Kamis, 26 April 2012

Nawaksara

NAWAKSARA
(Pidato Presiden Sukarno, 22 Djuni 1966)

Saudara-saudara sekalian
Assalamu’alaikum wr.wb.

I.          Retro-Speksi
Dengan mengutjap sjukur Alhamdulillah, maka pagi ini saja berada di muka Sidang Umum M.P.R.S. jang ke-IV. Sesuai dengan ketetapan M.P.R.S. No. 1/1960 jang memberikan kepada diri saja, Bung Karno, gelar Pemimpin Besar Revolusi dan kekuasaan penuh untuk melaksanakan Ketetapan-Ketetapan tersebut, maka dalam Amanat saja hari ini saja ingin mengulangi lebih dulu apa jang pernah saja kemukakan dalam Amanat saja di muka Sidang Umum Ke-II M.P.R.S. pada tanggal 15 Mei 1963 jang berdjudul “Ambeg Parama-Arta” tentang hal ini.
1.    Pengertian Pemimpin Besar Revolusi
Dalam pidato saja, “Ambeg Parama-Arta” itu, saja berkata, saja ulangi, saja berkata, “M.P.R.S. telah memberikan KEKUASAAN PENUH kepada saja untuk melaksanakannja, dan dalam memberi kekuasaan penuh kepada saja itu, M.P.R.S. menamakan diri saja bukan sadja Presiden, bukan sadja Panglima Tertinggi Angkatan Perang, tetapi mengangkat saja djuga mendjadi “PEMIMPIN BESAR REVOLUSI INDONESIA”. Demikian saja katakan. Saja menerima pengangkatan itu dengan sungguh rasa terharu, karena M.P.R.S. sebagai Perwakilan Rakjat jang tertinggi di dalam republik Indonesia, menjatakan dengan tegas dan djelas bahwa saja adalah “Pemimpin Besar Revolusi Indonesia”, jaitu : “PEMIMPIN BESAR REVOLUSI RAKJAT INDONESIA”.
Dalam pada itu, saja sadar, bahwa hal ini bagi saja membawa konsekwensi jang amat berat, oleh karena seperti Saudara-saudara djuga mengetahui, PIMPINAN membawa pertanggung-djawab jang amat berat sekali. “Memimpin” adalah lebih berat daripada sekedar “Melaksanakan”, “Memimpin” adalah lebih berat daripada sekedar “Menjuruh melaksanakan”.
Saja sadar, lebih daripada jang sudah-sudah, setelah M.P.R.S. mengangkat saja mendjadi “Pemimpin Besar Revolusi, bahwa kewadjiban saja adalah amat berat sekali, tetapi Insja Allah SWT saja terima pengangkatan sebagai “Pemimpin Besar Revolusi” itu dengan rasa tanggung-djawab yang setinggi-tingginja.
Saja, Insja Allah akan memberi pimpinan kepada Indonesia, kepada Rakjat Indonesia, kepada Saudara-saudara sekalian, setjara maksimal di bidang pertanggungan-djawab dan kemampuan saja. Moga-moga Tuhan Jang Maha Esa, Jang Maha Pemurah, Jang Maha Asih, selalu memberikan bantuan kepada saja setjukup-tjukupnja.
Sebaliknja, kepada M.P.R.S. dan kepada Rakjat Indonesia sendiri, hal ini pun membawa konsekwensi. Tempo hari saja berkata, saja ulangi, tempo hari saja berkata : “Djikalau benar dan djikalau demikianlah Keputusan M.P.R.S. jang saja diangkat mendjadi Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, Revolusi Rakjat Indonesia, maka saja mengharap daripada seluruh Rakjat, termasuk djuga segenap Anggota M.P.R.S. untuk selalu mengikuti melaksanakan, menampilkan segala apa jang saja berikan dalam pimpinan itu.
Pertanggungan-djawab jang M.P.R.S. sebagai Lembaga Tertinggi Republik Indonesia letakkan di atas pundak saja, adalah suatu pertanggungan-djawab jang berat sekali, tetapi dengan ridho Allah SWT dan dengan bantuan seluruh Rakjat Indonesia, termasuk di dalamnja djuga Saudara-saudara para anggota M.P.R.S. sendiri, saja pertjaja, bahwa Insja Allah, apa jang digariskan oleh Pola Pembangunan itu dalam 8 tahun akan terlaksana.
Demikianlah Saudara-saudara sekalian beberapa kutipan daripada Amanat saja “Ambeg Parama-Arta”. Dari Amanat “Ambeg Parama-Arta” tersebut, dapatlah Saudara ketahui, bagaimana visi serta interpretasi saja tentang predikat Pemimpin Besar Revolusi jang Saudara-saudara sendiri berikan kepada saja.
Saja menginsjafi, bahwa predikat itu adalah sekedar gelar, tetapi saja pun –dan dengan semua kekuatan-kekuatan progresif revolusioner di dalam masjarakat kita jang tak pernah absen dalam kantjahnja Revolusi kita ini- saja pun jakin sejakin-jakinnja, bahwa tiap, sekali lagi tiap, sekali lagi tiap Revolusi mensjarat-mutlak-kan adanja Pemimpin Nasional kita jang multi-kompleks sekarang ini, dan jang berhari depan Sosialisme Pantja-Sila.
Revolusi demikian tidak mungkin tanpa adanja pimpinan. Saja ulangi, Revolusi jang demikian tidak mungkin tanpa adanja pimpinan. Dan pimpinan itu djelas tertjermin dalam tri-kesatuannja RESO-PIM, jaitu Revolusi, Sosialisme, Pimpinan Nasional.

2.    Pengertian Mandataris M.P.R.S.
Karena itulah, maka pimpinan jang saja berikan itu adalah pimpinan di segala bidang. Dan sesuai dengan pertanggungan-djawab terhadap M.P.R.S., pimpinan itu terutama menjangkut garis-garis besarnja. Inipun adalah sesuai dan sedjalan dengan kemurnian bunji aksara dan djiwa Undang-Undang Dasar ’45, jang menugaskan kepada M.P.R.S. untuk menetapkan garis besar haluan negara. Saja tekankan, garis-garis besarnja sadja dari haluan negara.
Adalah tidak sesuai dengan djiwa dan aksara kemurnian Undang-Undang Dasar ’45, apabila M.P.R.S. djatuh terpelanting kembali ke dalam alam demokrasi liberal, dengan beradu debat bertele-tele tentang garis-garis kecil, dimana masing-masing golongan beradu untuk memenangkan kepentingan golongan dan mengalahkan kepentingan nasional, kepentingan rakjat banjak, kepentingan Revolusi kita. Pimpinan itupun saja dasarkan kepada djiwa Pantja-Sila jang telah kita pantjarkan bersama dalam Manipol-Usdek sebagai garis-garis besar haluan negara.
Dan lebih-lebih mendalam lagi, maka saja telah mendasarkan pimpinan itu kepada Sabda Rasulullah SAW : “Kamu sekalian adalah Pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungan-djawabnja tentang kepemimpinannja itu di hari kemudian”.
Saudara-saudara sekalian,
Itulah djiwa daripada pimpinan saja, seperti jang telah saja njatakan dalam Amanat “Ambeg Parama-Arta”. Dan Saudara-saudara telah membenarkan Amanat itu, terbukti dengan Ketetapan M.P.R.S. No. IV/1963, jang mendjadikan Resopim dan “Ambeg Parama-Arta” masing-masing sebagai pedoman pelaksanaan garis-garis besar haluan negara, dan sebagai landasan-kerdja dalam Konsepsi Pembangunan, seperti terkandung dalam Ketetapan M.P.R.S. No. I dan II tahun 1960.

3.    Pengertian Presiden se-umur hidup
Malahan dalam Sidang Umum M.P.R.S. ke-II pada bulan Mei tahun 1963 itu, Saudara-saudara sekalian telah menetapkan saja mendjadi Presiden Seumur Hidup. Dan pada waktu itupun saja telah mendjawab keputusan Saudara-saudara itu dengan kata-kata “Alangkah baiknja djikalau nanti MPR, bukan sekedar M.P.R.S., djikalau nanti MPR, jaitu MPR hasil pemilihan umum, masih menindjau kembali”. Dan sekarang inipun, sekarang inipun saja masih tetap berpendapat demikian.

II.         Landasan Kerdja Melandjutkan Pembangunan
Kembali sekarang sebentar kepada Amanat “Ambeg Parama-Arta” tersebut tadi itu, Amanat itu kemudian disusul dengan amanat saja “Berdikari” pada pembukaan Sidang Umum M.P.R.S. ke-II pada tanggal 11 April 1965, dimana dengan tegas saja tekankan tiga hal :
1.    Trisakti
Pertama: bahwa Revolusi kita mengedjar suatu idea besar, jakni melaksanakan Amanat Penderitaan Rakjat seluruhnja, Amanat Penderitaan Rakjat seluruh Rakjat sebulat-bulatnja.
Kedua: bahwa Revolusi kita berdjoang mengemban Amanat Penderitaan Rakjat itu dalam persatuan dan kesatuannja jang bulat menjeluruh, dan hendaknja djangan sampai watak Agung Revolusi kita diselewengkan sehingga mengalami dekadensi jang hanja mementingkan golongan sendiri sadja, atau hanja sebagian daripada Ampera sadja.
Ketiga: bahwa kita dalam melaksanakan Amanat Penderitaan Rakjat itu tetap tegap berpidjak dengan kokoh-kuat pada landasan Trisakti, jaitu berdaulat dan bebas dalam politik; berkepribadian dalam kebudajaan; berdikari dalam ekonomi, sekali lagi berdikari dalam ekonomi.
Saja sangat gembira sekali, bahwa Amanat-amanat saja itu dulu, baik “Ambeg Parama-Arta” maupun “Berdikari” telah Saudara-saudara tetapkan sebagai landasan kerdja dan pedoman pelaksanaan Pembangunan Nasional Semesta Berentjana untuk masa 3 tahun jang akan datang, jaitu sisa djangka waktu tahapan pertama mulai tahun 1966 s/d 1968 dengan landasan “Berdiri di atas Kaki Sendiri” dalam ekonomi.
Ini berarti bahwa Lembaga Tertinggi dalam negara kita ini, Lembaga Tertinggi daripada Revolusi kita ini, Lembaga Negara Tertinggi jang menurut kemurnian djiwa dan aksaranja UUD Proklamasi Kita adalah pendjelmaan kedaulatan Rakjat membenarkan Amanat-amanat saja itu. Dan tidak hanja membenarkan sadja, melainkan djuga mendjadikannja sebagai landasan kerdja serta pedoman bagi kita semua, ja bagi Presiden/Mandataris M.P.R.S./Perdana Menteri, ja bagi M.P.R.S. sendiri, ja bagi DPA, ja bagi DPR, ja bagi Kabinet, ja bagi parpol-parpol dan ormas-ormas, ja bagi ABRI, dan bagi seluruh Rakjat kita dari Sabang sampai Merauke, dalam mengemban bersama Amanat Penderitaan Rakjat.
Memang, di dalam situasi nasional dan internasional dewasa ini, maka Trisakti kita, jaitu : berdaulat dan bebas dalam politik; berkepribadian dalam kebudajaan; berdikari di bidang ekonomi, adalah sendjata jang paling ampuh di tangan seluruh rakjat kita, di tangan pradjurit-pradjurit Revolusi kita, untuk menjelesaikan Revolusi Nasional kita jang maha dahsjat sekarang ini.
2.    Rentjana Ekonomi Perdjoangan
Saja tadi katakan, terutama prinsip Berdikari di bidang ekonomi. Sebab dalam keadaan perekonomian bagaimanapun sulitnja, saja ulangi, bagaimanapun sulitnja, saja minta djangan dilepaskan djiwa “self reliance” ini, djangan dilepaskan djiwa berdikari ini, djiwa pertjaja kepada kekuatan diri sendiri, djiwa self help atau jang dinamakan djiwa berdikari.
Karenanja, maka dalam melaksanakan Ketetapan-ketetapan M.P.R.S. No. V dan VI tahun 1965 jang lalu, saja telah meminta Bappenas dengan bantuan dan kerdjasama dengan Muppenas, untuk penjusunan garis-garis lebih landjut daripada Pola Ekonomi Perdjoangan seperti jang telah saja tjanangkan dalam Amanat Berdikari tahun jang lalu itu.
Garis-garis Ekonomi Perdjoangan tersebut telah selesai, dan saja lampirkan bersama ini Ichtisar Tahunan tentang pelaksanaan Ketetapan M.P.R.S. No. 11/ M.P.R.S./1960. Di dalamnja Saudara-saudara akan memperoleh gambaran tentang Strategi Umum Pembangunan 3 tahun : 1966-1968, jaitu Prasjarat Pembangunan, dan pola Pembiajaan tahun 1966 s/d 1968 melalui Rentjana Anggaran 3 tahun.
3.    Pengertian Berdikari
Chusus mengenai Prinsip Berdikari, ingin saja tekankan apa jang telah saja njatakan dalam pidato Proklamasi 17 Agustus 1965, jaitu pidato TAKARI, bahwa berdikari tidak berarti mengurangi, melainkan memperluas kerdjasama internasional, terutama diantara semua negara jang baru merdeka.
Jang ditolak, ditolak oleh Berdikari, adalah ketergantungan kepada imperialisme, bukan kerdjasama, sama deradjat dan saling menguntungkan.
Dan dalam Rentjana Ekonomi Perdjoangan jang saja sampaikan bersama ini, maka Saudara-saudara dapat membatja “Berdikari bukan sadja tudjuan, tetapi jang tidak kurang pentingnja harus merupakan prinsip daripada tjara kita mentjapai tudjuan itu, prinsip untuk melaksanakan pembangunan dengan tidak menjandarkan diri kita kepada bantuan Negara atau bangsa lain.
Ingat utjapan saja berulang-ulang : “The crown of independence is the ability to stand on own feet”. Adalah djelas, “bahwa tidak menjandarkan diri tidak berarti bahwa kita tidak mau kerdjasama berdasarkan sama-deradjat dan saling menguntungkan”.
Dalam rangka pengertian politik Berdikari demikian inilah, kita harus menanggulangi kesulitan-kesulitan di bidang Ekubang kita dewasa ini, baik jang hubungan dengan inflasi maupun jang hubungan dengan pembajaran hutang-hutang luar negeri kita.

III.        Hubungan Politik dan Ekonomi
Masalah Ekubang tidak dapat dilepaskan dari masalah politik, malahan harus didasarkan atas Manifesto Politik, Manifesto Politik kita.
Berulang-ulang saja pun telah berkata, Dekon, Dekon kita adalah Manipol di bidang ekonomi, dengan lain perkataan “political economy”-nja pembangunan kita. Dekon merupakan strategi umum, dan strategi umum di bidang pembangunan 3 tahun di depan kita, jaitu tahun 1966-1968, didasarkan atas pemeliharaan hubungan jang tepat antara keperluan untuk melaksanakan tugas politik dan tugas ekonomi.
Demikianlah tugas politik-keamanan kita, politik-pertahanan kita, politik dalam negeri kita, politik luar negeri kita dan sebagainja.

IV.       Detail ke DPR
Detail, detail daripada tugas-tugas ini kiranja tidak perlu diperbintjangkan dalam Sidang Umum M.P.R.S., karena tugas M.P.R.S. ialah menjangkut garis-garis besar sadja. Detailnja sejogjanja ditentukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945.

V.        Tetap Demokrasi Terpimpin
Sekalipun demikian, perlu saja peringatkan di sini, bahwa Undang-Undang Dasar 1945 memungkinkan Mandataris M.P.R.S. bertindak lekas dan tepat dalam keadaan darurat demi keselamatan Negara, Rakjat dan Revolusi.
Dan sedjak Dekrit 5 Djuli 1959 dulu itu, Revolusi kita terus meningkat, malahan terus bergerak tjepat sekali, jang mau tidak mau mengharuskan semua Lemabaga-lembaga Demokrasi kita untuk bergerak tjepat pula tanpa menjelewengkan Demokrasi Terpimpin ke arah Demokrasi Liberal.

VI.       Hal Melaksanakan UUD’45
Dalam rangka merintis djalan ke arah pemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 itulah, saja dengan surat saja tertanggal 4 Mei 1966 kepada Pimpinan DPR-GR memadjukan :
a.    RUU penjusunan MPR, DPR dan DPRD.
b.    RUU Pemilihan Umum.
Saja ulangi, Saudara-saudara, saja jang memadjukan RUU Pemilihan Umum itu, saja jang menghendaki lekas diadakan pemilihan umum.
c.    Penetapan Presiden No. 3 tahun 1958 jo. Penetapan Presiden No. 3 tahun 1966 untuk diubah mendjadi Undang-undang, agar supaja DPA dapat ditetapkan menurut pasal 16 ajat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

VII.     Wewenang MPR dan DPR
Tidak lain harapan saja adalah hendaknja M.P.R.S. dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 itu menjadari apa tugas dan fungnja, djuga dalam hubungan persamaan dan perbedaannja dengan MPR hasil pemilihan umum nanti.
Wewenang MPR selaku pelaksanaan kedaulatan Rakjat adalah menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara (pasal 3 UUD), serta memilih Presiden dan Wakil Presiden (pasal 6 UUD ajat 2).
Undang-Undang Dasar serta garis-garis besar haluan negara telah kita tentukan bersama, jaitu Undang-Undang Dasar Proklamasi 1945 dan Manipol/Usdek.

VIII.    Kedudukan Presiden dan Wakil Presiden
Undang-Undang Dasar 1945 itu menjebutkan pemilihan djabatan Presiden dan Wakil Presiden, masa djabatannja serta isi sumpahnja dalam satu nafas, jang tegas bertudjuan agar terdjamin kesatuan-pandangan, kesatuan-pendapat, kesatuan-pikiran, kesatuan-tindak antara Presiden dan Wakil Presiden jang membantu Presiden (pasal 4 ajat 2 UUD).
Dalam pada itu, Presiden memegang dan mendjalankan tugas; wewenang; dan kekuasaan Negara serta Pemerintahan. Saja ulangi, dalam pada itu Presiden memegang dan mendjalankan tugas; wewenang; dan kekuasaan Negara serta Pemerintahan (pasal 4, 5, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17 ajat 2).
Djiwa kesatuan antara kedua pedjabat negara ini, serta pembagian tugas dan wewenang seperti jang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 itu hendaknja kita sadari sepenuhnja.

IX.       Penutup
Nah, Saudara-saudara, demikian pula hendaknja kita semua, di luar dan di dalam M.P.R.S. menjadari sepenuhnja perbedaan dan persamaannja antara M.P.R.S. sekarang, dengan MPR hasil pemilihan umum jang akan datang, agar supaja benar-benar kemurnian Undang-Undang Dasar 1945 dapat kita rintis bersama, sambil membuka lembaran baru dalam sedjarah kelandjutan Revolusi Pantja-Sila kita ini.

Demikianlah Saudara-saudara, teks laporan progres saja pada M.P.R.S. izinkanlah saja sekarang mengutjapkan beberapa patah kata pribadi kepada saudara-saudara, terutama sekali mengenai pribadi saja.
Lebih dahulu tentang laporan progres ini :
Laporan progres itu saja simpulkan dalam sembilan pasal; sembilan golongan; sembilan punt. Saja ingin memberi djudul kepada amanat saja tadi itu, sebagaimana biasa, saja memberi djudul kepada pidato-pidato saja. Ada jang saja namakan pidato “Manipol”; ada jang bernama “Berdikari”; ada jang bernama “Resopim”; ada jang bernama “Gesuri” dan lain-lain sebagainja.
Amanat saja ini, saja beri djudul apa ? Sembilan perkara; pokok, saja tuliskan di dalam amanat ini. Karena itu, saja ingin memberi nama kepada amanat ini; pidato ini; Pidato Sembilan Pokok. Sembilan, ja Sembilan apa ?
Nah kita ini biasa memakai bahasa Sanskrit kalau memberi nama kepada amanat-amanat, bahkan sering kita memakai perkataan dwi; tri (Trisakti); dua-duanja perkataan Sanskrit. Tjatur Prasatya; tjatur = empat, satya = kesetiaan. Pantja Azimat; pantja adalah lima.
Lha ini, Sembilan pokok ini saja namakan apa ? Sembilan di dalam bahasa Sanskrit adalah Nawa.
Eka; dwi; tri; tjatur; pantja. Enam = sad; tudjuh = sapta; delapan = hasta; Sembilan = nawa; sepuluh = dasa.
Djadi saja mau beri nama terutama dengan perkataan “Nawa”. Nawa apa ?
Ja, karena saja tulis, saja mau beri nama “Aksara”, dus “Nawa-Aksara”, atau disingkatkan “Nawaksara”.
Tadinja ada orang jang mengusulkan memberi nama : Sembilan Utjapan Presiden; Nawa Sabda.
Nanti kalau saja kasih nama Nawa Sabda, ada sadja jang salah-salah berkata “Hhhh, Presiden Bersabda”. Bersabda itu kan seperti radja, bersabda.
Tidak, saja tidak mau memakai perkataan sabda itu. Saja sekarang memakai perkataan Aksara. Aksara dalam arti tulisan; aksara Djawa, aksara Belanda, aksara Latin dan lain-lain. Aksara dalam arti tulisan.
Nawa Aksara atau Nawaksara, itu djudul jang saja berikan kepada pidato ini.
Saja minta kepada wartawan-wartawan, mengumumkan hal ini, bahwa pidato Presiden dinamakan oleh Presiden : Nawaksara.
Kemudian saja mau menjampaikan beberapa patah kata mengenai diri saja sendiri.
Saudara-saudara semuanja mengetahui bahwa tatkala saja masih muda, amat muda sekali, saja miskin, dan oleh karena saja miskin, maka demikianlah sering kita utjapkan – saja tinggalkan “this, material world”.
Dunia djasmani saja ini laksana saja tinggalkan, karena dunia djasmani ini tidak memberi hiburan dan kepuasan kepada saja, oleh karena saja miskin.
Maka saja meninggalkan dunia djasmani ini dan saja masuk – kataku sering dalam pidato-pidato dan keterangan-keteranganku – ke dalam “world of the mind”.
Saja meninggalkan dunia jang “material” ini, saja masuk ke dalam “world of the mind”, dunianja alam tjipta, dunia chajal, dunia fikiran.
Dan telah sering saja katakana bahwa, di dalam “world of the mind” itu, di situ saja berdjumpa dengan orang-orang besar dari segala bangsa dan segala negara. Di dalam “world of the mind” itu saja berdjumpa dengan ahli falsafah-ahli falsafah jang besar, di dalam “world of the mind” itu saja berdjumpa dengan pemimpin-pemimpin bangsa jang besar, dan di dalam “world of the mind” itu saja berdjumpa dengan pedjoang-pedjoang kemerdekaan jang berkaliber besar.
Nah, saja berdjumpa dengan orang-orang besar ini, tegasnja, djelasnja, dari batja buku-buku. Salah satu pemimpin besar dan salah satu bangsa jang berdjoang untuk kemerdekaan, mengutjapkan kalimat sebagai berikut : “the cause of freedom is a deathless cause”.
“The cause of freedom is a deathless cause”, perdjoangan untuk kemerdekaan adalah satu perdjoangan jang tidak mengenal mati, “the cause of freedom is a deathless cause”.
Sesudah saja batja kalimat itu dan renungkan kalimat itu, bukan sadja saja tertarik kepada “cause of freedom” daripada bangsa saja sendiri dan bukan sadja saja tertarik kepada “cause of freedom” daripada seluruh umat manusia di dunia ini, tetapi karena saja tertarik kepada “cause of freedom” ini, saja ingin menjumbangkan diriku kepada “deathless cause” ini, “deathless cause of my own people, deathless cause of all people on earth”.
Dan lantas saja mendapat kejakinan, bukan sadja “the cause of freedom is a deathless cause”, tetapi djuga “the service of freedom is a deathless service”, pengabdian kepada perdjoangan kemerdekaan itu pun tidak mengenal maut, tidak mengenal habis, pengabdian jang sungguh-sungguh pengabdian. Bukan “service” jang hanja “lip service”, tetapi “service” jang betul-betul masuk ke dalam djiwa, “service” jang betul-betul pengabdian, “service” jang demikian itu adalah satu “deathless service”.
Dan saja tertarik oleh saja punja pendapat sendiri itu, pendapat pemimpin besar daripada bangsa jang saja sitir tadi berkata : “the cause of freedom is a deathless cause, but also the service of freedom is a deathless service”.
Dan saja, Saudara-saudara telah memberikan; menjumbangkan; atau menawarkan diri saja sendiri dengan segala apa jang ada pada saja ini kepada “service of freedom”.
Dan saja sadar sekarang ini, “the service of freedom is a deathless service”, jang tidak mengenal habis; tidak mengenal achir; tidak mengenal maut. Itu adalah urusan isi hati. Badan manusia bisa hantjur, badan manusia bisa dimasukkan ke dalam kerangkeng, badan manusia bisa dimasukkan dalam pendjara, badan manusia bisa ditembak mati, badan manusia bisa dibuang ke tanah pengasingan jang djauh daripada tempat kelahirannja, tetapi ia punja “service of freedom”, tidak bisa ditembak mati, tidak bisa dikerangkeng, tidak bisa dibuang ke tempat pengasingan, tidak bisa ditembak mati.
Dan saja beritahu kepada Saudara-saudara, menurut perasaanku sendiri, saja telah lebih daripada 35 tahun, hampir 40 tahun, “dedicate myself to this service of freedom” dan saja menghendaki agar supaja seluruh, seluruh, seluruh Rakjat Indonesia, masing-masing djuga “dedicate” djiwa-raganja kepada “service of freedom” ini, oleh karena memang “service of freedom” ini “is a deathless service”. Tetapi achirnja segala sesuatu adalah di dalam tangan-Nja Tuhan. Apakah Tuhan memberi saja “dedicate myself, my all to this service of freedom”, itu adalah Tuhan punja urusan.
Karena itu, maka saja terus, terus, terus, selalu memohon kepada Allah SWT agar saja diberi kesempatan untuk membuktikan; mendjalankan aku-punja :service of freedom” ini.
Tuhan jang menentukan, de mens wikt, God beslist : manusia bisa berkehendak matjam-matjam, Tuhan jang menentukan.
Demikian saja, bersandaran kepada keputusan Tuhan itu, Saudara-saudara.
Tjuma saja djuga di hadapan Tuhan berkata, ja Allah, ja Rabbi, berilah saja kesempatan; kekuatan; taufik; hidajat; untuk “dedicate myself to this great cause of freedom and to this great service of freedom”.
Inilah, Saudara-saudara, jang hendak saja katakan kepadamu di waktu saja pada hari sekarang ini memberi laporan kepadamu sekalian.
Moga-moga Tuhan selalu memimpin saja, moga-moga Tuhan selalu memimpin Saudara-saudara sekalian.

Sekian Saudara-Ketua.











Mugia aya manfaatna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar