Rabu, 24 Juni 2015

Petani Melarat Pemberi Inspirasi



Sejarah panjang Marhaenisme, selalu menempatkan Soekarno sebagai pusatnya. Sementara Marhaen (petani kecil yang menginspirasi kelahiran ideologi ini), tercecer di belakangnya. Bagi orang-orang kecil yang bekerja untuk sekadar mempertahankan hidup. Yah, mereka selamanya jadi Marhaen.

Marhaenisme dan Marxisme
Kedekatan Marhaenisme dengan Marxisme –ajaran yang menjadi kontroversial dan problematik di Indonesia, tidak perlu dipermasalahkan. Semua orang tahu, Soekarno memang mengagumi dan mempelajari Marxisme sehingga wajar jika ajarannya “terpengaruh” pemikiran-pemikiran tersebut. Soekarno sendiri mengakuinya –pada pidato Bung Karno tahun 1958, bahwa Marhaenisme itu: “Marxisme yang diselenggarakan; dicocokkan; dan dilaksanakan di Indonesia”. Tak ada yang salah dengan itu, tidak ada yang perlu dibesar-besarkan. Keunggulan Marhaenisme adalah penerapannya yang disesuaikan dengan kondisi rakyat Indonesia ketika itu. Soekarno hanya mengambil elemen penting Marxisme, yaitu metode berpikirnya yang disebut dengan “historis materialisme” untuk diramu dengan dua elemen yang mengandung aspek modernitas yang diperlukan bangsa Indonesia, yakni: nasionalisme dan demokrasi. Marhaenisme menjadi ajaran revolusioner  karena tuntutan zaman kolonial, dan Soekarno sadar betul dengan potensi rakyatnya. Tak mungkin kemerdekaan dicapai, tanpa menggerakkan massa rakyat. Dengan demikian, Marhaenisme dianggapnya relevan dan penting.
Pada akhirnya, tidak begitu penting perdebatan apakah nama Marhaen itu benar-benar “pernah ada” ataukah ia hanyalah produk “salah dengar” dari Mang Aen –lawan politiknya menjuluki Marhaenisme sebagai Mang Aen yang merupakan akronim dari: Marx-Hegel-Engels, karangan Soekarno. Pesan yang terpenting adalah kemunculan seorang petani miskin dalam panggung utama sejarah sebuah bangsa, dan perlakuan yang layak harus diberikan untuk itu. Soekarno menyusun Marhaenisme sebagai cara perjuangan untuk melawan kapitalisme dan imperialisme, setelah ia menyadari bahwa teori-teori Marxisme yang berasal dari Eropa itu tidak sesuai untuk negeri jajahan seperti Indonesia –yang perekonomiannya belum mencapai tahap kapitalis.
Sejarah pemikiran Soekarno –termasuk Marhaenisme, akan membawa dampak signifikan. Anak-anak muda akan memperoleh ingatan berharga atas proses panjang kelahiran negeri mereka yang bukan melulu soal peperangan, tetapi juga pergulatan pemikiran. Marhaenisme, lenyap dari buku-buku sejarah. Posisi pentingnya dalam panggung sejarah politik, gagal tersampaikan kepada generasi muda.

Marhaen
Konon, Marhaen berperawakan kecil-kurus dengan tulang pipi menonjol dan dagu datar. Rambutnya sedikit ikal, kulitnya lebih gelap. Di kampungnya –Kampung Cipagalo Kulon; Kelurahan Mengger; Kecamatan Bandung Kidul; Kota Bandung, Marhaen tergolong orang yang disegani karena kemampuan ilmu bela-dirinya. Ia punya ilmu kebal, dan bahkan bisa menghilang. Cerita tentang “kesaktian” Marhaen, melebar kemana-mana. Ia disebut-sebut menjalani ritual “pantang mandi” selama setahun penuh dengan membiarkan rambutnya menjuntai tanpa pernah dipangkas, namun tidak ada bau dari tubuh dan rambutnya itu. Marhaen meninggal tahun 1943, setelah kelelahan karena dikejar-kejar oleh paratentara Jepang untuk dijadikan tenaga romusha. Kini, Kampung Cipagalo Kulon –yang telah dialihkan ke Kota Bandung semakin sesak. Kampung Marhaen itu semakin kesulitan bernapas, terjepit jalan tol di Selatan dan perumahan mewah di Utaranya.
Kisah pertemuan antara Soekarno dengan Marhaen, terjadi secara tidak sengaja. Secara kebetulan ketika Soekarno sedang berjalan-jalan di daerah Cigereleng Bandung, ia melihat seorang petani yang sedang menggarap sawahnya dan kemudian menghampirinya seraya mengajaknya bicara.
Soekarno: “Milik siapa tanah ini ?”
Marhaen: “Saya !”
Soekarno: “Cangkul ini milik siapa ?”
Marhaen: “Saya !”
Soekarno: “Kalau peralatan-peralatan itu semua milik siapa ?”
Marhaen: “Punya saya !”
Soekarno: “Hasil panen yang kamu kerjakan ini untuk siapa ?”
Marhaen: “Untuk saya !”
Soekarno: “Apakah itu cukup untuk keperluan kamu ?”
Marhaen: “Hasilnya pas-pasan untuk mencukupi hidup kami
Soekarno: “Apakah kamu juga bekerja menggarap tanah orang ?”
Marhaen: “Tidak, saya harus bekerja keras, semua tenaga saya untuk lahan saya sendiri
Soekarno: “Tapi kawan, hidup kamu dalam kemiskinan ?”
Marhaen: “Benar, saya hidup dalam kemiskinan
Sejenak, Soekarno berpikir. Marhaen tidak menjual tenaga kepada majikan sebagai seorang proletar, ia juga memiliki alat-alat produksinya sendiri, tapi Marhaen tetap miskin. Usaha taninya hanya untuk menyambung hidup, seraya tetap mempertahankan hartanya yang sepenggal itu. Ketika itu Soekarno heran, mengapa seorang yang memiliki alat produksi sendiri malah miskin. Petani inilah gambaran masyarakat Indonesia, miskin karena sistem yang ada yang membuat ia miskin. Akhirnya Soekarno mengambil kesimpulan: “Marhaen tidak akan berubah menjadi pelopor dan kekuatan revolusi, kalau kesadarannya tidak dibangkitkan”. Ketika Soekarno dan Marhaen bercakap-cakap di tepi sawah, datanglah serombongan tentara Belanda. mereka memata-matai Soekarno, yang ketika itu mulai aktif dalam pergerakan. Tentara itu lalu bertanya kepada Marhaen, apakah ia melihat Soekarno. Sang petani menjawab tidak tahu-menahu, karena sejak Shubuh ia mencangkul sawah bersama saudaranya –yang dimaksud “saudaranya” itu tidak lain adalah Soekarno. Sebelum tentara Belanda tiba, Marhaen buru-buru memberikan baju dan topi caping kepada Soekarno. Dengan menyamar sebagai petani, Soekarno tidak terlihat oleh tentara Belanda.
Sedemikian terkenal legenda ini, sehingga bukan hanya terdengar di Indonesia, tetapi juga ke luar negeri. Marhaen juga dijadikan simbol oleh Soekarno, untuk membangkitkan petani dan rakyat miskin. Marhaenis merupakan sebuah pemikiran ideologi yang membela “kaum Marhaen” atau kaum yang dimiskinkan oleh sistem. Konsep ini mungkin terlihat sama dengan konsep Marxisme yang memperjuangkan kepentingan kaum proletar. Tapi, Marhaenisme memperjuangkan semua lapisan masyarakat Indonesia yang tertindas oleh sistem penguasa. Sekarang ini mereka merupakan kelompok yang lemah dan terampas hak-haknya, tetapi nantinya ketika digerakkan dalam gelora revolusi –menurut pemikiran Soekarno, mereka akan mampu mengubah dunia.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar