kepada Kaisar Ho Ti pada tahun 105 M. Hal ini membuat gembira hati sang kaisar, sehingga ia dianugerahi gelar kebangsawanan. Kertas ciptaan Ts'ai Lun ini, dibuat dari bahan bambu yang mudah didapat di seantero Tiongkok. Baru pada tahun 600 sesudah Masehi, pembuatan kertas mencapai Korea, dan baru sekitar 15 tahun kemudian sampai ke Jepang seiring dengan menyebarnya bangsa-bangsa Tiongkok ke Timur dan berkembangnya peradaban di kawasan itu, meskipun pada awalnya, cara pembuatan kertas merupakan sesuatu hal yang sangat rahasia. Pada akhirnya, teknik pembuatan kertas tersebut jatuh ke tangan orang-orang Arab pada masa Abbasiyah, terutama setelah kalahnya pasukan Dinasti Tang dalam Pertempuran Sungai Talas pada tahun 751 Masehi. Selama perang di sepanjang perbatasan Turkistan, sejumlah pembuat kertas bangsa Tiongkok tertangkap dan dipaksa untuk membuka rahasia profesinya kepada orang-orang Arab, sehingga di zaman Abbasiyah, muncullah pusat-pusat industri kertas (baik di Baghdad maupun Samarkand). Kemudian Samarkand menjadi wilayah pembuat kertas, karena mendapat pengetahuan baru yang diperolehnya serta didukung kondisi alamiah yang cocok untuk pembuatan kertas. Berangsur-angsur para ahli pembuat kertas pindah ke Timur, ke arah Damaskus kemudian ke Mesir dan Maroko, serta kota-kota industri lainnya, kemudian menyebar ke Italia dan India. Eropa memperoleh pengetahuan tentang pembuatan kertas, agak terlambat, yaitu pada abad ke-12 atau ke-13 melalui Itali dan Spanyol (khususnya setelah Perang Salib dan Jatuhnya Grenada dari bangsa Moor ke tangan orang-orang Spanyol). Kertas produksi Eropa (yang kemudian menyebar ke daerah-daerah jajahan Eropa), mempunyai ciri yang tidak ditemukan pada kertas Tiongkok dan Arab. Kertas Eropa memiliki watermark. Kertas tertua yang memiliki watermark, berasal dari tahun 1346 yang saat itu sudah ditemukan 271 model watermark yang berasal dari: Italia; Perancis; Switzerland; dan Jerman. Hal ini, menunjukkan sudah beragamnya jenis kertas yang diproduksi.
Pohon kayu saeh

Bahan Baku
Untuk memperoleh kertas daluang –nama Latinnya: Broussonetia papyryfera Vent, dibutuhkan bahan baku kulit kayu pohon daluang. Pohon ini merupakan tumbuhan tingkat rendah. Ia masih termasuk ke dalam keluarga Moraceae. Pohon –yang tak punya bunga dan buah ini tumbuh di Baemah Sumatera, pedalaman Sulawesi, Pulau Seram, Garut Jawa Barat, Purwokerto Jawa Tengah, Ponorogo Jawa Timur, hingga Pamekasan dan Sumenep Pulau Madura.
Serat pohon yang digunakan berasal dari pohon yang dalam bahasa Jawa dikenal sebagai glugu atau galugu, dalam bahasa Melayu-bahasa Bosamah dikenal sebagai sepukau, kemudian saeh (bahasa Sunda Jawa Barat), dhalubang atau dhulubang (bahasa Madura), daluwang atau dluwang (Solo dan sekitarnya), kembala (bahasa Sumba Utara Nusa Tenggara Timur), rowa (bahasa Sumba Barat Nusa Tenggara Timur), ambo (bahasa Baree), lingowas (bahasa Banggai Sulawesi Tengah), iwo (bahasa Tembuku), malak (bahasa Seram Maluku).
Pohon Kayu Saeh
Dalam usia 10 hingga 12 bulan, tinggi pohon itu bisa mencapai 4-6 meter dengan garis tengah batang 3-4 sentimeter. Revitalisasi kertas daluang dibutuhkan sebagai sebuah upaya penanaman pohon tersebut di daerah dengan kemiringan tanah tertentu. Pasalnya, akar pohon ini membutuhkan ruang penjalaran tersendiri untuk menumbuhkan tunas-tunas baru. Akar pohon ini yang muncul ke permukaan dan mendapat sinar matahari berpotensi tumbuhnya tunas baru. Dan umur pohon ini dapat tumbuh setinggi 6 meter dalam usia satu tahun. Satu tahun adalah umur yang ideal untuk panen. Lebih dari satu tahun, kulit pohon ini akan keras sekali dan dibutuhkan proses yang lebih dalam untuk membuat kertas daluang. Namun demikian, penanaman pohon ini tidak membutuhkan kondisi tanah khusus, karena bisa ditanam dimana saja dengan karakteristik tanah yang miring.
Distribusi/Penyebaran alaminya meliputi: Jepang, China, Indo-China, Thailand, Burma (Myanmar) dan India (Assam). Tanaman ini telah diintroduksikan ke Pulau Ryukyu, Taiwan, Filipina, Indonesia: Sumatra; Jawa; Sulawesi; Lesser Sunda Islands (Flores, Timor, Alor dan Wetar); dan Moluccas/Maluku. Juga ke New Guinea dan Polynesia. Tanaman ini ditemukan pada koleksi di kebun raya daerah subtropik dan temperate serta sudah dibudidayakan di Asia Timur, Indonesia, dan Polynesia sejak dulu.
Secara mudah Paper mulberry diperbanyak dengan biji atau secara vegetatif dengan potongan kayu atau akar, suckers, atau cangkokan. Biji sangat tidak sensitif terhadap cahaya untuk perkecambahan dan dapat berkecambah pada keadaan gelap.
Menurut K. Heyne (Peneliti Belanda) dalam buku Tumbuhan Berguna Indonesia, pohon daluang / Paper Mulberry diduga berasal dari negeri Cina. Namun bila mencermati daerah persebarannya, terbukti tanaman ini asli Indonesia (tropis). Apalagi mempertimbangkan aspek pemanfaatannya yang telah dikenal oleh masyarakat tradisional di Nusantara sebagai bahan baku kertas jaman kerajaan Nusantara. Ada beberapa spesies tanaman berbeda yang tersebar terutama yang terdapat di Garut yang berbeda dengan di Ponorogo (Jatim) atau daerah lainnya.

Tinta Gentur
Selain menggunakan kertas daluang, tradisi menulis dalam masyarakat Sunda dilakukan dengan menggunakan tinta khusus yang dibuat sendiri. Karena pembuatannya dilakukan masyarakat Kampung Gentur, Desa Jambudipa, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, maka tinta tersebut kemudian terkenal dengan sebutan Tinta Gentur. Juga di Pesantren Gentur Sukabumi Desa Jambudipa Kecamatan Warungkondang, dikenal penghasil tinta untuk ngalogat, yang terkenal dengan: Mangsi Gentur.
Tinta gentur dibuat dengan menggunakan dua jenis bahan baku utama, yakni Jelaga dan Beras Ketan. Jelaga diperoleh dengan cara membakar minyak tanah di dalam kaleng bekas cat dan kemudian asapnya ditampung dengan menggunakan kaleng yang lebih besar. Jelaga yang sudah terkumpul kemudian dihaluskan di dalam sebuah tempat yang disebut Dulang.
Bahan baku lainnya berupa beras ketan digarang di atas wajan sampai menjadi arang. Arang beras ketan tersebut kemudian disiram air panas lalu digodok sampai mendidih sehingga terbentuk santan arang yang berwarna hitam. Kepekatannya akan bertambah setelah bubur arang ketan tersebut dicampur dengan Jelaga yang sudah dihaluskan.
Sebelum digunakan sebagai tinta, cairan berupa tinta berwarna hitam tersebut disaring dengan kain lalu di dinginkan. Cara pembuatan tinta di Garut agak sedikit berbeda, terutama dalam penggunaan bahan baku. Di Garut, bahan baku jelaga diperoleh dari merang –batang malai padi yang dibakar sampai menjadi arang.

Proses Pembuatan
Masih menurut Heyne –berdasarkan berita dari Rumphius, seorang ahli yang bergerak di bidang Etnologi, proses pembuatan kertas daluang tidak jauh beda dengan proses pembuatan pakaian kulit kayu yang dibuat di pedalaman Kalimantan (Dayak) dan Sulawesi (Banggai); serta tidak jauh berbeda dengan proses pembuatan Lulub (sejenis tali tradisional yang bahannya dari kulit kayu pohon Waru dan pohon Tisuk) dan Tas Koja di suku Baduy. Untuk proses pembuatannya, diperlukan adanya beberapa alat dan kelengkapan, antara lain yaitu:
1.      Golok, dipergunakan untuk menebang pohon saeh Paper Mulberry yang disiapkan untuk dijadikan sebagai bahan baku pembuatan kertas,
2.      Pisau, dipergunakan untuk menguliti batang pohon,
3.      Ember, dipergunakan untuk merendam dan mencuci kulit kayu,
4.      Pameupeuh sejenis alat pemukul, dipergunakan untuk penyamakan kulit kayu, terbuat dari campuran logam kuningan dan tembaga yang dicor dengan panjang 10 cm dan lebar 4 cm. Bentuk dari alat ini menyerupai trapesium, dan pada bagian yang mendatar terdapat alur berlekuk yang berjumlah antara 7-9 jalur; sejajar dengan panjang badan, terdapat lubang memanjang yang berfungsi untuk memasukkan tangkai pegangan,
5.      Balok kayu, sebaiknya terbuat dari kayu pohon Nangka, hal ini karena selain jenis kayu ini keras, juga tidak mempunyai getah yang mengganggu proses penyamakan. Balok kayu ini digunakan sebagai bantalan,
6.      Daun pohon Pisang, digunakan untuk pemeraman kulit kayu hasil penyamakan,
7.      Batang pohon Pisang, dipergunakan untuk menjemur kulit kayu hasil pemeraman, dan
8.      Tempurung Kelapa, untuk meratakan serat kulit kayu dan membuang kelebihan lendir pada waktu penjemuran.
Proses pembuatan kertas daluang dari pohon saeh
Mengenai cara pengolahan kertas daluang ini, pernah pula dikemukakan dalam Teysmannia 1898 (hal. 553) oleh De Wolff van Westerrode dalam Heyne (hal. 662) bahwa: di Pulau Jawa, pohon ini tidak boleh berumur lebih dari 2 tahun. Pada waktu itu, pohon ini telah mencapai tinggi 6 meter dengan diameter batang sekitar 20 cm. Pohon yang lebih muda atau tua, tidaklah baik untuk bahan pembuatan kertas. Setelah ditebang, batang pohon ini dibagi-bagi menjadi beberapa potongan pendek, bagian ini sekitar 1/3 panjang dari kertas yang akan dibuat. Selanjutnya kulit kayunya diambil, diratakan dan diiris-iris menjadi sobekan yang lebarnya antara 5-6 cm. Dari sobekan kulit tersebut, diambil bagian luar yang tidak berserat, kemudian diletakkan di atas balok kayu, dan dipukuli satu per satu.
Kulit kayu yang telah dipukuli dan mencapai lebar 2 kali dari panjang semula, kemudian direndam di dalam air selama setengah jam, untuk kemudian dicuci dan diperas; selanjutnya bahan tersebut dilipat secara membujur dan dipukuli lagi hingga lebarnya mencapai sekitar 50 cm, lalu dijemur di terik matahari sampai kering. Setelah kering kemudian direndam, diperas, dilipat dan digulung dalam daun pisang yang segar selama 5-6 hari untuk proses pemeraman sampai mengeluarkan lendir.
Setelah pemeraman selesai, kemudian diratakan di atas papan dan ditekan beberapa kali dengan tempurung kelapa yang bersisir, lalu dengan tempurung kelapa yang halus, dan diakhiri dengan daun nangka yang telah layu. Bahan tersebut kemudian dibentangkan pada sebuah batang pohon pisang dan dijemur di bawah terik matahari sampai mengering dan mengelupas dengan sendirinya. Dengan cara dipukul-pukul pameupeuh, bisa membuat kulit pohon saeh menjadi lembaran kertas sesuai dengan ketebalan yang dikehendaki. Dari kulit saeh selebar 20 cm, dapat membuat layar untuk wayang beber berukuran 1 meter x 2 meter tanpa sambungan.
Daluang merupakan produk kertas yang berasal dari kulit pohon saeh yang pembuatannya dilakukan dengan metoda kempa. Dalam bahasa asing metoda ini juga disebut beaten bark (kulit kayu yang dipukul). Metoda ini sebetulnya tidak eksklusif, banyak daerah lain di dunia yang melakukan pembuatan kertas ataupun tekstil dari kulit kayu dengan cara pengempaan. Jepang, Cina, dan Hawaii adalah beberapa negara yang memiliki juga tradisi beaten bark, baik untuk pembuatan cloth maupun paper. Selain dengan metoda kempa, serat saeh juga dapat dibuat kertas dengan metoda saring/ pulping.

Kampung Tunggilis sebagai Cagar Budaya Pembuatan Daluang
Tradisi pembuatan kertas daluang sampai saat ini masih hidup di kampung Tunggilis, Desa Cimanuk-Cinunuk, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut. –meski tak langsung, mereka disebut-sebut sebagai pewaris tradisi itu. Mereka juga masih punya golok khusus tebas, golok khusus potong, pisau kujang untuk kulit kayu daluang, tasbih batu 200 biji dan kitab yang diwarisi turun-temurun dan tiga buah pameupeuh sebagai alat bantu produksinya; –pameupeuh adalah sejenis alat pemukul yang digunakan ketika penyamakan kulit kayu, terbuat dari campuran logam kuningan dan tembaga yang dicor dengan panjang 10 cm dan 4 cm.
Mereka hanya membuat kertas daluang berdasar pesanan dan dalam jumlah terbatas, itu pun tak bisa menjadi sumber pendapatan keluarga. Dalam pembuatan kertas daluang, sama sekali tak dipakai teknologi yang rumit apalagi canggih. Daluang dibuat dengan teknologi dan peralatan yang sangat sederhana, proses pembuatannya pun dilakukan secara manual dengan cara: disamak; diperam; dan dijemur di terik matahari.
Meskipun begitu, kertas ini amat bijak dijadikan sebagai salah satu contoh kekayaan kearifan tradisional masyarakat Nusantara –terutama proses pembuatannya, alat-alat, dan tinta sangat khas dibandingkan dengan daerah lain yang menghasilkan kertas pada jamannya.
Perihal pembuatan daluang di Garut terdapat dalam uraian singkat yang ditulis oleh sejarahwan Belanda, Noorduyn, yang diterbitkan dalam majalah BKI. Dalam uraiannya itu, ia merujuk pada berita singkat dari Haksan Wirasutisna, yang dimuat dalam majalah mingguan berbahasa Sunda Parahiangan (Balai Pustaka) yang terbit pada tanggal 17 April 1941, dimana antara lain ditulis, bahwa: di kampung Tunggilis, desa Tegalsari kecamatan Wanaraja, yang berjarak 7 km dari kota Garut, pada waktu ada seorang petani bernama Bisri yang membuat daluang dari Kulit Kayu bernama Saeh (Broussonetia Papyrifera) yang keterampilannya dibuat secara turun-temurun dari leluhurnya dari Kediri Jawa Timur. Karena Pohon Saeh tidak banyak terdapat di kampungnya, dia mencari bahannya dari kawasan lain seperti: Lebakjero dan Ngamplang di Kabupaten Garut serta dari Majalaya dan Cicalengka di Kabupaten Bandung. Hasilnya berupa Kertas Daluang atau Kertas Saeh diperdagangkan di kantor-kantor pemerintah di Jawa Barat, antara lain: Garut, Bandung, Cianjur bahkan hingga Jakarta. Beberapa keterangan menuliskan bahwa pada tahun 1960-an kertas daluang masih dibuat orang dan diperjual-belikan sebagai pembungkus buku untuk para pelajar di daerah Garut.
Ketika Gunung Galunggung di Tasikmalaya meletus, penduduk kampung Tunggilis ditransmigrasikan ke luar Jawa –termasuk orang-orang yang terampil membuat daluang. Maka sejak tahun 1985, belum ditemukan lagi orang-orang sebagai pengrajin daluang di kawasan itu.
Diketahui saat ini hanya ada dua daerah saja yang mampu menghasilkan kertas daluang yaitu: Garut dan Ponorogo. Pembuatan kertas Daluang di daerah Ponorogo pernah diuraikan dalam risalah yang ditulis oleh Kepala Bagian Kerajinan (Hoofd der Afd. Nijverheid) dan dimuat dalam Indische Gids tahun 1894 dan Indische Mercuur pada tahun 1923. Kini, kertas daluang Ponorogo disinyalir mulai kehilangan pewarisnya dan jenis pohon Saeh –sebagai bahan baku pembuatan daluang asli Ponorogo, turut hilang.
Pohon saeh rupanya tak hanya terdapat di Tunggilis, selama April-Juli 1998, menurut Tedi Permadi dari Kelompok Bungawari, ditemukan 710 batang benih pohon saeh yang tersebar di empat kampung lainnya. Semua kampung itu berada di wilayah Kabupaten Garut, Jawa Barat. Benih dari daerah ini kemudian disebarkan ke daerah lain sebagai uji coba bahan pengamatan.
Pohon saeh, termasuk tumbuhan yang mudah dibudidayakan hanya dengan memanfaatkan akar rimpangnya. Di dalam akar rimpang tersebut terdapat semacam jaringan tumbuh. Apabila terkena sinar matahari, jaringan itu akan terangsang berfotosintesis dengan mengeluarkan tunas baru. Kelompok Bungawari melakukan percobaan di atas lahan seluas sekitar 1.680 meter persegi, di Desa Lembang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, untuk mengembangkan pohon saeh. Tempat itulah yang kini dia rencanakan menjadi lokasi konservasi budaya, sekaligus laboratorium lapangan bagi kepentingan ilmiah
Dengan melestarikan daluang, pada dasarnya tidak semata-mata melestarikan: budaya; sistem pengetahuan; dan teknologi tradisional saja, tetapi juga aset negara yang hanya tersisa di kampung Tunggilis Garut. 
Yang membuat kertas daluang menarik –selain masalah sentimental tradisi adalah kualitas yang mampu dihasilkan dari serat ini dinilai berbagai kalangan sangat baik. Dengan teknik pembuatan yang baik, produk yang dihasilkan memiliki permukaan yang mampu tulis bahkan mampu cetak dengan menggunakan mesin pencetak (printer) biasa. Kekuatan seratnya pun sangat kuat, tidak mudah sobek dan sudah terbukti tahan lama. Namun perlu disadari bahwa kelestarian daluang akan sangat tergantung kepada usability serta tentu jangkauan penggunaan yang lebih luas oleh berbagai kalangan. Tidak ada artinya usaha-usaha konservasi tanpa adanya kesinambungan dan keinginan untuk menggunakan kertas atau produk tersebut secara lebih besar-besaran sehingga daur produksi dapat berputar. Semoga…
Lembar Kertas Daluang



***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar