Selasa, 20 Januari 2015

Garut, Surga dari Dunia Timur



Sejak tahun 1880-an, Garut telah memiliki hotel yang cukup terkenal bernama Hotel van Horck. Saat itu, objek wisata di Garut banyak dipromosikan di perusahaan pelayaran dan penerbangan Belanda. Salah satunya, dipromosikan oleh organisasi pariwisata bernama Nederlandsch Indische Hotelvereeniging. Objek-objek wisata Garut pun, dikenal di mancanegara. Kota Garut pun kemudian dijuluki sebagai: Paradijs van Het Oosten atau “Surga dari Dunia Timur”.
Paviliun Hotel van Horck, Leles - Garut.

Salah satu hotel di Garut yang terkenal ke macanegara pada abad ke-19, adalah Hotel van Horck. Hal ini tercatat dalam lembaran pariwara di surat kabar The Strait Times, edisi 29 Mei 1899, yang memberitakan kunjungan Dr. J. Scheltema dari Eropa yang menginap di salah satu paviliun hotel tersebut. Hotel van Horck ini dimiliki oleh CH van Horck, terletak di Leles dekat stasiun kereta api yang saat itu merupakan salah satu station kereta api utama dalam rangkaian jalur kereta api di Pulau Jawa. Hotel ini pada tahun 1921 direnovasi dan didesain ulang oleh Ghijsels van Arkel, dia adalah seorang bachelor architect lulusan Architecture at the Polytechnic in Deft Belanda. Banyak lagi bagunan hasil karyanya, dan sebagian telah dihancurkan. Berikut ini, catatan tiga pelancong mancanegara yang datang ke Garut dan menginap di Hotel Horck.
Hotel van Horck, 1900.
Taman Hotel van Horck, 1900.
Hotel van Horck di sebelah kanan.

Eliza Ruhamah Scidmore
Eliza Ruhamah Scidmore
Sebuah buku yang bertajuk, Java: The Garden of the East, pertama kali diterbitkan di Washington pada 1897. Buku ini menceritakan perjalanan Eliza Ruhamah Scidmore tahun 1890-an dari Batavia ke Buitenzorg, naik kereta api dari Buitenzorg, melintasi Cianjur dan sempat singgah di Bandung dan Lembang. Kemudian dia ke Surakarta, Yogyakarta, kembali ke Priangan, singgah di Garut dan mendaki Papandayan. Setelah singgah di Garut, Eliza pulang ke negaranya melalui Buitenzorg dan Batavia.
Eliza Ruhamah Scidmore, lahir 14 Oktober 1856 di Clinton, Iowa – Amerika Serikat. Ia seorang fotografer, juga sekaligus ahli geografi. Sepulang dari Jawa Tengah, Eliza Ruhamah Scidmore mengunjungi Garut. Dalam bukunya dia menceritakan bahwa membutuhkan setengah jam perjalanan dari Cibatu –stasiun kereta api. Waktu dia tiba, bersamaan dengan hujan yang lebat, membuat dia kehilangan panorama pegunungan hijau yang indah mengelilingi Garut. Dia menceritakan melihat persawahan, anak laki-laki menggembala kawanan angsa dan ada anak laki-laki yang menaiki kerbau, serta terdapat burung-burung. Eliza menginap di Hotel Horck –milik CH van Horck, hotel yang menurutnya terbaik di tengah Kabupaten Priangan. Hotel ini mempunyai teras, menghadap pemandangan yang bagus. Tempat tidur dengan bunga, dipadu batu dan kerang. Dalam bukunya Eliza melihat hotel itu punya hiasan seperti patung Mozart, meja panjang tempat orang-orang bercakap-cakap. Sekalipun cukup dingin, wanita-wanita Belanda ini –parapegawai hotel memakai kain sarung yang dipadu dengan dress. Kaki mereka kerap dibiarkan telanjang, mereka baik dan mampu berbicara bahasa Inggris. Eliza juga memberikan informasi yang didengarnya tentang piramid di Gunung Haruman Garut, yang diyakini dari masa lalu –jadi sebetulnya, heboh piramid di Garut saat ini juga sudah dibicarakan pada akhir abad 19.
Alun-alun kota, hijau asri, dimana terdapat rumah bupati pribumi –pada waktu itu diperintah Raden Adipati Aria Wiratanudatar VIII yang memerintah dari 1871 hingga 1915. Terdapat rumah warga Belanda, serta sebuah masjid. Mufti masjid sebelumnya sebetulnya seorang pria yang cerdas dan berpandangan bebas, dia hanya memiliki seorang istri. Dia mengizinkan istrinya –dengan wajah terbuka belajar Bahasa Belanda dan bertemu dengan tamu-tamu asingnya, baik laki-laki maupun perempuan. Para pelancong kerap membawa surat kepada mufti ini, dan mengutip perkataannya pada buku-bukunya. Namun sejak kematiannya, ulama yang lebih konservatif memerintah. (dalam catatan sejarah, Raden Haji Muhammad Musa, diangkat sebagai Hoofd-Panghoeloe/Penghulu Besar Garut pada masa itu, tahun 1864-1886).
Para wisatawan masa itu menganggap, pesiar besar di kawasan Garut ialah mengunjungi Kawah Papandayan. Gunung yang dilukiskan dalam bukunya itu, memiliki panjang 15 mil dan lebar 6 mil, menjadi tujuan Eliza dan rombongannya –tidak dilukiskan dengan detail siapa saja yang ikut, gunung itu pernah meletus sekitar seratus tahun ketika penulis buku itu berkunjung. Pada waktu itu (akhir abad ke-19) Papandayan masih beruap, bergemuruh seperti petir dan setiap saat bisa meledak. Dalam bukunya, Eliza mendapatkan informasi bahwa Papandayan meletus pada 1772. Massa padat gunung itu terlontar keluar ke udara, aliran lava tercurah, abu tumpah menutupi area seluas 7 mil persegi dan sekitarnya dengan lapisan lima kaki tebalnya. Letusan menghancurkan empat puluh desa, dan menewaskan tiga ribu jiwa dalam satu hari. Wisatawan bisa melihat bekas letusan di dekat gunung dan uap panas kerap ke luar. Eliza menceritakan dalam bukunya:
“Kami memulai perjalanan pada suatu pagi di bawah hujan dan melaju dua belas mil di dataran yang keras, jalan berpasir putih, terus perbatasan putih dengan naungan pohon. Kami melewati desa-desa yang basah dan tampak muram. Kami melalui dangau-dangau yang berada diantara sawah dimana anak laki-laki dengan katapel mengusir gagak yang menganggu sawah. Pemandangan ini mirip yang kami lihat di Hizen, Jepang” (halaman 314).
Djoelie atau Djoelis, tandu pengangkut.
Di Cisurupan, masing-masing rombongan diangkut dengan kursi yang ditandu empat kuli yang disebut Djoelie atau Djoelis –seperti yang dilihatnya di Lembang serupa dengan transportasi tandu di Cina Selatan. Rombongan melihat tanaman kopi di dasar gunung, kemudian melewati perubahan tanaman tropis ke tanaman sedang, pohon-pohon kopi yang tua terbengkalai. Bagian atas Papandayan masa itu, digambarkan, ada bagian yang berhutan lebat mirip hutan purba dengan pohon-pohon yang merambat. Diantara tanaman yang ditemukan terdapat tanaman, seperti: rotan dan anggrek dengan daun-daun hijau menyejukkan mata.
Para wisatawan ini, bertemu rombongan kuli yang membawa batu belerang –Eliza menyebutnya balerang berwarna kuning di keranjang pada punggungnya. Dari ketinggian, rombongan melihat pemandangan dataran Garut yang hijau. Bagian atas gunung, ada jaringan jalan putih. Rombongan, melewati sisi lain dari gunung yang solid yang dibuat oleh bekas letusan. (pada masa itu, parawisatawan, selain dapat menikmati pemandangan Kawah Manuk dan Taman Inggris, juga asitektur rumah tradisional Sunda di puncak gunung).
Kami melintasi daerah berbatuan dan melihat kolam balerang yang menggelegak seluas 5 acre. Penampilannya mirip kolam emas yang mendidih. Ada kekhawatiran kalau sewaktu-waktu kolam itu meledak dan menembak ke udara. Suara bergemuruh di bawah tanah terasa aneh, seperti suara rantai besi, seperti orang yang bekerja di bengkel. Mungkin ini yang menyebabkan gunung ini dinamakan Papandayan. Kuli-kuli yang membawa balerang berjalan hati-hati di antara kolam-kolam balerang. Sepatu kami saja tidak tahan terhadap uap panas. Belum lagi resiko gas-gas beracun seperti gas karbon dan hydrogen sulfur adalah ancaman maut. (halaman 319).
Orang dapat melihat Laut Jawa dan Samudera Hindia dari puncak Papandayan yang berada sekitar 7000 kaki dari permukaan laut, walaupun langit berawan. Kuli-kuli yang membawa Djoelis tidak menemukan jalan di tepi kawah untuk bisa membawa rombongan (resikonya bisa terguling karena kemiringannya). Mau tidak mau mereka harus turun berjalan kaki melewati semak-semak dan rumpun bambu, pelayan mereka berjalan mendahului.
Parakuli Djoelis ini diceritakan sebagai orang-orang yang malas, miskin, kerap ditipu pemilik lounge, karena mereka sulit menyediakan kuda yang bisa dibawa mendaki gunung. Kuli-kuli terlihat murung, berjalan tanpa alas kaki dan enggan kalau harus melewati semak-semak berduri. Beberapa kali kuli-kuli ini mengeluh, namun Eliza dan rombongan bersikeras ingin lihat Laut Hindia dari atas. Setelah melewati hutan bambu dan semak-semak, mereka tiba di daerah berbatuan. Mereka melihat pemandangan berawan, biru bercampur kelabu, musim hujan,
Kami kembali melihat pemandangan mosaic sawah dan dataran Garut yang kering serta kaki gunung, serta batas Laut Hindia berwarna keperakan. Kami melihat tanaman yang sudah dibudidayakan seperti teh, disusul kopi diketinggian di atasnya dan batas tanaman kina. (halaman 320).
Eliza teringat imajinasi dari ahli bedah dari VOC di Semarang pada 1773 bernama dr. Foersch, yang memberikan cerita perjalanan menakutkan melintasi lembah maut di dataran Dieng.
Rombongan, turun dan beristirahat di bangunan tempat paratamu dan batu-batu balerang diletakan. Para kuli membawa kami turun melalui jalur lain melintasi berbagai tanaman, diantara tanaman kopi yang tidak setiap waktu ada. Eliza tiba di Desa Cisurupan, dan mendapat sambutan dari kepala desa. Paratamu, diberikan suguhan pertunjukan gamelan dengan berbagai lagu. Menurut cerita Eliza, dia dan rombongannya tiba di Garut sore hari dan terlambat untuk mandi. Dalam bukunya ia menulis, terang bulan yang menyelimuti teras memberikan ingatan indah tentang jalan-jalan dengan pohon rindang di Garut, serta patung Mozart seperti memandanginya. Setelah singgah di Garut, Eliza pulang ke negaranya melalui Bogor dan kemudian lanjut ke Batavia.

Raja Chulalongkorn, Rama V
Raja Chulalongkorn
Raja Chulalongkorn –Phra Bat Somdet Phra Poramintharamaha Chulalongkorn Phra Chunla Chom Klao Chao Yu Hua, Phra Chulachomklao Chaoyuhua atau juga disebut: Rama V, adalah raja dinasti Chakri yang ke-5. Ia dianggap sebagai salah satu raja terbesar Siam –Thailand. Perhatian Chulalongkorn yang sangat besar bagi rakyat dan negrinya dianggap seperti seorang ayah kepada anaknya, karena itu rakyat Siam memberikan julukan kepadanya: Phra Piya Maharaj –Phra Piya (Ayah) Maharaj (Raja Besar). Rama V tercatat 3 kali mengunjungi Pulau Jawa, masing-masing: tahun 1871; 1896; dan tahun 1901. Karena terkesan oleh sambutan dan kebaikan orang Belanda di Batavia, Chulalongkorn mengirimkan sebuah patung gajah –yang sampai sekarang masih terpajang di depan Museum Nasional. Kunjungan pertama beliau ke Garut, dilakukan pada tahun 1871. Dalam kunjungan kedua pada 9 Mei 1896 sampai 12 Agustus 1896, beliau membawa banyak keluarga kerajaan dengan menggunakan kapal Maha Chakri. Berbeda dengan kunjungan sebelumnya, kali ini Rama V meminta agar tidak diadakan sambutan-sambutan resmi bagi rombongannya sehingga dapat lebih leluasa bergerak dan mengamati. Karena itu, perjalanan kali ini dapat berlangsung lebih santai. Di Garut, Rama V menginap di sebuah hotel dekat stasiun yang dimiliki oleh Van Horck.
Cipanas, Tarogong Garut.
Hampir setiap hari, Rama V datang ke Cipanas. Dalam perjalanan ia dapat menikmati pemandangan gunung-gunung, seperti: Gunung Guntur, Karacak, Cikuray, dan Gunung Papandayan. Di Garut, Rama V juga mendatangi tempat pembuatan sarung serta mengamati proses kerjanya. Beliau menyaksikan kegiatan panen ikan, menonton pertunjukan angklung, wayang, adu domba, dan lain-lain. Salah satu tontonannya adalah seorang penyanyi klab yang disebutnya sebagai orang Belanda kelahiran Jawa yang belajar menyanyi di Paris.
Rama V juga mengunjungi Situ Bagendit yang indah. Di sini, ia dijamu minum teh oleh Wedana dan Asisten Wedana. Residen, saat itu, juga mengajaknya berjalan-jalan keliling kampung melihat rumah Sunda yang hanya memiliki satu pintu pendek dan tanpa jendela. Setelah itu, diundang pula bertamu ke rumah residen.
Suatu hari, Rama V bersiap akan mendaki Gunung Papandayan. Malamnya, rombongan menginap dulu disebuah pesanggrahan di Cisurupan. Sebagai hiburan, malam itu digelar pertunjukan ronggeng dan wayang golek. Di masa itu sebagian kalangan menganggap ronggeng adalah pertunjukan seronok yang bahkan dilarang penampilannya di Yogya, Solo, atau Surabaya.
Dalam pendakian di Gunung Papandayan, Rama V menunggang seekor kuda, sementara ratu –Ratu Saovabha Bongsri dan perempuan lainnya menggunakan kursi yang ditandu oleh parapribumi –semasa hidupnya, Chulalongkorn memiliki 4 orang istri, 92 selir, dan 77 orang anak. Pendakian berhasil mencapai puncak, dan selewat siang hari, rombongan sudah kembali ke Cisurupan dan dilanjutkan pulang ke Garut.
Dari Garut, pada tanggal 17 Juni 1896, raja ke Bandung. Setelah itu, beliau juga mengunjungi Sukabumi dan Cianjur. Garut, ternyata mempunyai “tempat tersendiri” dihati sang raja. Setelah mengunjungi Sukabumi dan Cianjur pada tangga 20 Juni, keesokan harinya rombongan kembali berkereta api menuju Garut dan menginap di hotel yang sama seperti sebelumnya, yakni: Hotel van Horck. Pada tanggal 22 Juni, Rama V berangkat ke Wanaraja untuk pendakian menuju Talagabodas. Sekembalinya di Garut, Rama V mengisi waktu dengan menulis catatan perjalanan, mengunjungi pasar mingguan, dan menyaksikan perayaan sunat di rumah patih.
Talagabodas, Wanaraja - Garut.

Justus van Maurik
Justus van Maurik
Justus van Maurik juga, menyebutkan Hotel Horck di Garut. Ia adalah seorang pengusaha asal Belanda, yang datang ke Hindia untuk urusan dagang. Garut, menurut catatannya, memiliki iklim pegunungan yang sejuk. Banyak orang datang ke Garut, untuk memulihkan kesehatan mereka. Hotel van Horck, juga memiliki koleksi ayam jantan dan burung-burung. Selama tinggal di hotel ini, van Maurik meminta ayam dan burung dibawa menjauhi kamarnya, sehingga ia bisa tidur dengan tenang. Mungkin, suara dari hewan-hewan yang ada di hotel tersebut mengganggu ketenangan istirahatnya. Menurut Justus van Maurik, “di Garut, mendaki Papandayan, naik ke kawah, yang dikenal sebagai yang paling spektakuler di Jawa” - (Te Garut wordt de Papandayan beklommen, tot aan de krater, waarvan bekend was dat het de meest spectaculaire op Java is). Ia mendaki Papandayan dengan menaiki kuda, sementara rombongannya, tiga wanita, diangkut dengan sebuah tandu. Tidak ada catatan lain dari perjalanan Justus van Maurik ini, hanya setelah dari Garut, sebelum kembali ke Belanda, ia ke Surabaya terlebih dahulu dan bertemu Adhipatti Arijo Tjokro Negoro IV, Bupati Surabaya. Dalam catatan sejarah, Raden Adipati Arijo Tjokro Negoro IV adalah Regent van Soerabaja –bupati Surabaya 1863–1901.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar