Selasa, 03 Juli 2012

Zona Kreatif Kampung Tenun


Kampung Tenun
Pemukulan Lesung oleh Mari Elka Pangestu saat meresmikan Kampung Tenun Garut dan Pencanangan Zona Kreatif di Kampung Panawuan Garut
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI –Mari Elka Pangestu,  meresmikan Kampung Tenun Garut dan Pencanangan Zona Kreatif di Kampung Panawuan Desa Sukajaya Kecamatan Tarogong Kidul Kabupaten Garut. Rabu, 27 Juni 2012. “Tujuannya, untuk meningkatkan kesadaran dan nilai tambah akan kerajinan tenun asal Garut. Selain bisa menikmati keindahan alam di Garut, kita juga dapat melihat lebih dekat kain tenun sebagai warisan budaya, pengembangan industri kreatif, dan meningkatkan pendapatan masyarakat Garut," tutur Mari Elka Pangestu. Kampung Tenun ini, didahului dengan Program Pelatihan dan Pengembangan Perajin Tenun Garut dan Majalaya. Berdasarkan informasi yang diterimanya, awalnya masyarakat yang mengikuti program pelatihan dan pengembangan usaha kain tenun ikat dari tahun 2011 hanya 25 orang. Namun, di pertengahan tahun ini, jumlahnya bertambah hingga mencapai 65 orang. Antusiasme tersebut jelas menjadi potensi tersendiri mengingat pasar kain tentun ikat memang sangat menjanjikan. Dengan program tersebut, diharapkan para perajin bisa menentukan harga yang layak dan mengetahui selera pasar. 
Mari Elka Pangestu menyaksikan pembuatan kain sutera alam di Kampung Tenun Panawuan Garut
Mari Elka Pangestu memperhatikan proses pembuatan kain sutera alam Panawuan dengan mempergunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Beliau juga mengagumi kain sutera alam Garut dari hasil perajin sutera.
Bisnis dalam bidang kain tenun sutera memang cukup menggiurkan karena saat ini harga kain tenun ikat berbahan dasar benang sutera polos per meternya bisa mencapai Rp 130 ribu –padahal kain tersebut belum diwarnai dan diberi corak. Nilai itu akan bertambah seiring variasi warna atau corak yang ditambahkan dari hasil kreativitas perajin. Menurut ibu Menteri, bila sudah diberi warna dan corak, harganya bisa menjadi Rp 400 ribu per meternya. Kini, pewarnaan tenun Garut sudah bervariasi dan para perajin terus berinovasi menciptakan produk fashion yang mengikuti perkembangan zaman. Motif khas tenun Garut berbentuk geometris dan bunga-bunga berukuran besar. Walaupun hampir semua wilayah di Indonesia mempunyai kain tenun sebagai hasil kerajinan khas daerah, namun setiap daerah punyai keunikan sendiri dalam pembuatan motif tenun. Begitu pula dengan tenun sutera ala Garut. Garut sudah terkenal sebagai daerah penghasil sutera, mulai dari bahan sutera hingga tenun sutera. Ibu Menteri meminta agar para penenun sutera alam Garut dapat menghasilkan sendiri bahan baku produksinya yaitu sutera alam di Kabupaten Garut. Caranya, dengan memperbanyak perkebunan murbai sebagai tempat produksi serat ulat sutera. Selama ini para penenun sutra alam Garut masih mengandalkan pasokan bahan baku yang didatangkan dari Cina karena keterbatasan bahan baku. Ini yang menjadi salah satu kendala dalam upaya pengembangan sutera alam di Indonesia –khususnya Garut. Sulitnya pasokan bahan dasar juga mengakibatkan biaya proses produksi sangat tinggi. 
Mari Elka Pangestu menyaksikan proses pewarnaan kain sutera dengan menggunakan bahan alami di Kampung Tenun Panawuan Garut
Saat ini pemerintah masih mempelajari agar bahan dasar benang sutera alam Garut dapat kembali diproduksi. Komitmen ini, akan diwujudkan melalui dukungan pemerintah dalam mewujudkan Garut sebagai Sentra Kreatif Kain Tenun Ikat Sutera Alam. “Saya optimistis, produksi kain tenun ikat ini dapat memberikan efek positif yang sangat banyak bagi kehidupan perekonomian masyarakat khususnya masyarakat Garut," kata ibu Menteri.
Bahkan, dalam pengembangannya ke depan, ia merencanakan melibatkan sejumlah desainer nasional untuk memperkenalkan kain tenun ikat dari sutra alam Garut tersebut. "Jadi nanti, kain tenun ikat ini bisa kita jadikan pakaian nasional selain batik yang sama-sama akan digunakan setiap hari Jum’at.” Lebih jauh diungkapkan, “setelah proses produksi, tahapan selanjutnya adalah pemasaran. Pasar mancanegara saat ini menjadi target utama pemasaran kain tenun ikat berbahan dasar sutera alam produksi Garut ini, pemerintah pun akan membantu mempromosikan dan memasarkan sutera alam tersebut. Karena pada kenyataannya, memang banyak wisatawan mancanegara yang menyukai kain sutera Garut.”. “Dengan peresmian Kampung Tenun ini juga diharapkan dapat mengambil secara optimal warisan budaya bangsa Indonesia, sekaligus juga untuk menghargai berbagai proses kreatif yang dilakukan dalam membuat kerajinan tenun khas Garut. Kerajinan tenun khas Garut harus didorong untuk lebih inovatif, baik dalam hal pemilihan tekstil maupun proses pembuatan dan pewarnaan. Sehingga para perajin pun dapat juga mengembangkan kearifan lokal yang terdapat di dalamnya. Kearifan lokal itu terindikasi dari banyaknya perajin yang melatih keahlian dalam hal bertenun secara turun temurun. Mereka telah melakukan hal tersebut hingga puluhan tahun,” katanya. Mari Elka Pangestu juga menyampaikan apresiasinya atas sinergi yang telah dilakukan oleh Cita Tenun Indonesia yang melatih para perajin dengan Perusahaan Gas Negara. BUMN ini telah bertindak sebagai ‘bapak angkat’ atas Program Kampung Tenun Garut. (sebagai catatan: PGN bersama-sama dengan CTI telah membina para pengrajin tenun melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan. Dalam kurun waktu enam bulan, PGN telah membantu merenovasi workshop; penyediaan mesin dan ruang galeri guna memperlancar proses produksi; meningkatkan kualitas; serta upaya menarik minat pengunjung dan wisatawan. Kegiatan ini untuk membantu para perajin tenun, agar menjadi pengusaha yang tangguh dan mandiri. Pengrajin tenun kain sutera tersebut, sekurangnya sejak dua tahun terakhir mendapatkan pembinaan CTI termasuk difasilitasi bantuan sarana prasarana produksi dari CSR PGN).
Mari Elka Pangestu mengunjungi Art Galery Tenun Sutera Panawuan serta berbincang dengan para wartawan
Sementara itu, Ketua Cita Tenun Indonesia (CTI) Okke Hatta Rajasa –yang turut mendampingi Mari Elka Pangestu, mengatakan: “Untuk bisa lebih mengembangkan produksi kain tenun ikat sutera Garut, pihaknya sangat mengharapkan keterlibatan pemerintah pusat dan daerah. Di antaranya: perbaikan akses lintasan ruas jalan seputar Kelurahan Sukajaya di Kecamatan Tarogong Kidul. Meski lokasinya cukup jauh, tetapi apabila kondisi ruas jalannya berhotmix, dipastikan banyak pengunjung termasuk kalangan wisatawan. Kemudian bahan baku, dipastikan bisa menjadi mahal jika produk lokalnya tak tersedia.” Dengan majunya industri ini –lanjut Okke, perputaran roda ekonomi masyarakat bisa semakin kencang "Saya yakin ke depan akan banyak lagi masyarakat yang dapat mengembangkan perekonomian keluarganya dari usaha ini,". Di sisi lain, potensi yang ada membuat Okke yakin, antusiasme untuk terjun dalam industri kain tenun ikat akan semakin tinggi. Ia mencontohkan, dalam satu tahun, para perajin sutera alam Garut dapat memproduksi kain tenun ikat sutera sebanyak 3.600 meter atau senilai Rp 5,904 miliar. Untuk itu, pihak CTI akan memberikan berbagai pelatihan, pembinaan, penguatan, dan pemasaran kain tenun ikat sutera alam kepada masyarakat agar usaha ini bisa lebih berkembang.
Okke Hatta Rajasa mengemukakan, pihaknya sejak 2008 hingga 2012, telah melakukan pembinaan tidak hanya di Garut dan Majalaya. Namun, juga dilakukan di daerah lainnya seperti Bali; Sumatera Selatan; Banten; Kalimantan Barat; dan Lombok (Nusa Tenggara Barat). “Kami ingin membangun kesadaran kepada masyarakat, agar mereka juga dapat menghargai budaya tenun dengan layak,” kata Okke.
Ia memaparkan, tenun Indonesia terbagi menjadi tiga macam, yaitu tenun datar; tenun songket; dan tenun ikat. Dengan pelatihan yang diberikan CTI, perajin tenun di Garut telah berhasil menggabungkan ketiga jenis tenun tersebut dan dikombinasikan dengan proses sulaman.
Dalam proses pergembangannya, Cita Tenun Indonesia (CTI) yang diketuai oleh Okke Hatta Rajasa dan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) bekerja sama melakukan program pelatihan dan pengembangan perajin tenun Garut sejak Desember 2010 hingga Januari 2012. Para perajin telah diajak ke Tokyo dan Beijing, agar kualitas keterampilan dan wawasan mereka bertambah serta diikutsertakan dalam pameran yang bertujuan untuk memperkenalkan tenun khas Garut. Pada Mei 2012, kain tenun itu dibawa ke Tokyo dan Beijing untuk mengikuti Spring Cultural Event dan Indonesian Cultural Night.
Setelah peresmian Kampung Tenun Garut, acara pun ditutup oleh fashion show dari Sebastian Gunawan. Selanjutnya Mari Elka Pangestu bersama komunitas “Cita Tenun Indonesia” (CTI) juga pemberi Corporate Social Responsible (CSR), yakni Perusahaan Gas Negara (PGN). Diagendakan, siangnya menyaksikan langsung proses produktivitas kelompok tenun sutera di Kampung Panawuan Sukajaya, Tarogong Kidul, Garut. Juga menyaksikan Fashion Show produk kain sutera di Vila Mawar Samarang, seusai mereka berkunjung ke Kampung Panawuan.
Rumah Produksi Tenun Ikat Kain Sutera Alam Panawuan Garut; Berbagai Kain Sutera Alam Garut Yang Dihasilkannya; Serta Peragaan Busana Sutera Alam Garut Karya Perancang Sebastian Gunawan

Motif Celana Balon dan Terusan untuk anak, karya Sebastian Gunawan. Nyunyu, banget !
Motif Geometris dan Ballgrown juga, ngga kalah nyunyu !
Motif Tribal dan Bunga-bunga Besar, berlenggak-lenggok di Kebun Mawar Samarang Garut
Motif Lengan Balon dan Tanpa Lengan, tetap saja membuat tampilan menjadi menarik.
Para Peraga Busana Tenun Sutera Alam berkesempatan Photo Bareng dengan Mari Elka Pangestu, saat Fashion Show Sutera Alam Garut di Vila Mawar Samarang Garut.
Cita Tenun Indonesia
Kain tenun merupakan salah satu produk warisan nenek moyang dan produk budaya Indonesia yang bernilai tinggi. Produk ini harus selalu dijaga dan dilestarikan keberadaannya, agar tidak punah dilanda perkembangan zaman atau “hilang” diklaim negara lain.  Untuk melestarikan tenun Nusantara tersebut dibutuhkan berbagai pihak yang peduli akan eksistensi kain tenun tersebut. Pelestarian kain tenun tidak hanya membutuhkan “tangan” para pengrajin itu saja, tetapi juga perlu dukungan dari segenap insan di Indonesia. Inilah yang menjadi visi dan misi Cita Tenun Indonesia (CTI), sebuah perkumpulan para pecinta kain tenun yang diresmikan oleh Ibu Negara, Hj. Ani Bambang Yudhoyono pada 28 Agustus 2008 lalu. “Pada usianya yang relatif muda, kami berusaha keras untuk menjalankan tiga program kerja yang dirumuskan pada awal pembentukan perkumpulan kami, yaitu : Program Pelestarian, Program Pelatihan dan Pengembangan Pengrajin serta Program Pemasaran,” ujar Okke Hatta Rajasa, ketua Pengurus CTI. Saat ini, CTI telah menjadi fasilitator bagi pengembangan kemampuan pengrajin maupun kualitas tenun di empat daerah binaan, antara lain di Bali, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara dan Baduy. Sebagai rencana program tahun ini, CTI sudah berhasil untuk membina pengrajin di Garut, Jawa Barat; Pekalongan, Jawa Tengah; Kalimantan Barat; Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Timur, sebagai daerah binaan selanjutnya. “Pembinaan yang kami lakukan dinilai berhasil, terbukti dari bertambah banyaknya pesanan tenun pada pengrajin,” jelas Okke. Dengan demikian diharapkan agar tenun para pengrajin sanggup bersaing dengan pasar dan standar internasional.
CTI juga bekerjasama dengan Museum Tekstil Indonesia  dan berbagai museum internasional dalam menyelenggarakan pameran kain tenun langka seperti penyelenggaraan Pameran Tekstil Indonesia dan Jepang sampai dengan meminjamkan koleksi tenun songket Limar kepada Museum Tekstil di Washington DC, Amerika Serikat. Selain itu, CTI berupaya agar produk budaya kain tenun Indonesia mendapatkan pengakuan dari UNESCO sebagai “pemilik asli” tenun Nusantara. Dalam rangka ulang tahunnya yang ke-2, CTI mempersembahkan sebuah pergelaran akbar bertajuk Pesta Tenun yang digelar di Ballroom The Ritz Carlton, Pacifik Place, Jakarta di bulan Agustus lalu. CTI berinovasi dengan memasukan kain tenun ke dalam dunia desain interior dan menyemarakan desain fashion dalam acara ini. Pesta Tenun juga makin semarak dengan diluncurkannya buku tentang tenun Indonesia yang berjudul Tenun Handwoven Textiles of Indonesia. Rangkaian kegiatan ini makin mengukuhkan keberadaan dan kontribusi CTI bagi bangsa dan negara.
A.       Program CTI
1.    Program Desa Tenun Kreatif Mandiri Terpadu.
2.    Program Pemberdayaan Perajin Tenun.
3.    Tailor made program sesuai permintaan pasar.
4.    Penerbitan buku hasil program pengembangan dari berbagai daerah.
B.       Alur Kerja Program Pengembangan Perajin Tenun
FGD Persiapan Tim Kerja → Studi Kelayakan (Survey) → FGD Hasil studi dan perencanaan pengembangan desain → Pelatihan (pengembangan struktur tenun, ragam hias, dan teknik pewarnaan) → Produksi mock up → Evaluasi → Presentasi Uji Coba Pasar Promosi.
C.       Daerah Binaan CTI Sampai dengan Akhir tahun 2011
1.    Daerah Klungkung, Karangasem, Seraya, dan Jinengdalem, Provinsi Bali. Kerjasama dengan PT. Garuda Indonesia
2.    Desa Muara Panembung, Kec. Indralaya, Kab. Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Kerjasama dengan PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
3.    Seluruh Kab. di Sulawesi Tenggara. Kerjasama dengan Pemda Sultra.
4.    Daerah Baduy, Provinsi Banten. Kerjasama dengan Pemda Banten.
5.    Kab. Sambas, Provinsi Kalimantan Barat. Kerjasama dengan PT. Garuda Indonesia.
6.    Kab. Garut, dan Kab. Majalaya. Kerjasama dengan PT. Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk.
7.    Lombok Utara dan Lombok tengah, Mataram, Nusa Tenggara Barat bekerjasama dengan PT Garuda Indonesia (persero).

Exotisme Sutera Garut
Kain tenun sutra ala Garut memang cantik dan menawan. Namun, keeksotisannya tidak mudah diciptakan, dibutuhkan keahlian khusus untuk mengembangkan teknik motif ikat. Mulai dari proses pemidangan, pencelupan, pencoletan, hingga berhasil menjadi satu meter kain tenun. Di Kabupaten Garut ini masih tersimpan banyak sekali produk-produk yang sudah puluhan tahun diproduksi, salah satunya adalah kain sutera alam. Potensi di sektor ini cukup menjanjikan, mengingat, Kabupaten Garut merupakan salah satu daerah dengan potensi agro-bisnis terbesar di Jawa Barat. Potensi bisnis inilah yang harus dimanfaatkan. Bayongbong dan Cikajang, merupakan daerah yang cocok untuk memelihara ulat sutera. Pasalnya ulat sutera perlu daun murbey (babasaran) untuk makanan utamanya dan kedua daerah itu sangat cocok ditanami murbey karena berhawa dingin.
Dari segi kualitas, sutera alam Garut tak kalah dengan kain sutera alam buatan daerah lainnya. Bahkan lebih unggul dari segi motif yang khas Garutan dan ketebalan kain. Tak hanya pasar lokal seperti Jakarta, Cirebon, Pekalongan, Yogyakarta Dan Solo, akan tetapi permintaan pasar global pun cukup tinggi. Bahkan, kain sutera alam Garut telah memasuki pasar Jepang, Kanada dan Amerika. Meski permintaan masih tinggi, namun para perajin kesulitan memenuhi permintaan tersebut. Kendalanya ada pada bahan baku yang langka dan sangat mahal. Akibatnya, hanya bisa memenuhi sekitar 50% dari permintaan yang datang. Padahal, industri persuteraan merupakan salah satu subsektor agro-industri yang sangat potensial untuk dikembangkan, karena memiliki berbagai keunggulan. Yakni bahan baku seluruhnya tersedia dan berasal dari sumber daya alam lokal.
Usaha tenun sutera datang ke Garut bersama eksodus tentara Jepang ke Nusantara awal tahun 1940-an. Tahun 1954 Naito yang kemudian mengganti nama menjadi Muhamad Kurdi –prajurit Jepang yang tak mau pulang ke tanah airnya, mencoba peruntungan dengan membuat benang ajaib kain sutera di Wanaraja Garut. Salah satu warga pribumi yang belajar pembuatan kain sutera itu adalah Aman Sahuri -ia perintis tenun sutera di Garut. Usaha ini kemudian diikuti oleh S.M. Kosasih, H. Machdar (Bandung), Ackub Wangsadimiarta (Sukabumi), Ummi Salamah (Banda Aceh), Mohamad Daud (Ujung Pandang). Sahuri mengajak warga lain, memelihara ulat sutera kertau (Bombyx mori) serta membuat pemintalan benang dan tenun sutera. Puncaknya, saat Sahuri mendapatkan Penghargaan Upakarti tahun 1990 atas kiprah kreatifnya itu. Namun masa keemasan itu mendapat ujian yang tak kunjung usai, dimulai dari kebangkrutan PT Indo Jago Sutera Pratama tahun 2003. Satu persatu usaha kebun murbei dan ternak ulat sutera lokal, berjatuhan. PT Indo Jago adalah perusahaan produsen benang sutera tercanggih di Indonesia, tanpa PT Indo Jago proses pemintalan benang hanya dilakukan secara tradisional. Akibatnya, kualitas benang tidak terjaga dan mulai ditinggalkan konsumen. Kini, perusahaan penenunan sutera lebih banyak memakai benang impor yang standar panjang dan ketebalannya seragam

The Silk Road –Jalur Sutera.
Sutera ditemukan dan digunakan pertama kali di Cina dibawah Kekaisaran Huang Ti (Yellow Emperor) sekitar tahun 2697 s/d 2597 Sebelum Masehi. Tulisan-tulisan Konfusius dan tradisi Cina menceritakan bahwa pada abad ke-27 SM sebuah kepompong ulat sutera tak sengaja jatuh ke dalam cangkir teh milik seorang permaisuri bernama Lei-Tzu (Leizu). Mengharapkan khasiat karena meminumnya, gadis muda berusia empat belas tahun ini mulai membuka gulungan benang kepompong. Sang permaisuri baru menyadari bahwa kepompong tersebut kemudian menjadi berbentuk helaian benang yang halus dan panjang –inilah awal pertamakali benang sutera ditemukan. Si gadis kemudian memiliki ide untuk menenun gulungan benang tersebut, maka terciptalah sebuah kain kemilau yang menakjubkan –kain sutera. Di Cina, permaisuri tersebut sampai sekarang dikenal sebagai Si Ling-Chi atau Lady of the Silkworm. Sang Kaisar Kuning merekomendasikannya untuk membudidayakan ulat sutera atas permintaan permaisurinya itu, inilah awal mula sang permaisuri dipuja sebagai Dewi Sutera dalam mitologi Cina. Semenjak itu Cina dikenal sebagai penghasil kain sutera yang terkenal di seluruh dunia. Banyak pedagang datang ke Cina untuk membeli kain sutera Cina yang terkenal. Rupa sutera yang kemilau disebabkan karena strukturnya yang menyerupai prisma segitiga di dalam serat sehingga memungkinkan kain sutera membiaskan cahaya ke berbagai sudut. Jalur perdagang tersebut kemudian dikenal sebagai The Silk Road atau Jalur Sutera. Hingga seribu tahun kedepan, monopoli atas sutera masih dikuasai Cina. Pada saat itu kegunaan sutera tidak hanya terbatas pada pakaian, namun telah digunakan untuk sejumlah aplikasi lain –antara lain: tulisan.
Pada awalnya, sutera merupakan produk eksklusif kekaisaran Cina atau Tiongkok, hanya bangsa Cina yang mengetahui rahasia pembuatan sutera selama berabad-abad. Siapapun yang membocorkan cara pembuatan sutera akan dibunuh sebagai seorang pengkhianat. Karena monopoli inilah yang membuat harga sutera sangatlah mahal, bahkan sebanding dengan emas pada masa itu.
Diawali dengan pemberian hadiah bahan sutera kepada Kaisar Romawi Timur (Bizantium) oleh Cina, lalu pada tahun 550 M Kaisar Romawi Timur atau Bizantium yang bernama Justinian I mengirim dua biarawan yang menyamar sebagai mata-mata ke negeri Cina. Mereka berhasil mengambil ulat sutera dari negeri Cina dan mengetahui cara membuat sutera pada tahun 552 M. Sejak saat itu, sutera dikembangkan di seluruh wilayah Kekaisaran Romawi Timur dan menyebar ke seluruh dunia. Akibatnya, monopoli sutera bukan lagi milik Kekaisaran Cina.
Orang-orang Arab juga mulai memproduksi sutera dalam kurun waktu yang sama. Sebagai hasil dari penyebaran sericulture, ekspor sutera di Cina menjadi sedikit berkurang, namun mereka masih mendominasi pasar sutera mewah.
Korea, India dan Jepang mulai mengembangkan ulat sutera dengan memasukkan telur dari Cina. Bahkan Jepang berhasil mendatangkan ngengat penghasil sutera dari Cina yang kemudian menjadi sutera sebagai salah satu pokok perekonomian Jepang yang jaya pada masa Meiji.
Saat Perang Salib, produksi sutera dibawa ke Eropa Barat, khususnya ke negara Italia. Banyak yang melihat ekspor sutera ke seluruh Eropa sebagai peluang yang menjanjikan karena dapat meningkatkan perekonomian. 
Selama abad pertengahan, perubahan teknik manufaktur juga mulai terjadi. Dari yang sebelumnya menggunakan alat primitif, berubah menggunakan alat pemintal semacam roda berputar yang pertama kali muncul. Pada abad ke- 13 – 16 Perancis (Lyon) dan Italia berhasil mengembangkan perdagangan sutera, saat itu justru banyak negara-negara lain yang tidak berhasil mengembangkan industri sutera.
Abad 15 di Inggris didirikan pabrik sutera pertama –revolusi industri banyak mengubah industri sutera di Eropa. Karena inovasi dalam pemintalan kapas saat itu menjadi jauh lebih murah dalam memproduksi dan karena itu menyebabkan produksi sutera lebih mahal. Teknologi tenun baru telah meningkatkan efisiensi produksi. Salah satu diantaranya adalah mesin tenun Jacquard yang dikembangkan untuk bordir sutera.
Perjalanan panjang sejarah sutera sempat terhenti pada tahun 1854. Sebab, sebuah wabah penyakit ulat sutera terjadi dan berakibat pada menurunnya produksi sutera, terutama di Perancis, di mana industri sutera tidak dapat ditemukan. Pada abad ke-20 Jepang dan Cina kembali berperan untuk memproduksi sutera. Dan kini, Cina merupakan produsen sutera terbesar di dunia.

Sutera di Indonesia
Di Indonesia perkembangan sutera alam mulai dikenal pada abad X, tapi belum dijumpai adanya budidaya ulat sutera. Kemudian pada tahun 1718, bangsa Belanda membawa teknologi untuk budi daya sutera di Indonesia. Sejak saat itulah, sutera mulai dikembangkan di Indonesia. Pada tahun 1950 dicanangkan program Multiple Use of Forest Lands oleh Dr. Soejarwo, yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan lahan kehutanan. Tahun 1954 – 1961 pemeliharaan ulat sutera dilakukan di Cisarua oleh Naito dari Jepang dan Kosasih dari Bandung. Tahun 1961 organisasi sutera alam pertama dibentuk yaitu ISRI, Industri Sutera Rakyat Indonesia.
A.       Pendirian Pabrik Pemintalan :
1961 di Bandung, yang bahan bakunya berupa kokon masyarakat;
1963 di Ciamis Jawa Barat;
1966 di Yogyakarta.
B.       Daerah Pengembangan Sutera Alam :
1.    Jawa Barat : Sukabumi, Cianjur, Garut;
2.    Jawa Tengah : Candiroto (Pusat Pembibitan Ulat Sutera/PPUS), Regoloh di Pati (mempunyai Usaha Persuteraan Alam/UPA);
3.    Jawa Timur : Gerbo di Pasuruan, Pare di Kediri;
4.    Sumatera Barat : Payakumbuh, Batu Sangkar;
5.    Sumatera Utara : Brastagi, Dairi;
6.    Sulawesi Selatan : Soppeng (sentra produksi benang sutera terbesar di Indonesia), Wajo dan Majene.
C.       Perkembangan Persuteraan Alam :
1.    1968 Pengembangan Persuteraan Alam di Yogyakarta;
2.    1970 Proyek Pembinaan Persuteraan Alam Sulawesi Selatan;
3.    1978 – 1985 Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kehutanan bekerjasama teknik dengan Pemerintah Jepang yang dituangkan di dalam proyek Kerjasama AT – 72.
4.    Dibentuk Badan Pembinaan Persuteraan Alam Nasional sesuai Keputusan Menteri Kehutanan No. 146/Kpts-V/1986 yang disempurnakan dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 702/Kpts-II/1989 dan No. 100/Kpts-II/1994.
5.    1992 dibentuk Masyarakat Persuteraan Alam Indonesia;
6.    1996 dirintis pemberian Kredit Usaha Tani (KUT) Persuteraan Alam kepada petani/kelompok tani sutera melalui “Mitra Usaha”.
7.    1996 telah diadakan kerjasama dengan Pemerintah Rumania dalam bidang breeding ulat sutera.
D    Pola-pola Usaha Dalam Pengembangan Persuteraan Alam
1.    Pola Kelompok Tani :
Suatu kelompok tani sebaiknya terdiri dari 7 – 10 rumah tangga yang mengenal satu sama lainnya dan bekerja pada satu hamparan lahan. Kelompok tani merupakan ajang Pendidikan dan Komunikasi bottom-up, top-down dan horisontal. Kegiatan-kegiatan dalam kelompok tani merupakan kegiatan persiapan untuk membentuk Koperasi.
2.    Pola Koperasi :
Beberapa kelompok tani dapat membentuk Koperasi Pembinaan dan Pengawasan, terutama di bidang permodalannya dengan sistem kredit.
3.    Pola BUMN :
Badan Usaha Milik Negara yang sangat menonjol dalam pengembangan dan bimbingan persuteraan adalah Perum Perhutani.




Mugia aya manfaatna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar