Minggu, 14 April 2013

Ngalogat Sunda




Kata Ngalogat, hingga saat ini belum masuk dalam entri kamus bahasa Sunda. Kamus Bahasa Sunda karangan Satjadibrata (1954) dan Kamus Umum Bahasa Sunda yang diterbitkan Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda (1995), hanya memuat kata Logat. Dalam Kamus Bahasa Sunda, Logat berarti: aturan ngalisankeun kecap-kecap. Sementara dalam Kamus Umum Bahasa Sunda, ada arti tambahan, yaitu: 1. aturan ngalisankeun kecap-kecap; 2. Kamus: logat Malayu, kamus basa Malayu; 3. Wewengkon, Dialék: ngomongna maké logat Minangkabow, ngomongna maké dialék Minangkabow.
Ngalogat, di pesantren Jawa Timur; Jawa Tengah; dan Daerah Istimewa Yogyakarta, disebut Maknani; Ngapsahi; atau Ngesahi. Menilik praktiknya di pesantren, Ngalogat berarti: mengartikan kata per kata berbahasa Arab –biasanya dalam kitab kuning dengan cara menuliskannya tepat di bawah kata yang dimaksud, menggunakan huruf Arab. Aturan penerjemahan ini mengikuti alur tata bahasa Arab yang memberi arti bagi setiap kata yang terkadang hanya terdiri dari satu huruf. Jika menerjemahkannya ke dalam bahasa Sunda, disebut Ngalogat Sunda. Demikian pula bila menggunakan bahasa Jawa atau Melayu, disebut ngalogat Jawa atau Melayu.
Bandungan - Ngalogat
Menurut KH Saifuddin Zuhri dalam buku berjudul Berangkat dari Pesantren yang terbit tahun 1984, menjelaskan proses berbahasa di kalangan pesantren sebagai berikut: “Kitab itu mula-mula dibaca kata demi kata dalam kalimat panjang. Tiap kata diterjemahkan melalui Logat Pesantren, bahasa daerah khas pesantren. Jika selesai satu kalimat, barulah diartikan makna keseluruhannya dalam bahasa yang lazim dipakai sehari-hari,”
Dari tradisi semacam ini lahirlah, karya-karya pesantren yang menggunakan bahasa daerah. Di Jawa misalnya, lahir Al-Ibriztafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa yang monumental karya KH Bisri Musthofa. Di Cirebon, KH Sanusi Babakan melahirkan kitab-kitab akhlak, fiqih, hingga tauhid berbahasa Cerbonan, dan sebagian ditulis dalam bentuk puisi. Di Sunda, KH Ahmad Makki menerjemahkan ratusan kitab-kitab kuning ke dalam bahasa Sunda. Di Banjar, Kalimatan Selatan, Syekh Arsyad al-Banjari menulis karya monumental dengan bahasa melayu, judulnya Sabilal Muhtadin. Di Sidrap Sulawesi Selatan, KH Abdul Mu’in Yusuf menafsirkan Al-Qur’an 30 juz dalam bahasa Bugis. Namanya Tafsere Akorang Ma’basatafsir yang menggunakan aksara Lontara ini berjumlah sebelas jilid. Isinya mencakup: munasabah ayat; asbabun nuzul; terjemah per ayat; dan penjelasan tiap-tiap ayat, tafsir ini ditulis selama delapan tahun, dari 1988 hingga 1996.
Untuk mempercepat Ngalogat –sebab seorang santri harus mengikuti pembacaan sang ajengan, digunakan sejumlah simbol yang diakui berasal dari Jawa. Simbol-simbol itu berkaitan dengan kedudukan sebuah kata (i'rab) menurut tata bahasa Arab.
Perkembangan Ngalogat Sunda kemudian, sepenuhnya mengikuti konvensi bahasa Sunda yang egaliter dan tidak terpaku pada satu aturan standar. Kosa-kata Sunda yang dipilih untuk menerjemahkan kosa-kata Arab itu, menyesuaikan kepada khazanah bahasa di mana pesantren berada. Sejauh ini, kekhasan Ngalogat tidak terletak pada bahasa Sunda lokal yang digunakan, seperti: Garut; Ciamis; atau Cianjur, tetapi lebih pada pribadi ajengan yang mengajarkan kitab jenis tertentu. Misalnya untuk tafsir Al-Jalalain, yang diakui secara luas adalah pembacaan yang dilakukan oleh Ajengan Santiong Cicalengka Bandung. Pembacaan Alfiyah Ibnu Malik merujuk kepada Ajengan Utsman dari Pesantren Sadang Wanaraja Garut. Dan pembacaan Jauhar al-Tauhid, merujuk kepada Ajengan Khoer Afandi dari pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya. Hasil Ngalogat dari para ajengan itulah yang kemudian meluas ke berbagai penjuru Sunda mengikuti persebaran para santrinya.
Dari alur seperti itulah, tradisi Ngalogat telah menjadi proses pewarisan bahasa Sunda yang efektif dan lestari, dan harus diakui telah teruji sebagai cara pembinaan bahasa Sunda yang baik menurut pesantren dan masyarakat di sekitarnya. Ngalogat telah mengabadikan kekayaan beragam dialek bahasa Sunda ke dalam sebuah sistem pengajaran yang sekalipun tidak dibakukan, namun dijaga oleh kepentingan sosial-historis –demi tetap berlangsungnya model pengajaran pesantren dan psikologis-spiritual –mengacu pada relasi antara ajengan-santri dan 'kepatuhan' pada sejumlah aturan dalam kitab kuning. Bahasa Sunda, dengan demikian semakin mengakar dalam diri santri, karena selain diharuskan mampu membaca secara benar dan menerjemahkan kitab kuning ke dalam bahasa Sunda, santri juga dituntut untuk mampu mentransformasikan hasil bacaannya dalam bentuk –terutama ceramah dalam bahasa Sunda. Dalam proses tersebut, ia akan dianggap berhasil jika mampu berbahasa Sunda secara baik yang diukur dari penerimaan masyarakat di sekitarnya.
Pesantren Manonjaya di Tasikmalaya, menjadi contoh yang sangat menarik. Di sini, santri akan menempuh sembilan tahun masa belajar yang dibagi dalam tiga tingkat. Sejak masuk di kelas satu hingga lulus kelas sembilan, santri belajar dengan cara Ngalogat Sunda. Sedangkan bagi santri dari: Aceh; Jambi; Bangka; dan wilayah luar Sunda lainnya, mereka pun harus konsisten menggunakan bahasa Sunda –mereka belajar di tatar Sunda, karena itu wajib belajar bahasa Sunda. Bahwa setelah pulang nanti mereka Ngalogat dengan bahasa ibunya kembali, bukanlah persoalan –yang penting selama belajar, mereka mampu berbahasa Sunda dengan baik.
Demikianlah, pesantren ternyata memiliki potensi besar untuk kelestarian bahasa Sunda –salah satu unsur penting dalam proses renaisans budaya Sunda itu. Sungguh membanggakan jika para inohong bisa mendorong potensi yang masih terpinggirkan itu, tampil ke tengah sehingga sejajar dengan komunitas Sunda lainnya. Lalu bersama-sama mewujudkan renasisans budaya Sunda yang tengah dicanangkan bersama ini.

Mangsi Gentur
Ngalogat
Di beberapa pesantren Jawa Barat, tradisi Ngalogat ini dilakukan dengan menggunakan mangsi (tinta) tradisional yang dinamakan Mangsi Genturkarena pembuatannya dilakukan masyarakat Kampung Gentur, Desa Jambudipa, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, maka tinta tersebut kemudian terkenal dengan sebutan Mangsi Gentur.
Mangsi khusus yang dibuat sendiri ini, menggunakan dua jenis bahan baku utama, yakni Jelaga dan Beras Ketan. Jelaga diperoleh dengan cara membakar minyak tanah di dalam kaleng bekas cat dan kemudian asapnya ditampung dengan menggunakan kaleng yang lebih besar. Jelaga yang sudah terkumpul kemudian dihaluskan di dalam sebuah tempat yang disebut Dulang.
Bahan baku lainnya berupa beras ketan digarang di atas wajan sampai menjadi arang. Arang beras ketan tersebut kemudian disiram air panas lalu digodok sampai mendidih sehingga terbentuk santan arang yang berwarna hitam. Kepekatannya akan bertambah setelah bubur arang ketan tersebut dicampur dengan Jelaga yang sudah dihaluskan.
Sebelum digunakan sebagai mangsi, cairan berwarna hitam tersebut disaring dengan kain lalu di dinginkan. Cara pembuatan mangsi di Garut agak sedikit berbeda, terutama dalam penggunaan bahan baku. Di Garut, bahan baku jelaga diperoleh dari merang –batang malai padi yang dibakar sampai menjadi arang.
Daya tahan mangsi tradisional ini terbilang spektakuler alias tahan lama bila dibandingkan dengan mangsi (tinta) modern sekarang ini.

Alfiyah
Dalam proses awal mempelajari tata bahasa Arab, santri belajar ilmu nahwu untuk memahami perubahan akhir setiap kata, bagaimana membunyikan huruf terakhir dari sebuah kata. Lalu belajar ilmu sharaf untuk memahami perubahan bentuk kata. Dengan sharaf, satu kata dasar bisa berubah-rubah hingga 2.500 bentuk baru.
Salah satu rujukan tingkat menengah yang tetap populer untuk mendalami tata bahasa Arab di pesantren, adalah Alfiyah karangan ibnu Malik. Selain kitab ini, masih banyak kitab yang bisa digunakan untuk mempelajari tata bahasa Arab.
Dalam tradisi literatur Arab, lazim dikenal dua cara ilmuwan menuangkan gagasannya. Dengan menyusun nazham (syair) seperti dilakukan ibnu Malik, atau dalam bentuk natsar (prosa) seperti dikerjakan Mushtafa Al-Ghulayaini dalam menulis Jami' al-Durus Al-Arabiyah –sebuah kitab tata bahasa Arab yang lebih populer di kalangan akademisi.
Tentang Alfiyah sendiri, di pesantren lazim dikenal tiga macam: Alfiyah ibnu Malik (tata bahasa Arab), Alfiyah Zubad (fikih), dan Alfiyah al-Iraqi (mushtalah hadits). Alfiyyah yang terakhir sangat bersejarah bagi dunia pesantren, setelah diberi syarah (penjelasan) oleh Syaikh Mahfuzh bin Abdullah dari Tremas Pacitan. Syarah itu bernama Manhaj Dzaw al-Nazharsalah satu rujukan penting tentang mustalah hadits yang masih digunakan pesantren di Indonesia dan berbagai perguruan tinggi di Timur Tengah.
Namun harus diakui, seorang santri yang hafal Alfiyah ibnu Malik, belum tentu mahir membaca kitab kuning –sebab hafal bukan jaminan mampu memahami. Demikian pula boleh disebut sedikit santri di pesantren Sunda yang mampu berbahasa Arab (takallum/speaking) secara aktif. Justru di sinilah uniknya pesantren salafiyah di tatar Sunda, setiap saat mereka bergelut dengan teks-teks berbahasa Arab namun yang keluar dari mulutnya adalah bahasa/logat/cengkok yang kental ke-Sundaannya –termasuk dalam melagukan 1.000 bait Alfiyyah ibnu Malik itu. Seperti di Pesantren Sadang Wanaraja Garut, santri dikenalkan dengan tujuh macam lagu pembacaan Alfiyyah –dari mulai nada rendah (yang bisa mépéndé) hingga nada tinggi (nu bisa ngahudangkeun). Ketujuh lagu itu ternyata lebih dekat kepada irama lagu-lagu Sunda daripada tembang padang pasir –dari tradisi ini, sesungguhnya para santri telah terbiasa dengan apa yang sekarang populer sebagai Nasyid; dan bernyanyi Akapela yang terkadang diiringi pukulan meja/bangku.
Ada dua metode pembelajaran tradisional di pesantren yang sampai saat ini dipakai, yakni:
1.      Metode Sorogan atau Sorongan (bahasa Jawa artinya menyodorkan), sistem ini termasuk belajar individual dimana seorang santri berhadapan langsung dengan ajengan, sedikit banyaknya materi belajar tergantung kemampuan santri yang bersangkutan. Penyampaian pelajaran secara bergilir ini biasanya dipraktekan pada santri yang jumlahnya sedikit (di pesantren; langgar; masjid atau terkadang malah di rumah-rumah). Sasaran metode ini adalah kelompok santri pada tingkat rendah (yang baru menguasai pembacaan Al Quran). Metode ini digunakan untuk mengajarkan materi dalam kitab-kitab kuning. Dalam praktiknya, santri membaca kitab secara bergantian, kemudian kalau terjadi kekeliruan maka ajengan atau ustâdz membetulkannya.
2.      Metode Bandungan atau Wetonan, yaitu dengan cara ceramah ajengan dihadapan sekelompok santri. Ajengan membaca, menterjemahkan, menerangkan dan sekaligus mengulas teks-teks kitab berbahasa Arab tanpa harokat (gundul) dimana para santri mengikuti dengan Ngalogat dengan memakai kode-kode tertentu. Istilah weton berasal dari bahasa Jawa yang berarti waktudisebut demikian karena pengajian model ini dilakukan pada waktu-waktu tertentu yang biasanya dilaksanakan setelah mengerjakan shalat fardhu. Metode ini digunakan oleh ajengan atau ustâdz untuk menerangkan arti kitab-kitab kuning kepada santrinya dengan cara ajengan atau ustâdz membaca kitab –dalam praktiknya, santri hanya mencatat/Ngalogat apa yang diterangkan ajengan atau ustâdz.
Metode lain yang digunakan, adalah: balaghah; muhawarah; dan mudzakarah.
Di pesantren telah lama hidup tradisi mudzakarah, yakni monolog seorang santri dalam membahas isu-isu keagamaan sebagai alat berlatih menyampaikan secara lisan apa yang dipahami dari kitab kuning. Jadi wajar, bila santri pada umumnya fasih berdakwah lisan.
Sebagai catatan: Pondok Pesantren Qirooatussab’ah Kudang Balubur Limbangan Garut, menggunakan metode sorogan untuk Bacaan Tujuh qiroatnya.

Pesantren dalam Wacana Renaisans Sunda
Rehat sejenak di kobong.
Dengan melihat penggunaan bahasa Sunda pada aktivitas Ngalogat tersebut, tidak menutup kemungkinan renaisans Sunda akan berawal dari lingkungan pesantren. Pesantren yang dimaksud di sini ialah pesantren tradisional yang mengajar santrinya dengan cara Ngalogat. Dari 2.969 pesantren yang lazim disebut salafiyah itu, dengan jumlah santri mencapai 1.414.180 –menurut data Kanwil Depag Jabar 2000-2001 lebih dari 50% menggunakan bahasa Sunda, sementara sisanya masih menggunakan bahasa Jawa. Sudut pandang ini menarik, sebab keterpinggiran pesantren dari wacana budaya Sunda selama ini, tidak membuatnya kehilangan sense of belonging terhadap budaya (khususnya bahasa) Sunda. Mungkin pesantren termasuk pihak yang tidak suka gembar-gembor telah melakukan sesuatu. Mereka terus berproses, hingga tak merasa bahwa tradisi Ngalogat telah menjadi 'kurikulum' pewarisan bahasa Sunda yang efektif. Pewarisan bahasa yang sistematis yang akan melestarikan bahasa Sunda selama pesantren mampu bertahan.
Bahwa Arab identik dengan Islam, tentu tak bisa dimungkiri, sebagaimana Eropa identik dengan Katolik atau India dengan Hindu. Ada satu hal yang perlu ditegaskan di sini, bahwa ke-Araban yang berlaku di kalangan pesantren salafiyah –tradisional Sunda, bukanlah Arab dalam pengertian sebenarnya. Ke-Araban itu sudah mengalami Sundanisasi sedemikian rupa sehingga tak bisa dilepaskan dari kebudayaan Sunda itu sendiri. Realitas seperti ini terjadi di semua wilayah di mana Islam tersebar. Ringkasnya, Arab orang Sunda itu tak lagi dikenali (paling tidak bukan lagi mainstream) bagi orang Arab saat ini. Ke-Araban itu sudah tidak lagi menyimpan roh Arab, tetapi sudah berubah Nyunda. Tiadanya roh Arab itu bisa dilihat dari cara pengucapan (logat, lentong) orang Sunda. Jadi, tidaklah perlu dikhawatirkan pengaruh Arab kepada orang Sunda akan menghambat kebudayaan Sunda. Dengan ke-Arabannya itu, komunitas pesantren justru akan menjadi benteng terakhir pelestarian bahasa Sunda melalui tradisi Ngalogat-nya.
Semoga...




Mugia aya manfaatna.

2 komentar: