Minggu, 20 April 2014

Pledoi Indonesia Menggugat 5



Bagian kelima dari 6

Partai Nasional Indonesia
Kami punya asas tentang “Kemerdekaan Indonesia”
Tempat yang harus dilalui? Manakah tempat-tempat yang harus dilalui? Partai Nasional Indonesia dengan sepenuh-penuhnya keyakinan menjawab: tempat-tempat yang berjajar-berjajar menuju ke arah Indonesia Merdeka! Sebab di belakang Indonesia Merdeka itulah tampak kepada mata PNI keindahan Samudra Keselamatan dan samudra Kebesaran itu, di belakang Indonesia Merdeka itulah tampak kepada mata PNI sinar hari kemudian yang melambai-lambai! Inilah pokok keyakinan PNI, sebagai yang tertulis di dalam buku keterangan asasnya:
“Partai Nasional Indonesia berkeyakinan, bahwa syarat yang amat penting untuk pembaikan kembali semua susunan pergaulan hidup Indonesia itu, ialah kemerdekaan nasional. Oleh karena itu, maka semua bangsa Indonesia terutama haruslah ditujukan ke arah kemerdekaan nasional itu.” Dengan bahasa Belanda: de nationale vrijhed als zeer belangrijkevoorwaarde tot de nationale reconstructie! Berlainan dengan banyak partai-partai politik lain, yang mengatakan “perbaikilah dulu rumah tangga, nanti kemerdekaan datang sendiri”; –berlainan dengan partai-partai lain, yang menganggap kemerdekaan itu sebagai buahnya pembaikan rumah tangga, —maka PNI berkata: “Kemerdekaan nasional usahakanlah, sebab dengan kemerdekaan nasional itulah rakyat akan bisa memperbaiki rumah tangganya dengan tidak terganggu, yakni dengan sesempurna-sempurnanya”, –PNI berkata, “De-volkomen nationalereconstructie allen mogelijk na wederkomst der nationaleonafhankelijkkheid”. Tuan-tuan Hakim, sepanjang keyakinan kami, asas PNI yang demikian ini dalam hakikatnya tidak beda dengan asas perjuangan kaum buruh di Eropa dan Amerika, tidak beda dengan asas yang mengatakan bahwa untuk melaksanakan sosialisme, kaum buruh itu harus lebih dulu mencapai kekuasaan pemerintahan.“Kaum proletar hanya bisa mematahkan perlawanan kaum modal terhadap usaha membikin alat-alat perusahaan partikelir menjadi milik umum, dengan mengambil kekuasaan politik. Untuk maksud ini, kaum buruh seluruh dunia, yang telah menjadi insaf akan kewajibannya dalam perjuangan kelas, menyusun diri,” begitulah bunyi paragraf 11 dari keterangan asas Sociaal Democratische Arbeiders Partij. Nah, buat suatu rakyat jajahan, buat suatu rakyat yang di bawah imperialisme bangsa lain, hakikat perkara sepanjang keyakinan kami, tidaklah lain. Buat suatu rakyat yang dibencanai oleh imperialisme, buat usaha rakyat itu melawan bencana imperialisme itu, perlu sekalipula “kekuasaan politik” dicapainya. Buat rakyat yang demikian itu, kalimat tadi mendapat variasi:
“Rakyat yang dijajah hanya bisa mematahkan perlawanan kaum imperialisme terhadap pekerjaan memperbaiki kembali semua susunan pergaulan hidup nasionalnya, dengan mengambil kekuasaan pemerintahan, yakni dengan mengambil kekuasaan politik.”
Dan apakah artinya “kekuasaan politik” bagi suatu rakyat jajahan? Apakah artinya “kekuasaan pemerintahan”, apakah artinya “mengambil kekuasaan pemerintahan” bagi suatu rakyat jajahan? Mencapai Kekuasaan politik bagi suatu rakyat jajahan adalah berarti mencapai pemerintahan nasional, mencapai kemerdekaan nasional, —mencapai hak untuk mengadakan undang-undang sendiri, mengadakan aturan-aturan sendiri, mengadakan pemerintahan sendiri! Nah, Partai Nasional Indonesia ingin melihat rakyat Indonesia bisa mencapai kekuasaan politik itu, Partai Nasional Indonesia tidak tedeng aling-aling  mengambil kemerdekaan nasional itu sebagai maksudnya yang tertentu. Partai Nasional Indonesia mengerti, —atau lebih benar: kami mengerti, –bahwa mengejar kekuasaan politik, jadi, mengejar kemerdekaan nasional itu, adalah konsekuensi dan voorwaarde, buntut dan syarat, bagi suatu perjuangan kontra imperialisme itu adanya. Sebagai di negeri barat kaum kapitalis mengusahakan kekuasaan politiknya mempengaruhi rumah tangga negara menurut mereka punya kepentingan, sebagaimana kaum kapitalis itu mengusahakan kekuasaan politiknya untuk mengadakan aturan-aturan rumah tangga negara yang menguntungkan mereka punya kepentingan dan meniadakan aturan-aturan yang merugikan mereka punya kepentingan,–sebagaimana kaum kapitalis itu mengusahakan mereka punya kekuasaan politik untuk menjaga dan memelihara kapitalisme–, maka di suatu negeri jajahan, kaum imperialisme mengusahakan kekuasaan politiknya pula untuk mempengaruhi rumah tangga negara menurut mereka punya kepentingan, yakni menurut kepentingan sistem imperialisme! Olah karena pengaruh itu, maka hampir tiap aturan yang penting di dalam suatu negeri jajahan bersifat menguntungkan kepentingan kaum imperialisme itu, sesuai dengan kepentingan kaum imperialisme itu. Hampir tiap-tiap aturan yang penting di dalam suatu negeri jajahan adalah bersifat untuk penjajahan itu, untuk imperialisme itu. Oleh sebab itu, maka, selama suatu negeri masih bersifat jajahan, ya, lebih jauh lagi: selama suatu negeri masih bersifat “protektorat” ataupun “daerah mandat”, —pendek kata selama suatu negeri masih belum sama sekali leluasa mengadakan aturan-aturan rumah tangga sendiri, — maka sebagian atau semua aturan-aturan rumah tangganya, mempunyai “cap” yang imperialistis adanya. Artinya: selama rakyat belum mencapai kekuasaan politik atas negeri sendiri, maka sebagian atau semua syarat-syarat hidupnya, baik ekonomi maupun sosial maupun politik, diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan yang bukan kepentingannya, bahkan bertentangan dengan kepentingannya. Ia adalah seolah-olah terikat kaki dan tangannya, tak bisa leluasa berjuang melawan daya-daya imperialisme yang membencanainya, tak bisa leluasa berjuang mengalang-alangi syarat-syarat hidupnya diperuntukkan bagi kepentingan pihak lain, tak bisa leluasa berusaha memperuntukkan syarat-syarat hidupnya itu bagi perikehidupan ekonominya sendiri, perikehidupan kebudayaannya. Ia pendek kata, tak bisa leluasa berusaha melawan dan memberhentikan imperialisme, tak bisa pula leluasa menyubur-nyuburkan badan sendiri. Rakyat jajahan adalah rakyat yang tak bisa “menemukan diri sendiri”, suatu rakyat yang tak bisa “zichzelf” (berpribadi sendiri), suatu rakyat yang hampir semua apa-apanya kena “cap” yang imperialistis itu, — “cap” yang terjadinya ialah oleh pengaruh besar dari kaum imperialisme adanya. Tidak ada persamaan kepentingan antara kaum imperialisme dan kaum yang di bawah imperialisme; tidak ada belangengetneenschap antara kedua pihak itu. Antara kedua pihak itu ada pertentangan kepentingan, ada pertentangan kebutuhan, —ada tegenstelling van belangen ada conflict van behoeften. Semua kepentingan kaum imperialisme, baik ekonomi, maupun sosial, baik politik maupun yang berhubungan dengan kebudayaan umumnya, semua kepentingan kaum imperialisme itu, adalah bertentangan, tegengesteld dengan kepentingan Bumiputra. Kaum imperialisme sebisa-bisanya mau meneruskan adanya penjajahan, —orang Bumiputra sebisa-bisanya mau memberhentikan penjajahan itu. Aturan-aturan yang diadakan di bawah pengaruh kaum imperialisme, adalah karena itu bertentangan dengan kepentingan Bumiputra itu adanya. Meskipun demikian, Bumiputra menerima saja aturan-aturan itu? Meskipun demikian Bumiputra menghormati aturan-aturan itu? O, memang, Bumiputra menerima saja aturan-aturan itu, Bumiputra menghormati aturan-aturan itu. Tetapi mereka menerimanya dan menghormatinya itu, ialah hanya oleh karena Bumiputra kalah, hanya oleh karena Bumiputra terpaksa menerimanya dan terpaksa menghormatinya! Bukankah justru kekalahan ini sebabnya maka mereka dijajah? Bukankah justru kekalahan yang memaksa mereka menjadi rakyat, jajahan? Jules Harmand, Ambassadeur Honoraire dan ahli jajahan bangsa Prancis, dalam bukunya yang termashur “Domination et Colonisation”, menulis dengan terang-terangan:
“Tentu saja bisa kejadian, bahwa kepentingan orang Bumiputra kebetulan sama dengan kepentingan si penjajah; tapi ini jarang sekali kejadian. Biasanya…. kepentingan-kepentingan itu bertentangan satu sama lain.” Kedua pikiran “penjajahan” dan “kekerasan” atau sekurang-kurangnya “paksaan”, adalah bergandengan satu sama lain, atau isi-mengisi. Tergantung kepada tempat, keadaan dan tingkah laku, kekerasan itu boleh nyata atau kurang nyata, atau sedang saja, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, —tapi penggunaannya tidak pernah bisa dihilangkan. Pada hari paksaan hilang, berakhirlah pula penjajahan.”
Adakah pengakuan yang lebih terang-terangan, adakah ketulusan hati yang lebih tulus? Sesungguhnya kita tidaklah berdiri sendiri, kalau kita mengatakan bahwa oleh adanya pertentangan kepentinganitu, tiap-tiap sistem atau aturan jajahan, adanya diterima dan dihormati rakyat jajahan itu, hanya karena mereka terpaksa menerima dan terpaksa menghormatinya belaka,–terpaksa, yakni tidak dengan senang hati, tidak dengan rela hati, tidak dengan kemufakatan yang sebenar-benanrnya, tidak dengan persetujuan yang sepenuh-penuhnya!

Tiap-tiap rakyat jajahan ingin merdeka
Oleh karena itulah, Tuan-tuan Hakim, maka tidka ada satu rakyat negeri jajahan yang tindak ingin merdeka, tidak ada satu rakyat jajahan yang tak mengharap-harapkan datangnya hari kebebasan. Jikalau Partai Nasional Indonesia mendengung-dengungkan semboyan “mencapai kekuasaan politik” itu, jikalau Partai Nasional Indonesia mengobar-ngobarkan semangat ingin merdeka itu, maka ia hanyalah mengemukakan cita-cita umum belaka. Kemerdekaan adalah syarat yang amat penting baginya untuk bisa melawan dan memberhentikan imperialisme itu dengan seluas-luasnya. Kemerdekaan adalah pula syarat yang amat penting bagi pembaikan kembali segala susunan pergaulan hidup suatu negeri bekas jajahan, suatu syarat yang amat penting bagi rekonstruksi nasionalnya. Ya, kemerdekaan adalah syarat yang amat penting bagi kesempurnaan rumah tangga tiap-tiap negeri, tiap-tiap bangsa, baik bangsa timur maupun bangsa Barat, baik bangsa kulit berwarna maupun bangsa kulit putih. Tiada satu bangsa bisa mencapai kebesaran zonder kemerdekaan nasional, tidak ada satu negeri bisa menjadi teguh dan kuasa, umpama ia tidak merdeka. Sebaliknya, tiada satu negeri jajahan yang bisa mencapai keluhuran, tiada satu negeri jajahan yang bisa mencapai kebesaran itu. Oleh karena itu, maka tiap-tiap bangsa jajahan ingin akan kemerdekaan itu, ingin supaya bisa mencapai kebesaran itu. Tiap-tiap rakyat yang tak merdeka, tiap-tiap rakyat yang karena itu, tak bisa dan tak boleh mengatur rumah tangga sendiri secara kepentingan dan kebahagiaan sendiri, adalah hidup di dalam suasana yang rusuh, yakni hidup di dalam suasana yang kami sebutkan tadi, hidup di dalam suatu “permanente onrust”, kerusuhan yang terus-menerus, yang tersebabkan oleh tabrakan daya-daya yang saling bertentangan itu, — suatu keadaan yang tidak boleh tidak menimbulkan pula keinginan keras akan hilangnya pertentangan-pertentangan itu, yakni keinginan keras akan berhentinya ketidak-merdekaan itu tadi. Dari Maroko sampai Filipina, dari Korea sampai Indonesia melancar-lancar kemana-mana melalui gunung dan samudra, terdengarlah suara yang memanggil-manggil kemerdekaan itu,– bukan saja dari mulut rakyat-rakyat yang baru saja merasakan pengaruh imperialisme, tetapi juga, ya, malahan terutama, dari mulut bangsa-bangsa yang sudah berabad-abad tak menerima cahaya matahari kebesaran.“Sekalipun sudah berabad-abad mereka menjajah…… begitulah Jules Harmand menulis lagi:
“Sekalipun sudah berabad-abad mereka menjajah….. adalah suatu kebodohan apabila si penjajah itu sudah menyangka bahwa ia dicintai, —butalah ia apabila menyangka bahwa masyarakat yang dijajah itu merasa senang mengalami penjajahannya”….. ”Bagaimanapun juga lemahnya atau merosotnya, bagaimanapun juga biadabnya disangka orang bangsa yang terjajah itu, — bagaimanapun juga jahatnya kaum ningratnya, atau sebaliknya, bagaimanapun juga beradabnya mereka itu dalam tingkah lakunya dan bagaimanapun juga tajam otaknya dianggap orang…… mereka itu akan memandang kepergian atau hilangnya penjajahan asing selalu sebagai suatu pembebasan”.
Mengertikah orang sekarang, apa sebabnya Prabu Jayabaya yang menujumkan kemerdekaan itu, terus hidup saja berabad-abad dalam hati rakyat? Mengertikah orang sekarang, apa sebabnya di dalam tiap-tiap surat kabar Indonesia, di dalam tiap-tiap rapat bangsa Indonesia,– juga kalau kami yang disebut “penghasut” tidak menghadirinya! –, sebentar-sebentar terbaca atau terdengar perkataan “merdeka”? mengertikah orang sekarang, apa sebabnya sampai partai-partai politik yang paling sabar atau sedangpun, misalnya Budi Utomo dan Pasundan, yang toh terang sekali bukan perkumpulan kaum “penghasut”, juga sama mengambil cita-cita Indonesia Merdeka, sebagaimana disyaratkan bagi penerimaan menjadi anggota PPPKI? Partai Nasional Indonesia hanyalah lebih terang mengemukakan cita-cita itu; Partai Nasional Indonesia hanyalah lebih tentu mengutamakan kemerdekaan nasional itu, menjunjung kemerdekaan nasional itu sebagai syarat yang amat penting bagi pembaikan kembali semua susunan pergaulan hidup Indonesia yang sekarang kocar-kacir ini, dan bagi bisa berhasilnya perjuangan menghentikan imperialisme itu! Sebab, sebagai yang kami terangkan tadi, Partai Nasional Indonesia mengambil soal jajahan itu di dalam hakikat yang sedalam-dalamnya, mengambil soal jajahan itu terus ke dalam pokok-pokoknya, —mengambil soal jajahan itu di dalam filsafatnya yang sebenar-benarnya, yakni filsafat,– kami ulangi lagi–, bahwa di dalam tiap-tiap sistem jajahan adalah pertentangan kepentingan antara kaum imperialisme dan kaum Bumiputra; bahwa di dalam tiap-tiap sistem jajahan umumnya, keadaan-keadaan adalah dipengaruhi, di-“cap”-kan, diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan imperialistis; —bahwa karena itu, didalam sistem jajahan mana pun juga, kepentingan Bumiputra tak bisa terpelihara sesempurna-sempurnanya.

Dalil-dalil pemimpin-pemimpin negeri lain
Dan juga dalam keyakinan ini, Partai nasional Indonesia tidak berdiri sendiri. Juga di dalam keyakinan ini, Partai Nasional Indonesia mendapat pembenaran di dalam ujaran-ujaran pemimpin besar di negeri-negeri lain. Jikalau Mustafa Kamil dari Mesir menulis, bahwa “suatu bangsa yang tak merdeka sebenarnya adalah suatu bangsa yang tak hidup”, jikalau Manuel Quezon dari Filipina berkata bahwa “lebih baik zonder Amerika ke neraka daripada dengan Amerika ke surga”, jikalau Patrick Hendry dari Amerika dulu berteriak: “Berikanlah padaku kemerdekaan, atau berikanlah padaku maut saja” –maka itu bukanlah jerit budi pekerti yang “panas” belaka, tetapi di dalam hakikatnya mereka tidak lain daripada mengutamakan kemerdekaan nasional itu. Jikalau kita membaca pemimpin Irlandia, Michael Davitt, menulis: “Baik keselamatan, baik bujukan maupun undang-undang yang menguntungkan, tidak akan memuaskan bangsa Ir, jika kami tidak mendapat hak untuk memerintah negeri kami sendiri”. Ya, jikalau kita membaca bahwa seoarang pemimpin Irlandia lain Erskine Childers, menolak tingkat free-state dan menuntut kemerdekaan sepenuh-penuhnya dengan perkataan:
“Kemerdekaan bukanlah soal tawar-menawar, kemerdekaan adalah sebagai maut: dia ada atau dia tidak ada. Kalau orang menguranginya, maka itu bukan kemerdekaan lagi”, –tidakkah itu dalam hakikatnya suatu pembenaran pula dari kami punya pendirian itu? Tetapi, perhatikanlah perkataan-perkataan Jozef Mazzini, Bapak Rakyat Italia, yang lebih terang lagi:
“Membangunkan tanah air ini, malahan adalah suatu kemustian. Penguatan hati dan jalan-jalan yang saya bicarakan tadi itu, hanya bisa datang dari suatu tanah air yang bersatu padu dan merdeka. Keadaan masyarakat kamu hanya bisa menjadi baik, apabila kamu ikut serta dalam kehidupan politik bangsa-bangsa.” Janganlah tertipu oleh pikiran, bahwa keadaan kebendaanmu akan menjadi baik, dengan tidak menyelesaikan lebih dulu soal nasional; kamu tidak akan berhasil dalam hal itu.” dan perhatikanlah pula perkataan-perkataan Sister Nivedita, yang mengutamakan kemerdekaan nasional itu buat suburnya hidup kebatinan dan hidup kesenian, di dalam buku Okakura: “Die Idealedes Ostens”:
“Seni hanyalah bisa berkembang pada bangsa-bangsa yang hidup merdeka. Dia, sebenarnya adalah alat yang hebat dan buah Rasa-Suci dari kemerdekaan, yang kita sebut keinsafan kebangsaan”.
Ini adalah ucapan-ucapan belaka. Prakteknya? Marilah kita misalnya mendengarkan pidato Dr. Sun Yat Sen tentang San Min Chu I, di mana Bapak Rakyat Tiongkok ini, sudah menunjukkan bahwa Tiongkok sebenarnya tidak mempunyai kemerdekaan nasional yang sejati, melainkan malahan adalah suatu “hypo-colony” menggambarkan terganggunya rumah tangga Tiongkok itu dengan kata-kata:
“Tatkala Tiongkok berdiri atas dasar politik yang sama dengan lain-lain bangsa, ia bisa bersaingan dengan merdeka di lapangan ekonomi dan sanggup dengan tidak membuat kesalahan mempertahankan dirinya sendiri. Tetapi baru saja bangsa-bangsa asing mempergunakan kekuasaan politik sebagai tameng bagi maksud-maksud ekonomi, maka tiongkok pun kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan diri atau bersaingan dengan mereka dengan berhasil.”
Dan sekarang, sesudah kemerdekaan nasional negeri Tiongkok itu makin lama makin teguh, maka ahli pikir Inggris H.C. Wells, menulis:
“Pada zaman sekarang ini bisa jadi, bahwa lebih banyak tenaga otak yang baik dan lebih banyak orang yang sungguh hati bekerja untuk membikin modern dan menyusun kembali peradaban Tiongkok, daripada yang demikian itu kita jumpai di bawah pimpinan bangsa Eropa mana pun juga”.
Dan prakteknya di Indonesia? Adakah prakteknya di sini membenarkan keyakinan PNI, bahwa negeri yang tak merdeka itu memang segala atau sebagian daripada aturan-aturan dan syarat-syarat hidupnya dipengaruhi, di-capkan, diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan imperialistis, yang bertentangan dengan Bumiputra itu? Prakteknya di sini membenarkan dengan sepenuh-penuhnya! Kita lihat, bahwa untuk sempurnanya usaha imperialisme-perindustrian di sini, masyarakat kita diproletarkan, kita dijadikan “rakyat kaum buruh”; kita mengetahui, bahwa kaum imperialisme yang butuh akan tanah murah dan kaum buruh murah itu, sebagai diterangkan oleh Prof. Van Gelderen, mempunyai kepentingan di dalam rendahnya tenaga produksi kita punya pergaulan hidup, jadi, dengan sengaja pula merendahkan tenaga produksi itu dan melawan keras tiap-tiap usaha bangsa Bumiputra yang mau menaikkan tenaga produksi itu. Lihatlah, –jikalau kita mau memajukan perusahaan kita, kebun teh dan pabrik teh, jikalau kita mendirikan Bank Nasional di Surabaya, jikalau kita mau mendirikan suatu maskapai perkapalan Indonesia, maka kaum imperialisme itu menjadi geger perkara “gerakan elit” itu, geger perkara niat pemerintah mau memberikan hak hubungan kredit pada Bank Nasional itu, geger memaki-maki di dalam pers dan dikalangan pelayaran atas maksud mendirikan maskapai perkapalan itu. Dan kita lihat kaum imperialisme itu, sebagai yang kami telah kemukakan di dalam pemeriksaan, menjalankan pengaruhnya, invioed-nya, ya tiraninya atas pemerintahan, sebagai yang dimarahkan oleh Prof. Snouck Hurgronje, dengan kata-kata:
“…..perlulah, bahwa kekuasaan yang tertinggi itu dihormati oleh mereka (oleh kaum majikan), sama dihormati mereka seperti pangreh praja Bumiputra menghormatinya, yang menurut kata Colijn, senantiasa mengarahkan satu mata ke Bogor. Memang, dalam waktu yang akhir-akhir ini kebanyakan mereka mengarahkan kedua-dua matanya ke sana, akan tetapi bukan untuk menuruti petunjuk-petunjuk, tapi untuk mengemukakan mereka punya tuntutan-tuntutan, yakni supaya susunan dan kerjanya mesin pemerintahan sesuai dengan mereka punya kemauan. Ini juga suatu macam revolusi.”
Kita lihat kaum imperialisme itu mempengaruhi pemerintah mengadakan politik tarip yang menguntungkan baginya, sebagai tertulis dalam AID de Preangerbode beberapa bulan yang lalu dibawah kepala: “Vrijhandelbinnen het rijk is instrijd met het belong van Nederland en van Indie”; kita lihat bagaimana di sini ada suatu aturan pajak, yang sebagai ditunjukkan oleh komisi Meyer-Ranneft-Huender, enteng sekali bagi kaum Eropa dan berat sekali bagi kaum Indonesia; kita lihat bagaimana di sini ada bea karet, yang mengenai karet Bumiputra saja, sehingga suburnya mendapat rintangan besar; kita lihat bagaimana di sini ada itu aturan kuli kontrakan beserta poenale sanctienya, yang sama sekali hanya menguntungkan kaum modal belaka! Kita lihat adanya suatu undang-undang pelindung kaum buruh dan adanya pasal 161 bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang juga melulu berarti untungnya kaum kapital, celakanya kaum buruh; kita lihat adanya macam-macam aturan yang mengalangi pergerakan rakyat apa saja, yang memusuhi imperialisme itu; kita lihat suatu politik pengajaran yang membunuh rasa kebangsaan dan mendidik pemuda-pemuda kami menjadi pennelikkers dan tidak menjadi manusia-manusia yang tabiat semangatnya merdeka; kita melihat suatu keadaan, sebagai De Stuw mengatakannya, bahwa rakyat “makin lama makin jadi tergantung kepada pihak asing dan dengan demikian juga makin lama makin jauh dari cita-cita Hindia buat bangsa Hindia”;
Kita melihat…….. tetapi cukup, Tuan-tuan Hakim, cukup untuk membuktikan kebenaran keyakinan PNI itu! PNI memang adalah suatu partai yang tidak mau ngelamun, suatu partai yang tidak mau terapung-apung di atas awan angan-angan; PNI adalah suatu partai yang dengan kedua-dua kakinya berdiri di atas keadaan-keadaan yang sebenarnya, dengan kedua-dua kakinya berdiri di atas realiteit. Ia melihat, bahwa imperialisme adalah bertentangan keyakinan dengan kita, ia melihat bahwa kaum imperialisme itu mengusahakan kekuasaan politiknya untuk menjaga dan memelihara kepentingannya, —jadi, ia mengatakan bahwa kita barulah bisa melawan dan memberhentikan imperialisme itu seluas-luasnya, kalau kekuasaan politik itu sudah di dalam tangan kita, bahwa kita barulah bisa mengusahakan pembaikan kembali kita punya pergaulan hidup dengan sesempurna-sempurnanya, kalau kita sudah merdeka, —jadi, ia memujikan rakyat Indonesia mengejar kemerdekaan itu! “Terang benderang sebagai kaca”, — “zoo helder als glas”, begitulah orang Belanda berkata!

Percaya pada usaha sendiri
Dan mendatangkan Indonesia merdeka itu? Juga di dalam menjawab soal ini, maka PNI dengan kedua-dua kakinya berdiri di atas realiteit. Ia menjawab soal itu dengan yakin: “dengan usaha rakyat Indonesia sendiri!” la. tak mau mengikuti pengelamunan setengah orang yang mengira, bahwa adanya sistem imperialisme di sini itu ialah untuk mendidik kita dibikin “matang” atau “rijp” dan bahwa jikalau nanti kita sudah cukup “matang”, jikalau kita nanti sudah cukup “rijp”, sistem imperialisme itu lantas akan “berhenti sendiri”, —“memberikan” kemerdekaan kepada kita sebagai suatu “anugerah yang berharga”, sebagai suatu “kostbaar geschenk”! Amboi, alangkah baiknya imperialisme kalau memang begitu; alangkah benarnya kalau begitu perkataan perjanjian Volkenbond Pasal 22, bahwa politik jajahan itu ialah suatu “mission sacree”, suatu “misi yang suci” dari bangsa-bangsa kulit putih untuk bangsa-bangsa kulit berwarna! Tidak, Tuan-tuan Hakim yang terhormat, pengelamunan yang demikian itu adalah pengelamunan yang kosong sama sekali! Pengelamunan yang demikian itu adalah pengelamunan yang sama sekali terapung-apung di atas awan, pengelamunan yang tidak berdiri di atas kenyataan sedikit jua pun adanya! Tidak, sistem imperialisme tidak akan mendidik kita menjadi “matang”; sistem imperialisme tidak akan membikin kita menjadi “rijp”; sistem imperialisme tidak akan meng-“anugerahi” kita dengan kemerdekaan, tetapi malahan sebaliknya akan bertambah-tambah mengokohkan penjajahan dengan pelbagai tali-tali wadag dan tali-tali yang halus. Sebab kenyataan yang sebenarnya ialah, bahwa imperialisme itu tidaklah buat “misi yang suci”, tidaklah buat sesuatu “mission sacree.” Kenyataan yang sebenarnya ialah, bahwa imperialisme itu adalah untuk kepentingan-kepentingan imperialisme sendiri! Imperialisme adalah bertentangan kepentingan dengan kita: bukan kepentingan imperialismelah me-“matang”-kan kita atau me”rijp”-kan kita; bukan kepentingan imperialismelah “menganugerahkan” kemerdekaan kepada kita. Kepentingan imperialisme adalah meneruskan, mengekalkan, mengokohkan penjajahan itu buat selama-lamanya!
O.. memang, imperialisme datangnya ialah dari bangsa-bangsa yang lebih pandai dari kita; imperialisme datangnya ialah dari negeri-negeri yang mempunyai kebudayaan lebih modern dari kita; imperialisme datangnya ialah dari dunia yang lebih tinggi teknik dan ilmu pikirannya dari kita, imperialisme datangnya ialah dari kalangan yang lebih pandai menjalankan “struggle for life” dari kita. Kita mengakui hal ini semua. Tetapi kita tidak mau mengakui, bahwa sistem imperialisme itu, karena itu, mendidik kita ke arah ke”matang”-an! Karl Kautsky, ahli teori Demokrasi Sosial yang termashur itu, di dalam bukunya “Sozialismus und Kolonial-politik” bab III, menulis:
“Tetapi pemerasan kapitalisme itu bukan saja berdasar kepada kekerasan terang-terangan, kepada hak siapa yang lebih kuat, juga bukan kepada perbedaan golongan-golongan, tapi kepada kemerdekaan dalam pergaulan hidup dari individu, yang menjadi tidak-merdeka, oleh karena pihak yang satu tidak mempunyai apa-apa sedang pihak yang lain memiliki semua alat-alat produksi untuknya sendiri. Tetapi orang yang tidak punya apa-apa dengan sendirinya kekurangan pula alat-alat peradaban, jadi juga kekurangan peradaban. Maka peradaban ini kelihatannya hanya terbatas kepada kelas yang berkuasa saja. Demikianlah kelihatannya seolah-olah buat yang kemudian ini, kekuasaannya atas proletariat, adalah kekuasaan peradaban atas kebiadaban, kekuasaan kaum intelektual yang terpilih atas rakyat banyak yang tidak terpelajar, the great unwashed sebagai orang Inggris menyebutnya. Dari kaum pemilik memegang keras pandangan yang salah ini….. Bukan untuk keuntungan mereka, bukan untuk mendapat laba mereka itu, menurut pandangan yang salah ini, memeras kaum proletar itu, mereka hanya memerintahi kaum proletar untuk kepentingan umum dari masyarakat. Di dalam lingkungan bangsa sendiri kesusilaan seperti ini berarti membenarkan hak yang lebih tinggi dari orang yang punya terhadap orang yang tidak punya. Terhadap bangsa-bangsa lain kesusilaan ini….. dalam prakteknya menyatakan tidak lain dari paham, bahwa bangsa-bangsa kapitalistis berhak menguasai seluruh dunia manusia!”
Tuan-tuan Hakim yang terhormat, itulah dasar semua omongan tentang “semboyan perwalian” dari sistem imperialisme atas kami, bangsa yang “sekarang bodoh”, dasar semua omongan tentang pendidikan dari “tidak matang” dijadikan “matang”. Tidak, tidak, —perwalian itu tidak ada, didikan itu omong kosong belaka, –didikan itu “mere phrase”. Kalau bangsa Indonesia ingin mencapai “kekuasaan politik, yakni ingin merdeka, kalau bangsa kami itu ingin menjadi tuan di dalam rumah sendiri, maka ia harus mendidik diri sendiri, menjalankan perwalian atas diri sendiri berusaha dengan kebisaan dan tenaga sendiri! Dari sistem imperialisme ia tidak mendapat pertolongan; dari sistem imperialisme ia malahan hanya akan mendapat rintangan! Sudah semestinya kaum imperialisme itu merintangi-rintangi tiap-tiap usaha kami ke arah kedewasaan. Sudah semestinya kami dialang-alanginya di dalam kami punya perwalian atas diri sendiri, dimaki-maki, dimintakan hukuman, dimintakan pembuangan, dimintakan tiang penggantungan sebagai dulu Nieuws van den Dag memintakannya. Oleh karena itulah, Tuan-tuan hampir saban minggu, saban hari membaca cacian dan makian dari pihak AID de Preangerbode, atau Java Bode atau De Locomotief, atau Soerabajaasch Handelsblad kepada alamat kami, membaca hasutan-hasutan yang sampai mencoba mempengaruhi keadilan putusan Tuan-tuan di dalam proses ini!
Ah, Tuan-tuan Hakim, itu begitu logis, itu begitu vanzelf-sprekend, itu memang semustinya: Tuan-tuan mengetahui, bahwa AID de Preangerbode adalah surat kabar kaum karet, kaum kina, kaum teh di seluruh Priangan; Tuan-tuan mengetahui, bahwa Soerabajaasch Handelsblad adalah surat kabar kaum gula; Tuan-tuan mengetahui bahwa Nieuws van den Dag adalah surat kabar kaum gula; Tuan-tuan mengetahui bahwa Nieuws van den Dag adalah surat kabar kaum dagang di Kali Besar; Tuan-tuan mengetahui bahwa semua surat kabar yang reaksioner itu adalah surat kabar kaum imperialisme yang kami musuhi itu, bahwa jeritan-jeritan yang mencaci maki kaum pergerakan itu ialah jeritan orang-orang yang takut akan kebakaran gedung hartanya, takut terancam dividennya, takut terancam keselamatan perusahaannya yang menghasilkan kekayaan berjuta-juta itu! Tuan-tuan mengetahui hal itu semuanya! Dan oleh karenanya, tidak khawatirlah kami akan apa yang dituliskan oleh Mr. Hitter dalam buku “Drukpersvrijheid” serie pro en contra, tentang:
“Kemungkinan, bahwa kekuasaan hakim kena pengaruh oleh pendapat umum, adalah suatu kemungkinan yang berbahaya”, dan percayalah kami, bahwa Tuan-tuan akan menjalankan keadilan dengan tidak kena pengaruh hasutan-hasutan surat-surat kabar yang benci kepada pergerakan itu tadi.
Ah, Tuan-tuan Hakim, kami sudah biasa lagi akan makian-makian yang memang sudah logis itu. Kami tak heran lagi tentang itu; –kepentingan mereka terancam oleh usaha kami, mereka tentunya menjadi geger!
Prof. Snouck Hurgronje menulis:
“Kaum majikan telah mengadakan organisasi yang kuat dan mendapatkan jaminan bantuan dari orang-orang yang licin lidahnya dan tajam penanya, untuk dengan jalan propaganda yang luas, bukan saja menghilangkan segala keragu-raguan terhadap berkah-berkah (yakni berkah-berkah kapital partikelir), tapi juga untuk memerangi dengan hebatnya orang-orang yang ragu-ragu itu. Sekalian surat kabar Eropa di Hindia sekarang berdiri di belakang mereka, juga koran-koran yang dulu dengan senang hati membuka kolom-kolomnya untuk ratapan hati dari dunia Bumiputra. Tidak, keberanian adalah…. perlu, untuk melawan pasukan-pasukan yang diperlengkapi dengan segala macam alat peperangan itu”.
Dan Tuan Lievegoed, bekas redaktur De Locomotief, seorang liberal yang tulus hati, yang karena itu dikeluarkan dari De Locomotief, sudah dalam tahun 1925 menulis bahwa kegegeran kaum imperialisme itu, adalah:
“suatu ekstremisme-kanan zonder cita-cita, yang menjalankan politik duit secara membuta-tuli, dengan semboyan-semboyan yang memekakkan telinga,” dan bahwa: “tidak ada golongan yang lebih merugikan kekuasaan Hindia-Belanda di Indonesia dari golongan yang gembar-gembor ini, yang dengan pura-pura menyokong pemerintah, memukul kanan-kiri untuk merebahkan segala yang mengancam kepentingannya yang sempit”. (Locomotief, 5 November 1925).
Benar! Benar sekali. Tuan-tuan Hakim: “pura-pura menyokong pemerintah”, “onder het voorwendsel vangezagsschraging”, mereka minta kami dihukum, dibuang, atau digantung, tetapi sebenarnya ialah oleh karena kantongnya dan dividennya terancam! Untuk keselamatan kantong dan untuk keselamatan dividen ini juga, mereka kalau perlu, tak segan pula melanggar kekuasaan pemerintah itu, sebagai misalnya AID de Preangerbode tak segan sebentar-sebentar melanggar kekuasaan itu, atau sebagai misalnya Nieuwsvan den Dag, yang dulu pernah menghina Gubernur Jenderal de Graeff dengan penghinaan: “Pergilah, enyahlah, Hindia butuh kepada orang-orang yang lebih keras!”
Kantongnya terancam! Tuan-tuan Hakim, kantongnya terancam! —Untuk melindungi kantong ini, maka mereka mengabui mata umum, —untuk menjaga kepentingan ini maka mereka mengadakan pers yang tiada moral melainkan moral duit, tiada kesusilaan melainkan kesusilaan fulus! “Juga negeri Belanda,” – begitulah Tuan Vleming, bekas kepala dinas akuntan pajak di sini, berpidato,
‘Juga negeri Belanda masih tetap suatu negeri yang diperintah secara kapitalistis, di mana kapital besar yang disusun dalam organisasi yang kuat itu, dan tidak kurang-kurang pula kapital besar yang mempunyai kepentingan-kepentingan di Indonesia, bukan saja mempunyai kekuasaan ekonomi yang besar sekali, tetapi juga bisa menjalankan pengaruh yang hebat atas pemerintah dengan segala alat-alat yang ada padanya. Dan alat-alat ini bukan sedikit. Kapital besar ini berhubungan rapat dengan kapitalis-kapitalis besar Inggris, Amerika, Belgia, Jerman, Prancis, dan lain-lain yang oleh adanya apa yang disebut politik pintu terbuka, juga mempunyai kepentingan-kepentingannya di Indonesia dan yang tergabung dengan kapitalis-kapitalis besar Belanda dalam organisasi “Dewan Majikan untuk Hindia-Belanda, yang didirikan dalam tahun 1921. Dengan langsung atau tidak langsung dewan majikan ini mempunyai pers dan dinas penerangan pers yang luas, sedang anggota-anggotanya yang berkepentingan mempunyai pula hubungan dengan dua surat kabar yang terbit di luar negeri, yakni “The New World” dan “Le Monde Nouveau”. Dengan kebohongan, penipuan, perampasan makanan orang,– dan di mana perlu untuk kepentingannya dan jika bisa mencapai maksudnya mereka bersedia berlaku lebih kejam lagi —maka kapital besar yang tersusun dalam organisasi itu, melakukan perjuangan untuk kepentingannya di tiap negeri, jadi juga di Indonesia, sekali-sekali mengubah haluan dimana perlu.”
Lebih terang dari tuan Vleming itu tak bisalah digambarkan asal-usul moral duit dan kesusilaan duit dari pers imperialisme di Indonesia itu. Oleh karena itu, tak haruslah kita heran atau marah atas kegegeran surat-surat kabar ala AID de Preangerbode atau ala Soerabajaasch Handelsblad itu. Biar mereka gembar-gembor, biar mereka berpikir ke kanan dan ke kiri, biar mereka jengkelitan berdiri di atas kepalanya, —kami tak akan ambil pusing, kami tak akan ambil mumet, kami akan bekerja terus! Tuan-tuan Hakim yang terhormat, marilah kami mengulangi lagi: kekuasaan politik, kemerdekaan, hanyalah bisa didatangkan oleh usaha rakyat Indonesia sendiri! Kaum imperialisme sudah semestinya mengalang-alangi kami; dari sistem imperialisme, yang hidupnya daripada penjajahan itu, kami tak harus mengharap sokongan memberhentikan penjajahan itu. Nasib kami adalah didalam genggaman kami sendiri; keselamatan kami adalah di dalam kemauan kami sendiri, di dalam tekad kami sendiri, di dalam kebisaan kami sendiri, di dalam usaha kami sendiri.
Semboyan kami tidaklah “minta-minta”, tidaklah “mengemis”, tidaklah “mendicancy” sebagai Tilak mengatakannya, –tetapi semboyan kami haruslah “noncooperation”, lebih benar: “selfhelp”, “zelfver-werkelijking”, “selfreliance”!, sebagai yang kami lambangkan dengan perlambang kepala banteng!
Siapa yang masih mengharap-harap pertolongan dari sistem imperialisme, siapa yang masih percaya akan “anugerah” yang nantiakan di-“anugerah”-kan olehnya, siapa yang masih menggugu akan omongan “mission sacree”, siapa yang masih mengarahkan muka ke Barat, ia adalah sama sekali buta akan kenyataan yang sebenarnya, buta akan realiteit. Sebab kenyataan yang sebenarnya ialah, sebagai tertulis di dalam keterangan asas kami, bahwa negeri Belanda peri kehidupannya sangat tergantung kepada penjajahan Indonesia. Kenyataan yang sebenarnya menyebabkan Mr. Dijkstra di dalam “Indische Gids” 1914 menulis: “Penduduk di dalam seratus dua ratus tahun ini tidak bisa mengharapkan dari imperialisme kebudayaan kita, bahwa kekuasaan dan pengetahuan kita akan kita pergunakan untuk memajukan peradaban dan kesehatan mereka.”
Kenyataan yang sebenarnya menyebabkan Tuan Vleming berpidato:
“bagi kesejahteraan umum penduduk yang hampir 7½ juta dari negeri kita yang kecil………. besar sekali faedahnya, bahwa saban tahun mengalir ke negeri Belanda suatu saldo ekspor yang besar jumlahnya, artinya suatu jumlah harga barang ekspor Hindia yang jauh lebih besar dari jumlah harga impor, berupa dividen, bunga, tantieme, gaji-gaji, pensiun, gaji-perlop, dan lain-lain.
Kenyataan yang sebenarnya ialah, bahwa, sebagai Prof. Moon menuliskan, kebesaran negeri Belanda sekarang ini adalah oleh karena negeri Belanda itu mempunyai negeri jajahan Indonesia yang luas dan banyak penduduk itu. Kenyataan yang sebenarnyalah menjadi sebab Dr. Sandberg tempo hari geger membikin buku yang istimewa bernama: “Indie verloren, rampspoed geboren”, Indonesia merdeka, Belanda pun bangkrut”, menjadi sebab Komisi untuk Pertahanan Hindia-Belanda menulis: “Juga dipandang dari sudut ekonomi, lepasnya Hindia akan berarti bencana nasional yang sehebat-hebatnya bagi negeri Belanda.”
Kenyataan yang sebenarnya adalah, bahwa sudah zaman dulu pun menteri Baud sudah pernah berkata, “Indie is de kurk waarop Nederlanddrijft,” “Hindia adalah gabus di atas mana negeri Belanda terapung-apung,” bahwa de Kat Angelino di dalam bukunya “Staatkundingbeleid en bestuurrszorg in Ned.-Indie (buku standar yang penerbitannya mendapat sokongan dari Kementerian Daerah Jajahan, Tuan-tuan Hakim), dengan terus terang menulis:
“Dunia Barat yang penuh industri itu, tidak bisa hidup dengan tiada hasil-hasil daerah-daerah pertanian beriklim panas dan setengah panas, yakni daerah-daerah yang terutama menjadikan dunia jajahan. Masyarakatnya terikat teguh oleh banyak tali-temali ekonomi kepada daerah-daerah itu dan masa depannya.”
Tidakkah ini berarti, bahwa dunia Barat itu seperti bunuh diri, kalau dengan kemauan sendiri memberi kemerdekaan kepada dunia Timur? Bahwa sesungguhnya: siapa yang dengan keadaan yang semacam itu masih berani mengharapkan pertolongan dari dunia Barat di dalam usahanya memerdekakan negeri dan bangsanya, –ia adalah menutupkan mata. PNI tidak mau menutupkan mata, PNI tidak mau mimpi, PNI tidak mau ngelamun, —PNI bangun sebangun-bangunnya! Banyak orang yang mengatakan, bahwa politik PNI yang bersendi kepada “percaya diri sendiri itu”, adalah disebabkan karena pemerintah tidak memenuhi ia punya “janji-janji bulan November” tahun 1918, yang menyanggupkan perluasan hak-hak bagi rakyat Indonesia. Sangkaan yang demikian ini adalah salah: Asas PNI “percaya pada diri sendiri” bukanlah disebabkan karena tidak dipenuhi janji-janji November itu; asas PNI itu, sebagai tadi kami terangkan, adalah keluar dari analisa keadaan jajahan di dalam hakikatnya, –yakni dari analisa hakikat imperialisme sendiri. Asas “percaya pada diri sendiri” itu, tidaklah buat Indonesia saja, tetapi sebenarnya dipakai untuk perjuangan tiap-tiap rakyat jajahan yang mengejar kemerdekaan. Ia boleh dipakai oleh bangsa India, bangsa Indocina, bangsa Filipina, bangsa Korea, bangsa Mesir, –pendek kata oleh tiap-tiap bangsa yang berkeluh kesah memikul beban imperialisme asing. Asas kami tidaklah terikat kepada batas-batas negeri kami sendiri saja, –asas kami adalah “supranational”, oleh karena hakikatnya imperialisme adalah supranasional pula.
Imperialisme di dalam hakikatnya di mana-mana adalah sama; dimana-mana imperialisme adalah: nafsu menguasai dan mempengaruhi negeri orang lain untuk keuntungan sendiri; dimana-mana imperialisme adalah bertentangan kepentingan dengan rakyat yang didudukinya! Di mana-mana sistem imperialisme tidak akan me-“matang”-kan dan memerdekakan jajahannya dengan kemauan sendiri!
Tidak dipenuhinya janji-janji November itu tidaklah membikin keingkaran kami. Politik Gubernur Jenderal Fock yang mencederai kata kehormatan yang oleh pemerintah van Limburg Stirum disanggupi itu. Politik Gubernur Jenderal Fock yang malahan memberatkan nasib kami dengan penghematan, dengan istilah kebanyakan pegawai, dengan cabutan tunjangan kemahalan, dengan tambahan pajak, dengan surat edaran pembungkeman, dengan larangan berapat, dengan pasal 161 bis dan sebagainya; politik Gubernur Jenderal Fock yang sama sekali suatu penghinaan atas semangat janji-janji bulan November itu, politik yang demikian itu tidak menjadi asal kami punya asas, tetapi hanya menambah teguhnya kami punya kepercayaan di dalam kebenaran kami punya asas itu saja, menambah teguhnya kami punya kepercayaan terhadap kebenaran kami punya analisa: yakni analisa, bahwa kaum imperialisme yang sesudah perang besar itu malahan makin butuh akan Kekayaan Indonesia, harus menjalankan pengaruhnya atas pemerintahan! Janji-janji bulan November yang toh diberikan juga, tidak karena sekonyong-konyong kami dipandang lebih “matang” sedikit, tetapi hanya karena keadaan politik sangat mengkhawatirkan, yakni karena pada masa itu perhubungan Belanda-Indonesia menjadi sangat tipis sekali, pergerakan rakyat makin membanjir, sedang keadaan di negeri Belanda sendiri sangat berbahaya, –janji-janji bulan November yang oleh karenanya, toh sudah mempunyai sifat “janji-janji karena takut” alias “angstbeloften” itu, janji-janji November itu, sesudah bahaya hilang, oleh kaum imperialisme tidak boleh tidak harus dipaksakan mencederainya!
“Ketika itu adalah memuncaknya kejadian-kejadian internasional, tatkala pecahan-pecahan singgasana-singgasana yang dihancurkan mendesing-desing melintasi kuping-kuping rakyat Belanda dan guntur revolusi-revolusi di luar negeri menggemuruh di atas padang-padangnya,” -begitulah Troelstra menggambarkan keadaan tatkala janji-janji November itu perlu diucapkan, tetapi, sesudah bahaya hilang, tatkala janji-janji November itu perlu dicabut lagi, maka segeralah kita mengetahui “rahasia” sebabnya, yakni “rahasia” yang dibukakan oleh Prof, Treub di dalam rapat Dewan Majikan tanggal 21 Juni 1923, –yang bunyinya:
“Salah satu kesan yang sudah ada pada saya, lama sebelum saya datang ke Hindia, bertambah keras waktu saya berada di sana, yakni bahwa disebabkan karena peperangan, Hindia menjadi jauh lebih penting lagi buat negeri Belanda dari dulu!”
“Rahasia!”… tetapi! “rahasia” yang buat kami kaum PNI bukan “rahasia” lagi, – “rahasia” yang gemerincing dengan ringgit, “rahasia” yang berbau gula, “rahasia” yang berbau karet, “rahasia”, yang berbau minyak, berbau teh berbau tembakau dan lain-lain. Sedang di zaman perang, kelebihan ekspor “hanya” kurang lebih f 300.000.000 setahun, sedang di zaman perang itu persentase kelebihan ekspor “hanya” rata-rata 40% dari ekspor seluruhnya, maka di dalam tahun 1919 menjadilah ia lebih dari f 1.400.000.000, menjadilah ia lebih dari 70% dari jumlah ekspor! Oleh sebab itu, ini “rahasia” adalah “rahasia” yang tidak mengherankan kami lagi, janji-janji bulan November harus dicederainya, harus digantinya dengan politik yang sangat reaksioner! Di dalam buku peringatan lima belas tahun berdirinya Indonesische Vereeniging, halaman 25-26, kami baca:
“Dan tatkala sesudah damai, oleh kerja pembinasaan besar-besaran itu, keadaan ekonomi menjadi kacau-balau… maka Eropa menjadi berlipat ganda memerlukan ‘daerah-daerah terbuka’ di Timur, dimana ibunda alam dengan sabarnya yang tak terhingga memberikan kekayaan-kekayaannya. Maka perlulah suatu politik negara yang tujuannya ialah pelaksanaan kekuasaan yang seluas-luasnya, sebab jika tiada demikian, tidak dapat dilakukan pengedukan sebanyak-banyaknya. Politik Inggris yang reaksioner segera sesudah perang selesai terhadap India; adalah suatu akibat yang tidak bisa dielakkan dari hal ini. Tapi juga, Amerika, yang terutama masih bisa hidup dari kekayaan sendiri, melepas politik isolemen-nya yang terpuji itu dan bertindak sebagai kekuasaan imperialis di Timur. Jika tidak, apakah sebabnya keterangan-keterangan pemerintah berbeda satu sama lain…. yakni bahwa Filipina mula-mula dianggap ‘matang’, kemudian pula tidak ‘matang’ untuk kemerdekaan, yang dijanjikan dalam jones act tahun1916? Negeri Belanda, yang karena sikap netralnya di masa perang, terpelihara dari kerusakan-kerusakan harta benda, tetapi mengalami juga sedikit-banyaknya krisis di benua Eropa, berusahalah sekuat-kuatnya untuk menggerakkan kembali tali-tali ekonomi dengan Hinda-Belanda yang oleh peperangan telah menjadi longgar”……………..
Dan Gubernur Jenderal Fock dikirimlah kemari, janji-janji November musnahlah menjadi kabut atau halimun di dalam ingatan belaka, –lebih teguh lagilah oleh karenanya keyakinan kami akan azas “selfhelp” dan “Selfreliance” itu, lebih insyaf lagilah kami, bahwa kemerdekaan adalah hasil perjuangan kami sendiri.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar