Senin, 29 Desember 2014

Srikandi Indonesia yang Menenun Sepi



Inggit Garnasih, sebenarnya, merupakan perempuan yang turut mengharumkan nama bangsa Indonesia. Posisinya sebagai istri Soekarno, mampu menjadi sumber inspirasi perjuangan. Jika Soekarno adalah api, maka Inggit Garnasih menjadi kayu bakarnya. Inggit Garnasih menghapus keringat ketika Soekarno kelelahan, dan menghiburnya ketika kesepian. Inggit Garnasih menjahitkan ketika kancing Soekarno lepas, serta hadir ketika Soekarno muda membutuhkan kehangatan perempuan sebagai istri; ibu; maupun teman. Pengorbanan dan kesetiaan Inggit Garnasih kepada Soekarno pun, luar biasa. Ia rela hidup memisahkan diri, justru pada saat berada di puncak kejayaan Soekarno. Inggit Garnasih bagi Soekarno, laksana Siti Khadijah bagi Muhammad. Bedanya, Muhammad setia hingga Khadijah wafat, sedangkan Soekarno menikah lagi dan melangkah ke gerbang istana. Akhirnya, Inggit Garnasih pulang ke Bandung, menenun sepi.

Pernikahan Soekarno dengan istri pertamanya –Siti Oetari, berumur 16 tahun, bisa dikatakan sebagai pernikahan yang diikat oleh perasaan kasihan. Dalam perjalanannya, hubungan mereka lebih sebagai kakak beradik. Pernikahan antara keduanya, layak disebut kawin gantung –secara umur, keduanya memang belum matang, meskipun sah menurut agama Islam. Akan tetapi, bagaimana pun juga, pernikahan itu menguntungkan posisi Soekarno –karena ia dihadapan orang banyak, adalah: menantu Tjokroaminoto. Ketika Soekarno melanjutkan pendidikannya di Bandung, ia jatuh cinta pada ibu kos-nya –Inggit Garnasih. Dalam kamus hidup Inggit Garnasih, hanya ada kata: memberi. Inggit Garnasih pun lebih memilih bercerai, daripada dimadu dengan Fatimah. Fatimah dinikahi saat berusia 19 tahun, sementara Soekarno berusia 41 tahun. Soekarno mengganti Fatimah dengan nama Fatmawati, yang berarti: bunga teratai. Ketika Soekarno nekat menikahi Hartini, Fatmawati protes dengan meninggalkan Istana Negara. Saat Soekarno ke Jepang, ia bertemu dengan Naoko Nemoto. Pertemuan itu terjadi pada Juni 1959, saat Naoko menyambut Soekarno dengan menyanyikan Bengawan Solo. Hubungan mereka berlanjut ke pelaminan pada 3 Maret 1962, lalu Naoko Nemoto memperoleh nama baru, yaitu: Ratna Sari Dewi. Selanjutnya, Soekarno bertemu dengan Yurike Sanger, anggota Barisan Bhinneka Tunggal Ika –barisan muda-mudi berpakaian daerah sebagai pagar betis saat Presiden Soekarno menyambut tamu negara. Pandangan pertama dan perhatian Soekarno, membuat Yuri –Yurike Sanger takluk ketika sang presiden meminangnya. Setelah Yuri, istri-istri lain Soekarno adalah: Kartini Manoppo; Haryati; dan Heldy Djafar.

Dapur Revolusi Indonesia
Soekarno merupakan anak kedua dari pasangan Rd. Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai, kakak perempuannya –Soekarmini, lahir dua tahun sebelumnya. Koesno Sosrodihardjo –nama Soekarno saat kecil lahir pada tanggal 6 Juni 1901 di Surabaya, pada saat fajar menyingsing –Soekarno sering dijuluki: Putra Sang Fajar. Kelahirannya, disambut dengan meletusnya Gunung Kelud. Orangtuanya, merupakan orang pindahan dari Bali. Sebagai pegawai rendahan dengan tugas mengajar, kehidupan orangtua Soekarno bocah, memang masih jauh dari berkecukupan. Saat Soekarno berusia 6 tahun, mereka pindah ke Mojokerto. Keluarga ini mengambil seorang rewang –pembantu, nama: Sarinah. Rewang ini tidak digaji, tetapi ia tidur; tinggal; dan makan dengan keluarga Soekarno. Sosok Sarinah juga menjadi “rewang” yang merawat dan mendidik Soekarno di rumah. Darinya-lah, Soekarno mendapatkan pelajaran kasih sayang dan keberanian. Soekarno kecil, mulai belajar di sekolah rendah milik Belanda –Europeesche Lagere School. Di sekolah itulah untuk pertama kalinya, Soekarno –yang berumur 14 tahun jatuh cinta pada gadis Belanda bernama: Rika Meelhuysen –gadis yang pertama kali diciumnya.
Lulus dari ELS, ia melanjutkan ke Hoogere Burger School di Surabaya. Di sana ia tinggal di rumah kontrakan milik Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, di gang Paneleh. Ketika Soekarno datang ke Surabaya, Tjokroaminoto telah berumur 33 tahun. tjokroaminoto adalah tokoh gerakan yang suka berkeliling dalam rangka kegiatan organisasinya –Sarekat Islam, yang sedang bangkit memimpin gerakan massa rakyat. Rumah Tjokroaminoto juga, sering dijadikan tempat paratokoh pergerakan untuk mendiskusikan: pemikiran; taktik-strategi; dan masa depan perjuangan, untuk mengubah nasib rakyat yang tengah dijajah Belanda. Rumah Tjokroaminoto ini menjadi –seperti yang disebutkan Soekarno: Dapur Revolusi Indonesia. Di Surabaya, Soekarno semakin tumbuh dengan pemikiran dan cita-cita kemerdekaan. Ia mulai menulis artikel politik melawan kolonialisme Belanda di surat kabar Oetoesan Hindia, milik Tjokroaminoto. Kedekatan Soekarno dengan sang mentor –Tjokroaminoto, membuahkan suatu perasaan sungkan. Soekarno tidak bisa menolak permintaan pimpinan SI ini, ketika diminta menikahi anak perempuannya: Siti Oetari. Permintaan itu dilakukan, setelah istri Tjokroaminoto meninggal.

Srikandi Indonesia
Pertemuan Inggit Garnasih dengan Soekarno, tidak lepas dari suasana pergerakkan kebangsaan pada masa itu. Setelah lulus dari HBS –pada bulan Juni 1921, Soekarno melanjutkan pendidikannya ke Technische Hooge School di Bandung. Ia tinggal di rumah kos milik Haji Sanusi dan istrinya –Inggit Garnasih. Haji Sanusi adalah Ketua SI afdeling –cabang Bandung, dan kawan seperjuangan Tjokroaminoto. Pada ibu kos inilah, Soekarno jatuh cinta. Laiknya seorang ibu kos yang baik, Inggit Garnasih dengan sabar mendengar keluh-kesah anak kos-nya yang perlente dan bersemangat itu. Sesekali, sang ibu kos memberi masukan agar Soekarno berusaha memperbaiki hubungannya dengan Siti Oetari. Tapi, saran Inggit Garnasih itu tak pernah berhasil direalisasikan oleh Soekarno. Barangkali, dengan menjalin cinta dengan seorang perempuan yang lebih tua umurnya, Soekarno merasa mendapatkan kenyamanan psikologis dan dituntut untuk berwatak dewasa. Jalinan hubungan ini semakin serius, yang mendorong mereka untuk berterus terang kepada Haji Sanusi dan Tjokroaminoto. Haji Sanusi juga mengetahui hubungan kasih antara Soekarno dan Inggit Garnasih, sehingga ia pun merelakan berpisah dengan Inggit Garnasih. Sebelum menikahi Inggit Garnasih, Soekarno sempat pulang ke Surabaya –karena Tjokroaminoto ditahan Belanda. Dalam kurun waktu ini, Soekarno cuti dari kuliah dan sempat bekerja sebagai “klerk” di stasiun kereta api. Setelah tujuh bulan meringkuk di penjara, Tjokroaminoto dibebaskan pada bulan April 1922. Soekarno pun kembali ke Bandung untuk melanjutkan kuliah, pada bulan Juli 1922. Pada tahun 1923, Soekarno dan Inggit Garnasih menikah –setelah Siti Oetari diceraikan Soekarno di akhir tahun1922 dalam keadaan masih gadis, dan masa iddah Inggit Garnasih bercerai dengan Haji Sanusi berakhir. Saat menikahi Inggit Garnasih, Soekarno menandatangani sebuah surat perjanjian yang berisi pernyataan yang diminta oleh Haji Sanusi, bahwa: Soekarno tidak akan menyakiti Inggit. Pada waktu itu, usia Inggit Garnasih lebih tua 12 tahun dari Soekarno.
Biaya kuliah Soekarno –hingga ia mendapatkan ijazah insinyur pada 25 Mei 1926, banyak dibantu oleh Inggit Garnasih. Perempuan ini membantu Soekarno, dalam suka dan duka. Ia menjual bedak; meramu jamu; dan menjahit kutang, untuk nafkah keluarga. Inggit Garnasih yang setia mencari uang, Inggit Garnasih yang mencintai Soekarno tanpa pamrih. Hal sama juga dilakukan Inggit Garnasih saat kelak Soekarno diasingkan ke Ende, hingga dipindah ke Bengkulu. Inggit Garnasih bisa membesarkan hati Soekarno, memberikan dorongan semangat, serta berbagi suka duka. Inggit Garnasih adalah pengobar semangat Engkus –panggilan sayang Inggit kepada Soekarno. Tak mengherankan jika dihadapan peserta Kongres Indonesia Raya di Surabaya –tahun 1932, Soekarno menjuluki Inggit Garnasih, sebagai: Srikandi Indonesia.
Kiprah politik Soekarno, semakin menguat. Dia mulai menyusun garis ideologinya, yang kemudian dinamakannya: Marhaenisme. Dia pu mendirikan perkumpulan Algemeene Studieclub, yang memunculkan para-intelektual muda Indonesia. Pikiran-pikiran Soekarno, dicurahkan pada majalah Soeloeh Indonesia Moeda. Pada 4 Juli 1927, Soekarno mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia –pada tahun 1928 berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia dengan tujuan: Mencapai Kemerdekaan Indonesia. Namun pada tahun 1928, gerakan “yang berani” dari Soekarno ini, mulai mendapat reaksi dari penjajah. Di depan Volksraad –Dewan Rakyat, Soekarno dituduh berusaha membangun federasi politik yang mengancam pemerintahan Belanda. Penangkapan terhadap Soekarno pun benar-benar terjadi, pada 29 Desember 1929.
Soekarno dimasukkan ke Penjara Bantjeuj –Banceuy yang letaknya di tengah-tengah Kota Bandung. Pada 18 Agustus 1930, Soekarno membacakan pledoi –pembelaan setebal 188 halaman yang judulnya: Indonesia Menggugat, dihadapan muka pengadilan. Pihak Belanda sangat terkejut dengan pledoi Soekarno, tidak habis pikir dengan materi pledoi yang didapat Soekarno. Sebenarnya, pledoi itu mulai ditulis sejak Soekarno berada di sel tahanan. Buku; kertas; dan alat tulis, didapat dari istrinya –Inggit Garnasih dan teman-teman Soekarno, yang diselundupkan ke dalam tahanan. Inggit Garnasih, baru bisa bertemu setelah Soekarno berada di hari ke-40 dalam tahanan. Mereka melepas kangen, di ruang tamu. Inggit Garnasih, diberi kelonggaran untuk berkunjung sebanyak dua kali dalam seminggu. Keduanya mulai sadar, bahwa perjuangan untuk meraih kemerdekaan itu membutuhkan pengorbanan besar. Peran Inggit Garnasih sangat besar dalam menjadikan dirinya sebagai “penghubung” antara Soekarno dengan parapejuang lainnya. Inggit Garnasih adalah sumber informasi dan pengamat jitu, untuk mengetahui segala yang terjadi di luar bilik penjara. Meski pemeriksaan ketat diberlakukan di sana, Inggit Garnasih berhasil mengecoh sipir penjara dengan menggunakan Al-Qur’an dan telur rebus –sebagai media komunikasi untuk menyampaikan situasi di luar. Telur yang dibawa Inggit Garnasih, terlebih dahulu telah ditandai dengan tusukan halus di luarnya. Satu tusukan berarti “situasi aman”, dua tusukan artinya “seorang kawan tertangkap”, bila ada tiga tusukan menandakan adanya “penyergapan besar-besaran terhadap aktivis pergerakan”. Hal yang sama juga dilakukan pada Al-Qur’an, jika kiriman buku diterima pada 17 Mei misalnya, maka Soekarno akan membuka surat Al-Qur’an kelima halaman 17 dan mencari lubang-lubang kecil dibawah huruf tertentu dari bagian tersebut agar membentuk rangkaian kalimat. Untuk menulis pesan Soekarno, Inggit Garnasih menggunakan kertas rokok lintingan –Inggit Garnasih memang berjualan rokok buatan sendiri. Rokok yang diikat dengan benang merah –berisi pesan-pesan Soekarno, dijual kepada parapejuang. Selama Soekarno dalam penjara, Inggit Garnasih setia menempuh perjalanan sejauh 30 km dari Ciateul –rumah Inggit.
Sidang, menjatuhkan Soekarno dengan empat tahun kurungan dalam sel penjara. Soekarno pun dipindahkan ke penjara Soekamiskin dengan pengawasan yang ketat, berada dalam satu tahanan dengan orang-orang Belanda yang dipenjara karena menggelapkan uang atau korupsi. Tetapi karena pidato pledoinya menggegerkan dunia, pemerintah kolonial Belanda terpaksa membebaskan Soekarno sebelum masa hukumannya selesai. Selepas keluar dari tahanan –31 Desember 1931, Soekarno mendirikan Partai Indonesia. Pemikiran Soekarno, dicurahkan lewat koran Fikiran Ra’jat. Strategi radikal non-kooperatif, dengan taktik vergadering –aksi massa dan machtsvorming –merebut kekuasaan. Oleh karena itulah, Soekarno mulai masuk dalam daftar hitam polisi kolonial. Dan ketika beredar brosur panjang yang berjudul “Mencapai Indonesia Merdeka” –yang ditulis Soekarno, maka cukup alasan bagi pemerintah kolonial untuk melakukan penangkapan terhadapnya. Setelah disidang pada bulan Agustus 1933, Soekarno dibuang keluar Pulau Jawa. Tempat itu dikenal dengan nama: Ende, sebuah kampung nelayan di Flores yang dihuni sekitar 5.000 orang dengan tingkat kebudayaannya yang masih tradisional dan sangat sederhana.
Bersama Inggit Garnasih, Soekarno menghabiskan waktunya –di Ende hingga tahun 1938. Dipembuangannya itu, Soekarno banyak belajar agama Islam. Soekarno mendirikan perkumpulan sandiwara, yang ia beri nama: Kelimutu. Ia juga menulis cerita sandiwara, sebanyak 12 buah karya. Pada bulan Februari 1938, Soekarno dipindahkan ke Bengkulu. Ia diajak oleh Hasan Din –ketua Muhammadiyah setempat, untuk membantu mengajar. Di sinilah, Soekarno bertemu dengan Fatimah –anak perempuan Hasan Din, dan keduanya jatuh cinta. Fatimah, kelak setelah dinikahi oleh Soekarno, namanya berganti menjadi: Fatmawati. Saat itu Fatimah –Fatmawati berumur 17 tahun, sedangkan Inggit Garnasih sudah berumur 53 tahun. awalnya, Soekarno ingin memadu Inggit Garnasih, alasannya adalah dirinya menginginkan keturunan –hal yang tak mungkin didapatnya dari Inggit. Tapi, Inggit Garnasih menampik. Ia mengizinkan Soekarno menikahi Fatimah, setelah Inggit Garnasih diceraikan terlebih dahulu. Ketika Jepang menyerang Indonesia, pemerintah kolonial Belanda bermaksud memindahkan Soekarno ke Australia. Tapi rencana tersebut gagal, dan Soekarno oleh tentara Jepang dibawa ke Jakarta. Perceraian pun terjadi pada tahun 1942, ketika mereka sudah tinggal di Pegangsaan Timur Jakarta.

Menenun Sepi
Inggit Garnasih, memang mencintai Soekarno: luar-dalam –sebuah kecintaan yang membuatnya rela menderita dan melarat. Tetapi, kecintaan itu tidak membuatnya kehilangan karakter sebagai seorang perempuan agung. Inggit Garnasih, tetap konsisten menolak poligami –meskipun harus kehilangan lelaki yang amat dicintainya.
Perceraian dengan Soekarno, membuat Inggit Garnasih kehilangan kesempatan menikmati “masa-masa emas” menjadi istri Soekarno. Padahal, jika ia bersedia dimadu, boleh jadi, dirinya-lah yang akan menjadi first lady –ibu negara dan menikmati sejumlah fasilitas. Tapi, Inggit Garnasih menyadari, bahwa tugasnya sebagai istri Soekarno telah usai. Ia telah menunaikan dengan sebaik-baiknya, sebuah “tugas historis” untuk mengantarkan seorang lelaki besar yang pernah dilahirkan bangsa ini, sampai ke pintu gerbang cita-citanya. Meskipun pernikahan dengan Soekarno tidak dikaruniai anak, mereka memiliki dua anak angkat, yaitu: Ratna Djoeami dan Kartika.
Engkus… geuning Engkus teh miheulaan, ku Inggit didoakeun” itulah kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Inggit Garnasih di depan jasad Soekarno, mantan suaminya. Baginya Soekarno adalah cinta sejati, mantan suami yang sangat dicintai dan dibanggakannya.
Inggit Garnasih yang menghabiskan masa tuanya di Bandung, kemudian menyusul Soekarno ke alam baka pada 13 April 1984 di usia 96 tahun. Inggit Garnasih dimakamkan di pemakaman umum Kopo, tanpa upacara, layaknya melepas seorang pahlawan yang berjasa membentuk pribadi tangguh seorang tokoh Proklamator.


***

1 komentar:

  1. What to Expect From a Casino - Find the Games
    The 실시간 바카라 사이트 casino is a relatively 스포츠토토 new casino, but it's still one of the best online 배팅사이트 casinos around. 슬롯 가입 머니 It's an old school game that had been 합법 도박 사이트 around for a while now.

    BalasHapus