Selasa, 27 November 2012

Andai...


Seandainya Aku Seorang Belanda
Oleh : KHD

Ki Hajar Dewantara
Dalam berbagai karangan di surat-surat kabar banyak sekali dipropagandakan untuk mengadakan suatu pesta besar disini, di Hindia; pesta perayaan 100 tahun kemerdekaan Nederland. Penduduk negeri ini tidak boleh lengah saja, bahwa pada bulan November yang akan datang genaplah seratus tahun, bahwa Nederland menjadi suatu kerajaan dan tanah Nederland menjadi suatu negara yang merdeka, sekalipun dengan begitu ia di belakang sekali dalam barisan negara-negara.
Ditinjau dari segi yang patut, sudah sepantasnya kejadian nasional yang bersejarah itu dirayakan dengan sebuah pesta. Bukankah itu menandakan kecintaan orang Belanda kepada tanah airnya, tanda setianya kepada tanah yang pernah dihiasi oleh nenek-moyangnya dengan perbuatan-perbuatan pahlawan? perayaan itu akan menggambarkan perasaan bangga mereka, bahwa seratus tahun yang lalu Nederland berhasil melemparkan tekanan penjajahan dari bahunya dan ia sendiri menjadi suatu bangsa yang merdeka.
Saya mudah menangkap rasa gembira yang keluar dari hati patriot Belanda masa sekarang, yang dapat merayakan jubileum semacam itu. Karena saya juga seorang patriot, dan seperti juga dengan orang Belanda yang benar-benar mencintai tanah airnya, begitu pula saya cinta pada tanah air saya, lebih dari yang dapat saya katakan.
Alangkah gembiranya, alangkah senangnya, dapat merayakan suatu hari nasional yang begitu besar artinya. Saya ingin, dapat kiranya sebentar menjadi seorang Belanda, bukan seorang “Staatsblad-Nederlander”, tetapi seorang putra Nederland Besar yang tulen, sama sekali bebas dari cacat-cacat asing. Alangkah gembiranya aku, apabila nanti di bulan November datang hari yang sebegitu lama ditunggu-tunggu, hari perayaan kemerdekaan. Kegembiraan hatiku akan meluap-luap melihat bendera Belanda berkibar sesenang-senangnya dengan secarik Oranje di atasnya. Suaraku akan parau ikut serta menyanyikan lagu “Wilhelmus” dan “Wien Nederlands Bloed”, apabila nanti musik mulai berbunyi. Saya akan menjadi sombong karena segala pernyataan itu, saya akan memuji Tuhan dalam gereja Kristen bagi segala kebaikan-Nya, saya akan meminta, memohon ke langit yang tinggi supaya Nederland kekal kekuasaannya, juga ditanah jajahan ini, supaya mungkin bagi kita mempertahankan kebesaran kita dengan kekuasaan yang besar ini di belakang kita. Saya akan meminta bantuan uang kepada semua orang Belanda di Insulinda ini, bukan saja untuk perayaan, tetapi juga untuk biaya rencana kapal perang Clijn, yang berusaha segiat-giatnya guna mempertahankan kemerdekaan Nederland, saya akan……ya saya tak tahu lagi apa yang akan saya perbuat seterusnya, jika saya seorang Belanda, karena saya akan sanggup berbuat apa saja, dugaan saya.
Tetapi tidak, sungguh tidak! Apabila saya seorang Belanda, saya tidak akan sanggup berbuat segala-galanya. Memang saya berkehendak supaya pesta kemerdekaan yang akan datang itu diorganisasi seluas-seluasnya, tetapi saya tidak mau kalau bumiputra negeri ini ikut serta merayakan, saya akan melarang mereka ikut riang gembira pada pesta-pesta itu, malahan saya ingin sekali memagari tempat-tempat keramaian itu, supaya tak ada seorang bumiputra pun dapat melihat kegembiraan kita yang meluap-luap pada peringatan hari kemerdekaan itu.
Di situlah terletak, menurut saya, suatu hal yang tidak pantas, satu perbuatan yang tidak tahu malu, tidak senonoh, apabila kita —saya masih seorang Belanda umpamanya– orang-orang bumiputra disuruh ikut bergembira dalam merayakan kemerdekaan kita. Kita, pertama, akan melukai perasaan kehormatan mereka, karena kita disini di atas tanah air mereka yang kita kuasai memperingati kemerdekaan kita sendiri. Kita sekarang beriang-riang gembira, karena seratus tahun yang lalu kita terlepas dari kekuasaan asing; dan semuanya ini akan terjadi di bawah pandangan mereka yang masih berdiri di bawah kekuasaan kita. Apakah kita tidak harus memikirkan, bahwa budak-budak yang sial itu juga ingin mencapai suatu ketika, yang mereka seperti kita sekarang dapat mengadakan suatu pesta yang serupa? Atau apakah kita menyangka, bahwa kita dengan politik kita yang lama terus-menerus menindas semangat yang hidup sudah membunuh segala perasaan kemanusiaan dalam jiwa bumputera? Kalau begitu kita akan menipu diri sendiri, karena bangsa-bangsa yang sebiadab-biadabnya pun menyumpahi tiap-tiap bentuk penjajahan. Apabila saya seorang belanda, saya tidak akan mengadakan pesta kemerdekaan dalam suatu negeri sedangkan kita menahan kemerdekaan bangsanya.
Sejalan dengan pendapat ini bukan saja tidak adil melainkan juga tidak pantas apabila bumiputra disuruh menyumbangkan uang untuk keperluan dana pesta itu. Sudahlah mereka dihina dengan maksud mengadakan perayaan kemerdekaan Nederland itu, sekarang dompet mereka dikosongkan pula. Itulah suatu penghinaan moril dan pemerasan uang!
Apakah yang akan dicapai dengan pesta perayaan itu disini, di Hindia? Apabila itu maksudnya menyatakan kegembiraan nasional maka tidak bijaksana perayaan itu diadakan di sini, di negeri yang terjajah. Orang akan menyakiti hati rakyatnya. Atau apakah dengan itu maksudnya mempertunjukkan kebesaran dalam arti politik? Terutama dalam masa sekarang ini, masa bangsa Hindia sedang membentuk diri sendiri dan masih berada pada permulaan bangun tidur, adalah suatu kesalahan sikap memberi contoh kepada bangsa itu, bagaimana kiranya ia harus merayakan kemerdekaannya. Orang menusuk dengan cara begitu hawa nafsunya, dengan tidak sengaja dibangunkan perasaan kemerdekaannya, harapannya akan kemerdekaan yang akan datang dengan tidak sengaja disorakkan kepada bangsa itu: “Kau manusia lihatlah betapa kami merayakan kemerdekaan kami; cintailah kemerdekaan, karena senang sekali perasaan menjadi suatu bangsa yang merdeka, bebas dari segala penjajahan.”
Apabila bulan November tahun ini telah lewat, kaum penjajah Belanda telah membuat suatu percobaan politik yang berbahaya. Resiko ada pada mereka. Saya tak mau memikul tanggung jawab itu, sekalipun saya seorang Belanda.
Kalau saya seorang Belanda, sekarang pada saat ini, saya akan memprotes tentang maksud perayaan itu. Saya akan menulis dalam segala surat kabar bahwa itu salah, saya akan menasihati sesama kaum penjajah, bahwa berbahaya di waktu sekarang mengadakan pesta kemerdekaan, saya akan mendesak kepada segala orang Belanda supaya jangan melukai perasaan bangsa Hindia Belanda yang mulai bangun dan sadar itu agar supaya ia jangan sampai naik darah. Sungguh, saya akan memprotes dengan segala tenaga yang ada pada saya.
Tetapi………saya ini bukan orang Belanda, saya cuma putra negeri tropika ini yang berkulit warna sawo, seorang bumiputra jajahan Belanda ini, dan karena itu saya tidak akan memprotes.
Karena, kalau saya memprotes, orang akan marah pada saya. Saya akan dipersalahkan menghasut bangsa Belanda, yang memerintah di sini di negeri saya dan menjauhkan mereka itu dari saya. Dan itu saya tidak mau, itu tidak boleh saya perbuat. Apabila saya orang Belanda, bukankah saya tidak mau menghina bangsa bumiputra?
Juga orang akan menuduh saya kurang ajar terhadap Sri Ratu, raja kita yang dihormati, dan itu tidak dapat diampuni, sebab saya rakyatnya yang selalu harus setia kepada beliau.
Dan karena itu saya tidak memprotes!
Sebaliknya, saya akan ikut merayakan.
Apabila nanti diadakan pemungutan biaya, saya akan memberi sumbangan, sekalipun karena itu saya akan mengurangi belanja rumah tangga sampai separo. Kewajiban saya sebagai seorang bumiputra jajahan Belanda ini, ialah untuk ikut serta menyemarakkan hari kemerdekaan Nederland, negeri tuan kita. Saya akan meminta kepada orang-orang sebangsa saya, orang-orang sesama rakyat kerajaan Nederland, untuk ikut serta dalam pesta itu, sebab sekalipun pesta ini semata-mata berarti bagi Nederland, kita akan mendapat di situ kesempatan yang sebaik-baiknya untuk menyatakan kesetiaan kita dan kehormatan kita kepada Nederland. Dengan begitu kita akan mengadakan “demonstrasi kesetiaan.” Syukurlah, saya bukan seorang Belanda.
Sekarang, lepas dari segala ironi.
Seperti telah saya katakan pada permulaan karangan ini, perayaan 100 tahun kemerdekaan Nederland tersebut menunjukkan besarnya kesetiaan kepada tanah air, dalam hal ini dari pihak orang Belanda. Bolehlah mereka gembira pada perayaan nasional mereka itu. Yang menjadi keberatan bagi saya dan banyak lagi orang yang setanah air dengan saya ialah terutama bahwa sekarang bumiputra lagi yang akan membayar bagi suatu hal yang bukan hal mereka. Apakah yang akan dibawakan oleh pesta yang kami ikuti menyelenggarakan? Tidak sedikit juga, kecuali peringatan bagi kami, bahwa kami bukan suatu bangsa yang merdeka dan bahwa “Nederland tidak akan menganugerahi kami dengan kemerdekaan” –pendek kata, tidak, selama Tuan Idenburg menjadi walinegara, dan lagi –ganjil benar– ajaran yang kita peroleh dari pesta-pesta itu, bahwa merupakan kewajiban bagi tiap-tiap orang untuk mewakili bangsanya sebaik-baiknya pada hari perayaan kemerdekaan.
Saya pun lebih setuju dengan pendapat yang baru-baru ini untuk pertama kali dibentangkan dalam surat kabar bumiputra “Kaoem Moeda” dan dalam “De Express” untuk membentuk di Bandung, tempat datangnya bermula cita-cita mengadakan perayaan dan tempat duduk pusat komite, suatu komisi terdiri dari beberapa orang bumiputra yang terpelajar; pada hari perayaan itu badan tersebut akan mengirimkan kawat ucapan selamat kepada Ratu, yang di dalamnya juga dianjurkan mencabut pasal 111 R.R dan segera mengadakan suatu Parlemen Hindia.
Hasil dari permohonan itu –apalagi bagian yang kemudian– saya tidak perbincangkan disini; artinya itu saja sudah merupakan suatu nilai yang besar bagi kita. Bukankahh permintaan itu saja sudah mengandung suatu proses, bahwa kita tidak diberi hak dan tetap tidak diperkenankan untuk membicarakan hal-hal politik, bahwa dengan perkataan lain kita dalam daerah ini tidak diberi kebebasan sama sekali? Suatu bangsa yang cinta merdeka seperti bangsa Belanda yang sekarang akan merayakan kemerdekaannya, tentu akan mengabulkan permintaan itu.
Tentang mengadakan parlemen, di situ tersimpul sejelas-jelasnya keinginan yang besar untuk tidak boleh tidak ikut serta mengeluarkan suara. Itu sangat perlu. Dimana ternyata sejelas-jelasnya dari cara bangunannya bangsa Hindia, bahwa emansipasi –proses kemerdekaan– itu cepat sekali jalannya, di situ dapat dipikirkan kemungkinan bahwa bangsa ini, yang sekarang terjajah, suatu masa akan lebih besar dari tuannya. Bagaimana nanti, apabila 40 juta manusia yang benar-benar bangun menuntut pertanggungjawaban kepada seratus orang yang duduk dalam De Tweede Kamer yang disebut Dewan Perwakilan Rakyat? Apakah orang pada akhirnya akan menyerah, kalau krisis sudah ada?
Rasanya janggal terdengar, bahwa komite tersebut akan meminta suatu parlemen. Selagi pemerintah hanya perlahan-lahan bekerja untuk mengadakan suatu perwakilan kolonial, di mana paling bagus beberapa orang saja diangkat oleh pemerintah sebagai apa yang dikatakan wakil kita di dalam apa yang disebut koloniale raad itu –lihat misalnya gemeenteraden– di sana datang komite berlari-lari kencang dengan suatu usul yang hebat, tidak lebih dan tidak kurang suatu Parlemen Hindia.
Tampaknya maksud komite hanya memajukan protes di dalam suatu permintaan yang sekarang tidak dapat diperkenankan, dan tidak mengharapkan hasilnya. Ajaib memang adanya, bahwa tepat pada hari orang Belanda merayakan kemerdekaannya, komite datang kepada Ratu dengan permohonan untuk melenyapkan kekuasaan absolut Belanda atas suatu bangsa yang 40 juta orang jumlahnya.
Lihatlah, sekarang sudah, betapa pengaruh cita-cita perayaan itu.
Tidak, sekali-kali tidak, kalau saya seorang Belanda, saya tidak akan merayakan jubileum seperti itu di sini dalam suatu negeri yang kita jajah. Beri dahulu bangsa yang terjajah itu kemerdekaannya, barulah merayakan kemerdekaan itu sendiri.




Tulisan RM Soewardi Soerjaningrat di koran De Expres
Judul Asli: "Als ik eens Nederlander was"
November 1913

Tidak ada komentar:

Posting Komentar