Minggu, 20 April 2014

Pledoi Indonesia Menggugat 3



Bagian ketiga dari 6

Imperialisme di Indonesia
Zaman Kompeni
Tuan-tuan Hakim yang terhormat, begitulah gambar imperialisme di Asia di luar Indonesia. Dan keadaan di Indonesia? Ah, Tuan-tuan Hakim, kita mengetahuinya semua. Kita mengetahui bagaimana di dalam abad-abad ke-17 dan ke-18 Oos-Indische Compagnie (VOC), terdorong oleh persaingan hebat dengan bangsa-bangsa Inggris, Portugis dan Spanyol, menanam sistem monopolinya. Kita mengetahui, bagaimana di Kepulauan Maluku ribuan jiwa manusia dibinasakan, kerajaan-kerajaan dihancurkan, jutaan tanaman-tanaman cengkeh dan pala saban tahun dibasmi (hongi tochten). Kita mengetahui, bagaimana, untuk menjaga monopoli di kepulauan Maluku itu, kerajaan Makassar ditaklukkan, perdagangannya dipadamkan, sehingga penduduk Makassar itu ratusan, ribuan yang kehilangan pencarian-rezekinya dan terpaksa menjadi bajak laut yang merampok kemana-mana. Kita mengetahui, bagaimana di tanah Jawa dengan politik “devide et empera”, yakni dengan politik “memecah belah”, seperti dikatakan Prof. Veth atau Clive Day atau Raffles, kerajaan-kerajaannya satu persatu diperhamba, ekonomi rakyat oleh sistem monopoli, contingenten dan leverantien sama sekali disempitkan, ya sama sekali didesak dan dipadamkan. Kita mengetahui…. tetapi cukup Tuan-tuan Hakim yang terhormat!
Caranya Oost-Indische Compagnie menanamkan monopolinya, caranya Oost-Indische Compagnie mengekal monopolinya, caranya Oost-Indische Compagnie memperteguh monopolinya, tidak asing lagi bagi siapa yang suka membaca.
Tetapi, maafkanlah Tuan-tuan Hakim, bahwa kami di sini mau bercerita sedikit lebar tentang zaman Oost-Indische Compagnie itu dan juga tentang zaman cultuurstelsel, yakni oleh karena bekas-bekas VOC dan cultuurstelsel itu sampai kini hari masih tampak didalam susunan pergaulan hidup Indonesia, sehingga sifat-sifat PNI terpengaruh pula oleh karenanya.
Maafkanlah jika terhubung dengan itu kami sependapat dengan Prof. Snouck Hurgronje yang menulis:
“Orang bisa berkata, bahwa tidak ada gunanya membongkar-bongkar dosa lama yang bukan salahnya keturunannya sekarang, tapi….. akibat dua abad pemerintahan yang jelek itu atas sikap jiwa rakyat bumiputra terhadap dunia barat, sama sekali tidak boleh diabaikan dalam menyelidiki soal-soal itu”.
Oleh karena itu, sekali lagi, maafkanlah berhubung dengan cultuurstelsel itu, kami mengulangi pendapat-pendapat satu dua kaum intelektual Eropa yang ternama:
“Kompeni itu mengusai raja-raja dan kaum bangsawan dan membebaninya dengan kewajiban-kewajiban, yang oleh mereka itu dijatuhkannya lagi di atas pundak rakyat. Kompeni itu lebih rendah serakah daripada kejam, tetapi akibatnya adalah sama: Penindasan!”, begitulah Prof. Colenbrander menulis, dan Prof. Veth berkata: “Kekejaman tidak menjadi sifat jeleknya yang biasa tetapi…… keserakahannya yang picik barangkali lebih banyak merusak daripada kekejamannya. Bahkan kebuasan Nero hanya mencelakakan sedikit orang yang berdekatan dengan dia, kesejahteraan propinsi-propinsi tidak diganggu-gugatnya; tapi suatu pemerintahan yang jelek peraturannya, adalah suatu bencana umum.
Jadi, tidak selamanya “kejam”, tidak selamanya “wreed”? Tetapi toh sering kejam dan buas. Marilah kita bacakan lagi Colenbrander tentang penaman monopoli di Ambon dan Banda:
“Coen (Jan Pieterszoon Coen) didalam seluruh perkara ini, yang menodai namanya, telah bertindak dengan kelemahan yang meluarbatas kemanusiaan, kekejaman yang kelewatan bahkan dalam mata hamba-hamba Kompeni sendiri…….
Sampai-sampai Kuasa-kuasa Kompeni pun sama terkejut membaca cerita-cerita hukuman mati yang diceritakan dengan tenang oleh Coen di dalam surat-suratnya…. ”Itu benar membikin takut, tapi tidak menerbitkan kasih”……. demikianlah kata mereka sendiri, yang untuk keperluan labanya, suatu bangsa yang makmur……. hampir tumpas sama sekali.
Dan Prof. Kielstra menceritakan:
“Monopoli dagang itu harus diperjuangkan oleh orang-orang kita dan apabila sudah didapat, maka dengan tidak pikir panjang, dipergunakan tiap cara untuk mempertahankannya. Kepentingan-kepentingan penduduk sama sekali tidak diperdulikan oleh kuasa-kuasa kita; kaum Islam dan kaum heiden dalam mata orang Kristen kurang harganya; menurut faham-faham zaman itu, mereka –orang gemar memakai istilah Injil– adalah keturunan yang palsu dan sesat” yang apabila berani melawan kompeni, jika perlu boleh dibinasakan”.
Lagi satu dalil dari seorang Jerman, Prof. Dietrich Schafer, yang berbunyi:
“Percobaan-percobaan mereka, memasukkan juga pulau-pulau Australia yang dekat-dekat ke dalam lingkungan kegiatannya, sudah kami ceritakan. Tatkala ternyata, bahwa di sini tidak ada hasil apa-apa untuk perusahaan mereka waktu yang sudah dikenal lebih dulu. Caranya hal ini terjadi, bukan tidak beralasan orang menyebutnya yang paling kejam dalam riwayat penjajah. Sebagai penutup, pemandangan Prof. Snouck Hurgronje, yang berkata:
“Bagian pertama dari dukacita Hindia-Belanda, namanya Kompeni dan mulai hampir sama dengan abad ke-17. Pelakon-pelakon utamanya berhak atas rasa hormat kita, karena energinya yang hebat, tapi maksud yang mereka kejar dan cara-cara yang mereka pergunakan, demikian rupa, sehingga seringkali kita sukar menahan-nahan rasa jijik kita, meskipun kita mengingat sepenuhnya akan kaidah, harus mengukur laku perbuatan mereka dengan ukuran zaman mereka. ‘Percobaan’ itu mulai dengan perkenalan penduduk Hindia dengan kotoran dari bangsa Belanda, yang memperlakukan penduduk asli itu dengan penghinaan yang sangat besar, yang mungkin mereka tanggungkan; kewajiban mereka ialah berusaha sekuat tenaga untuk memperkaya suatu golongan pemegang andil di negeri Belanda.
Ambetenaar-ambetenaar Kompeni ini, yang oleh majikan-majikannya digaji sangat sedikit, tapi tidak kurang dari majikannya juga suka sekali beroleh laba, memperlihatkan suatu masyarakat penuh korupsi, yang melebihi kejelekan sejelek-jeleknya yang dituduhkan kepada bangsa-bangsa Timur.

Zaman Cultuurstelsel
Begitulah gambaran imperialisme-tua dari Oost-Indische Compagnie. Sesudah Oost-Indische Compagnie pada kira-kira tahun 1800 mati, maka tidak ikut mati sistem monopoli, tidak ikut mati sistem mengaut untung bersendi pada paksaan. Malahan……. sesudah habis zaman komisi-komisi dan pemerintahan Inggris, yang mengisi tahun-tahun 1800-1830; sesudah habis zaman “tergoyang-goyang” antara ideologi-tua dan ideologi-baru, sebagai yang disebar-sebarkan oleh revolusi Prancis; sesudah habis “tijdvak van den twijfel” ini, maka datanglah sistem kerja paksa yang lebih kejam lagi, lebih mengungkung lagi, lebih memutuskan nafas lagi, –yakni sistem kerja paksa dari cultuurstelsel, yang sebagai cambuk jatuh di atas pundak dan belakangnya rakyat kami! Juga cultuurstelsel ini, Tuan-tuan Hakim, tidak usah kami beberkan panjang lebar kekejamannya; juga cultuurstelsel ini sudah diakui jahatnya oleh hampir setiap kaum yang mengalaminya dan oleh kaum terpelajar yang mempelajarinya riwayatnya. Tetapi, juga tentang cultuurstelsel ini, yang bekas-bekasnya sampai hari ini belum juga hilang dan mempengaruhi susunan PNI itu (sebagai nanti akan kami uraikan), marilah kami ulangi satu dua pendapat ahli-ahli itu.
“Pemerasan penduduk, yang tiada batasnya lagi selain tahan tidaknya badannya, berjalan dengan tiada alangan apa-apa,” begitu kata Prof. Gonggrijp.
Dan dilain tempat pujangga ini menulis pula:
“Jadi sistem ini tidak hanya bersendikan paksaan; paksaan itu, didalam dua puluh tahun pertama yang gelap dari jangka waktu yang dibicarakan di sini, lebih berat dari beban contingenten yang penagihannya terutama diserahkan kepada Kepala-kepala Bumiputra. Cultuurstelsel menjadi lebih berat oleh kegiatan Ambtenaar Eropa: ini berarti bertambah beratnya tekanan sistem itu dan berarti pula perbaikan teknis dan keuntungan besar.”
“Tidak ada tanaman yang begitu menjadi gangguan seperti nila. Tatkala nila ini akan dalam tahun 1830 dengan cara yang sembrono dimasukkan di tanah Priangan, maka tanaman itu sungguh-sungguh menjadi bencana bagi penduduk. Di dalam distrik Simpur di daerah itu, orang laki-laki dari beberapa desa dipaksa mengerjakan kebun-kebun nila, 7 bulan lamanya dengan tidak putus-putusnya, jauh dari rumahnya; dan selama itu mereka harus mencari makanannya sendiri. Tatkala mereka kembali kerumahnya, didapatinya tanaman padinya sudah rusak. Selama lima bulan yang pertama dari tahun 1831, 5000 orang laki-laki dan 3000 kerbau dari distrik itu juga, dipaksa mengerjakan tanah untuk suatu pabrik yang telah didirikan. Sesudah pekerjaan itu selesai, batang-batang nila tidak ada. Dua bulan kemudian, sesudah alang-alang, rumput yang ditakuti itu, tumbuh di atas lapangan yang telah dikerjakan itu, baru diterima untuk mengolah sekali lagi ladang-ladang itu. Kerap kali terjadi bahwa perempuan-perempuan yang hamil melahirkan anak waktu bekerja keras”………
Dan Stokvis menceritakan:
“Sampai-sampai tahun 1886 masih ada daerah-daerah, dimana sipenanam kopi mendapat 4-5 sen sehari, sedang ia memerlukan 30 sen buat hidup. Di dalam perkebunan nila kerap kali dibayarkan f 8 setahun…….. Di dalam perkebunan kopi ada pembayaran f 4,50 setahun buat satu keluarga, jadi 90 sen buat satu orang…..”
Penulis (Vitalis) itu juga melihat di tanah Priangan orang-orang tersebut kelaparan seperti kerangka kurusnya terhuyung-huyung sepanjang jalan. Beberapa orang begitu letih, sehingga mereka tidak bisa makan makanan yang diberikan kepada mereka sebagai persekot; mereka meninggal….” ……….”pengungsian penduduk banyak juga kejadian diperkebunan-perkebunan itu dan dengan cara besar-besaran. Inilah jalan satu-satunya untuk keluar dari kesengsaraan. “Pukulan dengan pentungan dan labrakan dengan cambuk terjadi sehari-hari dan di banyak ladang nila biasa saja orang melihat tiang-tiang untuk menyiksa orang.” “Di sini kita melihat suatu bangsa yang tidak secara undang-undang hidup dalam perbudakan tapi secara kenyataan. Ketakutan kepada para bangsawannya telah merasuk ke dalam jiwa mereka; para bangsawan itu belajar pula takut kepada kaum penjajah. Segala keberanian dan semangat merdeka yang tadinya masih hidup dalam hati sanubari bangsa Jawa, kini hilang lenyap oleh laku Kompeni yang kasar dan kesalahan yang fatal dari Van den Bosch ialah, bahwa ia menghisap lagi rakyat yang sudah rusak itu, penghisapan yang pada hakikatnya sama betul dengan sistem Kompeni. Malahan lebih jahat dan lebih salah lagi! Kompeni tidak harus memikul tanggungjawab dan tidak pernah mau memikul tanggungjawab itu, Kompeni berdagang dengan cara-cara orang dagang yang keras. Van den Bosch mewakili negara sendiri, negara induk, yang begitu banyak masih yang harus diperbaikinya. Segala cara yang membikin perhubungan jajahan lebih memuakkan lagi dari yang sudah menjadi sifatnya, telah dipergunakan olehnya dan oleh penggantinya-penggantinya. Memaksakan suatu cara produksi Barat, jadi suatu cara produksi yang lebih banyak syarat-syaratnya, kepada suatu masyarakat negeri panas yang hidup bertani, sudah merupakan suatu tekanan, tapi lebih berat lagi dukacita yang dibawa oleh nafsu kuasa si bangsa asing”…….
Dua dalil lagi, Tuan-tuan Hakim, lantas kami tutup kami punya dalil-dalil berhubung dengan cultuurstelsel ini: dua dalil lagi dari Prof. Kielstra dan Prof. Veth:
“Di negeri Belanda orang tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu, bahwa di Hindia semua pengeluaran buat pengajaran, pekerjaan umum, polisi dan sebagainya itu, selalu dikecilkan sampai-minimum yang paling kecil, supaya “keuntungan bersih” bisa bertambah besar; dan, yang lebih jahat lagi, oleh paksaan yang dibebankan kepada mereka, penduduk begitu terhalang-alangi dalam memelihara sawah dan ladangnya sendiri, sehingga dalam beberapa daerah timbul kemiskinan dan kesengsaraan, bahaya kelaparan dan pengungsian. Dan “bahkan buat mereka yang melihat dalam cultuurstelsel itu suatu kebaikan buat Jawa dan juga buat negeri Belanda;–buat Jawa oleh karena mengajar orang Jawa bekerja, buat negeri Belanda oleh karena kas negeri jadi berisi–, bahkan buat mereka saya kira kemunafikan yang menjadi alasan untuk memasukkannya, mestinya menjijikkan, begitulah kedua profesor itu menulis.
Tuan-tuan Hakim yang terhormat! Oost-Indische Compagnie mengocar-ngacirkan rumah tangga Indonesia, cultuurstelsel mengocar-ngacirkan rumah tangga Indonesia. Tuan-tuan barangkali bisa juga lantas mempunyai pikiran: “Benar VOC dan cultuurstelsel jahat, benar VOC dan cultuurstelsel memasukkan rakyat Indonesia ke dalam kesengsaraan dan kehinaan, tetapi buat apa membongkar-bongkar hal-hal yang sudah kuno?”
Betul Tuan-tuan Hakim, kejahatan VOC dan kejahatan cultuurstelsel adalah kejahatan kuno, tetapi hati-nasional tak gampang melupakannya.
‘Ingatan orang kepada kelaliman yang dideritanya lama hilangnya; kelaliman yang orang lakukan, lekas lupa olehnya,” begitulah Sanders berkata. Lagi pula, sebagai tadi telah kami katakan, sebagai pula telah dikatakan oleh Prof. Snouck Hurgronje yang kami kutip tadi, –akibat-akibat VOC dan cultuurstelsel itu, naweeen VOC dan cultuurstelsel itu, yang keduanya bersistem monopoli, sampai ini hari belum hilang, sampai ini hari masih terbayang dalam wujud susunan pergaulan hidup Indonesia, sehingga politik dan gerakan Partai Nasional Indonesia, sebagai nanti akan kami terangkan, terpengaruh oleh karenanya! Pada pertengahan abad ke-19 “kapitalisme-modern” yang bersendi kepada “bisnis liberal” dan “persaingan liberal”, di negeri Belanda mulai timbul. Toh…… cultuurstelsel yang bersendi kepada “kerja paksa” dan yang terutama memberi untung kepada negara Belanda itu, yang telah begitu menggemukkan kantong kapitalis Belanda partikelir itu, cultuurstelsel itu tidak lekas-lekas dihapuskan. Bukan oleh karena negara Belanda tak mempedulikan kepentingan kaum pemodal partikelirnya, bukan oleh karena kepentingan negara itu lebih ditinggikan dari kepentingan borjuis, tetapi tak lain tak bukan ialah karena borjuis Belanda pada masa itu butuh pada cultuurstelsel itu sebagai pembayar segala yang perlu diadakan lebih dulu bagi suburnya kapitalisme di negeri Belanda sendiri! Henriette Roland Holst di dalam bukunya “Kapital en Arbeid in Nederland” menuliskan seperti berikut:
“Perbuatan kaum borjuis disekitar tahun lima puluh adalah praktis dan menunjukkan kesadaran kelas yang sehat, yakni perbuatan mereka tidak melemparkan cultuurstelsel ke sudut, sebelum mereka mengambil daripadanya segala yang bisa diambilnya….. Ada bahaya, bahwa orang-orang yang tidak sabar dan lekas mau maju, terlalau lekas mau memberikan orang Jawa berkah-berkah pekerjaan liberal dan menggantikan cultuurstelsel, warisan otokrasi itu, dengan inisiatif partikelir. Tetapi mungkin beberapa orang berpendapat demikian, –borjuis pada umumnya mengetahui. Sebagai golongan, mereka itu terutama merasa berkepentingan dalam hal, pertama, pelunasan utang. Kedua, liberalisasi perdagangan dan perusahaan dengan mengurangi bea-bea dan pajak-pajak, yang hanya bisa terlaksana oleh yang tersebut dibawah! Ketiga, pembikinan jalan-jalan kereta-api dan jalan-jalan air dengan tidak membebani rakyat dengan ongkos-ongkos yang besar, suatu hal yang tentu akan mengobarkan semangat konsevatisme pada orang-orang Belanda yang selalu hemat itu. Semua ini perlu, sebelum bisa dimulai eksploitasi partikelir di Hindia, sebab kredit nasional, jalan-jalan kereta-api dan pelabuhan-pelabuhan di negeri Belanda, harus menjadi tumpuan eksploitasi itu. Semua hal yang baik-baik itu didapat dari keuntungan-keuntungan Hindia, jadi keuntungan-keuntungan Hindia buat sementara harus tetap ada.”

Imperialisme-modern di Indonesia
Tetapi, sesudah syarat-syarat kapitalisme-modern semua selesai terurus, sesudah kredit nasional kokoh dan sesudah jalan-jalan kereta api, terusan-terusan, pelabuhan-pelabuhan telah rampung, sesudah kapitalisme modern menjadi subur, maka kapital surplusnya, mulai ingin orang hendak memasukkannya ke Indonesia, imperialisme modern lahirlah. Tak berhenti-hentinya kapitalisme modern itu lantas memukul-mukul di atas pintu gerbang Indonesia yang kurang lekas dibukakan, tak berhenti-hentinya kampiun-kampiun imperialisme-modern itu dengan tak sabar lagi menghantam-hantam di atas pintu gerbang itu, tak berhenti-hentinya penjaga-penjaga pintu itu saban-saban sama gemetar mendengar dengungnya pekik “naar vrijheid!” (ke arah liberalisasi), “naar vrijl arbeid” (ke arah bisnis liberal) dari kaum kapitalisme liberal, yang ingin lekas-lekas dimasukkan. Dan akhirnya, kira-kira tahun 1870, dibukalah pintu gerbang itu! Sebagai angin yang makin lama makin keras bertiup, sebagai aliran sungai yang makin lama makin membanjir, sebagai gemuruh tentara menang yang masuk ke dalam kota yang kalah,–maka sesudah Undang-Undang Agraris dan Undang-Undang Tanaman Tebu de Waal di dalam tahun 1870 diterima baik oleh Staten-Generaal di negeri Belanda, masuklah modal partikelir itu di Indonesia, mengadakan pabrik-pabrik gula di mana-mana, kebun-kebun teh, onderneming-onderneming tembakau dan sebagainya ditambah lagi modal partikelir yang membuka macam-macam perusahaan tambang, macam-macam perusahaan kereta-api, trem, kapal, atau pabrik-pabrik yang lain. Imperialisme tua makin lama makin layu, imperialisme-modern menggantikan tempatnya,– cara pengedukan harta yang menggali untung bagi negara Belanda itu, makin lama makin berubah, terdesak oleh cara pengedukan baruyang mengayakan modal partikelir.
Caranya pengeduk berubah,- tetapi banyaklah perubahan bagi rakyat Indonesia? Tidak, tuan-tuan Hakim yang terhormat,–banjir Jakarta yang keluar dari Indonesia malahan makin besar, “pengeringan” Indonesia malahan makin menghebat!
“Di dalam perbantahan tentang jajahan tahun 1848-1870 yang menjadi soal semata-mata ialah kerja paksa dan bisnis liberal; kita lihat berulang dengan sengitnya perselisihan pendapat dari masa keraguan sesudah jatuhnya Kompeni; juga kini nyata jelas pendirian kaum kolot dan kesamaran pendirian oposis. Kaum konservatif tetap menganggap milik jajahan sebagai sumber keuntungan negara, kaum oposisi jijik dengan eksploitasi tanah jajahan itu sebagai “daerah sumber keuntungan”. Suci dan penuh kemanusiaan cita-cita mereka hendak mencapai suatu negeri Hindia yang bekerja merdeka dan diperintahi dengan hati yang bersih, penuh harapan berkembang; tapi seperti juga pelopor-pelopor mereka yang terbaik, mereka mempunyai persangkaan salah yang hampir-hampir simpatik, seolah-olah kapital liberal hanya cukup dimasukkan saja ke negeri Hindia, niscaya lepaslah negeri ini dari keadaannya menjadi daerah sumber keuntungan. Bukankah, buat rakyat yang sudah letih itu, hanya ada peralihan pengeduk kekayaan negerinya? Memang berhentilah kejelekan mencampurbaurkan kapitalisme negara dan pemerintahan negara, dalam keadaan perhubungan di negeri Belanda, yang tak memberi hak kepada rakyat untuk ikut bicara; tapi sejarah penjajahan yang lebih baru telah mengajarkan, bahwa hilangnya cultuurstelsel hanya berarti kemenangan pengeduk yang satu atas yang lain. Daerah sumber keuntungan mendapat pemegang-pemegang andil yang baru. Kapital partikelir lebih besar pengaruhnya kepada negara dan tentunya juga kepada daerah negara yang dijajah. Dan tidak pernah begitu banyaknya “keuntungan bersih” mengalir justru seperti di bawah pimpinan sipengeduk baru itu; hanya jalannya lebih tenang”…… begitulah gambaran Stokvis. Dan tidaklah “kena” sekali perbandingan Multatuli yang membandingkan cultuurstelsel itu dengan:
“Suatu kumpulan pipa-pipa yang bercabang-cabang tidak terhitung banyaknya dan terbagi-bagi menjadi jutaan pembuluh-pembuluh kecil, semuanya bermuara dalam dada jutaan orang Jawa, semuanya berhubungan dengan induk pipa yang dipompa oleh satu pompa kuat yang digerakkan oleh uap; sedangkan dalam pengusahaan partikelir setiap pengejar untung bisa berhubungan dengan semua pipa dan bisa mempergunakan mesin pompanya sendiri untuk mengeduk sumber.”
Tidakkah kena sekali perbandingan itu? Tuan-tuan Hakim yang terhormat, dengan dua kutipan ini, maka sifat umum imperialisme-modern di Indonesia itu sudah cukup tergambar. Memang, bagi rakyat Indonesia perubahan sejak tahun 1870 itu hanya perubahan cara pengedukan rezeki; bagi rakyat Indonesia, imperialisme-tua dan imperialisme-modern kedua-duanya tinggal imperialisme belaka, kedua-duanya tinggal pengangkutan rezeki Indonesia keluar, kedua-duanya tinggal drainage! “Peradaban”; keamanan, tambah penduduk, alat-alat lalu lintas, dan sebagainya. O… memang, zaman imperialisme modern mendatangkan “peradaban”, zaman imperialisme modern mendatangkan peri-kehidupan damai dan “tenteram”, yakni mendatangkan keamanan. Zaman imperialisme-modern mendatangkan tambahnya jumlah rakyat yang deras. Zaman imperialisme-modern mendatangkan jalan-jalan yang menggampangkan perhubungan antara tempat-tempat di Indonesia, mendatangkan jalan-jalan kereta-api, mendatangkan pelabuhan-pelabuhan dan perhubungan-perhubungan kapal yang sempurna.
Tetapi, adakah itu semua dalam hakikatnya, ditinjau dari pergaulan hidup nasional, suatu kemajuan yang setimbang dengan bencana yang disebarkan oleh usaha-usaha partikelir itu?
Ah, Tuan-tuan Hakim, berapakah tidak banyaknya orang yang menjadi silau matanya oleh banyaknya modal dan hasil-hasil peradaban barat yang masuk di negeri kami dan lantas mengira bahwa imperialisme-modern itu mendatangkan kemajuan belaka. Berapakah tidak banyaknya orang yang terbeliak matanya oleh bayangan belaka, terbeliak matanya oleh sariat keadaan, yang didatangkan oleh imperialisme-modern itu dan lantas memanggut-manggutkan kepala sambil berkata: “Memang, memang sekarang sudah lain sekali dengan zaman Kompeni atau Cultuurstelsel! O… memang, sariatnya memang memperdayakan. Bayangannya memang membeliakkan mata! Imperialisme-modern itu, menurut kata Kautsky, adalah: “berlainan dengan politik tua terhadap jajahan- jajahan perasan, yang hanya melihat dalamnya barang-barang untuk dirampok, kekayaan untuk dikumpulkan dan diangkut ke negeri induk sebagai kapital. Sebaliknya imperialisme-modern adalah suatu politik, yang justru memasukkan kapital-kapital ke tanah jajahan, mendirikan bangunan-bangunan budaya di negeri-negeri ini. Jadi, nampaknya tidak lagi membinasakan, tapi justru memajukan budaya”. Tetapi hakikatnya, bagaimanakah hakikatnya! “budaya” atau“cultuur” yang didatangkan imperialisme-modern itu! Berkata J.E. Stokvis menutup pemandangannya atas Oost-Indische Compagnie:
“tapi keamanan dan kedamaian itu berarti suatu perjuangan yang sia-sia, kadang-kadang suatu perjuangan satria……… untuk merebut kemerdekaan nasional; tambahnya jumlah jiwa yang pesat ialah berkembang biaknya rakyat katulistiwa yang korat-karit dan diperlakukan tidak semena-mena”, dan tiap-tiap perkataan dalam kalimat ini boleh kita pakaikan untuk zaman imperialisme-modern itu. Lagi pula, tambahnya penduduk tidak selamanya berarti kemakmuran, tambahnya penduduk tidak selamanya berarti kesejahteraan umum, sebagai diuraikan oleh Peter Maszlow di dalam bukunya “Die Agrarfrage in Ruszland”. Di dalam kalangan kaum proletar di Eropa, tambahnya jumlah manusia lebih besar dan lebih cepat dari di dalam kalangan kaum pertengahan dan kaum atasan,– adakah ini berarti bahwa kaum proletar itu lebih nyaman hidupnya dari kaum borjuis? Bahwasanya, tambahnya penduduk di Indonesia itu tak lain daripada “voortplanting van ontwrichte en misbruikte tropenvolken”, yakni “berkembangbiaknya rakyat khatulistiwa yang korat-karit dan diperlakukan tidak semena-mena”, sebagai Stokvis mengatakan tadi! Dan itu jalan-jalan lorong, itu jalan-jalan kereta-api, itu perhubungan-perhubungan kapal, itu pelabukan-pelabuhan,- tidakkah itu bagus sekali bagi rakyat Indonesia? O… memang, kami mengakui faedahnya alat-alat pengangkutan, yakni faedahnya alat-alat lalu-lintas modern itu, mengakui pengaruhnya yang baik atas perhubungan dan kemajuan rakyat, kami mengakui bahwa, jikalau umpamanya rakyat Indonesia itu sekarang kehilangan semua itu, niscaya ia merasa rugi,– tetapi tak dapat disangkal bahwa alat-alat lalu lintas modern itu, menggampangkan geraknya modal partikelir. Tak dapat disangkal, bahwa alat-alat lalu lintas itu menggampangkan modal itu jengkelitan di atas padang perusahaannya, membesarkan diri dan beranak di mana-mana, sehingga rezeki rakyat menjadi kocar-kacir oleh karenanya! Karl Kautsky di dalam bukunya “Sozialismus und Kolonial-politik” menulis: perbaikan alat-alat perhubungan dan alat-alat produksi itu sesungguhnya bisa memperbesar tenaga produksi negeri-negeri yang terbelakang ekonominya, jikalau tidak sejalan dengan itu terus-menerus bertambah besar pula bea-bea kemiliteran dan utang-utang luar negeri. Oleh adanya faktor-faktor ini perbaikan itu hanya menjadi jalan untuk memeras lebih banyak dari biasa hasil-hasil dari negeri-negeri yang miskin, begitu banyaknya sehingga bukan saja produksi lebih—jika ada—yang lahir dari perbaikan-perbaikan teknis, oleh karenanya terisap habis, tapi juga begitu banyaknya, sehingga banyaknya hasil-hasil yang tinggal di dalam negeri untuk keperluan kaum produsen, berkurang. Dalam keadaan yang demikian itu, kemajuan teknis menjadi suatu jalan untuk pertanian besar-besaran yang sembrono dan kemiskinan.
Begitulah pendapat “kaum merah”. Tetapi juga Kolonial-Direktor Dernburg, pemimpin imperialisme Jerman sebelum perang besar, seorang yang karena itu bukan kaum “penghasut”,—Kolonial-Direktor Dernburg yang di muka sudah kami dalilkan kalimatnya yang begitu terus terang tentang asas-asas penjajahan yang sebenarnya,– Kolonial-Director Dernburg itu dengan terus terang lagi berkata:
“Tapi semua bangsa yang mempunyai tanah jajahan, telah mengalami, bahwa daerah-daerah jajahan yang luas dengan tiada jalan-jalan kereta api, tetap menjadi harta milik tertutup yang tidak memberikan jaminan keuntungan ekonomi”.
Dan keadaan di negeri kami? Bukti-bukti di negeri kami? Bekas Assisten-Residen Schmalhansen yang terkenal itu menulis:
“Tanah Jawa mempunyai jalan-jalan kereta api dan trem, banyak sekali tanah-tanah erfpacht telah dibuka dan diusahakan, banyak pabrik-pabrik gula dan nila sudah berdiri,…… tapi apakah semua ini bisa mencegah keadaan bahwa kesejahteraan bukannya maju, malah menjadi mundur?”.
Dan Prof. Gonggripj menulis:
“Pelengkapan Hindia dengan alat-alat lalu lintas yang modern ini adalah suatu keperluan yang mutlak dalam perkembangan perusahaan partikelir, yang hasil-hasilnya yang besar-besaran harus didagangkan di pasar-pasar dunia…. Pengaruh besar dan nyata kelihatan atas kesejahteraan orang banyak dari penduduk bumiputra, disebabkan oleh alat-alat lalu lintas yang modern itu…. belum lagi ada.”

“Keperluan-keperluan mutlak” yang lain
“Keperluan mutlak dalam perkembangan perusahaan partikelir!” Dan berapakah “keperluan mutlak” yang tidak ditemukan. Ada aturan erfpacht yang bersendi atas “gewetenstopper”, domeinverklaring buat onderneming-onderneming di pegunungan, ada aturan menyewa tanah bagi onderneming tanah datar yang banyak penduduk; ada aturan kontrak buruh dengan poenale sanctie bagi onderneming-onderneming yang kekurangan kuli; dan “ketertiban dan keamanan” dan lapangan usaha di mana-mana dengan “staatsafronding” yang memusnahkan kemerdekaan negeri-negeri Aceh, Jambi, Kurinci, Lombok, Bali, Bone dan lain-lain; ada sistem pengajaran yang menghasilkan kaum buruh “halusan”; ada pasal 161 bis Undang-Undang Hukum Pidana yang meniadakan hak mogok, sedang undang-undang pelindung buruh tidak ada sama sekali, sehingga nasib kaum buruh boleh dipermainkan semau-maunya,- sungguh benar kapital partikelir tak kekurangan “keperluan mutlak”, kaum imperialisme-modern berada di surga!

Empat sifat imperialisme-modern
Hebatlah melarnya perusahaan imperialisme itu menjadi raksasa yang makin lama makin bertambah tangan dan kepala! Imperialisme-tua yang dulunya terutama hanya sistem mengangkuti bekal-bekal hidup saja, kini sudah melar jadi raksasa imperialisme-modern yang empat macam “shakti”nya:
Pertama: Indonesia tetap menjadi negeri pengambilan bekal hidup, Kedua: Indonesia menjadi negeri pengambilan bekal-bekal untuk pabrik-pabrik di Eropa, Ketiga: Indonesia menjadi negeri pasar penjualan barang-barang hasil dari macam-macam industri asing, Keempat: Indonesia menjadi lapang usaha bagi modal yang ratusan, ribuan-jutaan jumlahnya. –bukan saja modal Belanda, tetapi sejak adanya “Opendeur-politiek” juga modal Inggris, juga modal Amerika, juga modal Jepang, juga modal lain-lain, sehingga imperialisme di Indonesia kini jadi internasional karenanya.
Terutama “shakti” yang keempat inilah, yakni “prinsip” yang membikin Indonesia menjadi daerah eksploitasi dari kapital-lebih asing, menjadi lapang usaha bagi modal-modal kelebihan dari negeri-negeri asing, adalah yang paling hebat dan makin lama makin bertambah hebatnya! Dalam tahun 1870 jumlah tanah erfpacht ada 35.000 bahu, dalam tahun 1901 sudah 622.000 bahu, dalam tahun 1928 sudah 2.707.000 bahu, –kalau dijumlahkan juga dengan konsesi-konsesi pertanian, jumlah ini buat tahun 1928 menjadi 4.592.000 bahu! Jumlah tanah yang ditanami karet kini tak kurang dari ± 488.000 bahu, hasil ± 141.000 ton jumlah kebun teh± 132.000 bahu, hasilnya ± 73.000 ton: jumlah kebun kopi ± 127.000 bahu, hasilnya ± 55.000 ton; jumlah kebun tembakau ± 79.000 bahu, hasilnya ±65.000 ton; jumlah kebun tebu ± 275.000 bahu, hasilnya 2.937.000 ton.
Tuan-tuan Hakim yang terhormat, jutaan, tidak terbilang milyar rupiah kapital imperialis yang kini mengeduk kekayaan Indonesia! Dr. F.G. Waller, di muka rapat anggota dari Verbond van Nederlandsche Wetgevers, antara lain berpidato demikian:
“Menurut taksiran majelis majikan, keuntungan bersih dari perusahaan-perusahaan Hindia: gula, karet, termbakau, teh, kopi, kina, minyak tanah, hasil tambang, bank-bank, dan beberapa perusahaan kecil yang lain, dalam tahun 1924, 490 juta rupiah, tahun 1925, 540 juta rupiah. Menurut taksiran bolehlah ditentukan, bahwa 70% dari jumlah ini jatuh di tangan pihak Belanda, jadi kira-kira 370 juta rupiah. Kalau kita perhitungkan jumlah ini dengan bunga yang tinggi 9 atau 10%, maka harga perusahaan-perusahaan itu sekarang mencapai angka luar biasa, yakni 3700 hingga 4100 juta rupiah. Angka ini tentu saja bukan angka yang teliti, tapi cukup memberikan gambaran berapa harga milik Belanda di Hindia-Belanda dan kepada saya terbukti, bahwa perhitungan yang dilakukan dengan jalan lain sampai kepada angka yang demikian juga. Kekayaan yang di negeri Belanda terkena pajak kekayaan ialah 12 milyar, sehingga milik kita yang ada di Hindia tidak kurang dari 1/3 kekayaan rakyat kita semua.”
Lebih dari 4000 juta rupiah kapital Belanda saja, Tuan-tuan Hakim yang terhormat, tetapi jumlah semua modal asing yang berusaha di Indonesia adalah lebih besar lagi,– yakni jikalau kita hitung dengan memakai asas perhitungan Dr. Waller itu juga: – kurang lebih 6000 juta rupiah!
Enam milyar rupiah dengan untung setahun rata-rata sepuluh persen! Tetapi berapa perusahaan asingkah yang untungnya tidak berlipat-lipat ganda lagi. Berapa perusahaan asingkah yang dividennya sering kali lebih dari 30, 40, ya kadang-kadang sampai lebih dari 100%! Kita mengetahui dividen tembakau Sumatra yang besarnya 35% dalam tahun 1924, kita mengetahui dividen kina yang berlipat-lipat lagi, kita kenal akan dividen-dividen yang sampai 170%! Kami, oleh karenanya, tidaklah heran kalau seorang sebagai Colijn mengatakan, bahwa modal asing harus terus mengerumuni Indonesia itu sebagai semut mengerumuni wadah-gula, sebagai “demieren den suikerpot”!

Ekspor, impor, kelebihan ekspor
Memang milyunan rupiah harganya hasil-hasil perusahaan kapital asing itu yang saban tahun diangkut dari Indonesia, milyunan rupiah besarnya harga pengeluaran hasil-hasil itu saban tahun. Di dalam tahun 1927 pengeluaran kopi adalah seharga f 74.000.000; pengeluaran teh f 90.000.000; pengeluaran tembakau f 107.000.000; pengeluaran minyak f 155.000.000; pengeluaran gula f 360.000.000,- (malahan sebelum hebatnya persaingan dari Kuba, kadang-kadang lebih dari f 400.000.000); pengeluaran karet f 417.000.000, jumlah semua barang keluar tak kurang dari f 1.600.000.000. Pendek kata, saban tahun kekayaan yang diangkut dari Indonesia, sedikit-dikitnya f 1.500.000.000!
Dan harga impor? Harga barang-barang yang masuk Indonesia? Tuan-tuan Hakim yang terhormat, Indonesia adalah suatu tanah jajahan, dimana, sebagai tadi telah kami katakan, prinsip imperialisme yang nomor empatlah yang paling hebat. Semua tanah jajahan yang terutama ialah jadi lapangan usaha modal asing yang kelebihan, suatu daerah pengusahaan surplus kapital di luar negeri. Suatu jajahan yang demikian itu, ekspornya selamanya melebihi impor, kekayaannya yang diangkut ke luar selamanya lebih banyak dari harga barang yang dimasukkan. Inilah yang menjadi sifat rumah tangga kami yang miring itu, kelebihan ekspor, dan bukan kelebihan impor,– lebih banyak kekayaan yang keluar dan bukan lebih banyak barang yang masuk, bahkan bukan pula “les produits se changent contre les produits”, yakni bukan pula barang yang keluar sama dengan barang yang masuk.
Kelebihan ekspor di Indonesia makin lama makin besar. Di dalam tahun delapan puluhan kelebihan ekspor itu = f 25.000.000; di dalam tahun sembilan puluhan sudah menjadi ± f 36.000.000; di dalam tahun-tahun penghabisan abad ke-19 sudah bertambah menjadi ± f 45.000.000; didalam tahun sekitar 1910 sudah menjadi f 145.000.000; di dalam tahun akhir-akhir ini sudah menjadi f 700.000.000. Ya, di dalam tahun 1919 mencapai rekor f 1.426.000.000. Bahwasanya,– Indonesia bagi kaum imperialisme adalah suatu surga, suatu surga yang di seluruh dunia tidak ada lawannya, tidak ada bandingan kenikmatannya:
“Kalau kita bandingkan dengan angka-angka internasional… nyatalah bahwa tidak satu negeri lain persentase kelebihan ekspornya begitu tinggi seperti Hindia-Belanda,” begitu Prof, Van Gelderen, kepala Centraal Kantoor voor de statistiek di sini, berkata.

Nasib Rakyat dan Bangsa Indonesia
Bagaimanakah nasib bangsa Indonesia?
Menjawab Mr. Brooshooft, seorang yang bukan sosialis, di dalam bukunya “De Ethisce Koers in de koloniale Politiek”: “Jawabnya singkat aja, kita jerumuskan dia ke dalam jurang!” “Kita jerumuskan dia ke dalam lumpur kesengsaraan, yang di dalam pergaulan hidup Barat menenggelamkan jutaan manusia sampai kebatang lehernya: pemerasan orang yang tidak punya apa-apa selain tenaga kerjanya, oleh orang yang memegang kapital, yakni menggenggam kekuasaan.”
Ah… Tuan-tuan Hakim, begitu banyak orang bangsa Belanda yang tidak mengetahui kesengsaraan rakyat Indonesia. Begitu banyak bangsa Belanda yang mengira, bahwa rakyat Indonesia itu senang kehidupannya. Meskipun demikian…. tidak kurang pula orang-orang pandai bangsa Belanda yang menunjukkan kesengsaraan ini dalam buku-buku, karangan-karangan atau pidato-pidato, –tidak kurang kaum terpelajar bangsa kulit putih yang mengakuinya! Kesengsaraan rakyat Indonesia harus diakui oleh siapa saja yang mau menyelidikinya dengan hati yang bersih; kesengsaraan rakyat itu bukan “omong-kosong” atau “hasutan kaum penghasut”. Kesengsaraan itu adalah suatu kenyataan atau realiteit yang gampang dibuktikan dengan angka-angka. Lagi pula, Tuan-tuan Hakim, adanya kelebihan-kelebihan ekspor itu saja, –yang juga bukan “omong-kosong”, melainkan suatu barang yang nyata oleh adanya angka-angka statistik— adanya hal bahwa negeri Indonesia itu lebih banyak diangkuti kekayaan keluar daripada dimasukkan. Adanya hal itu saja, sudah cukup bagi siapa yang mempunyai sedikit pengetahuan tentang ekonomi, bahwa di sini keadaan adalah “miring”, –bahwa di sini tidak ada “keseimbangan”. Dan bukan saja keadaan itu “miring”, bukan saja ada “tidak seimbang” —tetapi (oleh sebab kelebihan-kelebihan ekspor itu makin lama makin besar), keadaan “miring” itu makin lama juga makin “miring”, “tidak seimbang” itu makin lama juga makin tidak seimbang!
Tatkala membicarakan kelebihan-kelebihan ekspor ini, berkata D.M.G.Koch:
“Tentu saja pengambilan yang teratur dan saban tahun bertambah besar dari jumlah-jumlah uang dari negeri Hindia, berarti hilangnya kekayaan-kekayaan yang mungkin bisa dipergunakan untuk perkembangan ekonominya.”
Lagi pula Tuan-tuan Hakim, tidakkah pemerintah sendiri mengakui adanya “kekurangan kesejahteraan” itu, tidakkah pemerintah sendiri mengakui adanya “mindere welvaart” itu, tatkala pemerintah beberapa tahun yang lalu mengadakan “mindere welvaartscommissie” (komisi untuk menyelidiki kekurangan kesejahteraan). Tidakkah Menteri Idenburg sendiri dua puluh lima tahun yang lalu telah menyebutkan chronischen nood, suatu “kesengsaraan yang terus-menerus”, “yang sekarang berjangkit di sebagian besar tanah Jawa”, tidakkah menteri itu mengakui pula adanya suatu “kemelaratan yang sudah mendalam”, suatu “ingevreten armoede”, sehingga “keadaan ekonomi dari sebagian besar penduduk, sangat jeleknya”? Tidakkah menteri jajahan itu juga mengakui pula adanya “penyerotan rezeki keluar”, yakni adanya “drainage”, walaupun ia berpendapat bahwa: “menunjukkan penyakit ini lebih gampang dari mendapatkan obat untuk menyembuhkannya”?
Dan tidak kurang pula orang-orang Belanda lain yang mengakui keadaan ini pada zaman itu; Tuan Pruys v.d. Hoeven, bekas Anggota Dewan Hindia, di dalam bukunya “Veertig Jaren Indische Dienst”, menulis:
“Nasib orang Jawa dalam empat-puluh tahun yang akhir ini, tidak banyak diperbaiki. Di luar golongan kaum ningrat dan beberapa hamba negeri, masih tetap hanya ada satu kelas saja yang hidupnya sekarang makan besok tidak. Suatu kaum yang agak berada, belum lagi bisa terbentuk, sebaliknya dalam tahun-tahun belakangan ini kita lihat terakhir suatu kelas proletar, yang terdahulu hanya terdapat di ibukota-ibukota.”
H.E.B. Schmalhausen, bekas asisten residen, di dalam bukunya, Over Java en de Javanen, bercerita:
“Saya sudah melihat dengan mata sendiri, bagaimana orang-orang perempuan, –sesudah berjalan beberapa jam lamanya, sampai ditempat yang dituju dan mengalami peristiwa, bahwa mereka tidak bisa ikut mengetam padi, karena kebanyakan pekerja. Maka ada yang menangis tersedu-sedu lalu duduk di tepi jalan, putus asa. Keadaan-keadaan yang demikian itu baru bisa kita mengerti, sesudah hidup lama di pedalaman, itupun kalau kita cukup punya perhatian kepada negeri dan penduduk dan senantiasa membuka mata!” “Kami membikin …… perhitungan….. menurut keterangan-keterangan yang benar dan hasilnya ialah, bahwa harga padi yang mereka terima (sebagai upah) sebanyak-banyaknya f 0.09 sehari.”
Untuk mencari upah 9 sen yang menyedihkan ini dengan kerja berat di panas matahari yang terik, seperti kita katakan tadi, perempuan-perempuan kadang-kadang harus berjam-jam lamanya berjalan kaki dan kadang-kadang ditolak pula. Kenyataan-kenyataan seperti itu lebih membukakan mata bagi keadaan-keadaan yang sebenarnya dari banyak perslah-perslah dan pidato-pidato yang mengenai luarnya saja.” (hal. 14). Dan Mr. Brooshooft menulis kalimatnya yang termashur: “Kita jerumuskan dia ke dalam jurang”, Wij duwen hem ini den afgrand, sedang di dalam Staten-Generraall perkara inzinking (kejatuhan) ini ramai dibicarakan. Terutama van Kol tidak berhenti-hentinya membongkar keadaan-keadaan ini, tidak berhenti-hentinya membicarakan: “negeri yang tiada sumsum lagi” atau uitgemergeldegewesten itu, tidak berhenti-hentinya menggambarkan nasib “jajahan sengsara” atau noodlijdende kolonie ini, tidak berhenti-hentinya menangiskan “kemunduran manusia dan ternak” itu. Yakni “physieke achteruitgang van menschen en vee”. Begitulah keadaan beberapa tahun yang lalu,
Adakah keadaan sekarang berbeda? Adakah keadaan hari ini lebih baik?
Tuan-tuan Hakim yang terhormat, tadi sudah kami buktikan dengan angka-angka, bahwa drainage Indonesia tidak makin surut, tidak makin kecil, melainkan makin besar, makin membanjir, mendahsatkan, bahwa kelebihan-kelebihan ekspor makin tak berhingga, –bahwa ketidakseimbangan makin menjadi tidak seimbang! Bagi siapa yang mau mengerti, maka tidak boleh tidak, drainage yang makin membanjir itu pasti berarti rakyat makin sengsara, pasti berarti rakyat itu, dengan perkataan Mr. Brooshooft, makin terjerumus ke dalam “jurang”! Jikalau di zaman Pruys v.d. Hoeven kita sudah melihat “suatu kelas proletar, yang dahulu hanya terdapat di ibukota-ibukota”, kalau di zaman Mr. Brooshooft kita sudah melihat “pemerasan orang yang tidak punya apa-apa selain tenaga kerjanya, oleh orang yang memegang kapital”. Jikalau kita di zaman itu sudah melihat daya yang “memproletarkan”, yakni proletariseeringstendens dengan senyata-nyatanya,– bagaimanakah kerasnya proletariseeringstendens itu di zaman kita sekarang ini, di mana pengedukan kekayaan secara imperialistis itu makin lama makin mengaut, kapital asing makin lama makin bertambah banyak dan bertambah besar “shaktinya”! Di dalam buku Dr. Huender “Overzicht van den Econ. Toestand der Inheemsche Bevolking van Java en Madoera”, kita membaca:
“Sedang di tahun 1905 jumlah penduduk dewasa yang bekerja tani, ada 71%, menurut maklumat-maklumat yang akhir di Dewan Rakyat…… sekarang ini hanya 52% saja yang semata-mata mempunyai penghasilan dari pertanian”….
Dan Prof. van Gelderen dari Centraal Kantoor Voor de Statistiek menulis:
“Perkembangan perusahaan asing dengan sendirinya cenderung kepada usaha untuk senantiasa dan berangsur-angsur secara lebihh besar-besaran melaksanakan perbandingan pokok ini: majikan dan kapital, jadi juga keuntungan, bagi bangsa asing; dan kaum buruh, jadi juga upah, bagi bangsa bumiputra. Memang dengan demikian bertambah besar permintaan kepada tenaga buruhdan bertambah besar jumlah penduduk yang mendapat penghasilan berupa upah. Tapi hal ini terjadi secara sangat berat sebelah seperti berikut. Penduduk bumiputra menjadi suatu bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka dan Hindia menjadi buruh antara bangsa-bangsa.”
“Bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka” dan “menjadi buruh antara bangsa-bangsa”, Tuan-tuan Hakim, —itu bukan nyaman! Itubukan memberi harapan besar bagi hari kemudian! Itu bukan memberi perspektif pada hari kemudian itu, jikalau terus-terusan begitu! Tidakkah oleh karenanya, wajib tiap-tiap nasionalis mencegah keadaan itu dengan sekuat-kuatnya? Tidakkah hal ini saja sudah cukup buat membenarkan kami punya pergerakan? “Bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka” –amboi, dan berapa besarkah upah yang biasanya diterima oleh Kang Kromo atau Kang Marhaen itu! Berapakah, umpamanya, besarnya upah di dalam perusahaan yang terpenting, yakni perusahaan gula,— perusahaan gula yang terdiri di tengah-tengah pusat pergaulan hidup Bumiputra, di tengah-tengah ulu hati pergaulan hidup itu? Menurut Statistisch Jaaroverzicht: rata-rata hanya f 0,45 sehari bagi orang laki-laki dan f 0,35 sehari bagi perempuan!
Sesungguhnya, Dr. Huender tak salah kalau ia menulis:
“Perusahaan gula buat orang Indonesia yang berhak atas tanah, adalah merugikan: upah-upah yang dibayarkan kepada orang-orang Indonesia yang bekerja padanya, jika tidak terlalu rendah untuk menolak maut, setidak-tidaknya adalah upah minimum, yakni upah yang paling rendah”
Dan bukan di dalam perusahaan gula saja kita dapatkan “Upah yang paling rendah” atau minimumloonen itu! Upah minimum di Indonesia kita dapat dimana-mana. Selama rumah tangga rakyat Bumiputra masih suatu rumah tangga yang kocar-kacir, selama rakyat Bumiputra masih “minimumlijdstef”, sebagai dikatakan Dr. Huender selama itu pula upah-upah dimana-mana tentulah berwujud upah-upah minimum, –selama itu maka rakyat yang kelaparan itu tentu terpaksa menerima saja upah-upah yang bagaimanapun juga rendahnya, “buat menolak maut”, om er hetleven bij te houden. Prof, van Gelderen di dalam bukunya dengan seterang-terangnya menunjukkan perhubungan sebab akibat antara rumah tangga kami yang kocar-kacir ini dengan rendahnya upah-upah di dalam pergaulan hidup kami, —upah-upah di dalam pergaulan hidup kami yang menurut pendapatnya, bukan “Ertragslohn” tetapi “Erhaltungslohn” yakni upah yang “sekedar supaya jangan sampai mati kelaparan”,— upah yang “sekedar sama dengan ongkos-ongkos hidup yang paling rendah”!
Dan hidupnya, bestaan nya rakyat umum? Bagaimanakah hidupnya rakyat umum? Di atas sudah kami katakan, bahwa Dr. Huender menyebut rakyat Bumiputra itu “minimumlijdster” (penderita minimum). “Yang paling sukar dan paling mengkhawatirkan berhubung dengan keadaan ekonomi di Jawa dan Madura, ialah bahwa penduduk yang telah dibebani sampai batas kesanggupannya itu rupanya adalah “penderita minimum” dan bagi mereka ternyata beberapa peraturan yang diadakan pemerintah untuk memperbaiki kehidupan mereka, tidak mempan…………….., begitulah kesimpulan Dr. Huender.
Dan Prof. Boeke di dalam bukunya “Het zakelijke en persoonlijke element in de koloniale welvaartspolitiek”, berkata: “Si tani kecil, pak tani Jawa yang miskin itu …. bukan saja melarat hidupnya, tapi tidak bisa pula mempengaruhi apa-apa kesejahteraan sekelilingnya; sisa-sisa yang sedikit dari perusahaannya, tidak memungkinkan dia, di luar keperluan-keperluannya yang paling penting sehari-hari, memenuhi keperluan-keperluan lain yang agak berarti juga, yakni keperluan-keperluan yang bisa diadakan oleh lain-lain golongan masyarakat, yang menunggu-nunggu apa yang akan diminta dan ditawarkannya. Yang terutama bisa dikerjakannya dalam masyarakat, ialah menekan tingkat upah.”
“Hidup yang melarat”, een Ellendig bestaan Tuan-tuan! Hakim, begitulah pendapat Prof. Boeke, seorang yang toh bukan bolsyewik atau “penghasut”, —melainkan seorang ahli ekonomi yang ternama!
Angka-angka, Tuan-tuan Hakim? Menurut perhitungan Dr. Huender, penghasilan seorang kepala rumah tangga marhaen setahun ialah rata-rata f 161, jumlah beban rata-rata/22.50,- jadi bersih penghasilan setahun adalah f 161, —f 22.50 = f 138.50, (seratus tiga puluh delapan rupiah lima puluh sen!), Tuan-tuan Hakim, di dalam dua belas bulan! Yakni, belum sampai f 12. – sebulan; yakni belum sampai f 0.40 sehari yakni, kalau dimakan lima orang (besarnya sama rata), belum sampai f 0.08 sehari seorang! Sesungguhnya, sejak kalimatnya Pruys v.d. Hoeven yang berbunyi bahwa kebanyakan rakyat hidupnya “sekarang makan besok tidak” sejak perkataannya Mr. Brooshooft bahwa rakyat terjerumus ke dalam “jurang”, sejak dengungnya suara van Kol yang mendakwa atas adanya “negeri-negeri yang tiada sumsum lagi”, atau “jajahan yang sengsara” atau “ kemuduran manusia dan ternak”, —sejak zaman itu tetaplah bangsa kami hidup “sekarang makan besok tidak”, tetaplah bangsa kami hidup dalam “jurang”, tetaplah bangsa kami hidup dalam “jajahan yang sengsara”! Bahwasanya,–drainage yang kami derita dengan tiada berhentinya itu, tak luput menunjukkan pengaruhnya,– imperialisme-modern tak luput menunjukkan kejahatan shakti-shaktinya!
Orang bisa berkata: “Adakah imperialisme modern itu berkejahatan?
Gula “memasukkan” uang ke dalam pergaulan hidup Indonesia dengan upah-upah dan penyewaan tanah; karet, teh, kopi, kina, hanya membuka tanah-tanah hutan yang jauh dari rakyat; minyak tanah keluarnya dari sedalam-dalamnya tanah, —semua memberi “berkah” pada rakyat dan kesempatan berburuh! O, memang, —memang gula “memasukkan” uang; memang onderneming erfpacht tidak begitu “mengenai” rakyat; memang minyak dibor dari sedalam-dalamnya tanah; —memang semua memberi kesempatan berburuh. Tetapi marilah kita membaca pemandangan Prof. Snouck Hurgronje, bagaimana macamnya “berhak” (kalau ada “berhak”), yang modal asing itu berikan kepada kami dan sebagaimana macamnya kaum modal asing itu “memelihara” kesejahteraan kami:
“Manfaat-manfaat yang diterima oleh penduduk Bumiputra dari modal Eropa itu, hanya sisa-sisa hasil pekerjaan kaum majikan, bukan dimaksud dan sekali-kali tidak dimaksud terutama untuk mereka. Tujuan mereka ialah….. cari duit…..
Seandainya “wadah gula’ tadi –untuk memakai perbandingan Colijn –mulai kosong, oleh karena satu atau lebih hasil-hasil bumi mengalami krisis harga, maka segeralah semut-semut itu menyusup lagi ke dalam tanah, dengan tidak memperdulikan sedikit juga nasib rakyat yang 35 atau 50 juta, yang tadinya senantiasa mengisi wadah gula itu. Selama, seperti sekarang ini, semut-semut itu berdesak-desak mengerumuni wadah gula itu, artinya, selama onderneming-onderneming Eropa itu beroleh untung, maka kepentingan-kepentingan orang Bumiputra terhadap usaha mereka yang sewajarnya untuk mencapai untung yang lebih besar lagi, tidak aman, jika tidak ada alat penjagaan yang kuat…. Orang tidak usah seorang antikapitalis untuk mengerti betapa berbahayanya kapital Barat mengancam penduduk Bumiputra dari suatu tanah jajahan.”
Marilah kita juga ingat akan kenyataan, sebagai yang diterangkan oleh Prof. Van Gelderen di dalam bukunya tadi, bahwa tinggi-rendahnya upah itu adalah ditetapkan oleh “tenaga produksi” pergaulan hidup umum, —bahwa jikalau pergaulan hidup itu kocar-kacir, upah pasti kocar-kacir dan serendah-rendahnya pula: —bahwa jikalau pergaulan hidup umum itu suatu “Ernahrungswirtschaft” upah pasti hanya “Erhaltungslohn” saja! Marilah kita ingat, bahwa keadaan rakyat Indonesia yang sebenarnya, memang membenarkan kenyataan ini, —yakni, bahwa, di mana rakyat Bumiputra itu umumnya adalah “minimumlijdster”, upah yang biasa diterimanya juga memang hanya “minimumloonen”, “Erhaltungslohnen” belaka! Marilah kita ingat, bahwa industri imperialisme yang cita-citanya membikin untung setinggi-tingginya itu, dan yang karena itu, mempunyai kepentingan atas adanya upah-upah yang serendah-rendahnya (yakni mempunyai kepentingan atas adanya loonen yang “minimumloonen”) –oleh karenanya, mempunyai kepentingan pula atas tetapnya pergaulan hidup kami ini dalam keadaan yang kocar-kacir, mempunyai belang atas tetapnya kami punya rumah tangga atau Wirtschaft itu bersifat “Ernahrungswirtschaft” adanya!
Prof. Van Gelderen menulis:
“Apabila tenaga produksi dari penghasil Bumiputra bertambah besar dan oleh karenanya harga sewa tanahnya jadi lebih tinggi, maka dalam suatu cara perkebunan tertentu dari pengusaha-pengusaha Eropa, bertambah kurang keuntungan perusahaannya. Ini suatu pertentangan kepentingan yang tidak bisa dimungkiri, dan sekali-sekali terasa benar”. “Perbedaan hasil pekerjaan dalam hal dipergunakan pekerjaan orang Bumiputra dan dalam hal dipergunakan pekerjaan orang asing, buat sebagian besar menguntungkan pengusaha asing. Makin kecil perbedaan ini, disebabkan karena tenaga produksi pekerja Bumiputra dalam lingkungan sendiri bertambah besar (ini pada hakekatnya berarti tenaga produksi dalam pertanian Bumiputra), maka makin kecil pula sumber keuntungan yang lain dari perusahaan besar asing ini.”
Dan di dalam buku Prof. Schrieke “The effect of Western Influence onnative civilizations in the Malay Archipelago”, kita membaca kalimat Tuan Meyer-Ranneft yang sekarang menjadi Ketua Dewan Rakyat:
“Jumlah yang diterima oleh kaum modal dan perusahaan industri, menjadi sebanding lebih besar dengan bertambah jeleknya tingkat kehidupan Bumiputra,”
Sedang Prof. Boeke dengan lebih terus-terang lagi berpidato:
“Mereka,– (kaum modal asing), terutama menjalankan rolekonomi yang diharapkan oleh dunia dari tanah jajahan, mereka pandai mengeduk kekayaan dari Hindia pada umumnya dan dari bumi Hindia pada khususnya dan membikin negeri itu memberikan keuntungan-keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya, mereka itu terutama menghasilkan barang-barang yang diperlukan di pasar dunia dan mereka mengharap dan menuntut dari Hindia tidak lebih dari tanah yang baik dan tenaga buruh yang murah; penduduk bagi mereka tidak lebih dari suatu alat (ini yang mengenai penduduk tanah Jawa) atau penyakit yang perlu (ini yang mengenai penduduk di tanah seberang). Buat mereka yang penting hanya… penawaran tenaga buruh dan harga tanah; apa yang menambah banyak penawaran dan menurunkan harga, menguntungkan bagi mereka. Mereka itu adalah, mereka harus jadi, apa yang disebut oleh orang Jerman dengan tepatnya “Real-politiker”, harus mendahulukan kenyataan dan kesoalan, anasir cita-cita dan perseorangan buat mereka itu tidak sehat atau lebih lagi.”
Dengan lain perkataan: Kaum modal partikelir mempunyai kepentingan atas rendahnya tenaga produksi dan rendahnya tingkat pergaulan hidup kami, imperialisme-modern karena itu, mengalang-alangi kemajuan sistem sosial kami itu, imperialisme-modern karena itu suatu rem bagi kami punya kemajuan ekonomi sosial!
Benar sekali, —imperialisme-modern “membikin rakyat Bumiputra menjadi bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka dan membikin Hindia menjadi si buruh di dalam pergaulan bangsa-bangsa”!
Dan si buruh yang bagaimana, Tuan-tuan Hakim!, —si buruh yang loonen-nya minimumloonen, si buruh yang Wirtschaft-nya Minimumwirtschaft !, siburuh yang upahnya upah Kokro! Hati nasional tentu berontak atas kejahatan imperialisme-modern yang demikian itu!!
Lagi pula, —siapakah nanti yang bisa mengembalikan lagi kekayaan-kekayaan Indonesia yang diambil oleh mijnberdrijven partikelir, yakni perusahaan-perusahaan tambang partikelir, sebagai timah, arang batu, minyak! Siapakah nanti yang bisa mengembalikan lagi kekayaan-kekayaan tambang itu? Musnah, musnahlah kekayaan-kekayaan itu buat selama-lamanya bagi kami, musnahlah buat selama-lamanya bagi pergaulan hidup Indonesia, masuk ke dalam kantong beberapa pemegang andil belaka!
“…….Perusahaan hasil tambang, yang lama-kelamaan menghabiskan kekayaan-kekayaan tambang itu,” begitulah Prof.Van Gelderen menulis. “Juga di dalam hal ini, yang tinggal di dalam negeri hanya ongkos-ongkos produksi saja. Hasil bersihnya jatuh ke tangan pemilik modal asing. Di dalam hasil bersih ini termasuk bukan saja bunga dan keuntungan pengusaha, tapi juga apa yang dinamakan “bunga pertambangan”, yakni pembayaran bagian monopoli yang tidak bisa diganti, bagianyang ada dalam penghasilan segala perusahaan tambang, yang mempunyai tenaga produksi yang lebih dari ‘batas tenaga produksi’.
Dengan jalan penghapusan dan pencadangan itulah kapital yang ditanam dalam pertambangan bisa tetap dalam tangan si pemilik. Tapi barang yang dikerjakan ini, yakni batu arang, minyak tanah, timah, musnah buat selama-lamanya”!
“Musnah buat selama-lamanya!” “Onkerroepelijk verloren!” Bahwasanya, “bangsa kaum buruh”, “minimumloonen”, minimumlijdster”, kemajuan ekonomi sosial direm”, “kekayaan tambang musnah buat selama-lamanya”, semua perkataan-perkataan itu tidak menggembirakan! Dan toh….. apakah hak-hak bangsa kami, yang kiranya boleh jadi “imbangan” dari keadaan ekonomi yang menyedihkan itu? Apakah hak-hak bangsa kami yang boleh dipakai sebagai obat di atas luka hati nasional yang perih itu?
Pengajaran? Oh, di dalam “abad kesopanan” ini di dalam “eeuw van beschaving” ini, menurut angka-angka Centraal Kantoor voor dee Statistiek, orang laki-laki yang bisa membaca dan menulis belum ada 7%, orang perempuan belum ada….1/2%. Dan toh, Hollandsch-Inlandsch-Onderwijscommissieee memajukan usul memberhentikan penambahan Hollandsch-Inlandsch-Onderwijs!
Pajak-pajak enteng? Laporan Meyer-Ranneft-Huender menunjukkan, bahwa Kang Marhaen yang pendapatnya setahun rata-ratanya f 160 —itu, harus membayar pajak sampai kurang lebih 10% dari pendapatannya; bahwa bagi bangsa Eropa pajak yang setinggi itu baru dikenakan kalau pendapatannya tak kurang dari f 8.000 sampai dengan f 9.000 setahun!; bahwa pajak yang istimewa mengenai kang Marhaen, yang pada tahun 1919 sudah mencapai jumlah f 86.900.000 itu, di bawah pemerintahan Gubernur-Jenderal Fock dinaikkan lagi menjadi f 173.400.000 setahun!; bahwa teristimewa beban-beban desa sering berat sekali adanya!
Kesehatan rakyat atau hygiene? Di seluruh Indonesia hanya ada 343 rumah sakit gubernemen, kematian bangsa Bumiputra setahun tak kurang dari ± 20%, ya, di dalam kota-kota besar sampai kadang-kadang 30, 40, 50%, seperti di Betawi, di Pasuruan, di Makassar!
Kesempatan bekerja di pulau-pulau luar tanah jawa? Soal kontrak dan poenale sanctie, perbudakan zaman baru atau moderne slavernij itu, seolah-olah takkan habis-habisnya di-“pertimbangkan” dan sekali lagi dipertimbangkan”.
Perlindungan kepentingan kaum buruh? Peraturan yang melindungi kaum buruh tak ada sama sekali, arbeidsinspectie tinggal namanya saja, hak mogok, yang di dalam negeri-negeri yang sopan sudah bukan soal lagi itu, dengan adanya pasal 161 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, musnah sama sekali dari realiteit, terhalimunkan sama sekali menjadi impian belaka!
Kemerdekaan cetak-mencetak dan hak berserikat dan berkumpul?… Tuan-tuan Hakim, marilah kita dengan hati yang tenang dan tulus bertanya lagi: Adakah di sini bagi kami bangsa Indonesia kemerdekaan cetak, adalah disini hak, yang dengan sebenarnya boleh kita namakan hak berserikat dan berkumpul? Amboi ,–adakah di sini hak-hak itu, di mana Kitab Undang-undang Hukum Pidana masih saja berisi itu pasal-pasal mengenai penyebaran rasa kebencian (haatzaaiartikelen) yang bisa diulur-ulur sebagai karet, itu haatzaaiartikelen yang hampir zonder perubahan diambil dari “gewrocht der duisternis” sebagai Thorbecke menyebut peraturan cetak-mencetak, di mana “horribel starfwetartikel” 153 bis-ter yang lebih-lebih elastis lagi mengancam keselamatan tiap-tiap pemimpin sebagai kami ini hari, dimana hak pen-Digul-an memberi kekuasaan yang hampir tak terhingga kepada pemerintah terhadap tiap-tiap pergerakan dan tiap-tiap manusia yang ia tak sukai? Adakah di sini hak-hak itu, dimana kritik di muka umum gampang sekali mendapat teguran atau sopan, di mana tiap-tiap rapat penuh dengan spion-spion polisi, di mana hampir tiap-tiap pemimpin dibuntuti reserse di dalam gerak-geriknya ke mana-mana, di mana gampang sekali diadakan “larangan berapat”, di mana rahasia surat seringkali dilanggar diam-diam sebagai kami lihat dengan mata sendiri? Adakah di sini hak-hak itu, di mana laporan spion-spion itu saja atau tiap-tiap surat kaleng sudah bisa dianggap cukup buat membikin penggerebekan di mana-mana, mengunci berpuluh-puluh pemimpin di dalam tahanan, yang menjerumuskan pemimpin-pemimpin itu ke dunia pembuangan?
Tuan-tuan Hakim, marilah sekali lagi kita bertanya dengan hati yang tenang dan tulus: adakah di sini bagi bangsaku kemerdekaan cetak-mencetak dan hak berserikat dan berkumpul, dimana menjalankan “kemerdekaan” dan “hak” itu dialang-alangi oleh macam-macam alangan, diranjaui oleh macam-macam ranjau yang demikian itu??? Tidak! Di sini tidak ada hak-hak itu! Dengan macam-macam alangan dan macam-macam ranjau demikian itu, maka “kemerdekaan” itu tinggal namanya saja “kemerdekaan” “hak” itu tinggal namanya saja,“hak”, dengan macam-macam serimpatan yang demikian, maka “kemerdekaan cetak-mencetak” dan “hak berserikat dan berkumpul” itu lantas menjadi suatu omong-kosong, suatu paskwil! Hampir tiap-tiap jurnalis sudah pernah merasakan tangan besinya hukum, hampir tiap-tiap pemimpin Indonesia sudah pernah merasakan bui, hampir tiap bangsa Indonesia yang mengadakan perlawanan radikal lantas saja dipandang “berbahaya bagi keamanan umum”! Sesungguhnya: Tidak ada hak-hak yang orang berikan pada rakyat Indonesia untuk jadi “imbangan” kepada bencana pergaulan hidup dan bencana kerezekian yang ditebar-tebarkan oleh imperialisme-modern itu; tidak ada hak-hak yang orang berikan pada rakyat kami yang cukup nikmat dan menggembirakan untuk dijadikan pelipur hati nasional yang mengeluh melihat kerusakan sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh imperialisme-modern itu; tidak ada hak-hak yang orang berikan pada rakyatku yang boleh dijadikannya sebagai pegangan sebagai penguat, sebagai sterking untuk memberhentikan kerja imperialisme yang mengobrak-abrik kerezekian dan pergaulan hidup kami itu!


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar