Selasa, 27 November 2012

Pustaka

Buku adalah gudang ilmu dan membaca adalah kuncinya

Berlebihankah kita bahwa karena sebuah bukulah maka bangsa Belanda bisa sampai di Nusantara dan melakukan penjajahan atas bumi yang kaya raya ini selama berabad-abad ? Buku tersebut berjudul: Itinerario, Voyagie ofte Schipvaert der Portugaloysers van Jan Huygen van Linschoten naar Oost ofte Portugaels Indien atau disingkat Itinerario naer Oost ofte Portugaels Indien –Pedoman Perjalanan ke Timur atau Hindia Portugis” yang ditulis Jan Huygen van Linshoten di tahun 1595.
Merupakan fakta jika jauh sebelum Eropa berani melayari samudera, bangsa Arab telah dikenal dunia sebagai bangsa pedagang pemberani yang terbiasa melayari samudera luas hingga ke Nusantara. Bahkan kapur barus yang merupakan salah satu zat utama dalam ritual pembalseman para Fir’aun di Mesir pada abad sebelum Masehi, didatangkan dari satu kampung kecil bernama Barus yang berada di pesisir barat Sumatera Tengah. Dari pertemuan peradaban inilah bangsa Eropa mengetahui jika ada satu wilayah di Selatan bola dunia yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya, yang tidak terdapat di belahan dunia manapun. Negeri itu penuh dengan karet; lada; dan rempah-rempah lainnya. Selain itu, Eropa juga mencium adanya emas dan batu permata yang tersimpan di perutnya. Tanah tersebut iklimnya sangat bersahabat, dan alamnya sangat indah. Wilayah inilah yang sekarang kita kenal dengan nama Nusantara
Garis Tordesillas
Mendengar semua kekayaan ini, Eropa sangat bernafsu untuk mencari semua hal yang selama ini belum pernah didapatkannya. Paus Alexander VI pada tahun 1494 memberikan mandat resmi gereja kepada Kerajaan Katolik Portugis dan Spanyol melalui Perjanjian Tordesillas. Dengan adanya perjanjian ini, Paus Alexander VI membelah dunia –di luar daratan Eropa menjadi dua kapling untuk dianeksasi. Garis demarkasi dalam perjanjian Tordesilas itu mengikuti lingkaran garis lintang dari Tanjung Pulau Verde, melampaui kedua kutub bumi. Ini memberikan Dunia Baru –Benua Amerika kepada Spanyol. Sementara itu, Afrika serta India diserahkan kepada Portugis. Paus menggeser garis demarkasinya ke arah timur sejauh 1.170 kilometer dari Tanjung Pulau Verde. Brazil pun jatuh ke tangan Portugis. Jalur perampokan bangsa Eropa ke arah Timur Jauh menuju kepulauan Nusantara pun terbagi dua. Spanyol berlayar ke Barat dan Portugis ke Timur, keduanya akhirnya bertemu di Mollucas –Maluku, di Laut Banda. Sebelumnya, jika dua kekuatan yang tengah berlomba memperbanyak harta rampokan berjumpa tepat di satu titik maka mereka akan berkelahi, namun saat bertemu di Maluku, Portugis dan Spanyol mencoba untuk menahan diri. Pada 5 September 1494, Spanyol dan Portugal membuat Perjanjian Saragossa yang menetapkan garis anti-meridian atau garis sambungan pada setengah lingkaran yang melanjutkan garis 1.170 kilometer dari Tanjung Verde. Garis itu berada di timur dari kepulauan Maluku, di sekitar Guam. Sejak itulah, Portugis dan Spanyol berhasil membawa banyak rempah-rempah dari pelayarannya. Seluruh Eropa mendengar hal tersebut dan mulai berlomba-lomba untuk juga mengirimkan armadanya ke wilayah yang baru di Selatan. Ketika Eropa mengirim ekspedisi laut untuk menemukan dunia baru, pengertian antara: “perdagangan, peperangan, dan penyebaran agama Kristen” nyaris tidak ada bedanya. Misi imperialisme Eropa ini sampai sekarang kita kenal dengan sebutan “Tiga G”: Gold, Glory, dan Gospel. Seluruh penguasa, raja-raja, para pedagang, yang ada di Eropa membahas tentang Negeri Selatan yang sangat kaya raya ini. Mereka berlomba-lomba mencapai Nusantara dari berbagai jalur. Sayang, saat itu belum ada sebuah peta perjalanan laut yang secara utuh dan detil memuat jalur perjalanan dari Eropa ke wilayah tersebut –yang disebut Eropa sebagai Hindia Timur. Peta bangsa-bangsa Eropa baru mencapai daratan India, sedangkan daerah di sebelah timurnya masih gelap. Dibandingkan Spanyol, Portugis lebih unggul dalam banyak hal. Pelaut-pelaut Portugis yang merupakan tokoh-tokoh pelarian Templar –dan mendirikan Knight of Christ, dengan ketat berupaya merahasiakan peta-peta terbaru mereka yang berisi jalur-jalur laut menuju Asia Tenggara. Peta-peta tersebut saat itu merupakan benda yang paling diburu oleh banyak raja dan saudagar Eropa. Dalam sejarah, peta Asia Tenggara pertama kali dibuat oleh Ptolomeus –seorang ahli Kartografi asal Yunani. Peta-peta ciptaan Ptolomeus inilah yang menguasai dunia Arab dan Eropa selama kurang lebih seribu tahun. Namun dalam peta-peta Ptolomeus, Kepulauan Nusantara masih sulit dikenali. Nusantara baru mulai dikenal setelah ahli Kartografi Munster membuat peta yang memuat informasi perjalanan Marcopolo. Namun ibarat pepatah, “Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga”, maka demikian pula dengan peta rahasia yang dipegang pelaut-pelaut Portugis. Sejumlah orang Belanda yang telah bekerja lama pada pelaut-pelaut Portugis mengetahui hal ini. Salah satu dari mereka bernama: Jan Huygen van Linschoten.
Buku Itinerario
Jan Huyghen (atau Huijgen) van Linschoten (lahir di Haarlem, Belanda, 1563 - meninggal di Enkhuizen, 8 Februari 1611) adalah penjelajah, pedagang, penulis, dan sejarawan Belanda beragama Kristen Protestan.
Nama Jan Huyghen van Linschoten dikenal terutama dari dua tulisan perjalanannya yang dianggap sebagai kunci bagi ekspedisi Cornelis de Houtman ke Nusantara. Jan Huyghen van Linschoten menyalin peta pelayaran milik Portugis yang sangat dirahasiakan, sehingga membuka jalan bagi penjelajah Inggris dan Belanda ke Kepulauan Mollucas –rempah-rempah (Maluku/Nusantara). Akibatnya, pada abad ke-17 dominasi Portugis (berpangkalan di Malaka dan menguasai perdagangan di Maluku) di Nusantara melemah dan berdirilah kongsi dagang VOC (milik Belanda) di Batavia dan EIC (milik Inggris) di Bombay, India.
Linschoten datang dari Harlem, kota pesisir dimana mulut sungai Spaarne mengecup hangat bibir Lautan Atlantik. Ia melihat Harlem dalam genangan darah ketika serdadu Spanyol pimpinan Fernando Alvarez de Toledo –Duke of Alva datang pada tahun 1572. Ia juga mengelu-elukan Williem I ketika sang Pangeran Oranye itu membebaskan kota tersebut 4 tahun kemudian.
Dari Harlem, ia mencari peruntungan ke Lisabon dan mengabdi pada keuskupan. Bersama tentara, pedagang dan kaum padre, ia mengarungi 2 samudera dan berlabuh di Goa India. Lima  tahun lamanya ia menjadi sekretaris uskup di sana.
Hampir 100 tahun lamanya, orang-orang Portugis merahasiakan rute pelayaran ke Timur melalui Tanjung Harapan.
Risalah perjalanan bersama pelaut Portugis mulai dia tuliskan. Dia beri judul: Itinerario, Voyagie ofte Schipvaert der Portugaloysers van Jan Huygen van Linschoten naar Oost ofte Portugaels Indien. Sebuah catatan harian perjalanan ditambah dengan catatan praktis yang sangat langka serta cerita tentang perdagangan orang Portugis di Negeri Rempah dan Jawa, ia publikasikan ketika kembali ke tanah kelahirannya –Belanda.
Itinerario, menjelang akhir abad ke-16 begitu sangat berharga di tengah bangsa Belanda yang menderita akibat perang berkepanjangan dengan Spanyol.
Reysgescrift van de Navigatien der Portugaloysers in Orienten, tulisan dalam buku van Linschoten itu adalah sebuah sketsa peta yang belum tergambar. Dia menyebutkan laut dan tempat tanpa jalur (pengetahuan yang sebenarnya sangat dirahasiakan oleh Portugis dan Spanyol). Tulisan itu harus diterjemahkan lewat garis dan legenda dalam peta.
Peta Rute Ke Timur oleh Peter Plancius (Atas). Orbis Terrarum diterbitkan tahun 1590 (Kiri) dan tahun 1594 (Kanan).
Peter Plancius adalah seorang penerjemah kata paling ulung untuk diubah menjadi peta, tidak ada yang meragukan keajaiban tangan laki-laki itu. Reysgescrift, dia terjemahkan dengan baik. Akhirnya sebuah jalur untuk mengarungi samudera terbuka bagi bangsa Belanda. Plancius lahir dengan nama Pieter Platevoet –Peter Kelasi, merupakan anak dari keluarga kaya Flemish. Ia belajar matematika, astronomi, geografi, sejarah, teologi dan bahasa asing. Dia kemudian mengubah namanya menjadi Peter Plancius.
Sejarah kemudian berpihak pada Belanda, dengan dianugerahi seorang pemberani yang lebih dikenal sebagai pembual dan tukang bikin onar. Dialah Cornelis de Houtman, laki-laki pemberang dan jago pedang yang pernah tinggal di Lisabon. Dia dipercaya oleh Compagnie van Verre untuk memimpin ekspedisi menuju Timur Jauh dengan menggunakan rute yang telah dibuat Plancius. Compagnie van Verre –Perusahaan Jarak Jauh, merupakan sindikat yang membiayai perjalanan Houtman setelah sekian banyak menemui kegagalan untuk mencari jalan ke arah Timur. 
Ilustrasi 4 kapal ekspedisi Cornelis de Houtman
Cornelis de Houtman dan Pieter de Keyzer berangkat pada tanggal 2 April tahun 1595 dari pangkalan Tessel di Belanda Utara dengan 4 buah kapal –Amsterdam, Hollandia, Mauritius dan Duyfken dengan 249 awak, dan ternyata berhasil menapaki jalan yang telah digoreskan oleh Plancius. Ekspedisi de Houtman sudah direcoki banyak masalah sejak awal. Penyakit sariawan merebak hanya beberapa minggu setelah pelayaran dimulai akibat kurangnya makanan. Di Madagaskar, di mana sebuah perhentian sesaat direncanakan, masalah lebih lanjut menyebabkan kematian lagi, dan kapal-kapalnya bertahan di sana selama enam bulan –teluk di Madagaskar tempat mereka berhenti, kini dikenal sebagai “Kuburan Belanda”. Pulau Enggano di barat Bengkulu adalah daratan Nusantara pertama disinggahinya, kemudian tiba di Banten pada 27 (atau 23?) Juni 1596. Awalnya diterima baik oleh masyarakat dan Sultan Banten –Sultan Abdulmafakhir Mahmud Abdulkadir, tapi kemudian tabiat buruknya kembali muncul yang menyebabkan mereka diusir. Ekspedisi de Houtman berlanjut ke utara pantai Jawa. Namun kali ini, kapalnya takluk ke pembajak. Saat tiba di Madura perilaku buruk rombongan ini berujung kesalahpengertian dan kekerasan: seorang pangeran di Madura terbunuh sehingga beberapa awak kapal Belanda ditangkap dan ditahan sehingga de Houtman membayar denda untuk melepaskannya. Kapal-kapal tersebut lalu berlayar ke Bali, dan bertemu dengan raja Bali. Mereka akhirnya berhasil memperoleh beberapa pot merica pada 26 Februari 1597. Akhirnya ia kembali dan melihat disepanjang pelabuhan-pelabuhan Nusantara yang ditelusurinya, berkibar bendera-bendera Portugis. Saat dalam perjalanan pulang ke Belanda, mereka singgah di Kepulauan St. Helena –dekat Angola untuk mengisi persediaan air dan bahan-bahan lainnya. Kedatangan mereka ini dihadang oleh kapal-kapal Portugis yang merupakan pesaing mereka. Tiba di Texel Belanda, bulan Agustus 1597 hanya dengan 3 kapal dan 87 awak –tanpa Pieter Keyser yang telah meninggal dalam perjalanan. Memang bukan sebuah perjalanan yang sukses –bahkan dapat dibilang gagal, namun bagi bangsa Belanda hal ini dianggap sebagai kemenangan. Karena kini, jalan menuju Timur Jauh telah terbuka lebar.






Mugia aya manfaatna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar