Senin, 08 April 2013

Hari Budaya


Kebudayaan lokal Indonesia yang sangat beranekaragam serta memiliki keunikan tersendiri, menjadi suatu kebanggaan sekaligus tantangan untuk mempertahankan serta mewariskan kepada generasi selanjutnya. Banyak faktor yang menyebabkan budaya lokal “dilupakan” dimasa sekarang ini, misalnya masuknya budaya asing yang mungkin dinilai lebih praktis dan gaul.
Faktor lain yang menjadi masalah adalah kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya peranan budaya lokal sebagai identitas bangsa. Sebagai identitas bangsa, budaya lokal harus terus dijaga keaslian maupun kepemilikannya agar tidak dapat diakui oleh negara lain. Dimasa sekarang ini, banyak sekali budaya-budaya kita yang mulai menghilang sedikit demi sedikit. Tugas utama yang harus dibenahi adalah bagaimana mempertahankan, melestarikan, menjaga, serta mewariskan budaya lokal dengan sebaik-baiknya agar dapat memperkokoh budaya bangsa yang akan mengharumkan nama Indonesia juga supaya budaya asli negara kita tidak diklaim oleh negara lain.
Kodrat yang melekat pada identitas kita sebagai bangsa yang majemuk memang sepatutnya menjadi sebuah kebanggaan bersama. Bukan harus menghilangkan segala ciri perbedaan, namun justru sebaliknya. Penonjolan perbedaan yang mewarnai kehidupan berbangsa di antara kita menjadikan kita seragam dalam satu identitas sebagai Bangsa Indonesia –bangsa yang menghargai perbedaan.
Rasa primordialisme kedaerahan tampaknya bukan merupakan hal yang baru bagi kita. Bagi segenap warga negara, rasa memiliki daerah kelahiran asal merupakan identitas (kebanggaan) tersendiri. Ketika "orang asing" berani menghina suatu daerah, pada taraf tertentu kita jadi marah dan bersikap sensitif terhadap mereka.

Berbahasa Sunda di hari Rabu
"Bahasa Sunda Wajib Tiap Rabu"

Peraturan Daerah Nomor 09 Tahun 2012 tentang Penggunaan, Pemeliharaan, dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda ditetapkan melalui sidang paripurna di Gedung DPRD Kota Bandung, Senin (28/5/2012).
Latar belakang Perda Bahasa Sunda ini berangkat dari: “bahasa Sunda di Kota Bandung sudah jarang digunakan dan dikhawatirkan punah”. Perda itu mengatur antara lain setiap hari Rabu segenap warga Kota Bandung –baik pejabat maupun masyarakat, wajib menggunakan bahasa Sunda. Di sekolah pun pelajaran Bahasa Sunda wajib kembali dijadikan kurikulum, mulai dari SD, SMP, hingga SMA. Aturan lainnya: di hotel-hotel; kantor pemerintahan; dan kantor swasta wajib terdapat spanduk kata-kata "wilujeng sumping". Hal lain yang diatur dalam Perda Bahasa Sunda ini adalah soal perbanyakan buku bahasa Sunda, termasuk Al Quran dengan terjemahan bahasa Sunda. Para orangtua juga diwajibkan mendongeng sebelum tidur dengan bahasa Sunda kepada anaknya.
Mahasiswa UPI Bandung saat Peringatan Hari Bahasa Ibu, Selasa 21 Februari 2013.
Sebelum Perda ini dibuat, bahasa Sunda sudah digunakan di sekolah tiap hari Rabu sejak tahun 2006. Penggunaan bahasa dan aksara Sunda untuk nama-nama jalan di Kota Bandung juga sudah digunakan jauh sebelum Perda ini disahkan. Dengan pemberlakuan Perda Bahasa Sunda, segenap warga Kota Bandung –tak terkecuali pendatang, harus menaatinya. Meskipun demikian, walau dalam Perda diwajibkan berbahasa Sunda tiap hari Rabu, tidak ada sanksi bagi yang tidak menggunakannya. Sanksi tak diatur, tapi warga Kota Bandung memiliki tanggung jawab harus menggunakan bahasa Sunda jika ingin tinggal di Bandung. Dengan demikian, sanksi yang diterima berupa sanksi moral dan harus malu.
Sebagai catatan: Sebenarnya di tingkat Provinsi, Jawa Barat pernah memiliki Perda Nomor 06 Tahun 1996 tentang Pelestarian, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra dan Aksara Sunda. Perda itu ternyata dianggap belum mencerminkan Jabar yang multikultural dengan berbagai jenis tradisi bahasa, sastra, dan aksara. Perda Nomor 05 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah pun terbit sebagai penggantinya.

Beskap dan Kebaya di hari Kamis
Beskap dan Kebaya Solo
Para perempuan anggun berkain dan berkebaya, sedangkan para pria terlihat gagah mengenakan beskap dipadu kain jarit, belangkon, dan selop. Berbalut busana adat, mereka tetap tangkas bekerja. Begitulah pemandangan di lingkungan kantor Pemerintah Kota Solo, Jawa Tengah, setiap hari Kamis.
Kemeja batik juga dikenakan oleh pegawai negeri sipil (PNS) di Solo setiap Rabu dan Jumat. Para pria mengenakan beskap landung, yakni beskap tanpa coakan –tempat keris di punggung, tepatnya di pinggang bagian belakang. Kebaya Kutubaru dan Beskap Landung, merupakan model busana yang paling lama dikenal masyarakat Solo.
Kebaya Kutubaru dulu sering dipakai ibu-ibu petani sebagai ’seragam’ kerja di sawah. Berbeda dengan kebaya Kartini yang tertutup, dipakai di keraton.
Ketentuan yang mewajibkan PNS di Solo mengenakan busana adat sebagai seragam kerja diterapkan sejak Februari tahun lalu. Saat itu Wali Kota Solo, Joko Widodo –kini Gubernur DKI Jakarta memandang pentingnya memperkuat identitas kota Solo melalui pakaian yang dikenakan warganya.
Meski model dasarnya yang sama, detail Kebaya yang dikenakan bervariasi. Ada yang lengannya dibuat lebar atau dibordir. Agar praktis dikenakan, Jarit dijahit tanpa dipotong dan diberi retsleting lengkap dengan lipatan-lipatan kain atau wiru di bagian depan. Demikian pula kain bawahan Beskap, dijahit menjadi celana tetapi bagian depannya tampak seperti kain panjang dengan atau tanpa wiru –ini memudahkan pegawai yang bersepeda motor.
Pemakaian baju tradisional setiap Kamis di kalangan PNS Pemkot Solo ini dicanangkan sebagai upaya melestarikan Kebaya dan Beskap, yang merupakan pakaian tradisional Jawa. Pemkot Solo tidak ingin pakaian tradisional Jawa itu bernasib sama dengan Kimono di Jepang yang nyaris punah karena orang makin malas memakainya

Sadariah dan Kebaya Encim di hari Jum’at
Sadariah dan Kebaya Encim DKI Jakarta
Ketika terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo juga membuat peraturan yang mewajibkan PNS di DKI berpakaian adat setiap hari Jumat mulai Januari 2013 –Instruksi Gubernur No 6 Tahun 2013 tentang Penggunaan Pakaian Dinas Harian, yang ditetapkan pada 23 Januari 2013. Pakaian tradisional Betawi pada dasarnya mendapat pengaruh yang kuat dari Arab dan Cina, pakaian tersebut biasa dikenakan ketika bersantai atau untuk pergi mengaji, terdiri dari Kebaya Encim untuk perempuan dan Baju Sadariah untuk para pria. Para pegawai perempuanpun Berkebaya Encim –khas Betawi dan berkain. Sedangkan para pegawai pria mengenakan Baju Sadariah, yakni setelan baju koko, kopiah, dan berkalung sarung di leher.
Kebaya Encim sudah sangat akrab bagi perempuan di Jakarta, ruang padu-padannya pun cukup luas. Bagi pria, mengenakan Baju Sadariah juga relatif praktis, cukup dengan memadukan kemeja koko putih dengan celana kain yang biasa dipakai ke kantor ditambah peci hitam dan menyandang sarung.
Satu-satunya ”masalah” adalah: membiasakan menyandang sarung di bahu. Meskipun para PNS pria membawa sarung, kebanyakan memilih menyimpannya saja di ruang kantor –kalau dibawa kemana-mana, bisa-bisa ketinggalan.

Candi Muaro Jambi dan Buah Buku di hari Selasa dan Jum’at
Batik Jambi
Di Jambi, penghargaan pada warisan budaya ditunjukkan dengan menggunakan batik bermotif khas Jambi –seperti motif Durian Pecah; Candi Muaro Jambi; Buah Buku; dan Angso Duo, sebagai seragam kerja di kantor.
Di Bank Indonesia perwakilan Jambi, misalnya, para pegawai sepakat mengenakan batik Jambi setiap Selasa dan Jum’at. Mereka memesan kain batik dengan motif dan warna yang sama lalu menjahitkan sendiri kain itu sesuai selera masing-masing.
Seragam batik berwarna jingga dengan motif Candi Muaro Jambi dan Buah Buku yang mereka kenakan, kerap membuahkan pujian dalam pertemuan dinas bersama instansi lain. Hal tersebut membuahkan kebanggaan untuk memakai batik yang motifnya sangat khas Melayu.
Mengenakan batik khas Jambi dirasakan lebih praktis ketimbang pakaian adat Jambi berupa Baju Kurung Bertengkuluk –bagi perempuan dan Teluk Belango –bagi pria. Di lingkungan kantor Pemerintah Provinsi Jambi, para pegawai juga mengenakan batik khas Jambi setiap hari Kamis. Pakaian adat Baju Kurung Bertengkuluk dan Teluk Belango diimbau dikenakan pada Jum’at terakhir setiap bulan.
Tengkuluk adalah kain yang dililitkan di kepala perempuan. Dalam budaya Jambi, Tengkuluk kerap dipakai perempuan untuk melindungi kepala dari terik matahari di sawah, juga dipakai pula saat pengajian dan kondangan.
Pakaian Teluk Belango bagi pria, berupa setelan atasan baju koko Melayu senada dengan celana panjang dan sarung melingkari pinggang hingga sebatas lutut. Sayangnya, tradisi Berbaju Kurung dengan Tengkuluk dan Teluk Belango di lingkungan kerja, belakangan meredup. Memakai Tengkuluk dianggap kurang praktis.

Penutup
Di Indonesia, budaya berkain dan berpakaian adat kini hampir terlupakan. Pakaian adat sebatas dikenakan pada momen pesta atau upacara adat. Berbeda dengan Pakaian Sari di India, misalnya, masih lazim dipakai saat kerja kantoran ataupun kerja kasar di pasar. Karena itu, berpakaian adat ke kantor pada hari tertentu diperlukan untuk membangun lagi kesadaran dan kebanggaan terhadap aset budaya. Sebenarnya dari aspek psikologi mode, berpakaian adat ikut mempengaruhi tingkah laku seseorang. Pakaian yang dikenakan dengan penghormatan terhadap nilai budaya, secara sadar atau tidak akan membuahkan perilaku lebih berbudaya.





Mugia aya manfaatna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar