Senin, 16 Februari 2015

Otonomi Kolonial



Sebelum politik Etis (Trias van Deventer) tahun 1901, sistem pemerintahan untuk daerah jajahan di Hindia Belanda masih bersifat sentralistis. Gubernur Jenderal, merupakan penguasa tertinggi di Hindia Belanda. Kekuasaannya menjadi sangat tak terbatas, karena ada undang-undang yang khusus mengatur hak-hak dan kewajibannya. Gubernur Jenderal, hanyalah perpanjangan tangan dari Pemerintahan Pusat Kerajaan Belanda di Eropa. Pada perkembangannya, muncul tuntutan adanya desentralisasi sejak tahun 1854, dimana parlemen Belanda berhak mengawasi pelaksanaan pemerintahan di Hindia Belanda. Lahirnya Decentralisatie Wetgeving (Decentralisatie Wet 1903), merupakan koreksi terhadap sistem monopolistis yang diterapkan oleh Gubernur Jenderal di Hindia Belanda. Setelah itu, lahirlah berturut-turut: Decentralisatie Besluit 1904 serta ordonansinya; Locale Ordonantie 1905; dan De Inlandsche Gemeente Ordonantie 1906 (IGO 1906). Terintegrasinya wilayah-wilayah di Hindia Belanda kedalam desentralisasi pemerintahan kolonial, pada dasarnya, semakin memperlancar jalan kapitalistik industri Eropa dan akan menyengsarakan rakyat bumi putera kedepannya. Inilah barangkali, bagian dari politik Etik, yang mungkin dari sisi lain boleh dikritik sebagai: “agenda pemerintah kolonial yang tersembunyi”, atau mungkin juga sebagai “agenda yang dibelokkan”.

Kolonial VOC dan Kolonial Belanda I
Pada masa pemerintahan Vereenigde Oost-indische Compagnie (VOC) atas prakarsa dari Johan van Oldenbarneveld, di Hindia Belanda –Indonesia terdapat Gubernur Jenderal yang kekuasaannya tidak terbatas. Sementara itu, untuk mengurusi pemerintahannya diserahkan kepada Raad van IndieDewan Rakyat Hindia atau Dewan Hindia, yang terdiri dari 6 orang anggota (4 anggota biasa dan 2 anggota luar biasa), dimana Gubernur Jenderal merangkap sebagai: Ketua. Sebagaimana diketahui, bahwa pemerintahan VOC yang dijalankan di Hindia Belanda pada saat itu adalah sistem pemerintahan parlementer. Gubernur Jenderal berkedudukan sebagai Kepala Negara, dan Raad van Indie sebagai Kepala Pemerintahannya. Dengan demikian, Gubernur Jenderal, merupakan penguasa tertinggi di Hindia Belanda yang bertindak atas nama raja Belanda –Willem IV. Sementara, Raad van Indie hanyalah merupakan pendampingan Gubernur Jenderal dalam melaksanakan pemerintahannya. Gubernur Jenderal dan Raad van Indieyang disebut sebagai Pemerintah Agung di Hindia Belanda, dibantu oleh: Generale SecretarieSekretaris Umum untuk membantu Commisaris General dan Gouvernement SecretarieSekretaris Pemerintah untuk membantu Gubernur Jenderal. Kelak, pada tahun 1819, Generale Secretarie dan Gouvernement Secretarie ini diganti oleh Algemene Secretarie yang bertugas membantu Gubernur Jenderal –terutama memberikan pertimbangan keputusan. Setiap laporan, dikirim pada De Heeren XVII sebagai pimpinan pusat VOC yang berkedudukan di Amsterdam Belanda. De Heeren XVII –Gentlement Seventeen atau Lords Seventeen adalah nama untuk para direksi (dewan direktur) VOC yang bertanggungjawab kepada Parlemen Belanda, didirikan pada 20 Maret 1602, beranggotakan 17 perwakilan pemegang saham –hoofdparticipanten (pemegang saham kepala) dari Perusahaan Dagang Hindia Timur tersebut, yakni: 8 berasal dari Amsterdam, 4 dari Middelburg (Zeeland), dan 1 masing-masing dari kota yang lebih kecil: de Maas (Rotterdam, Delft), dan Noord Holland (Hoorn, Enkhuizen). Anggota ketujuh belas tersebut diangkat oleh Zeeland. Pengurus VOC semula hanya 60 orang, tetapi dianggap terlalu banyak sehingga diadakan pemilihan pengurus dan hanya tinggal 17 orang yang diambil dari beberapa kota tersebut. Mereka yang terpilih menjadi pengurus disebut Dewan 17 (De Heeren Seventien atau Tuan-Tuan 17) dan ketika VOC banyak urusannya maka Dewan 17 mengangkat Pieter Both dari Amersfoorst pada tahun 1610 hingga 1614 sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda Pertama. Setelah itu, berturut-turut, diangkat Gubernur Jenderal kedua Gerard Reynst (1614-1615) dan Gubernur Jenderal ketiga Dr. Laurens Reael (1615-1619) dengan Markas Pusat VOC di Ambon Maluku. Tetapi semenjak masa Jan Pieterzoon Coen (Gubernur Jenderal keempat), Markas Pusat VOC dialihkan ke Batavia. VOC lebih banyak melakukan pemerintahan tidak langsung, dan inlanders –kaum bumi putera tidak terlibat dalam struktur kepegawaian VOC. Meskipun terkadang mereka terlibat dalam pemerintahan, tetapi status mereka bukan pegawai VOC dan tidak digaji secara tetap. Kaum bumi putera, hanyalah mitra dalam bekerja demi kepentingan VOC. Pada tahun 1799, VOC mengalami kebangkrutan karena korupsi –memunculkan sebuah ejekan, yaitu: V(ergaan) O(nder) C(oruptie), “rontok karena korupsi”. Sebelumnya, pada awal tahun 1795 pasukan Perancis menyerbu Belanda. Raja Willem V yang mengungsi ke Kew –sebuah kota kecil di Inggris, memandang tidak masuk akal lagi mempertahankan VOC sebagaimana yang dikehendaki oleh beberapa pihak di Belanda. Berdasarkan pasal 249 UUD Republik Bataaf (Bataafsche Republiek/Belanda), maka pada 17 Maret 1799, dibentuklah suatu badan untuk mengambil-alih semua tanggungjawab atas milik dan utang VOC. Badan itu bernama: de Raad van Aziatische Bezittingen en Etabilisementen –Dewan Penyatuan Hak Milik Belanda di Asia. Pengambil-alihan itu, resmi diumumkan di Batavia pada 8 Agustus 1799. Dan akhirnya, pada 31 Desember 1799, VOC resmi dinyatakan bangkrut serta seluruh harta miliknya berada dibawah kekuasaan negara Belanda. Setelah VOC bubar, maka pemerintahan di Hindia Belanda dipegang langsung oleh pemerintah Belanda. Belanda lebih cenderung melakukan kolonialisme –pendudukan suatu wilayah oleh negara lain, dimana negara menguasai rakyat dan sumber daya negara lainnya serta daerah koloni masih berhubungan dengan negara induk dan memberi upeti kepadanya.
Menurut undang-undang, Hindia Belanda sebagai bagian kerajaan Belanda, maka: (1) pemerintahan tertinggi berada ditangan Raja Belanda –yang dilaksanakan oleh Menteri Jajahan atas nama raja; (2) bertanggung jawab pada Staten GeneralParlemen Belanda; dan (3) pemerintahan umum diselenggarakan oleh Gubernur Jenderal atas nama Raja –yang dalam prakteknya atas nama Menteri Jajahan.
Dengan demikian, Pemerintah Belanda yang mengurus Hindia Belanda adalah Kementerian Jajahan –yang kemudian pada perkembangannya, diubah namanya menjadi: Kementrian Urusan Seberang Lautan. Sementara itu, pemegang pemerintahan atas wilayah Hindia Belanda adalah Gubernur Jenderal. Dia adalah pemegang kekuasan tertinggi, meski sebagai perpanjangan tangan dari pemerintahan pusat Belanda di Eropa.
Sementara itu dalam pengasingannya, Raja Willem V kemudian mengeluarkan perintah yang terkenal dengan istilah: “Surat-surat Kew”. Isi perintah itu adalah agar para penguasa di negeri jajahan Belanda, menyerahkan wilayahnya kepada Inggris bukan kepada Perancis. Dengan “Surat-surat Kew” itu pihak Inggris bertindak cepat dengan mengambil-alih beberapa daerah di Hindia Belanda.

Kolonial Perancis (Herman Willem Daendels)
Di awal Januari 1795, Kaisar Napoleon Bonaparte dari Perancis, menaklukkan negeri Belanda tanpa perlawanan yang berarti. Raja Willem V yang menerima tahta Belanda dari ayahnya –Willem IV, melarikan diri ke Inggris. Sebagai ganti Willem V, Napoleon mendudukkan adiknya, Louis Bonaparte, di tahta kerajaan Belanda. Segera ia memerintahkan untuk mengantisipasi serangan dari Inggris terhadap tanah jajahan. Ada tiga target utama serangan Inggris, yaitu: Tanjung Harapan; Jawa; dan kepulauan Maluku. Ketiga tempat tersebut, berada didalam blokade angkatan laut Inggris. Napoleon pun mengirim dua orang militer untuk tujuan itu, yaitu: Jenderal Jan Willem Janssen dikirim ke Tanjung Harapan tahun 1803, dan Marshall Herman Willem Daendels ke Jawa tahun 1807 –Daendels adalah seorang Marshall Belanda, pengagum Napoleon.
Pada tahun 1807 H.W. Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda atas nama Kaisar Napoleon Bonaparte dari Perancis. Ia berusaha keras melaksanakan pemusatan kekuasaan berdasarkan pada Korps Pangreh Praja Belanda dan Bumi Putera yang berdisiplin. Menurut Daendels kekuasaan pejabat yang diwariskan VOC terlalu besar sehingga mudah untuk memperkaya diri dengan cara melakukan korupsi. Pejabat yang dinilai terlalu besar kekuasaannya antara lain adalah Gubernur Pantai Jawa Timur Laut dan Residen yang berkedudukan di Kraton Yogyakarta dan Surakarta.
Untuk melaksanakan maksudnya Daendels menghapus Gubernemen Pantai Jawa Timur Laut. Demikian pula Residen yang berkedudukan di Kerajaan Jawa yang berada di bawah Gubernur diambil-alih langsung dibawah pemerintah pusat di Batavia. Daerah Jawa, di luar kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, dibagi menjadi sembilan daerah administratif yang disebut dengan Perfectur –yang kelak pada masa pemerintahan Raffles diubah dengan nama Karesidenan yang kemudian terkenal dengan nama Gewest. Tiap Perfectur, dikuasasi oleh seorang Perfect yang berada dibawah perintah langsung pemerintah pusat di Batavia. (Catatan: Perfectur atau Prefektur ialah sebuah istilah untuk menyatakan suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tersendiri atau wilayah sejak zaman Constantine I yang membagi Kerajaan Romawi menjadi empat wilayah. Prefektur mirip seperti negara bagian atau kota yang dipimpin oleh pemimpin tunggal).
Apabila pada masa VOC kekuasaan pemerintah daerah diserahkan kepada para Bupati maka Daendels tidak mengikuti pola semacam ini. Daendels mengurangi banyak kekuasaan para Bupati sehingga peran Bupati itu tidak lebih dari seorang leverancier hasil bumi bagi kepentingan pemerintah Kolonial. Dengan demikian posisi Bupati diturunkan menjadi pegawai pemerintah kolonial meskipun tidak memperoleh gaji. Sebagai pegawai pemerintah Bupati ditempatkan di bawah Perfect, sedangkan gaji bawahannya masih menjadi tanggungjawab para Bupati.
Meskipun demikian Bupati masih diperlukan oleh Daendels. Dengan dipertahankannya sistem leveransi dan kontingenten, peran Bupati masih sangat penting, yakni: sebagai penghubung antara pemerintah dengan rakyat. Dengan dipertahankannya penguasa pribumi sebenarnya sangat penting artinya namun Daendels tidak ingin peran penting penguasa Bumi Putera itu terlihat secara nyata. Untuk itu Daendels melakukan tindakan berupa pengapusan perbedaan yang ada antara Bupati yang berkedudukan di Priangan dengan Bupati yang berkedudukan di Pantai Jawa Timur Laut seperti pada masa VOC. Stelsel Priangan yang diciptakan VOC dipertahankan oleh Daendels maupun oleh penguasa Inggris kemudian –Stelsel Priangan yang menjiwai Sistem Tanam Paksa (STP) buatan Van den Bosch itu dipertahankan sampai tahun 1871.
Pembenahan yang dilakukan Daendels dalam penyediaan mesin birokrasi adalah memperbanyak kantor pengadilan. Tiap Perfect diangkat menjadi Ketua Land Gerecht, dan Bupati menjadi Ketua Vrijde Gerecht. Land Gerecht bertugas mengadili perkara yang menyangkut orang Eropa dan golongan tertentu dari orang bumi putera, sedangkan Vrijde Gerecht mengadili perkara orang pribumi. Para Bupati juga mendapat kedudukan militer dibawah kekuasaan Perfect, hak jabatan –yang secara tradisional para Bupati yaitu turun temurun tetap dipertahankan.
Pembenahan untuk pejabat di lingkungan lebih bawah dari Bupati, ada yang diantaranya berada di bawah pemerintah pusat. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah pusat, bukan oleh Bupati. Bupati mempunyai kewajiban menggaji pegawai yaitu para Kepala Wilayah yang ada dibawah kekuasaannya. Secara tradisional Bupati memperoleh sepersepuluh dari hasil panen, dan memperoleh tenaga tanpa dibayar dari penduduk yang ada diwilayah kekuasaannya. Daendels mengurangi hak Bupati untuk memperoleh sepersepuluh hasil bumi atau hak pancen, dan hak memperoleh tenaga tanpa upah. Bagi petani, pengurangan penyerahan pancen dan kerja wajib itu, boleh jadi tidak penting, namun bagi Bupati hal itu sangat penting karena menyangkut status simbol sebagai seorang penguasa tradisional.
Pembenahan yang dilakukan itu menyangkut hubungan antara Bupati dengan Pemerintah Belanda. Karena pembenahan itu tidak ada sangkut pautnya dengan perikehidupan rakyat, maka rakyat pada umumnya tidak mengetahui perubahan tersebut. Daendels ternyata mengikuti kebijakan yang telah dirintis oleh VOC. Hal itu tampak jelas, jika dicermati perubahan yang dia lakukan setelah pemerintahan VOC serta membandingkan dengan teori politik yang dianutnya dengan praktek yang ia lakukan.
Reformasi atau pembenahan yang dilakukan Daendels yang lain adalah, misalnya, ia berusaha keras memberantas kecurangan dikalangan pejabat negara. Justru langkah inilah yang membuat ia mempunyai banyak musuh dari kalangan bangsa Belanda sendiri. Disamping politik keuangannya tidak menguntungkan pemerintah, beberapa tindakannya dinilai sebagai menguntungkan diri sendiri. Lawan politik Daendels yang terkenal antara lain adalah M.R.G. van Polanen dan Nicolaas Engelhard, Gubernur Pantai Jawa Timur Laut yang dilepas oleh Daendels. Untuk membersihkan dirinya dari tuduhan musuh politiknya Daendels menerbitkan buku berjudul Staat der Nederlandsch Oost-Indische bezittingen onder het bestuur van den Gouverneur Generaal H.W. Daendels pada 1814. Buku tersebut, dikritik dengan tajam oleh van Polanen dan Engelhard.
Di samping itu, Daendels juga tidak disukai dikalangan pejabat bumi putera. Para bangsawan, banyak yang kecewa karena kebijakannnya yang merugikan mereka. Pada tahun 1810, Kaisar Napoleon Bonaparte mengeluarkan Dekrit yang menyatakan Negeri Belanda masuk ke dalam Imperium Perancis. Setahun kemudian, berita itu sampai ke Indonesia dan disambut dengan senang hati oleh Daendels. Karena ia yakin, bahwa hal itu akan membawa perbaikan bagi Indonesia. Semua pegawai bersumpah setia kepada Kaisar Napoleon. Tapi, pada tahun 1811, Daendels diberhentikan oleh Kaisar Napoleon. Perberhentian itu rupanya bukan karena Kaisar Napoleon yakin akan kesalahan Daendels, tetapi karena desakan lawan-lawan Daendels yang sangat keras.

Kolonial Inggris (Thomas Stamford Raffles)
Pada pemerintahan Inggris, seluruh bekas tanah jajahan Belanda dibagi menjadi empat daerah administratif, yaitu: Gubernemen Melaka, Sumatra Barat, Jawa beserta bawahannya –Palembang, Sunda Kecil, Banjarmasin, Makassar, dan Maluku. Keempat wilayah itu dikendalikan oleh Gubernur Jendral Lord Minto yang berkedudukan di Calcutta India. Penguasa Inggris di Jawa dipegang oleh Thomas Stamford Raffles sebagai bawahan Lord Minto dengan pangkat Letnan Gubernur Jenderal. Meskipun Raffles berada dibawah kekuasaan Lord Minto, namun ia melaksanakan kebijakan seakan ia tidak berada dibawah pengawasan atasannya.
Pembagian wilayah menjadi Perfectur, tetap dipertahankan oleh Raffles. Sementara pembenahan yang dilakukannya, antara lain: menambah jumlah Perfectur dengan cara menggabungkan beberapa daerah pemerintahan yang sifatnya masih semi feodal menjadi 16 Perfectur dan namanya diganti menjadi Karesidenan. Restrukturisasi wilayah daerah administratif Karesidenan ini meliputi seluruh Jawa dan Madura termasuk daerah Kerajaan, kecuali Batavia yang sampai 1819 menjadi enclave sendiri –enclave atau enklave (daerah kantong) adalah negara atau bagian negara yang dikelilingi oleh wilayah suatu negara lain. Aslinya berasal dari kata Latin inclavatus (artinya 'terkurung, terkunci'). Kata tersebut menjadi jargon diplomasi Inggris pada 1868. Eksklave dapat muncul pada tingkat subnasional ketika sebuah subdivisi muncul di luar divisi induk. Sebuah negara enklave harus menyelesaikan berbagai masalah, seperti: alamat surat; aliran listrik; dan hak lintasan dengan negara tetangga, agar penduduk kedua negara dapat hidup tenteram. Residen yang mengepalai wilayah Karesidenan, mempunyai kekuasaan yang meliputi bidang: pemerintahan; peradilan; dan penerimaan penghasilan negara atau pajak. Menurut Raffles, Residen harus mempunyai kekuasaan yang otokratis. Oleh karena itu, Residen harus mengadakan perjalanan dinas secara teratur agar dapat menjalin hubungan dengan rakyat secara teratur. Sejak masa VOC, jabatan Residen sudah ada dan jabatan baru yang dimasukkan pada masa Raffles adalah jabatan: Asisten Residen. Asisten Residen belum mempunyai wilayah, dan baru kemudian, Asisten Residen ini diberi wilayah jabatan. Jabatan Asisten Residen berlangsung terus sampai dihapuskan oleh pemerintah Balatentara Jepang. Tujuan Raffles memasukkan jabatan Residen dengan kekuasaan yang otokratis dan jabatan Asisten Residen yang bertugas membantu Residen, adalah: untuk menghapus lembaga kekuasaan tradisional –yaitu Bupati yang semi feodal dan tidak liberal. Secara konseptual, Raffles menghendaki bahwa seluruh pejabat pemerintah lokal merupakan susunan kepegawaian yang wajar tanpa hak-hak tradisional atau kekuasaan politik. Lebih jauh Rafles menambahkan bahwa justru desa-lah yang merupakan suatu kesatuan yang hidup, Bupati dan bawahannya adalah sekedar merupakan perantara, yang oleh Raffles ingin dihapuskan, dengan maksud agar semua persoalan dapat disampaikan oleh pemerintah langsung ke pemimpin rakyat yaitu Kepala Desa. Dalam melaksanakan konsep tersebut, Raffles bermaksud membagi wilayah Karesidenan menjadi daerah administratif yang disebut: Afdeeling. Meskipun Raffles menghendaki Bupati dihapuskan, namun dalam konsep yang dipikirkan Raffles justru menetapkan Bupati sebagai Kepala Afdeeling. Perubahan wilayah administrasi pada tingkat yang lebih rendah, berupa pembagian setiap Afdeeling menjadi daerah administrasi yang disebut: Distrik atau Kawedanan, yang dikepalai oleh Kepala Distrik atau Wedana. Wilayah yang setara Distrik ini sebenarnya sudah ada pada masa VOC, namun kenyataannya pembentukan wilayah tersebut sangat ditentukan oleh pertimbangan perorangan yaitu pendapat Bupati. Secara teoritis, menurut Pasal 70 RR, pemerintah lokal Distrik mempunyai kekuasaan yang besar. Perubahan tentang Distrik ini terus dilakukan reorganisasi secara baik dan tingkat yang dianggap sempurna pada tahun 1874. Reorganisasi wilayah administrasi yang terjadi pada derajat yang lebih rendah terjadi berupa pembagian wilayah Distrik menjadi beberapa wilayah administrasi yang lebih kecil yang disebut: Divisie –yang kelak disebut: Onder-Distrik. Daerah administrasi Divisie meliputi desa-desa. Desa-desa itu yang merupakan kesatuan yang hidup –yang oleh Raffles dianggap sesuai dengan adat istiadat kuno, diberi hak untuk memilih kepalanya sendiri. Dengan demikian, pada pemerintahan Raffles, di atas Desa terdapat daerah administrasi yang disebut: Divisie; Distrik; Afdeeling; dan Karesidenan. Upaya Daendels yang dilanjutkan Raffles adalah mengurangi kekuasaan Bupati –yang pada pemerintahan VOC sedemikian besar dengan cara menempatkan Bupati di bawah Residen yang kekuasaannya sedemikian otokratis, yang mencoba menjalin hubungan langsung dengan rakyat, yang mengakibatkan para Bupati kehilangan kekuasaannya dalam bidang yang merupakan sumber penghasilan mereka yang besar. Raffles juga berupaya keras untuk menghapus sistem feodal dan mengkuti jejak Daendels dalam menciptakan mekanisme birokrasi pemerintahan yang demokratis di Hindia Belanda, serta memilih Jawa sebagai model atau percontohan. Raffles berupaya keras, agar Jawa tetap dimiliki Inggris –akan tetapi, Konvensi London tanggal 13 Agustus 1814 menetapkan bahwa Belanda akan mendapatkan kembali tanah jajahannya kecuali Ceylon dan kedudukan di Afrika Selatan. Hindia Belanda diserahkan oleh Inggris kepada Belanda, pada tanggal 19 Agustus 1816.

Kolonial Belanda II
Berdasarkan Konvensi London, maka bekas koloni Belanda dikembalikan kepada pemerintah Belanda. Kemudian, pemerintah Belanda membentuk Komisaris Jenderal untuk memerintah di Hindia Belanda. Kepada Komisaris Jenderal, diberi suatu instruksi tanggal 3 Januari 1815. Instruksi ini menjadi Grondwet (Undang-Undang Dasar) pemerintah Kolonial pada waktu itu dan terkenal dengan nama: Reglement op het beleid van de regeering, het justitiewezen, de kultuur en den handel in'slands Aziatische bezittingen (Undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan, susunan pengadilan, pertanian, dan perdagangan dalam daerah jajahan di Asia), disingkat Regerings Reglement van 1815 (RR 1815). Pada tahun 1816, Komisaris Jenderal Belanda telah datang ke Tanah Jajahan –Hindia Belanda sebagai wakil Belanda untuk mengambil alih pemerintahan dari Inggris. Komisaris Jenderal yang terdiri dari tiga orang itu –van der Capellen; Elout; Buyskes, berkuasa penuh atas daerah tersebut berdasarkan Regerings Reglement 1815 (RR 1815). Dalam menjalankan tugasnya, Komisaris Jenderal berusaha menyesuaikan organisasi pemerintahan Pusat dan Daerah dengan Regerings Reglement tahun 1815. Namun dalam melaksanakan maksud tersebut, Komisaris Jenderal mengalami kesulitan karena perubahan yang dilaksanakan selama pemerintahan Raffles, tidak sesuai lagi dengan ketentuan dalam RR itu. Untuk mengatasi hal tersebut, maka perubahan terhadap RR dilakukan dan ditetapkan RR baru tahun 1816. Untuk melaksanakan RR baru tersebut, salah seorang Komisaris Jenderal –yaitu Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen diangkat menjadi Gubernur Jenderal (1816-1826). Pembenahan yang pernah dilakukan Raffles, oleh Capellen masih dilanjutkan. Kepala pemerintahan Bumi Putera –yaitu Bupati, yang menjalankan beberapa fungsi bagi kepentingan penjajah, tetap dipertahankan. Komisaris Jenderal berusaha keras untuk memahami kepentingan penguasa Bumi Putera ini, antara lain: berusaha menjalin hubungan yang baik antara Residen dengan para Bupati, karena peran Bupati masih cukup penting yaitu sebagai Pimpinan Pemerintahan Bumi Putera dan Kepolisian Afdeeling.
Kedudukan Bupati mengalami perubahan dengan dikeluarkannya Staatsblad Tahun 1820 Nomor 20, yaitu: Reglement op de Verplichtingen, titels, en rangen der Regenten op het Eiland Java. Reglemen ini juga mengalami perubahan –dan kelak tahun 1922 timbul perubahan pemerintahan, namun hal yang penting dalam peraturan tersebut, tetap berlaku. Dalam pasal (1) ketetapan tersebut dinyatakan bahwa Bupati adalah orang yang berkuasa atas penduduk yang ada di wilayahnya dan menjadi “tangan kanan” Residen. Selanjutnya telah terjadi pergeseran peran Bupati yang semula semata melaksanakan kepentingan penjajah, namun sejak saat itu, para Bupati diberi tugas yang menyangkut perbaikan kesejahteraan rakyat kecil seperti mengurusi pertanian, peternakan, keamanan, kesehatan rakyat, pengairan, pemeliharaan jalan, pendidikan, pembagian adil beban pajak, dan mengawasi pelaksanaan perundang-undangan. Agar diperoleh imbangan dalam banyaknya urusan yang ditangani, pada awal abad ke-19 beberapa kabupaten kecil dihapus. Setelah diadakan penghapusan, akhirnya di Jawa dan Madura hanya terdapat 70 kabupaten saja.
Reorganisasi wilayah administratif yang dilakukan pada masa Komisaris Jenderal –kecuali penghapusan kabupaten kecil, adalah pemecahan kabupaten yang berjumlah 70 yang ada di Jawa dan Madura. Pemecahan wilayah administratif kabupaten menjadi daerah administrasi yang lebih kecil yang disebut Distrik dengan penguasa seorang Kepala Distrik atau Wedana. Selanjutnya wilayah Distrik dibagi menjadi beberapa Onder-Distrik yang dikepalai oleh Kepala Onder-Distrik atau Asisten Wedana, merupakan perkembangan pemerintahan yang sempurna.
Berdasarkan Staatsblad 1819 Nomor 16, wilayah Jawa dan Madura oleh Komisaris Jenderal dibagi menjadi 20 Gewest dengan satuan unit birokrasinya. Residen diberi instruksi oleh Komisaris Jenderal untuk bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kerja lembaga peradilan dan kepolisian dalam wilayahnya. Tugas pengawasan terhadap peradilan dan kepolisian, lebih banyak dilimpahkan kepada Asisten Residen. Sementara itu, pengadilan polisi bagi Bumi Putera masih berada dibawah pengawasan Residen. Kekuasaan Residen juga masih memiliki kewenangan untuk memberi perintah kepada Jaksa Kepala. Adapun para Bupati, diberi kekuasaan untuk memerintah Jaksa. Dalam menjalankan tugas kepolisian, Residen berada di bawah pimpinan Pokrol Jenderal –pimpinan utama semua pegawai kepolisian atau merupakan pembela disuatu persidangan atau memberikan suatu konsultasi di bidang hukum yang tertuju kepada kalangan masyarakat bawah. Karena besar-kecilnya luas wilayah tidak sama, maka ada beberapa Gewest yang dikepalai oleh Asisten Residen dan sebagian besar dikepalai oleh Residen. Baru pada 1866, semua Gewest mempunyai kedudukan sebagai Karesidenan.
Sebagaimana dikemukakan di depan, bahwa jabatan Asisten Residen timbul pada masa Raffles memerintah. Saat itu, Asisten Residen belum memiliki wilayah kekuasaan –karena pemerintahan Bupati ditetapkan sebagai kepala daerah Administratif Afdeeling. Baru pada masa kekuasaan Komisaris Jenderal, Asisten Residen mulai mempunyai wilayah kekuasaan, yaitu memerintah wilayah administratif Afdeeling dan dibawah perintah Residen –sebagaimana ditetapkan dalam Staatsblad 1818 Nomor 49. Karena wilayah kekuasaan Asisten Residen atau Afdeeling sama dengan wilayah kekuasaan Bupati atau kabupaten, maka nyatalah ada organisasi pemerintahan yang rangkap. Tugas Asisten Residen dalam wilayah Afdeeling, adalah sama dengan tugas Residen dalam Gewest-nya –terutama dalam bidang pemerintahan dan kepolisian. Sementara itu, Bupati meskipun pangkatnya lebih tinggi daripada Asisten Residen, namun ia harus tunduk kepada Asisten Residen –sebab Asisten Residen merupakan Kepalanya yang nomor dua sebagai wakil Residen. Tumpang tindihnya wilayah kekuasaan itu menunjukkan bahwa Bupati tidak mempunyai kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan kepolisian untuk diselesaikan sendiri dan tidak mempunyai pendirian yang dapat dikembangkan dengan wajar.
Gubernur Jenderal Leonard Pierre Joseph du Bus van Gesignies –yang menggantikan Gubernur Jenderal van der Capellen, mengubah Regeringsreglement tahun 1816 dengan Regeringsreglement 1827. Regeringsreglement ini, kemudian juga diganti dengan Reglement op beleid der Regering in Nederlandsch-Indie dengan Koloniaale Besluit tertanggal 16 Mei 1829. Reglement ini juga, akhirnya diganti lagi dengan reglement yang ditetapkan dengan Koloniaale Besluit tanggal 20 Februari 1836. Menurut ketentuan RR 1836, pemerintah pusat Hindia Belanda adalah Gubernur Jenderal yang merupakan wakil Raja Belanda di Hindia Belanda, serta aparat Hindia Belanda yang diangkat dan diberhentikan oleh Raja dan yang mengendalikan kekuasaan, mengatur, dan mengurus hal-hal yang bersifat internal Hindia Belanda di bawah Raja. Gubernur Jenderal didampingi Raad van Indie yang merupakan Dewan Penasihat bagi Gubernur Jenderal. Di samping itu juga dibentuk Hoogerechthoof dan Algemeene Rekenkamer.
Dengan dikeluarkannya Undang Undang tanggal 2 September 1854, maka ditetapkanlah suatu RR baruyakni: Regeringsreglement 1854 (RR 1854). Apabila dicermati isinya, RR ini lebih bersifat konstitusi bagi Hindia Belanda daripada RR yang terdahulu. Kepenguasaan monopolistis oleh Gubernur Jenderal tercantum dalam RR 1854, berimplikasi pada kekuasaan Gubernur Jenderal yang begitu besar di negeri koloni. Misalnya, berdasarkan Pasal 1 RR 1854: pemerintahan umum di Hindia-Belanda dilakukan oleh Gubernur Jenderal atas nama Raja yang merupakan penguasa tertinggi atas seluruh daerah koloninya. Sebagai wakil Raja, semua kalangan yang ada di Hindia Belanda, wajib menghormati dan menaati Gubernur Jenderal; Pasal 20: Gubernur Jenderal memegang kekuasaan legislatif di negeri kolonial; Pasal 41-42: Gubernur Jenderal sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Darat dan Angkatan Laut Hindia Belanda; Pasal 49: Gubernur Jenderal berwenang mengangkat dan memberhentikan pejabat-pejabat tinggi dijajaran pemerintahan kolonial; Pasal 52: Gubernur Jenderal berwenang memberikan grasi; serta Pasal 64 dan 68: Pejabat dan Pegawai Administrasi Kolonial wajib menjalankan perintah Gubernur Jenderal dengan penuh ketaatan.
RR 1854 ini, mengalami perubahan beberapa kali. Dari aspek ketatanegaraan, perubahan yang penting adalah diundangkannya Undang Undang Desentralisasi tahun 1903 (Decentralisatie Wet –Wet Houdende Decentralisatie van Het Bestuur in Nederlands-Indie), dan Undang Undang tahun 1916 yang termuat dalam Inds. Staatsblad 1917 Nomor 114 –membuka kemungkinan untuk membentuk Volksraad; serta Undang Undang tentang Pembentukan Kembali Pemerintahan tahun 1922 tentang Bestuurhervorming –yang membuka kemungkinan untuk mengadakan desentralisasi dan dekonsentrasi secara besar-besaran.
Sampai dengan tahun 1854, wilayah Tanah Jajahan terdiri dari tiga, yakni: wilayah yang dikuasai langsung; wilayah yang dikuasai tidak langsung; dan wilayah yang dipengaruhi oleh pemerintah kolonial. Dalam upaya meningkatkan pendapatan negara, reorganisasi pejabat yang menangani pajak juga dilakukan. Pada 1827, jabatan Opziener diganti dengan Controleur. Sesuai dengan fungsinya, mereka bertugas mengumpulkan pajak bumi di wilayah Karesidenan yang menjadi wilayah kerjanya. Petugas ini, kemudian menjadi Directie voor de Cultures. Jenjang karier Controleur ini, dibagi menjadi tiga tingkatan –yang dapat naik pangkat sampai pada jabatan dalam dinas pemerintahan yaitu Asisten Residen atau Residen. Dalam pemerintahan lokal, Controleur dan Wedana merupakan poros bagi roda pemerintahan. Controleur bertugas mengawasi Pangreh Praja bumi putera, tidak ada kecualinya –termasuk Bupati. Dalam masa selanjutnya, Controleur di Jawa dan Madura, tidak mengepalai daerah administratif sendiri –hanya sebagai pembantu Asisten Residen. Namun di luar Jawa dan Madura, daerah Administratif Onder-Afdeeling sebagian besar ada yang dikuasai oleh Controleur dan ada yang dikuasai Civiel Gezagheber. Oleh Bupati, Controleur diperbantukan kepada Patih yang bertugas menyampaikan perintah Bupati ke seluruh wilayah kabupaten sehingga merupakan penghubung yang penting antara Bupati dengan pegawai bawahannya. Pada tiap-tiap Gewest, diadakan jabatan Sekretaris Gewest –yang pada masa kemerdekaan menjadi Sekretaris Wilayah. Dengan demikian, pada akhir abad ke-19, di Jawa dan Madura telah ada organisasi pemerintahan lokal yang lengkap. Formasi Pangreh Praja ditambah dengan dibentuknya Asisten Controleur yang diperbantukan kepada Controleur.
Sejalan dengan perubahan yang dilakukan dalam struktur birokrasi, maka jalur perintah dari atasan kepada bawahan juga mengalami perubahan. Dalam Staatsblad Tahun 1867 Nomor 114, misalnya, berisi instruksi bagi Pegawai Pangreh Praja bumi putra –seperti Bupati serta Kepala Gewest yang berkaitan dengan perubahan tersebut. Untuk tingkat lebih rendah –seperti Wedana juga diberi instruksi yang isinya hampir sama sebagaimana termuat dalam Staatsblad Tahun 1886 Nomor 244. Sementara itu, pada tahun 1874 setelah pembagian wilayah dilanjutkan dalam Onder-Distrik untuk seluruh Jawa dan Madura, sebagaimana termuat dalam Staatsblad tahun 1874 Nomor 72, Asisten Wedana diberikan instruksi seperti para Wedana, meskipun sebenarnya instruksi itu diwajibkan sebagai pedoman bagi para Bupati sebagaimana diatur dalam Staatsblad 1874 Nomor 93.
Sampai dengan tahun 1903, tata pemerintahan di Tanah Jajahan tidak mengalami perubahan. Menurut RR 1854, pemerintah di Hindia Belanda dipusatkan di Batavia. Gubernur Jenderal merupakan penguasa tertinggi di Tanah Jajahan, yang bertanggungjawab kepada pemerintah di Negeri Belanda. Gubernur Jenderal, mempunyai kekuasaan tak terbatas –walaupun di sampingnya ada Raad van Indie. Dengan demikian, dalam RR 1854 tidak mengenal azas desentralisasi. Oleh karena itu, kepala daerah semata-mata mempunyai satu fungsi yaitu sebagai alat pemerintah pusat.
Sejarah panjang pembentukkan UU Desentralisasi pada masa kolonial Belanda, bermula dari persidangan Tweede Kamer Der Staten Generaal –parlemen Belanda, akhir tahun 1880. Pada masa itu muncul tuntutan: Medezeggenschap –kesempatan untuk berbicara dalam proses pembuatan kebijakan oleh pemerintah, dari golongan Eropa. Salah seorang anggota Tweede Kamer, bernama: Levinus Wilhelmus Christiaan Keuchenius, membuka kembali perdebatan dengan mengetengahkan keyakinannya agar di daerah-daerah dibentuk apa yang disebut: Gewestelijk Raden. Gewestelijk Raden –Gewestelijk Raad adalah suatu dewan dimana warga Eropa dapat berbicara untuk menyuarakan isi hatinya. Hal tersebut dimaksudkan agar kekuasaan di Hindia Belanda tidak hanya terpusat pada Gubernur Jenderal saja, namun, masyarakat –Belanda swasta juga bisa ikut terlibat didalamnya. Mendukung pendapat atau suara Keuchenius tersebut adalah anggota Tweede Kamer yang lainnya, yaitu: Willem Karel Baron van Dedem. Pada persidangan tahun 1881, van Dedem menyuarakan pendapatnya tentang: “perlunya dilakukan perubahan dalam tata pemerintahan kolonial di Hindia Belanda”. Tetapi, hervorming yang diusulkan van Dedem tidaklah dimaksudkan untuk memasuki ranah ketatanegaraan –seperti yang dikemukakan oleh Keuchenius, melainkan hanya sebagai hervorming yang lebih bersifat administratif, yakni: permasalahan anggaran biaya pemerintahan tanah jajahan. Menurut van Dedem: anggaran belanja Hindia Belanda, harus dibiayai oleh pendapatan yang diperoleh dari Hindia Belanda sendiri. Urusan keuangan serta anggaran pendapatan dan belanja negara antara negara induk dan negara koloni, harus dipisahkan. Hindia Belanda, idealnya harus mempunyai kewenangan legislatif sendiri. Dengan demikian, akan berarti bahwa: harus dilakukan amandemen, tidak hanya terhadap Regerings Reglement (RR) 1854, tetapi juga terhadap De Indische Comptabliteits Wet (ICW) 1864. Amandemen, akan menyebabkan anggaran pendapatan dan belanja Hindia Belanda tidak lagi disiapkan oleh eksekutif –dalam hal ini, pro forma oleh raja lewat Koninklijke Besluit-nya, tetapi sudah harus berdasarkan produk legislatif.
Dalam sidang parlemen tahun persidangan berikutnya, van Dedem mengajukan usul inisiatif guna menyiapkan sebuah rancangan undang-undang tentang anggaran belanja Hindia Belanda. Rancangan undang-undang tersebut, harus ditetapkan terpisah dari anggaran belanja Negeri Belanda. Permasalahan anggaran dan keuangan, ikut disinggung oleh van Dedem ketika mengetengahkan gagasannya yang dituangkan dalam rancangan undang-undang yang diprakarsainya tentang desentralisasi tersebut.
Babak baru dalam upaya mendesentralisasi kewenangan dalam urusan keuangan dan anggaran itu, terjadi ketika para pengupaya pro-desentralisasi menduduki posisi-posisi yang lebih strategis. Pada bulan april 1888, Keuchenius, yang ketika itu menjadi anggota Tweede Kamer kemudian diangkat sebagai Menteri Koloni, membuka perdebatan tentang perlunya dibentuk Gewestelijke Raden dalam rangka desentralisasi pada ketatanegaraan Hindia Belanda. Setelah sempat terlantar tanpa ada tanggapan semestinya, barulah pada tahun 1894, surat Cornelis Pijnacker Hordijk –yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-58 (1888-1893) memperoleh perhatian yang sungguh-sungguh. Dalam pengkajiannya selama lebih dari dua tahun, Pijnacker Hordijk saling berkirim surat kepada Menteri Koloni –yang saat itu masih dipegang oleh Keuchenius untuk membentuk suatu: Gewestelijk Raden di tingkat Karesidenan; Gementee Raden di Kota-kota Besar; dan Koloniale Raad di tingkat Pusat. Pada tahun itu, van Dedem, yang dalam kedudukannya sebagai anggota Tweede Kamer serta menduduki jabatan Menteri Koloni, juga banyak menyuarakan pendapatnya yang pro-desentralisasi. Tiga minggu terhitung sejak hari pertama memangku jabatannya sebagai Menteri Koloni, van Dedem berkirim telegram kepada Pijnacker Hordijk untuk mempelajari lebih lanjut apa yang telah dikerjakan selama ini. Dalam waktu satu tahun, Pijnacker Hordijk menyelesaikan tugasnya dan menyarankan Menteri Koloni van Dedem, agar sejak saat itu, proses selanjutnya dilakukan di negeri Belanda dalam kancah perjuangan legislatif. Namun proses legislatif itu, berjalan alot dan lamban.
Pada bulan Juli 1897, Gubernur Jenderal Carel Herman Aart van Der Wijck –diangkat menjadi Gubernur Jenderal 1893-1899, oleh Ratu Emma van Waldeck-Pymont mengirimkan naskah terakhir usulannya, yaitu tentang reorganisasi struktur pemerintahan di daerah-daerah keresidenan kepada Menteri Koloni yang pada saat itu sudah beralih kepada pejabat baru, yakni: Jacob Theodoor Cremer –yang sejak masa keanggotaannya di Tweede Kamer, terkenal juga sebagai tokoh yang pro-desentralisasi dan anti-sentralisasi. J.Th. Cremer masih tetap kukuh pada pendapatnya bahwa sentralisasi dalam pemerintahan Hindia Belanda adalah benar-benar merupakan “sisi gelap” dalam pengelolaan Tanah Hindia, oleh sebab itu, desentralisasi harus segera dimulai. Kalaupun kemudian terjadi polemik, maka yang diperdebatkan bukan lagi tentang persoalan “harus-tidaknya” dilaksanakan desentralisasi untuk kepentingan Hindia Belanda atau satuan-satuan daerahnya, melainkan sudah mengenai persoalan tentang isi De Wet Houdende Decentralistie van Het Bestuur in Nederlands-Indie tersebut, demi terwujudkannya secara benar desentralisasi di Hindia Belanda.
Pada awal abad ke-20, kritik terhadap azas sentralisasi semakin banyak terdengar. Hal itu menunjukkan bahwa sentralisasi tidak lagi memberikan kepuasan kepada masyarakat karena terlalu banyak urusan disatu tangan, maka pekerjaan menjadi terbengkelai. Suara yang meminta desentralisasi semakin santer terdengar. Suara tersebut menganggap bahwa sistem sentralisasi “tidak dapat dipertahankan lagi”. Dorongan itu diperkuat dengan adanya Politik Etis yang dikalangan orang Belanda sendiri dipelopori oleh van Deventer, pada pokoknya menghendaki agar pemerintah berusaha meringankan beban pajak rakyat, mengembangkan dan meningkatkan pendidikan dan kesejahteraan rakyat, serta pemerintah disusun dengan cara yang lebih modern dan demokratis tidak semata-mata mengeruk kekayaan dari daerah jajahan saja. Puncak dari keberhasilan tuntutan untuk menerapkan desentralisasi, adalah diundangkannya De Wet Houdende Decentralisatie van Het Bestuur in Nederlands Indie –atau disingkat: Decentralisatiewet, tanggal 23 Juli 1903, dan dipublikasikan lewat Nederlandsche Staatsblad Nomor 329. Kemudian, atas usul Idenburg diadakan perubahan atas beberapa pasal dalam RR yaitu pasal 68a, 68b, dan 68c. Dengan perubahan itu, undang-undang yang baru ini, memuat pasal-pasal yang memberikan peluang bagi daerah Gewest atau bagian dari Gewest untuk mengadakan desentralisasi dalam pemerintahan serta untuk mewujudkan daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri. Di samping itu, terdapat pula aturan lain yaitu Desentralisasi Besluit 1905 dan Locale Radenordonantie yang memberikan kewenangan lain seperti memberi tugas perbantuan bagi setiap daerah yang didesentralisasikan ditetapkan dengan ordonansi sendiri yang disebut Ordonansi Pembentukan. Guna mendukung dalam melaksanakan tugasnya, pemerintahan daerah juga diberi wewenang membentuk Locale Raden –Dewan Lokal. Sudah barang tentu pada masa awal pelaksanaan undang-undang ini, banyak kesulitan yang dihadapi. Meskipun demikian, sejumlah daerah telah berhasil membentuk dewan yang disebut Gewestelijk Raad dan untuk bagian dari Gewest disebut Plaatselijk Raad. Undang-undang desentralisasi juga memberikan keleluasaan bagi daerah untuk membentuk masyarakat hukum baru, membentuk keuangan, serta mempunyai perlengkapan sendiri.
Sejatinya, Decentralisatie Wet 1903 merupakan hasil amandemen dari RR 1854 yang dinilai merupakan amandemen yang bersifat parsial dengan tambahan tiga pasal baru, yakni: 68a, 68b, dan 68c. Namun, Decentralisatie Wet 1903, cenderung berupa desentralisasi keuangan. Berikut isi dari pasal-pasal baru tersebut: Pasal 68a: Suatu Gewest (daerah) atau Gedeelte van Gewest (bagian suatu daerah) sedapat mungkin menyisihkan dana untuk dipakai sendiri. Pasal 68b: Pengelolaan dan pertanggungjawaban anggaran diserahkan kepada daerah (Gewest /Gedeelte van Gewest) dibawah pengawasan suatu badan keuangan yang diatur oleh Raad. Pasal 68c: Raad berwenang mengajukan apapun demi kepentingan daerahnya kepada Gubernur Jenderal, serta berwenang menarik pajak sebagai sumber keuangan, namun masih dibawah pengawasan Gubernur Jenderal.
Dengan tiga pasal baru ini, dimaksudkan, akan terjadi reorganisasi pemerintahan menuju terbentuknya desentralisasi administratif di daerah-daerah. Namun, masih banyak masalah yang belum bisa diselesaikan seiring dengan lahirnya Desentralisatie Wetgeving ini. Masalah-masalah tersebut, seperti: luas-sempitnya kewenangan yang diberikan kepada daerah, apakah sebatas sebagai desentralisasi administratif saja (dekonsentrasi) atau harus terbentuk sebuah self-government (zelfbestuur). Menurut Dick Fock –yang menjabat sebagai Menteri Koloni antara 1905-1908, zelfbestuur harus sama-sama dimungkinkan, baik untuk Gewest maupun Gedeelte van Gewest. Namun, kembali muncul masalah tentang kapan suatu Gewest berkewenangan luas dan kapan hanya berkewenangan sempit. Selain itu, penentuan kriteria batas teritorial atau luas sempitnya pemerintahan dari Gewest maupun Gedeelte van Gewest juga masih belum jelas. Kewenangan Gubernur Jenderal juga masih tetap besar sebagai pembuat ordonansi. Hal ini semakin diperkuat dengan tidak ada Gewest atau Gedeelte van Gewest yang bisa dibentuk tanpa adanya sebuah ordonansi.
Dengan demikian, terbentuknya Decentralisatie Wet 1903 tidak serta merta dapat diterapkan dengan mulus. Sentralisme yang telah berjalan lama, tidak begitu saja hilang. Konservatisme administrator kolonial dan feodalisme serta peternalisme pribumi, telah mengakar. Beberapa ordonansi-pun dimaklumatkan demi terimplementasinya Decentralisatie Wetgeving, seperti: (1) Locale Raden Ordonantie 1905, dikeluarkan untuk menyatakan berlakunya Koninklijk Besluit 1904 yang berisi: petunjuk-petunjuk pembentukkan peraturan daerah; tata cara, pengelolaan serta pertanggungjawaban keuangan. Selain itu, ordonansi inipun membahas susunan, tugas, serta tata kerja Local Raden –De Locale Raden dibagi menjadi dua, yaitu: De Gewestelijk Raad (untuk Gewest), dan De Plaatselijk Raad (untuk Gedelte van Gewest). Selain itu, terdapat satu jenis Raad lagi, yaitu: Gemeente Raad –merupakan Plaastelijk Raad yang dibentuk untuk satuan daerah yang berstatus kota. (2) De Inlandsche Gemeente Ordonantie 1906 (IGO 1906), suatu ordonansi khusus yang guna memperbaiki masyarakat desa atau dengan sebutan kampung dalam satuan kota. IGO 1906 terdiri dari 20 pasal, dan terbagi dalam 4 bagian untuk mengatur urusan organisasi dan pendapatan desa, penyelenggaraan administrasi desa berikut pertanggungjawabannya, pengelolaan harta milik dan kekayaan desa, juga penyelenggaraan kerja-kerja untuk kepentingan negara. Terdapat sembilan asas hukum yang tertuang dalam IGO 1906, sebagai berikut: a) kedudukan para Kepala Desa diakui resmi oleh pemerintah; b) jabatan Kepala Desa harus diperoleh melalui suatu pemilihan; c) pendapatan Kepala Desa dan pembantu-pembantunya akan diperoleh berdasarkan adat yang diakui berlaku; d) pengelolaan pemerintahan desa diserahkan kepada Kepala Desa berdasarkan aturan-aturan yang akan menjamin pelaksanaannya dengan baik; e) ada sejumlah orang yang ditentukan untuk boleh ikut berembuk mengenai persoalan-persoalan desa; f) Kepala Desa akan mewakili desanya di luar maupun di dalam setiap perkara hukum; g) harta kekayaan komunal harus dijaga dan dipertahankan adanya; h) kerja-kerja wajib –tanpa dibayar untuk kepentingan desa; dan i) pejabat yang berkedudukan lebih atas dapat turun tangan untuk mengatur hal-ihwal yang berhubungan dengan kewenangan yang ada pada Kepala Desa. (3) Kies-Ordonantie 1908, mengatur lebih lanjut tata cara pemilihan anggota Gemeente Raad berikut tugas-tugasnya –terhitung ada 15 Gemeenten dan 6 Gewesten terbentuk setelah dimaklumatkannya Kies-Ordonantie 1908. Selanjutnya, dari Gemeenten dan Gewesten itu, dibentuk suatu Raden yang telah memenuhi syarat –yang tentunya banyak diisi oleh orang-orang Eropa yang dianggap memiliki kematangan politik. Persyaratan untuk menjadi anggota Raden, waktu itu, sangat sulit untuk dipenuhi oleh kalangan pribumi. Dari total 388 seluruh Gemeente Raad yang ada di pulau Jawa, 283 atau 72% diantaranya adalah orang Eropa. Hal tersebut seolah-olah disengaja agar Raad hanya bisa diisi oleh kalangan Eropa. Jika kita lihat,  tuntutan medezeggenschap-pun berawal dari golongan Eropa, jadi tidak perlu heran, jika desentralisasi yang dibentuk lebih untuk memuluskan “kepentingan-kepentingan Eropa” atau de Nederlandse Burgerij.
Dalam upaya Politik Etis yang terkemas dalam “Trias van Deventer” –yang disampaikan Ratu Wilhelmina dalam pidatonya dihadapan parlemen, pemerintah Belanda juga mulai membentuk Raad baru, yang nantinya dikenal dengan sebutan: Volksraad. Bermula dengan usulan van Dedem, tentang diubahnya Raad van Indie menjadi: een Koloniale Raad, dimana terdapat 8 anggota luar biasa –yang 4 orang diantaranya dari kalangan swasta. Ini semua, agar ada peran swasta dalam penentuan kebijakan kolonial serta kebijakan pemerintahan dan perundang-undangan –tidak berada ditangan Gubernur Jenderal dan Raad van Indie-nya semata. Pada tahun 1913, diterimalah RUU yang berbeda dengan rancangan-rancangan sebelumnya –yaitu tidak bertujuan mengubah kedudukan dan susunan Raad van Indie. Namun atas usulan Pleijte –karena De Koloniale Raad berkarakter perwakilan, maka sebutan Koloniale Raad tidak dipakai lagi dan diganti dengan nama: Volksraad.
Setelah terbentuk, Volksraad mengalami beberapa amandemen, salah satunya yaitu pengamandemenan jumlah anggota Volksraad. Melalui beberapa amandemen, jumlah anggota Volksraad yang awalnya 39 diubah menjadi 49 orang. Pemilihan ketua ditunjuk oleh Ratu, sedangkan 48 delapan lainnya yang terdiri dari 24 orang (8 orang pribumi dan 16 orang Eropa dan Timur Asing) diangkat oleh Gubernur Jenderal dan 24 orang lainnya (12 orang pribumi dan 12 orang Eropa dan Timur Asing) dipilih oleh Dewan Pemerintah yang ada di daerah-daerah. Volksraad, lebih berkarakter birokratik-eksekutif dengan kewenangan fungsi legislatif yang terbatas. Walau demikian, ditengah kedudukannya yang hanya berkewenangan sebagai badan penasihat, seringkali malah, terlihat seperti pernyataan anggota parlemen yang berada di pihak oposisi –hal itu seperti yang dilakukan Tjokroaminoto dan Radjiman saat mengkritik kebijakan pemerintah.
Pembaharuan juga dilakukan dengan jalan pembentukkan provinsi sebagai Gedecentraliceerde Gewesten. Terbentuknya Decentralisatie Wetgeving 1903 bukan berarti mengakhiri perdebatan tentang konsep desentralisasi, malah perdebatan mulai berubah bukan pada tahap perjuangan legislasi lagi namun koreksi terhadap desentralisasi yang dilancarkan. Medezeggenschap yang seluas-luasnya harus dilakukan, lebih-lebih untuk pribumi yang notabene mayoritas. Pada 1909 keluarlah Nota de Graff yang membuka bestuurhervoming yang berkaitan dengan reorganisasi struktur pemerintahan. Walau demikian penetapan Gewesten dalam rangka desentralisasi tidak selesai dengan cepat.  Akhirnya, berdasar amandemen pasal 119 RR 1854 dinyatakan bahwa wilayah Hindia Belanda dibagi kedalam satuan-satuan provinsi dan satuan-satuan daerah lainnya. Di setiap provinsi juga akan dibentuk Raden yang dinamakan Provinciale Raad.
Politik Etis yang dijalankan oleh pemerintah Belanda, telah mengantarkan inlanders –rakyat pribumi mulai memperoleh kedudukan dalam pemerintahan. Regrentschap atau Kabupaten –sebutan resminya: Afdeling van Gewesten, sejajar dengan istilah yang dipakai di Belanda, semakin membuka peluang pribumi untuk mengarahkan kebijakannya secara mandiri dengan adanya Raad yang diberi nama Regentschapraad –dalam hal ini, Regentschappen sebagai Gedecentraliseerde Gedeelten van Gewesten. Penetapan pejabat Binnenlandsche Bestuur -Eropa yang posisi jabatannya selalu di atas pejabat Pangreh Pradja yang pribumi, juga sudah tidak terlihat dan berimbang –dari 1583 anggota Regentschapraden, 837 (52,87%) diantaranya adalah orang-orang pribumi.
Pada 1916, pemerintah Hindia Belanda mulai mengangkat Burgemeester untuk mengepalai tiap-tiap Gemente yang telah dibentuk –yang kemudian disusul dengan pembentukan Dewan Pemerintah Daerah pada tahun 1922, karena pemerintah harus merupakan “pemerintahan kolegial”. Bagi Locale Resorten –yaitu Gewest dan Plaats, tidak dibentuk Dewan Pemerintah Daerah disamping Kepala Resort, melainkan hanya Kepala Resort/Daerah dan Raad saja –dimana Kepala Resort/Daerah juga merangkap/menjabat Ketua Raad. Keadaan ini ditanggapi oleh beberapa ahli tata pemerintahan seperti Mr. Woesthof dan Prof. Snouck Hurgronje. Mereka menghendaki agar diberikan peranan yang lebih besar lagi kepada penduduk asli untuk berperan serta di dalam pemerintahan. Maksud saran tersebut adalah agar bangsa Indonesia memperoleh politiek scholing –pengalaman politik yang merupakan keharusan disaat Hindia Belanda diberikan hak menjalankan pemerintahan yang bebas dalam lingkungan Kerajaan Belanda. Berkenaan dengan tuntutan itu, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Ontvoogding Ordonantie Ordonansi Pembebasan Perwalian tahun 1918 Nomor 674. Ordonansi ini mengatur pemberian kekuasaan oleh Gubernur Jenderal untuk menunjuk daerah mana yang dapat diberi hak perwalian. Sebagai percobaan untuk pertama kalinya, ditunjuk daerah Cianjur sebagai daerah yang bebas dari perwalian sebagaimana diatur dalam Staatsblad 1918 Nomor 675.
Pada tahun 1922, Menteri Urusan Kolonial (Menteri Jajahan) Simon De Graaf mengajukan rancangan undang-undang tentang perubahan Tata Pemerintahan Negara Hindia Belanda atau Bestuurhervormings. Rancangan undang-undang itu memperoleh sambutan baik di Parlemen Belanda. Sebagai hasilnya, pada tahun 1922 diundangkan Wet op de Bestuurhervorming –Bestuurhervormings Ordonantie tertuang dalam Staatsblad Tahun 1922 Nomor 216. Esensi dari ordonansi ini adalah perubahan dari susunan aparat dekonsentrasi serta pembaharuan dan reorganisasi badan hukum publik yang berdiri sendiri atau otonom atau zelfstandige publiek rechtelijke lichamen. Adapun alasan perubahan tersebut, adalah: (a) makin meningkatnya jumlah penduduk yang mengakibatkan terjadinya perubahan dan perkembangan dalam segala aspek kehidupan; (b) letak geografis, kebudayaan dan hukum, ekonomi dan sosial yang berbeda-beda sehingga memerlukan pengaturan sendiri-sendiri demi kepentingan daerah masing-masing; (c) untuk meringankan beban tugas pemerintah pusat dan untuk menetapkan pembagian tugas yang telah nyata kepada para pejabat dekonsentrasi dalam menjalankan tugas memimpin dan memberikan bimbingan dalam pemerintahan sehari-hari dan dalam melaksanakan pemerintahan umum; (d) pembentukan Locale Sorten terlalu sempit sehingga kurang efektif. Pembentukan Gemente atas suatu kota, erat sekali kaitannya dengan konsentrasi usaha atau kepentingan bangsa Eropa. Perkembangan ekonomi di Tanah Jajahan, mendorong perkembangan pemerintahan kota. Sejalan dengan hal tersebut, jumlah orang Eropa juga makin besar. Waktu itu, di kota terdapat pemimpin yang dualistis. Maka muncullah kritik yang menentang fungsi walikota yang dualistis. Maka sejak 1916, di kota besar, dualisme dalam pimpinan pemerintahan lokal dihapus dan walikota tidak lagi diambil dari pejabat Pangreh Praja.
Sampai dengan tahun 1918, kekuasaan pemerintahan di Tanah Jajahan sebagian besar berada di tangan bangsa Eropa yang lazim disebut Europeesche Bestursambtenaren. Baru sejak tahun itu pula, pelimpahan kekuasaan mulai terjadi –yang dikenal dengan sebutan: Ontvoogding atau pencabutan perwalian, yang mencabut sebagian kekuasaan dari tangan bangsa Eropa untuk dilimpahkan kepada penguasa bumi putera, sebagaimana diatur dengan Staatsblad Tahun 1918 Nomor 674. Dalam ordonansi tersebut disebutkan bahwa Gubernur Jenderal dapat menunjuk Afdeeling atau kabupaten di Jawa dan Madura, yang semula kewajiban dan kewenangan dilakukan oleh pejabat bangsa Eropa atau pejabat Bumi Putra yang tinggi diserahkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Gewest. Ontvoogding ini kelak direalisasikan dengan dibentuknya Kabupaten yang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Di luar Jawa dan Madura, Ontvoogding belum berjalan secepat di Jawa. Kebijakan ini meniru kebijakan Inggris di British India yang menuju pemerintahan sendiri. Namun sebenarnya pemerintah Hindia Belanda menjalankan kebijakan ini, dinilai oleh banyak pihak, sekedar untuk mengelabuhi mata dunia internasional. Karena kekuasaan yang diserahkan hanya meliputi bagian-bagian yang tidak penting. Sementara itu urusan yang penting seperti keamanan, masih berada dalam tangan bangsa Eropa.
Bahwa dalam merealisasikan Undang-undang Desentralisasi 1903 selama ini belum menyangkut hal yang mendasar dari tata cara mengatur rumah tangga suatu pemerintahan daerah dan baru menyentuh masalah yang remeh, maka muncul reaksi yang menuntut diadakannya perubahan secara besar-besaran. Pemerintah kolonial menjawab reaksi tersebut dengan mengeluarkan Wet op Bestuur Hervorming yang termuat dalam Staatsblad Tahun 1922 Nomor 216 yang berisi ketentuan yang membuka kemungkinan untuk mengadakan desentralisasi dan dekonsentrasi kekuasaan secara besar-besaran seperti disebutkan di depan. Undang-undang ini mempunyai dasar yang lebih kuat dari pada Desentralisatiewet 1903. Dalam pembentukan sebuah provinsi misalnya, sebelumnya dibentuk suatu Gewest bentuk baru atau Gewest besar yang bersifat administratif dengan ditentukan daerahnya yang meliputi beberapa Gewest yang telah ada. Gewest baru ini diberi hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Di samping itu juga, ditentukan urusan-urusan apa yang oleh pemerintah pusat diserahkan kepada daerah yang boleh diatur dan diurus sebagai urusan rumah tangganya sendiri. Sebenarnya wacana tentang kemungkinan untuk melakukan perubahan dalam tata pemerintahan lokal itu telah berkembang sejak tahun 1914 atau awal Perang Dunia I. Beberapa Menteri telah mengajukan rancangan undang-undang tersebut yang akhirnya muncullah konsep jadi, dan lahirlah undang-undang tersebut. Undang-undang ini merupakan penyempurnaan dari RR 1854 yang ditambah dengan 4 pasal baru, yaitu pasal 67a, 67b, 67c, dan 68 yang menjadi pasal 119, 120, 121, dan 122 pada Indische Staatsregeling. Adapun pasal 68 RR dipecah menjadi pasal 123, 124, dan 125 Indische Staatsregeling. Pasal 119 Indische Staatsregeling, menjadi dasar pembentukan Provinsi melalui Ordonansi Provinsi (Staatsblad Tahun 1924 Nomor 78). Pasal ini menetapkan bahwa Hindia Belanda akan dibagi kedalam dua macam wilayah, yaitu: provinsi dan wilayah bukan provinsi. Daerah provinsi harus dapat mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri.
Berdasarkan pada Stadsgemeente Ordonantie (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 365), dibentuklah perangkat pemerintahan Stadsgemeente yang terdiri dari Burgemeester atau Walikota, College van Burgemeester en Wethouders dan Stadsgemeente Raad. Tidak semua Gemeente mempunyai College karena beberapa diantaranya tidak memerlukannya. Tugas Stadsgemeente adalah mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan sama sekali tidak diberi wewenang untuk ikut melaksanakan urusan pemerintahan umum, sebab Stadsgemeente letaknya di dalam Regentschap sehingga tugas di bidang pemerintahan umum tersebut berada dalam tangan Regent serta aparaturnya. Demikian halnya dengan pembinaan terhadap desa, tetap dilakukan oleh Regent, walaupun dalam kota tersebut terdapat desa yang otonom. Tugas utama Stadsgemeente adalah mengurus kepentingan orang Belanda dan orang Eropa lainnya terutama mengurus jalan, riool, taman yang ada di kota serta sekitar pemukiman bangsa Eropa. Di wilayah Luar Jawa dan Madura, terdapat suasana yang berbeda. Menurut Groepsgemeenteschap Ordonantie (Staatsblad Tahun 1937 Nomor 464) dan Stadsgemeente Ordonantie Buitengewesten, dibentuklah beberapa Groep gemeenteschap dan Stadsgemeente. Sedangkan Locaal Ressort yang dibentuk berdasarkan Decentralisatiewet 1903, masih tetap dipertahankan. Reorganisasi wilayah dan pemerintahan yang diuraikan tersebut, hanya terjadi di wilayah yang langsung dikuasai Pemerintahan Hindia Belanda. Di luar wilayah tersebut terdapat unit pemerintahan lokal tradisional yang disebut Inlandsche Gemeente seperti Desa, huta, Marga dan sebagainya. Untuk wilayah Jawa dan Madura, Inlandsche Gemeente diatur dengan Inlandsche Gemeente Ordonantie yang disingkat IGO (Staatsblad Tahun1906 Nomor 83) adapun untuk wilayah Luar Jawa dan Madura diatur dengan Inlandsche Gemeente Ordonantie Butengewesten (IGOB) dalam Staatsblad Tahun 1938 Nomor 490, Bijblad 9308, Staatsblad Tahun 1931 Nomor 507, dan Desa Ordonantie Staatsblad Tahun 1941 Nomor 356. Desa Ordonantie ini tidak sempat diterapkan karena pecahnya Perang Dunia II. Di wilayah yang tidak dikuasai langsung oleh Belanda terdapat Daerah Otonom yang disebut Zelfbestuurende Landschapen. Daerah ini terdiri dari kerajaan asli Indonesia yang mempunyai ikatan dengan pemerintah Hindia Belanda melalui kontrak politik, baik kontrak politik panjang maupun kontrak politik pendek.
Sebagai Kepala Pemerintahan di tingkat Provinsi, Gubernur melaksanakan tugas pemerintahan dalam bidang yang tidak diserahkan kepada Provinciale Raad, baik yang berupa hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri atau hak medebewind (tugas pembantuan). Tentang hal yang bukan urusan pemerintah provinsi, Gubernur berada di luar pengawasan Dewan Provinsi. Dalam hal itu Gubernur bertindak selaku aparat pemerintah pusat, merupakan Kepala Gewest Besar administratif yang bertanggung jawab kepada pemerintah pusat. Dalam Gewest yang belum berkembang –sehingga provinsi belum dapat dibentuk, seluruh pemerintahannya dijalankan oleh pejabat tinggi pemerintah atas nama Gubernur Jenderal. Daerah semacam ini dinamakan Gubernemen. Dalam menjalankan tugasnya, Kepala Gubernemen dapat membentuk Dewan Penasihat yang bertugas membantu Kepala Gubernemen seperti di Daerah Yogyakarta dan Surakarta. Di luar Jawa, wilayah Tanah Jajahan dibagi menjadi Gubernemen Sumatra, Borneo, dan Gubernemen Timur Besar.
Bersamaan dengan berkembangnya pergerakan nasional yang minta perhatian bagi tugas politik polisional, pemerintah kolonial menaruh perhatian terhadap kedudukan Pangreh Praja yang spesifik. Dengan Staatsblad Tahun 1922 tentang Bestuurhervorming kecuali dilaksanakan desentralisasi seluas-luasnya namun kedudukan Pangreh Praja dikembalikan pada posisi semula, yaitu tetap memegang kedudukan penting dalam Pemerintahan Lokal yang mengurus rumah tangganya sendiri. Perubahan semacam ini, dianggap masih juga belum memberikan kepuasan. Oleh karena itu, pada tahun 1931, penyempurnaan atas Staatsblad Tahun 1922 tentang Bestuurhervorming itu sebagaimana yang termuat dalam Staatsblad Tahun 1931 Nomor 168 mengatur tentang fungsi Asisten Residen yang dibagi menjadi antara Residen gaya baru, Asisten Residen, dan Bupati. Dalam tahun 1938-1939, diterbitkan beberapa Ordonantie yang mengatur hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Lokal. Dengan dikeluarkannya ketetapan tersebut, rencana untuk mengadakan desentralisasi menjadi semakin jelas.
Restrukturisasi birokrasi pemerintahan kolonial, telah terjadi sejak awal abad ke-19. Daendels telah menghapus jabatan Gubernur, tetapi pada masa kemudian, dengan dibentuknya Gewest Besar maka jabatan Gubernur dihidupkan kembali. Satu hal yang penting untuk dicermati adalah apakah alasan pembentukan kembali jabatan Gubernur tersebut. Salah satu dari alasan tersebut adalah bahwa jabatan gubernur itu diperlukan untuk menghindarkan terkonsentrasinya wewenang pada beberapa posisi, baik posisi yang lebih tinggi maupun posisi yang lebih rendah. Jabatan gubernur berfungsi untuk mengalihkan kewenangan tertentu dalam bidang pemerintahan dari Gubernur Jenderal dan Direktur di Departemen, kepada Gubernur maupun sebagian dari kekuasaan Residen yang ada di bawahnya. Dengan demikian, pengurangan kekuasaan dari pusat ke daerah yaitu ke tangan gubernur, adalah sejalan dengan prinsip desentralisasi. Gubernur adalah kepala Gewest baru. Sementara itu, urusan penting tertentu seperti urusan keamanan dan militer yang semula berada di tangan Residen, dipindah-tangankan kepada Gubernur karena posisi Residen memang terlalu rendah dalam melakukan komunikasi dengan penguasa lokal tradisional. Residen gaya baru menjadi Kepala Afdeling dan mengambil alih fungsi Asisten Residen gaya lama. Dengan demikian kekuasaan Gubernur sebagian besar terdiri dari yang dikonsentrasikan. Di bawah organisasi lama seperti yang ada di Luar Jawa, praktis masih tetap seperti sebelumnya. Di daerah tersebut para Residen masih berkuasa seperti sebelumnya. Di Jawa dan Madura Residen turun fungsinya menjadi Kepala Afdeling.
Di Luar Jawa, Residen membawahi Kepala Onderafdeling yang sebagian besar dilakukan oleh Controleur atau Civiel Gezaghebber. Di antara Residen dan Onderafdeling yang terutama untuk mengawasi dan untuk memberikan bimbingan, ditempatkan Kepala Afdeling yang sebagian besar dilakukan oleh Asisten Residen. Pangreh praja bumi putera, berada di bawah kekuasaan Onderafdeling. Di kebanyakan Gewest, pangreh praja bumi putera diorganisasikan sesuai dengan hukum adat, seperti yang terjadi di Aceh dan Sulawesi Selatan. Di daerah yang tidak mengenal hukum adat yang besar, dibentuklah wilayah yang dikepalai oleh Kepala Distrik atau kadang-kadang oleh kepala Onder-distrik seperti yang dijumpai di Sumatera dan Kalimantan. Di Indonesia Timur, pemerintah bumi putera tidak diberi wilayah. Penguasa lokal atau pemuka adat di wilayah ini, difungsikan sebagai pembantu Kepala Onderafdeling dengan sebutan Bestuurassistenten. Beberapa Bestuurassistenten ada yang mempunyai wilayah sendiri, namun ada pula Kepala Distrik yang wilayahnya menjadi satu dengan daerah Onderafdeling yang ia bertindak sebagai pembantunya. Di daerah ini kadang-kadang ada pejabat pemerintahnya berasal dari bumi putera.
Pemerintahan Pangreh Praja, pada awal abad ke-20, dapat dibedakan menjadi: Europeesche Bestuur –yaitu pemerintahan Pangreh Praja yang dikendalikan oleh orang Belanda; Inlandsche Bestuur –yaitu pemerintahan Pangreh Praja yang dikendalikan oleh orang bumi putera; dan pemerintahan Timur Asing –yang dikendalikan oleh orang Timur Asing atas orang-orang Timur Asing. Inlandsche Bestuur dapat dibedakan antara yang berada di bawah langsung dan yang tidak berada di bawah langsung Pemerintah Hindia Belanda. Di daerah yang di bawah langsung oleh pemerintah Hindia Belanda, dapat dibedakan antara Inheemsche Gouvernemen Bestuur atau Pemerintahan Bumi Putera dan Inlandsche Gemeentelijk Bestuur atau Pemerintahan masyarakat Hukum Bumi Putera. Dalam Inheemsche Gouvernement Bestuur, Bupati merupakan pejabat yang tertinggi. Di atas Inlandsche Gemeentelijk Bestuur yang sudah ada sebelum kedatangan orang Belanda, diangkat Kepala Distrik dan kepala Onder-distrik yang pada pokoknya bertugas sebagai penghubung antara Pemerintahan Masyarakat Hukum Bumi Putera dengan Pemerintahan Hindia Belanda. Di daerah yang tidak langsung dikuasai pemerintah Hindia Belanda disebut Zelfbestuurende Landschappen atau daerah Swapraja, Daerah Istimewa.
Tentang Inheemsche Gouvernement Bestuur yang ada di daerah Luar Jawa dan Madura mempunyai susunan yang berbeda. Di dalam Gubernemen Timur Besar terdapat Kepala Distrik dan kepala Onder-distrik, Bestuur Asisten dan Hulp Bestuur Asisten. Dalam Gubernemen Borneo didapati Kepala Distrik dan kepala Onder-distrik yang disebut Kyai dan Asisten Kyai. Dalam Gubernemen Sumatera dijumpai Kepala Distrik dan kepala Onder-distrik, yang di Daerah tertentu seperti Aceh disebut Demang dan Panglima Sogi atau Oelebalang. Bagi kepentingan kelompok minoritas seperti orang Cina dan Arab –yang disebut dengan orang Timur Asing, diberi ketentuan khusus untuk menjaga hubungan baik antara pemerintah Kolonial dengan kelompok tersebut. Bagi golongan itu –apabila jumlahnya mencukupi, diberi kesempatan untuk mempunyai pemimpin mereka sendiri. Orang Cina biasanya dipimpin oleh seseorang Kepala dengan pangkat Kapitan. Bagi kelompok ini diberlakukan hukum yang khusus berlaku bagi mereka. Kepala pemerintahan golongan itu merupakan pegawai dari pemerintahan Hindia Belanda tetapi berbeda dengan Kepala Distrik atau Onder-Distrik karena tugasnya sangat bersifat setempat. Kepala pemerintahan itu tidak mempunyai fungsi yang disertai kekuasaan yang sebenarnya. Tugas mereka lebih bersifat polisi yaitu menjaga ketertiban dan melakukan pemungutan pajak dikalangan golongan mereka sendiri. Mereka juga tidak memiliki kekuasaan untuk pengaturan dan peradilan. Bagi orang Arab, pemimpin mereka disebut Hoofd atau Kepala. Mereka diangkat oleh Gubernur Jenderal dan dibawah perintah Europeesche Bestuur dan dengan Inlandsche Bestuur tidak ada hubungan hirarkhis sebagaimana diatur dalam Staatsblad Tahun 1928 Nomor 35 jo. Staatsblad Tahun 1938 Nomor 374. Deskripsi di atas adalah menggambarkan pemerintahan lokal, khususnya Pemerintahan Umum Pusat di daerah atau Pangreh Praja dan pemerintahan Lokal yang Mengurus Rumah Tangganya Sendiri atau Pemerintahan Daerah Otonom. Pada pergantian penguasa dari pemerintah Inggris ke pemerintahan Belanda, pada 1816, di tingkat pemerintahan pusat dilaksanakan reorganisasi.
Di pemerintahan pusat, mempunyai sekretaris sendiri yaitu Sekretaris Umum atau Algemeen Secretarie. Satuan militer yaitu Angkatan Darat dan Angkatan Laut mempunyai pimpinannya sendiri. Selain itu terdapat Sekretaris Khusus yaitu Direksi Jenderal Keuangan, Pendapatan dan Milik Negara, Produksi dan Gudang-gudang Sipil, Perkebunan. Direksi Jenderal ini membentuk Jawatan vertikal di Gewest yang dipimpin oleh Inspektur. Pada waktu itu, Jawatan Duane atau Bea Cukai adalah merupakan jawatan yang rapi dan pegawainya ahli dari jawatan vertikal eselon bawah sampai eselon atas. Pajabat dari jawatan vertikal bertanggung jawab kepada Direksi Jenderal dan di bawah pengawasan Pangreh praja. Karena alasan penghematan, Gubernur Jenderal Du Bus van Gesiegnis cenderung menghapuskan jawatan vertikal. Kebijakan itu berubah saat pemerintahan Gubernur Jenderal Dumaer van Twist yang memerintah pada 1851-1856. Untuk menyesuaikan organisasi dengan yang ada di Negeri Belanda, tugas pemerintahan dibagi habis diantara departemen yang ada. Pada tahun 1855, Direksi Jenderal dibubarkan dan dibentuklah Direksi sendiri-sendiri. Pada 1854 dibentuk Departemen Pekerjaan Umum namun pelaksanaannya sebenarnya dari RR dan baru dijalankan setelah Comptabiliteitwet yang dicanangkan oleh Menteri Fransen van der Putte pada 1864 yang membagi pengurusan keuangan antara Departemen-departemen yang ada. Pada tahun itu pula dibentuk Departemen Keuangan, Departemen Dalam negeri, Pekerjaan Umum, Pendidikan dan Pengajaran, dan Departemen Angkatan Laut dan Darat. Keadaan ini berlangsung sampai dengan tahun 1870. Pada tahun ini dibentuklah Departemen Kehakiman. Sebelumnya, Departemen Kehakiman dilayani oleh Mahkamah Agung terutama oleh Pokrol Jenderal.
Pada 1867, Gubernur Jenderal mengeluarkan keputusan yang tertuang dalam Staatsblad Tahun 1867 Nomor 114 yang menetapkan bahwa kepala Gewest berada dibawah perintah langsung Gubernur Jenderal. Selain itu, Kepala Gewest juga harus menurut petunjuk Kepala Departemen, kecuali apabila menurut pendapatnya tidak sesuai, ia dapat mengajukan hak itu kepada Gubernur Jenderal. Pada saat itu, mulai dipisahkan fungsi Pangreh Praja dengan Kehakiman. Jawatan kepolisian yang merupakan aparat penting bertugas melindungi rakyat, pemerintah, serta mencari pelanggar hukum. Jawatan Kepolisian masih berada dibawah perintah Pangreh Praja. Menurut Bestuurhervorming 1922, Hindia Belanda dibagi menjadi 8 Gewest bentuk baru dan wujudnya berupa 3 provinsi, dan 5 Gewesten (2 Gewest/Gubernemen di Jawa dan Madura, dan 3 Gewest/Gubernemen di Luar Jawa). Tiga Provincie, yakni: Provincie West-Java atau yang disebut Pasoendan, 1 Januari 1926; Provincie Oost Java –Jawa Timur, 1 Januari 1929; dan Provincie Midden Java –Jawa Tengah, 1 Januari 1930. Daerah administratif di Jawa dan Madura seluas daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri dibagi dalam daerah administratif Karesidenan, Kabupaten, Distrik, dan Onder-distrik. Daerah Gewest/Gubernemennya adalah Yogyakarta dan Surakarta –gubernemen yaitu wilayah yang langsung diperintah oleh pejabat-pejabat gubernemen. Sementara itu di Luar Jawa (Gewest Sumatera, Gewest Borneo –Kalimantan, Gewest Grote Oost –Timur Besar, yang terdiri dari: Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan Irian Barat), gewest/gubernemen dibagi atas daerah administratif Karesidenan atau Gewest lama, Afdeling, Onderafdeling, Distrik, Onder-distrik. Gewest/Gubernemen Sumatera dibagi atas 10 Karesidenan, Gewest/Gubernemen Borneo dibagi atas 2 karesidenan, dan Gewest/Gubernemen Timur Besar terbagi atas 5 karesidenan. Daerah Yang Mengurus Rumahtangganya Sendiri Propinsi dibagi atas Daerah Yang Mengurus Rumahtangganya Sendiri Groepgemeenteschaap dan Kotapraja.

Masa Pendudukan Jepang
Saat Hindia Belanda jatuh ditangan Jepang, sistem hukum yang ditinggalkan Belanda banyak yang diganti. Desentralisasi yang telah lama diusahakan, kembali pada pemerintahan yang sentralistis dan hierarkis. Pemerintahan militer Jepang dengan Undang Undang Osamu Seirei Nomor 1 tanggal 7 Maret 1942, membagi Hindia Belanda menjadi 3 wilayah komando, yaitu: Jawa dan Madura, Sumatera yang dikontrol dari Singapura, dan bagian Timur yang dikontrol dari Makassar. Pemerintahan yang dibuat secara sentralistis dan terkomando ini, tentu saja tidak terlepas dari usaha Jepang memaksimalkan negara yang telah didudukinya untuk menunjang segala keperluan mereka dalam peperangan yang bisa dikontrol dengan baik dibawah pemerintahan yang sentralistik.
Wilayah Indonesia dibagi atas tiga wilayah pemerintahan, yaitu: Pemerintah Militer Angkatan Darat untuk Jawa dan Madura yang berkedudukan di Jakarta; pemerintahan Militer Angkatan Laut untuk Sumatra yang berkedudukan di Bukittinggi; dan pemerintahan Militer Angkatan Laut untuk Sulawesi, Borneo, Sunda Kecil, Maluku, dan Irian Barat yang berkedudukan di Makassar. Pemerintahan Balatentara Jepang tidak dapat memikirkan tentang penyelenggaraan pemerintahan lokal sebab perhatian mereka tercurah pada mensukseskan perang Asia Timur Raya. Segala sesuatu yang menyangkut pemerintahan, diarahkan pada tujuan mereka yaitu mensukseskan perang tersebut. Dalam menghadapi peperangan balatentara Jepang yang sedang memuncak, maka pemerintahan harus sentralistis, oleh karena itu desentralisasi harus ditiadakan. Reorganisasi yang dilaksanakan oleh Balatentara Jepang adalah melaksanakan Perubahan Tata Pemerintahan Daerah yang termuat dalam Undang-undang tahun 1942 nomor 27. Menurut Undang-undang tersebut, Pulau Jawa dan Madura dibagi menjadi Daerah Syuu –setaraf Karesidenan. Setiap Syuu, dibagi menjadi Ken atau Kabupaten dan Si (setaraf Stadsgemeente). Disamping itu, ada Tokubetsu Si atau Stadsgemeente Luar Biasa, kota yang istimewa yang ditunjuk oleh Gunseikan, Panglima Balatentara Jepang, yang mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan. Pada tingkat bawah ada Gun atau Distrik, Son atau Onder-Distrik, dan Ku atau Desa. Daerah Swapraja atau berpemerintahan sendiri –seperti Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, disebut Kooti. Selanjutnya, wilayah provinsi dengan gubernurnya, dihapus. Demikian pula dengan Afdeeling dan Asisten Residen, ditiadakan.
Pada tahun 1943, ditetapkan bahwa Kentyoo atau Bupati sebagai Kepala Wilayah di Kabupaten diwajibkan mengganti dan memegang kekuasaan yang dahulu dipegang oleh Regentschaapraad dan College van Gecoominteerden. Sedangkan Sityoo, diwajibkan mengganti dan memegang kekuasaan yang dahulu dipegang oleh Gemeenteraad dan College van Burgemeester en Wethouders. Hal ini berarti bahwa kekuasaan dalam daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri –yaitu Kabupaten dan Kota, diserahkan kepada seorang pejabat saja, dan dewan yang ada, dibekukan. Dengan demikian, yang terjadi adalah pemerintahan tunggal. Pemerintah Militer Jepang, hanya menyelenggarakan bidang dekonsentrasi. Syuutjoo, kekuasaannya lebih besar dari seorang Residen pada masa kolonial Belanda –karena ia mengerjakan tugas pemerintahan militer sehari-hari di bawah pengawasan dan atas nama Gunseikan. Syuutjookan juga diwajibkan membuat undang-undang yang terkenal dengan sebutan Syuurei yang mengatur segala urusan di wilayahnya, baik ketataprajaan; militer; kepolisian; dan ekonomi. Sistem pemerintahan tunggal semacam itu, berlangsung sampai September tahun 1943. Pada tahun itu dibentuk dewan, baik di pusat dan daerah, yang bertugas memberi nasihat kepada pejabat tunggal tersebut. Karena sebatas penasihat, maka kebijakan Syuutyokan tak bergeser karena ia menjalankan tugas atas nama Gunseikan. Terlebih lagi, masa itu situasi peperangan semakin memuncak. Dengan menyerahnya balatentara Jepang kepada Sekutu, lenyaplah kekuasaan balatentara Jepang yang meninggalkan akibat buruk pada lapangan pengetahuan dan pengurusan rumah tangga daerah.

***