Rabu, 02 Mei 2012

Bahan Ajar Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG)

BAHAN  AJAR

RAYON LPTK 136
Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG)

ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Siliwangi Tasikmalaya
2011






PENGEMBANGAN PROFESIONALITAS GURU
Oleh:
Prof. Dr. H. Dedi Heryadi, M. Pd.
Prof. Dr. H. Yus Darusman, M. Si.


I.     TINJAUAN BAHAN AJAR
Guru sebagai tenaga pendidik merupakan ujung tombak dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dalam mewujudkan cita-cita pembangunan nasional yaitu masyarakat adil dan makmur. Untuk dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dengan baik, guru dipersyaratkan memiliki profesionalitas tinggi yang ditandai dengan karakter citra diri positif; etika; etos kerja; komitmen; dan empati yang baik.
Agar memiliki profesionalitas yang diharapkan, guru perlu memahami konsep profesionalitas guru; ciri-ciri guru profesional; upaya yang perlu dilakukan guru dalam meningkatkan profesionalitasnya; dan contoh model kinerja guru profesional. Sekaitan dengan keperluan tersebut, bahan ajar yang diuraikan berikut bertujuan dapat menambah wawasan guru/peserta PLPG tentang konsep guru profesional dan meningkatkan kesadaran guru untuk berupaya meningkatkan keprofesionalannya.
Supaya tujuan yang diharapkan tercapai, guru/peserta PLPG harus membaca hingga memahaminya kemudian mendiskusikannya dengan instruktur dan guru/peserta PLPG lainnya.

II.  URAIAN BAHAN AJAR
A.  Memahami Konsep Profesionalitas Guru
Upaya peningkatan kualitas pendidikan sedang terus dilakukan oleh pemerintah, baik melalui penyempurnaan kurikulum; melengkapi sarana dan prasarana pendidikan; mencari dan mengkaji secara terus menerus sistem manajemen pendidikan yang efektif dan efisien; serta peningkatan kualitas tenaga pendidik (guru) dan tenaga kependidikan lainnya. Kita pasti mengetahui bahwa dari banyaknya upaya yang dilakukan pemerintah saat ini, salah satu upaya yang cukup berat baik dari segi moril maupun material adalah upaya peningkatan kualitas tenaga pendidik (guru). Perlu kita ketahui pula bahwa pemerintah saat ini sangat menyadari; bagaimanapun baiknya kurikulum; lengkapnya sarana dan prasarana pendidikan serta bagusnya manajemen pendidikan yang dianut, tanpa disertai dengan tenaga-tenaga pendidik atau guru yang berkualitas tidak mungkin kualitas pendidikan dapat meningkat.
Berbicara masalah kualitas guru di Indonesia, kita perlu menyikapi hasil-hasil pengamatan orang secara arif; simpatik; dan menjadi bahan introspeksi untuk perbaikan. Di antaranya ada pendapat yang berisi bahwa : (1) hampir separuh dari guru yang ada di Indonesia tidak memiliki kompetensi yang layak mengajar; dengan perincian sebanyak 605.217 orang guru SD; 167.643 orang guru SMP; 75.684 orang guru SMA; dan 63.962 orang guru SMK; (2) tercatat lima belas persen guru yang mengajar tidak sesuai dengan keahlian dan bidang yang dimilikinya (Kompas, 9/12/2005). Pendapat serupa ini tentu sangat mengejutkan bagi komunitas pendidikan. Namun janganlah kita berkecil hati dengan pendapat seperti itu. Mari kita berintrospeksi dan mengevaluasi diri, apa sesungguhnya kekurangan dan kelemahan yang masih kita miliki kemudian segeralah kita atasi dan lengkapi dengan baik kekurangan dan kelemahan itu.
Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa dalam menyandang profesi guru, kita memiliki tanggung jawab moral yang cukup berat. Dalam mengemban tugas profesi guru, kita tidak bisa melakukannya dengan asal-asalan melainkan perlu memiliki komitmen disertai dengan kepandaian khusus dalam menyelenggarakan pendidikan. Kepandaian-kepandaian khusus yang dituntut (sesuai dengan isi ayat 2 pasal 39 Undang-undang RI Nomor 20) yaitu : (1) kepandaian dalam menyususn perencanaan pembelajaran; (2) kepandaian dalam melaksanakan proses pembelajaran; (3) kepandaian dalam menilai hasil pembelajaran; serta (4) komitmen dan kepandaian dalam upaya melaksanakan perbaikan pembelajaran. Kalau membaca ayat 2 pasal 40 Undang-undang RI Nomor 20, kita dapat mengetahui bahwa guru atau tenaga pendidik memiliki kewajiban yang cukup kompleks, yaitu : (1) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna; menyenangkan; kreatif; dinamis; dan dialogis, (2) mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan (3) memberi keteladanan dan menjaga nama baik lembaga; profesi; dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diembankan kepadanya. Oleh karena itu, terkait dengan konsep profesi guru seperti dikemukakan di atas, orang yang pantas menyandang profesi guru adalah orang-orang yang berkualifikasi pendidikan keguruan dan kependidikan S1 dan bersertifikat pendidik.
Profesionalisme guru adalah mutu; kualitas; dan tindak-tanduk yang merupakan ciri guru professional. Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, berisi bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi pendidik, sehat jasmani dan rohani serta berkemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Isi pasal 8 ini kita jadikan dasar untuk menggali ciri profesionalisme guru.
Kualifikasi akademik berkaitan dengan tingkat dan bidang pendidikan yang telah ditempuh. Kualifikasi akademik yang dipersyaratkan untuk menjadi guru profesional adalah lulus jenjang S1 atau D4 bidang kependidikan sesuai dengan mata pelajaran atau guru kelas yang diampu. Untuk guru kelas TK sebaiknya lulusan jenjang S1 PGTK; guru kelas SD sebaiknya lulusan jenjang S1 PGSD, guru bahasa Indonesia di SMP/MTs; SMA/MA; dan SMK/MAK sebaiknya lulusan jenjang S1 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, demikian pula guru mata-mata pelajaran lainnya.
Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan; keterampilan; dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan profesi guru. Dalam pasal 10 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 dinyatakan bahwa kompetensi guru meliputi empat macam, yaitu : kompetensi pedagogik; kompetensi profesional; kompetensi kepribadian; dan kompetensi sosial. Ciri dan kualitas keprofesionalan seorang guru dapat diukur dari empat kompetensi tersebut. Agar memahami maksud dari masing-masing empat kompetensi tersebut, mari kita bahas satu persatu.
Kompetensi pedagogik adalah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik. Dalam pengelolaan pembelajaran, guru harus : (1) memahami kandungan isi kurikulum sebagai dasar dalam mengembangkan program pembelajaran; (2) mampu mengembangkan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran; (3) menguasai pelbagai model pembelajaran yang inovatif sehingga tercipta pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM); (4) mampu mengembangkan dan melaksanakan teknik evaluasai hasil pembelajaran; dan (5) mampu melakukan tindak lanjut dari hasil evaluasi pembelajaran, misalnya melaksanakan pembelajaran remedial. Selain lima kemampuan utama yang dituntut dalam pengelolaan pembelajaran, ada beberapa kemampuan penunjang yang mesti dimiliki pula oleh guru, diantaranya adalah memahami psikologi pendidikan; administrasi pendidikan; dan penelitian pendidikan. Kemampuan penunjang tersebut sangat berguna dan membantu guru dalam dalam upaya lebih meningkatkan kualitas pembelajaran yang sedang dan akan dilakukannya.
Kompetensi profesional adalah kemampuan menguasai materi pelajaran secara luas dan mendalam. Dalam upaya mengarahkan siswa untuk mencapai kompetensi yang telah ditetapkan dalam kurikulum, guru perlu menentukan materi pelajaran yang tepat. Materi pelajaran yang hendak disajikan harus dikuasai dengan sungguh-sungguh keluasan dan kedalamannya oleh guru, sehingga guru dapat mengorganisasikannya dengan baik dari segi kompleksitasnya (dari yang mudah kepada yang sulit, dari yang konkret kepada yang kompleks), maupun dari segi keterkaitannya (dari yang harus lebih awal muncul sebagai dasar bagi bagian berikutnya). Bahan pelajaran yang diorganisasikan dengan tepat selain memudahkan guru dalam menyajikannya, juga dapat memudahkan siswa untuk memilikinya. Guru yang kurang menguasai bahan pelajaran yang diajarkan dapat berakibat fatal, baik terhadap rasa percaya dirinya; kewibawaannya; kepercayaan siswa; dan tentunya terhadap hasil pembelajaran.
Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap; berakhlak mulia; arif; dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi kepribadian terkait dengan moral guru yang tercermin dalam sikap dan perilakunya. Landasan utama moral seorang guru sehingga ia dapat bersikap dan berperilaku yang terpuji, menjadi panutan bagi siswa dan masyarakat pada umumnya adalah keimanan dan ketakwaan sesuai dengan agama yang dianutnya. Dengan landasan keimanan dan ketakwaan yang kuat, seorang guru dapat mengenali dan menguasai dirinya sehingga dia tidak akan bersikap angkuh, sombong, dan tidak berperilaku yang tidak sesuai dengan perannya sebagai sosok pendidik. Selain keimanan dan ketakwaan, guru harus patuh terhadap kode etik profesi guru. Jika memahami dan sadar terhadap tuntutan kode etik profesi guru, ia dapat bersikap arif, objektif, demokratis, dan jujur selalu menyertai tugas keprofesionalan dirinya. Kemudian dalam berperilaku, ia dapat berpenampilan yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan; juga menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi siswanya. Perlu diingat bahwa guru harus dapat memberi keteladanan yang terbaik bagi siswanya. Kita masih ingat dengan peribahasa klasik : “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Peribahasa ini mengandung makna jika guru memberi contoh perilaku yang kurang baik, maka murid akan berperilaku yang lebih kurang baik lagi. Seandainya informasi benar bahwa saat ini banyak guru ketika Ujian Nasional suka membocorkan jawaban kepada siswanya, maka contoh perilaku guru tersebut menggambarkan contoh kebejatan moral guru yang dapat merusak sikap dan perilaku anak didiknya.
Kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, kepala sekolah, orang tua/wali siswa, dan masyarakat sekitar. Kompetensi sosial menuntut guru untuk mampu bergaul secara proporsional dan profesional. Mampu bergaul secara proporsional artinya ia dapat memosisikan dirinya siapa yang sedang dihadapinya. Jika berkomunikasi dengan teman sejawat (misalnya dengan guru lain) tentunya bahasa, sikap, dan perilaku berbeda ketika berkomunikasi dengan atasan (misalnya kepala sekolah) atau dengan siswa. Kita sebagai guru harus bisa menempatkan diri di tengah-tengah orang lain. Janganlah menjadi orang yang mengucilkan diri atau bahkan dikucilkan oleh orang lain. Tentunya kompetensi sosial yang dimiliki guru sangat erat dengan kompetensi kepribadiannya. Manakala guru memiliki kompetensi kepribadian yang baik, dapat dipastikan ia mudah dan mampu berkomunikasi dengan orang lain.
Dari uraian di atas, kita dapat mengenali 10 ciri-ciri guru professional yang meliputi :
1.        Selalu punya energi untuk siswanya
Seorang guru yang baik, menaruh perhatian pada siswanya pada setiap percakapan atau diskusi dengan mereka. Ia juga punya kemampuan menyimak keinginan siswanya.
2.        Memiliki tujuan pelajaran yang jelas
Seorang guru yang baik mesti memiliki tujuan setiap melaksanakan pembelajaran, sehingga aktivitas di kelas diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut.
3.        Memiliki keterampilan mendisiplinkan yang efektif
Seorang guru yang baik memiliki keterampilan disiplin yang efektif, sehingga bisa mempromosikan perubahan perilaku para siswanya di dalam kelas.
4.        Memiliki keterampilan manajemen kelas yang baik
Seorang guru yang baik memiliki keterampilan manajemen kelas yang baik, sehingga dapat menumbuhkan perilaku siswa yang baik, seperti cara belajar yang baik; cara bekerja sama yang efektif; dan tertanamkan rasa hormat yang baik terhadap seluruh komponen kelas.
5.        Dapat berkomunikasi dengan baik
Seorang guru yang baik dapat berkomunikasi secara terbuka dengan orang orang tua siswa, dengan apa yang terjadi di kelas, tentang perubahan kurikulum dan isu-isu lainnya. Mereka selalu terbuka untuk menerima telefon; panggilan rapat; dan membuka e-mail.
6.        Punya harapan yang tinggi pada siswanya
Seorang guru yang baik selalu memiliki harapan agar siswanya dapat bekerja dan mengarahkan potensinya, sehingga menjadi orang-orang yang sukses.
7.        Memahami kurikulum
Seorang guru yang baik memiliki pengetahuan yang mendalam tentang kurikulum yang menjadi program pembelajarannya, sehingga mereka bekerja diarahkan untuk mencapai program itu.
8.        Memahami subjek yang diajarkan
Seorang guru yang baik memahami secara luar biasa materi yang diajarkan. Ia siap menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan siswanya dan dapat mengkolaborasikan dengan bidang studi lainnya.
9.        Selalu memberikan yang terbaik untuk anak didiknya
Seorang guru yang baik bergairah mengajar anak didiknya. Mereka gembira bisa mempengaruhi anak didiknya dalam kehidupan saat itu dan untuk masa depannya.
10.    Memiliki hubungan yang berkualitas dengan anak didiknya
Seorang guru yang baik mengembangkan hubungan yang kuat, saling menghormati, dan membangun kepercayaan.
B.  Upaya Guru dalam Meningkatkan Profesionalitas
Peningkatan kualitas pendidikan pada suatu negara yang ingin bermartabat merupakan suatu keharusan karena sangat disadari bahwa kualitas pendidikan merupakan dasar utama penentu kemajuan suatu negara/bangsa. Yang menjadi kunci utama meningkatnya kualitas pendidikan adalah kualitas keprofesionalan guru. Oleh karena itu, tidak salah jika ada orang yang berpendapat bahwa kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas guru yang ada pada bangsa itu.
Upaya meningkatkan kualitas keprofesionalan guru merupakan tanggung jawab bersama elemen bangsa, baik pemerintah (pusat dan daerah); masyarakat; maupun guru itu sendiri. Upaya pemerintah saat ini sudah cukup tampak memberi perhatian yang cukup baik dalam meningkatkan kualitas guru. Penghargaan dan dukungan masyarakat terhadap profesi guru sudah semakin meningkat. Buktinya saat ini masyarakat menempatkan profesi guru sebagai peringkat kedua setelah profesi dokter dibandingkan dengan profesi-profesi bergengsi lainnya. Dukungan masyarakat secara moril seperti itu secara langsung akan mendongkrak lebih cepatnya peningkatan kualitas guru untuk masa kini dan masa yang akan datang. Namun di samping upaya pemerintah dan dukungan masyarakat yang sangat berharga itu, elemen yang paling utama harus meningkatkan kualitas guru adalah guru itu sendiri.
Ada beberapa hal yang tampaknya perlu menyertai guru dalam upaya meningkatkan keprofesionalannya. Hal-hal yang dimaksud di antaranya adalah perlunya meningkatkan komitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikan; perlunya membudayakan prinsip belajar seumur hidup; dan suka melakukan evaluasi diri.
1.    Meningkatkan Komitmen
Komitmen adalah perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu (Dikbud, 1999:515). Komitmen bukan pengetahuan dan keterampilan melainkan merupakan sikap moral berupa tekad yang utuh untuk melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya sehingga dapat memperoleh hasil yang berkualitas. Komitmen bagi guru merupakan dukungan moral untuk berbuat dengan sebaik-baiknya dalam melaksanakan tugas keprofesian sebagai guru. Sejak kita dipercaya oleh pemerintah mengemban tugas profesi guru maka sejak itulah atau bahkan sebelumnya, komitmen untuk melaksanakan kewajiban keprofesian guru dengan sebaik-baiknya telah muncul dalam hati nurani kita.
Komitmen yang harus dibangun oleh setiap guru dalam menjalankan keprofesiannya di antaranya adalah : (1) untuk menjadikan peserta didik menjadi manusia (warga negara) yang beriman dan takwa kepada Tuhan Yang Mahaesa; cerdas; terampil; dan memiliki sikap mulia; jujur; demokratis; dan bertanggung jawab, (2) untuk selalu meningkatkan kualitas pembelajaran bagi peserta didik, dan (3) untuk selalu meningkatkan kompetensi keprofesionalan dan menjunjung tinggi kode etik profesi guru. Ketiga komitmen tersebut harus selalu menjadi landasan kehidupan dalam menjalani tugas sebagai guru. Apabila setiap guru sudah memiliki komitmen yang kuat dan merealisasikannya dengan konsisten dalam pelaksanaan tugas sehari-harinya, insya Alloh kualitas pendidikan di Indonesia dapat cepat meningkat.
Landasan yang kuat untuk munculnya komitmen adalah adanya kecintaan/kesenangan terhadap profesi yang dimilikinya. Untuk memiliki komitmen yang baik terhadap profesi guru, perlu dilandasi oleh kecintaan atau kesenangan terhadap profesi tersebut. Jika seseorang menjadi guru karena terpaksa daripada menganggur, maka dipastikan ia tidak akan memiliki komitmen yang baik. Ia melaksanakan tugas hanya asal-asalan. Rasa tanggung jawab memegang amanah untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, tidak akan muncul dalam hati nuraninya. Oleh karena itu, kita harus jujur menjawab pertanyaan ini : “Menyenangi atau tidak, tentang profesi yang diemban saat ini ?” jika jawabannya : “tidak”, maka kita lebih baik mundur dari profesi guru. Janganlah memaksakan diri karena dapat berdampak merugikan orang banyak. Jika jawabannya : “menyenangi profesi guru”, maka buatlah komitmen dengan sejujurnya seperti contoh komitmen di atas. Kita jadikan komitmen itu sebagai acuan yang mengiringi kita dalam melaksanakan tugas harian. Kemudian, kita harus merasa berdosa manakala dalam melaksanakan tugas profesi guru, mengingkari komitmen atau janji tersebut. Memang orang lain tidak mengetahui komitmen kita, tapi hati nurani kita yang tahu dan kita harus mempertanggung jawabkannya dihadapan Yang Maha Kuasa.
Melaksanakan tugas profesi guru jangan dijadikan tugas sampingan, karena profesi guru menuntut keuletan dan konsentrasi yang terfokus. Manajemen dalam melaksanakan tugas keguruan meliputi : perencanaan; pelaksanaan; evaluasi; dan tindak lanjut. Melaksanakan tugas profesi guru seperti itu mesti dilakukan rutinitas dan kesungguhan. Manakala seorang guru memiliki pekerjaan lain, tentu pekerjaan rutinitas profesi guru akan terbengkalai. Jika demikian, apa dan bagaimana komitmen kita sebagai guru ? saat ini masih ada guru yang memiliki pekerjaan pokok lainnya di samping profesi guru. Mereka selalu beralasan bahwa penghasilan dari profesi guru tidak mencukupi kebutuhan hidup. Alasan seperti itu sesungguhnya relatif. Jika seorang guru memiliki kompetensi kepribadian yang baik, maka ia dapat mengelola kehidupannya secara teratur. Perlu disadari bahwa besarnya penghasilan tidak menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup. Sebesar bagaimanapun penghasilan, jika keinginan yang menjadi kebutuhannya lebih banyak, penghasilan itu tidak ada apa-apanya. Oleh karena itu, sebaiknya keinginan atau harapan yang dibuat sebagai kebutuhan hidup itu disesuaikan dengan jumlah besarnya penghasilan yang kita dapat. Insya Alloh, kita dapat berkecukupan.
2.    Budayakan Prinsip Belajar Seumur Hidup
Guru jangan merasa puas dan merasa cukup dengan kemampuan yang sudah dimiliki. Ada peribahasa bahwa guru harus haus dengan ilmu. Yang berprofesi guru dipersyaratkan harus mengikuti perkembangan jaman sehingga mengetahui apa yang saat ini sedang menjadi isu dalam bidang ilmu dan khususnya dalam bidang ilmu pendidikan. Oleh karena itu, guru harus belajar. Semboyan : “Live long education”; “Carilah ilmu, mulai lahir hingga ke liang lahat” harus diimplementasikan dalam kehidupan guru.
Kita sangat menyadari bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan ilmu pendidikan dari waktu ke waktu terus terjadi. Misalnya dalam kaitan dengan kedalaman dan keluasan materi ajar, terus digali dan dikembangkan. Demikian pula kurikulum; rancangan pembelajaran; strategi dan model-model pembelajaran yang inovatif, terus diperbaharui dan disempurnakan. Kenyataan tersebut tentu sangat berkaitan dengan peran dan tugas para guru. Jika guru tidak mengikuti perkembangan dalam bidang keilmuan; khususnya bidang ilmu kependidikan, pasti ia akan tertinggal bahkan tergilas oleh tuntutan jaman. Oleh karena itu, saya ajak guru untuk belajar terus dalam menambah wawasan sehingga dapat mewujudkan komitmen yang sudah dibangun.
Model menambah wawasan yang dapat dilakukan oleh guru, banyak macamnya; di antaranya adalah : (1) melalui studi lanjutan pada jenjang yang lebih tinggi; (2) mengikuti diklat-diklat bidang pendidikan atau pembelajaran; (3) mengikuti kegiatan ilmiah, seperti : seminar; lokakarya; dan lain-lain yang terkait dengan bidang pendidikan/pembelajaran; (4) rajin menyimak berita dan membaca buku-buku, majalah, dan lain-lain yang berkaitan dengan bidang pendidikan dan pembelajaran.
3.    Biasakan Melakukan Evaluasi Diri (Self Evaluation)
Orang yang baik adalah orang yang mengetahui keadaan dirinya. Kekurangan dan kelemahan serta keunggulan yang ada pada dirinya akan terasa lebih enak jika diukur sendiri daripada diukur dan dinilai oleh orang lain. Keuntungan mengetahui keadaan diri sendiri yaitu kita dapat membuat keputusan dengan tepat jika menghadapi suatu pilihan, dan kita bisa menyadari dan suka berusaha memperbaiki kelemahan yang ada pada diri kita.
Banyak hal pada diri kita yang terkait dengan profesi guru yang perlu dievaluasi, di antaranya yaitu :
(1)     Mutu pelaksanaan komitmen yang telah kita bangun;
(2)     Kompetensi profesional yang kita miliki;
(3)     Kompetensi pedagogik yang kita miliki;
(4)     Kompetensi kepribadian yang kita miliki;
(5)     Kompetensi sosial yang kita miliki.
Melalui evaluasi diri, diharuskan kita secara jujur mengakui keunggulan dan kelemahan diri kita. Keunggulan yang kita miliki perlu terus dipertahankan dan dapat dijadikan modal untuk pengembangan kualitas karier kita. Kelemahan yang kita miliki perlu segera diatasi melalui tahapan mengenali yang menjadi akar permasalahan kekurangan itu terjadi, kemudian segera atasi dengan mengambil solusi sesuai dengan kapasitas diri yang kita miliki. Dengan cara seringnya melakukan evaluasi diri atau introspeksi seperti ini, insya Alloh profesionalitas kita dalam mengemban tugas profesi guru, akan terus berkembang secara positif. Kita jangan punya perasaan dan tekad bahwa setelah lulus sertifikasi dan memiliki sertifikat pendidik keprofesionalan, kita sudah sampai puncaknya atau berakhir. Namun dengan mendapatkannya sertifikat pendidik dari uji sertifikasi ini, harus menjadi pendorong meningkatnya tanggungjawab untuk mewujudkan komitmen kita sebagai guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran; kualitas pendidikan; dan kualitas bangsa Indonesia.
C.  Model Kinerja Mengajar Guru Profesional
Seorang guru yang memiliki profesionalisme yang baik, dapat mengimplementasikan kompetensinya saat melaksanakan pembelajaran kepada peserta didiknya. Ia menunjukkan kinerja mengajar yang dapat memenuhi kebutuhan peserta didiknya, serta dapat mewujudkan harapan pemerintah yang dituangkan melalui program kurikulum pada setiap satuan pendidikan. Model aktivitas pembelajaran yang diselenggarakan oleh guru profesional, harus bersifat dinamis dan dialogis sehingga bermakna dan menyenangkan bagi peserta didiknya. Sesuai dengan ketentuan pemerintah saat ini bahwa setiap guru harus dapat menyelenggarakan pembelajaran yang memenuhi standar PAKEM (Pembelajaran Aktif; Kreatif; Efektif; dan Menyenangkan).
Terwujudnya suatu pembelajaran yang memenuhi harapan peserta didik, ditunjang oleh keprofesionalan guru dalam melakukan sistem pengelolaan pembelajaran. Kalau kita kembali mengingat tentang kompetensi pedagogik yang merupakan salah satu unsur dari profesionalisme guru, kita mengetahui bahwa guru profesional adalah guru yang mampu mengelola pembelajaran. Di dalam sistem proses pengelolaan pembelajaran yang mesti dilakukan oleh guru profesional, adalah
1.    Membuat perencanaan pembelajaran yang dapat dijadikan pedoman atau acuan dalam pelaksanaan pembelajaran;
Perencanaan pembelajaran merupakan komponen yang mesti dibuat oleh guru. Kita harus menyadari bahwa pelaksanaan pembelajaran yang tidak berdasar pada perencanaan yang baik, berpeluang besar untuk terjadinya pembelajaran yang tidak karuan karena tujuan yang hendak dicapai tidak jelas; materi pelajaran tidak terorganisasi dengan baik; metode dan teknik pembelajaran asal jalan; dan hasilnya sulit diketahui. Oleh karena itu, sebagai guru profesional, rajin-rajinlah membuat perencanaan pembelajaran. Model perencanaan pembelajaran yang saat ini harus dikembangkan oleh guru profesional adalah RPP.
2.    Menguasai materi pelajaran yang diajarkan;
Penguasaan materi pelajaran merupakan syarat penting terjadinya proses pembelajaran yang diharapkan oleh siswa. Guru yang menguasai kedalaman dan keluasan materi yang diajarkan, dapat menimbulkan kepuasan kepada peserta didik. Mereka sangat mempercayai apa yang diucapkan dan dilakukan oleh gurunya. Kewibawaan bagi anak didiknya dan rasa percaya diri, mesti dapat terjadi manakala guru menguasai materi pelajaran yang akan diajarkannya.
3.    Menggunakan metode dan teknik pembelajaran yang memudahkan peserta didik belajar dan guru mengajar;
Metode merupakan prosedur mengajar, sedangkan teknik merupakan cara yang dilakukan guru dalam membelajarkan anak didiknya. Metode dan teknik pembelajaran yang digunakan, harus dipertimbangkan kesesuaiannya dengan kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik; karakter peserta didik; dan sarana pembelajaran yang tersedia. Saat ini banyak metode dan teknik pembelajaran inovatif yang mesti dipilih dan dipertimbangkan keefektipannya oleh guru.
4.    Memanfaatkan multimedia;
Dewasa ini perkembangan hasil teknologi semakin maju, keadaan demikian sangat mempengaruhi pola kehidupan umat manusia, termasuk dalam dunia pendidikan. Pembelajaran berbasis ICT (Information and Communication Technology) sudah cukup populer saat ini. Model pembelajaran tersebut ternyata selain menarik bagi peserta didik, juga diketahui dapat menumbuhkan kemandirian mereka dalam belajar. Dengan media ICT, guru sangat terbantu dalam mengefisienkan tenaga dan memanfaatkan waktu. Oleh karena itu, para guru profesional sudah saatnya mengenal dan memanfaatkan multimedia dalam setiap menyelenggarakan pembelajaran.
5.    Melaksanakan evaluasi untuk mengukur keberhasilan pembelajaran.
Menyelenggarakan evaluasi, penting dilakukan setiap akhir pembelajaran dengan fungsi untuk mengetahui keberhasilan siswa mencapai kompetensi yang telah direncanakan. Selain itu, evaluasi dapat pula berfungsi untuk mengetahui kesulitan yang dihadapi oleh peserta didik. Dengan mengetahui adanya siswa yang menghadapi kesulitan belajar, maka guru dapat melakukan upaya tindak lanjut dengan menyelenggarakan program “remedial teaching”. Ada beberapa prinsip yang harus dijadikan landasan dalam melakukan evaluasi, di antaranya adalah : prinsip objektivitas; komprehensif; dan kontinuitas; serta menggunakan instrumen yang valid dan reliabel.
Itulah diantaranya komponen-komponen sistem pembelajaran yang mesti dilakukan oleh para guru profesional. Sudah barang tentu, untuk dapat terus mewujudkan pembelajaran yang lebih baik, sangat menuntut kerja keras para guru yang disertai dengan komitmen yang tinggi; terus belajar; dan sadar akan kekurangan dan kelemahan yang mesti diatasi.

Daftar Pustaka

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1999), Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

Ikatan Mahasiswa Pecinta Alam, Seni, dan Budaya (2009), Guru Yang Profesional. Tersedia pada http://www.ipased.wordpress.com

Santosa, I Wayan (2009), Dimensi-Dimensi Teoritis Peningkatan Profesionalisme Guru. Tersedia pada http://www/blogspot.wayan.com


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : BP Restindo Mediatama.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Tersedia pada http://www.depdiknas.go.id/inlink-php?to=guru-dosen












PERENCANAAN, MEDIA, DAN EVALUASI PEMBELAJARAN IPS
Oleh :
Dr. Siti Fadjarajani, MT
Nedi Sunaedi, M.Si

A.  PERENCANAAN PEMBELAJARAN IPS

1.    Peran Guru dalam Perencanaan Pembelajaran
Dalam perencanaan pembelajaran, perlu dibuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). RPP merupakan komponen penting dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang harus dilakukan secara professional (Mulyasa, 2007:212). Dalam perencanaan pembelajaran, perlu memperhatikan tiga hal penting. Pertama, persiapan meruapakan suatu proses yang diarahkan pada tindakan mendatang; Kedua, persiapan diarahkan pada tindakan di masa mendatang; Ketiga, rencana pelaksanaan pembelajaran sebagai bentuk kegiatan perencanaan serat hubungannya dengan bagaimana sesuatu dapat dikerjakan secara optimal. Guru profesional harus mampu mengembangkan RPP yang baik, logis, dan sistematis, karena disamping untuk melaksanakan pembelajaran, RPP mengemban “professional accountability” sehingga guru dapat mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya. Dengan RPP yang optimal, guru dapat mengkoordinasikan kompetensi dasar yang akan dicapai dalam pembelajaran secara terarah. RPP berisi garis besar (outline) apa yang akan dikerjakan oleh guru dan peserta didik selama proses pembelajaran.

2.    Prinsip Pengembangan RPP
Harus memperhatikan karakteristik peserta didik terhadap materi standar yang dijadikan bahan kajian, agar guru jangan hanya berperan sebagai transformator, tetapi berperan sebagai motivator. Untuk kepentingan tersebut, pengembangan RPP memiliki berbagai prinsip :
a.    Kompetensi yang dirumuskan dalam RPP harus jelas;
b.    RPP harus sederhana dan fleksibel;
c.    Kegiatan yang disusun dan dikembangkan dalam RPP harus menunjang kompetensi dasar yang akan diwujudkan;
d.   RPP yang dikembangkan harus utuh dan menyeluruh serta jelas pencapaiannya;
e.    Harus ada koordinasi antar komponen pelaksanaan program di sekolah.
3.    Cara Mengembangkan RPP
Cara pengembangan RPP dalam garis besarnya dapat mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :
a.    Mengisi kolom identitas;
b.    Menentukan alokasi waktu yang dibutuhkan untuk pertemuan yang telah ditetapkan;
c.    Menentukan standar kompetensi dan kompetensi dasar serta indikator yang akan digunakan yang terdapat pada silabus yang telah disusun;
d.   Merumuskan tujuan pembelajaran berdasarkan SK dan KD, serta Indikator yang telah ditentukan;
e.    Mengidentifikasi materi standar berdasarkan materi pokok/materi pembelajaran yang terdapat dalam silabus. Materi standar merupakan uraian dari materi pokok/materi pembelajaran;
f.     Menentukan metode pembelajaran yang akan digunakan;
g.    Merumuskan langkah-langkah pembelajaran yang terdiri dari : kegiatan awal, inti, dan akhir;
h.    Menentukan sumber belajar yang digunakan;
i.      Menyusun kriteria penilaian, lembar pengamatan, contoh soal, dan teknik penskoran.

4.    Format RPP Berbasis KTSP
Format RPP KTSP sekurang-kurangnya memuat : tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar.

Contoh Format RPP
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Mata Pelajaran            : …………………………….
Satuan Pendidikan      : …………………………….
Kelas / Semester          : …………………………….
Pertemuan Ke             : …………………………….
Alokasi Waktu            : ……….. Jam Pelajaran
(isi sesuai dengan silabus)
A.  Standar Kompetensi
1.      ……………………………………..
2.      ……………………………………..
B.  Kompetensi Dasar
1.      …………………………………….
2.      …………………………………….
C.  Indikator
1.      …………………………………….
2.      …………………………………….
(SK – KD – Indikator ditulis lengkap sesuai dengan silabus)
D.  Tujuan Pembelajaran
1.      …………………………………….
2.      …………………………………….
(rumuskan dengan lengkap mengacu pada indikator)
E.   Materi Standar
1.      …………………………………….
2.      …………………………………….
(tulis garis besar atau pokok-pokoknya saja yang langsung berkaitan dengan indikator dan tujuan pembelajaran)
F.   Metoda Pembelajaran
1.      …………………………………….
2.      …………………………………….
(tulis cara yang akan ditempuh untuk mencapai tujuan pembelajaran, misalnya : ceramah; diskusi; karyawisata; dan cara lainnya)
G.  Kegiatan Pembelajaran
1.      Kegiatan Awal (pembukaan) :
a.       Apersepsi ………………………………
b.      Motivasi   ………………………………
2.      Kegiatan Inti (pembentukan kompetensi) :
a.       Eksplorasi  : …………………………
b.      Elaborasi    : …………………………
c.       Konfirmasi : …………………………
3.      Kegiatan Akhir (penutup) :
a.       ……………………………………….
b.      ……………………………………….
(tulis kegiatan apa yang harus dilakukan dari awal sampai akhir untuk mencapai tujuan dan pembentukan kompetensi)
H.  Sumber Belajar
1.      ………………………………………
2.      ………………………………………
(tulis sumber belajar yang akan digunakan, termasuk : alat peraga; media; dan bahan pembelajaran/buku sumber)
I.     Penilaian
1.      Tes Tulis                      : ……………….
2.      Kinerja (Performansi) : ……………..
3.      Produk                                    : ………………..
4.      Penugasan / Proyek     : ……………...
5.      Portofolio                    : ………………
(tulis penilaian apa yang akan dilakukan untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan pembelajaran dan kompetensi dasar, pilih jenis penilaian yang paling tepat)

5.    Langkah-langkah Penyusunan RPP
a.       Mencantumkan Identitas
b.      Mencantumkan SK – KD
c.       Merumuskan Indikator Pencapaian Kompetensi
d.      Mencantumkan Tujuan Pembelajaran
e.       Mencantumkan Materi Pembelajaran
f.       Mencantumkan Metode Pembelajaran
g.      Mencantumkan Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran
h.      Mencantumkan Sumber Belajar
i.        Mencantumkan Penilaian

Catatan :
Ƙ  RPP disusun untuk satu KD;
Ƙ  SK – KD – Indikator dikutip dari silabus yang disusun oleh satuan pendidikan;
Ƙ  Alokasi waktu diperhitungkan untuk pencapaian satu KD yang bersangkutan, yang dinyatakan dalam Jam Pelajaran dan banyaknya pertemuan. Oleh karena itu, waktu untuk mencapai suatu KD dapat diperhitungkan dalam satu atau beberapa kali pertemuan, tergantung pada karakteristik KD nya.


B.  MEDIA PEMBELAJARAN IPS

1.    Pendahuluan
Secara harfiah berasal dari kata Media (bhs. Latin) yang berarti perantara atau pengantar. AECT mengartikan media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan/informasi. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa : Media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, minat, dan perhatian siswa sehingga PBM dapat berlangsung.
Tujuan utama pembelajaran adalah adanya perubahan tingkah laku pada peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran. Perubahan tingkah laku ini dapat berupa : penambahan pengetahuan (aspek kognitif); sikap (aspek afektif); dan perilaku (aspek psikomotorik). Tentunya perubahan tingkah laku ini yang bersifat positif dan menuju ke arah perbaikan. Siswa menjadi lebih pintar, berbudi luhur, dan bertingkah laku yang baik.
Banyak cara penyampaian materi pelajaran ini agar dapat diserap dan diingat dengan baik oleh siswa, salah satunya yang sangat efektif adalah pemakaian alat bantu (media) pembelajaran. Pertanyaannya : mengapa harus menggunakan media pembelajaran ? menurut penelitian, daya serap panca indera manusia tidaklah sama. Masing-masing panca indera manusia memiliki karakteristik tersendiri dalam daya serap pembelajaran. Proses belajar seseorang, dengan menggunakan indera penglihatan mencapai 82%; pendengaran 11%; peraba 3,5%; perasa 2,5%; dan penciuman 1% (Piran Wiroatmojo dan Sasonohardjo, 2002). Dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila penyampaian materi pelajaran lebih banyak memanfaatkan indera penglihatan, akan memperoleh hasil yang paling tinggi. Apabila digabungkan antara pemanfaatan indera penglihatan dan pendengaran secara bersama-sama, maka hasilnya akan lebih maksimal lagi.
Media dirancang agar pemakai bisa mengontrol dan merekayasa tampilannya setiap saat atau kapan saja sesuai dengan kebutuhan. Media-media itu adalah gambar atau video; suara atau audio; grafis; animasi dan teks/tulisan. Media-media tersebut merupakan alternatif dalam menyampaikan materi pelajaran yang dibarengi dengan uraian lisan, yang akhirnya akan dicatat secara cermat untuk mencernakan fakta dan imajinasi agar mudah diingat. Pengetahuan dan kemampuan menggunakan media pembelajaran, sangat menunjang kelancaran penyampaian ilmu pengetahuan; teknologi; dan seni (IPTEKS). Oleh karenanya, perlu dikuasai oleh seorang pendidik atau guru.

2.    Proses Belajar Mengajar sebagai Proses Komunikasi
Seorang guru memberikan kesempatan kepada seorang siswa untuk menyampaikan instruksi kepada siswa yang lain untuk membuat gambar sederhana yang dipegangnya. Siswa tersebut mendeskripsikan gambar yang dipegang guru dengan menggunakan kata-kata oral (yang diucapkan) tanpa memperlihatkan gambar tersebut pada siswa lainnya.
Penyampaian instruksi tersebut memakan waktu yang lama dan meskipun berulang-ulang instruksinya, tetap menimbulkan banyak pertanyaan dan kadang-kadang dapat menimbulkan emosi. Setelah diperiksa dari keseluruhan hasil kerja siswa tersebut, tidak ada satupun yang membuat dengan benar; yang mirip pun hanya separuh, sedangkan sisanya salah sama sekali. Jika si pemberi instruksi (guru) itu hanya mempertanyakan siapa yang bodoh, masih lebih baik dari pada telah memutuskan bahwa siswalah sebagai orang-orang bodoh.
Proses belajar mengajar pada hakekatnya adalah proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari sumber pesan melalui saluran (media) tertentu ke penerima pesan. Pesan; sumber pesan; saluran (media); ke penerima pesan adalah komponen-komponen proses komunikasi. Pesan yang dikomunikasikan adalah isi ajaran atau didikan yang ada dalam kurikulum, sumber pesannya bisa guru; peserta didik; orang lain; ataupun penulis buku dan produser media. Salurannya, media pembelajaran. Penerima pesannya adalah siswa dan/atau guru.
Pesan berupa isi ajaran atau didikan yang ada dalam kurikulum dituangkan oleh guru ke dalam simbol-simbol komunikasi, baik verbal (kata-kata; lisan atau tulisan) maupun simbol non-verbal atau visual. Proses penuangan pesan ke dalam symbol-simbol komunikasi itu disebut encoding. Selanjutnya penerima pesan (peserta didik atau guru) menafsirkan simbol-simbol komunikasi tersebut sehingga diperoleh pesan. Proses penafsiran simbol-simbol komunikasi yang mengandung pesan-pesan tersebut disebut decoding.

3.    Manfaat Media Pembelajaran
Banyak manfaat yang dapat dipetik dari penggunaan media dalam pembelajaran. Menurut Piran Wiroatmodjo dan Sasonohardjo (2002), beberapa keguanaan media adalah sebagai berikut :
a.    Penggunaan media pembelajaran dapat memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu verbalistik.
b.    Dengan menggunakan media pembelajaran secara tepat dan bervariasi, dapat diatasi sikap pasif siswa. Dalam hal ini, media pembelajaran berguna untuk : (1) menimbulkan motivasi dan gairah belajar; (2) memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara siswa dengan lingkungan dan kenyataan; dan (3) memungkinkan peserta didik belajar sendiri menurut kemampuan dan minatnya. Mengatasi keterbatasan ruang; waktu; dan daya indera, misalnya : objek terlalu besar; objek yang terlalu kecil; gerak yang terlalu lambat atau terlalu cepat; kejadian atau peristiwa yang terjadi di masa lalu dapat ditampilkan lagi lewat rekaman film/video/film slide/foto ataupun secara verbal. Objek yang terlalu kompleks (misalnya, mesin-mesin) dapat disajikan dengan model diagram. Konsep yang terlalu luas (gunung api; gempa bumi; iklim) dapat divisualkan dengan bentuk film/video/film slide/gambar.
c.    Dengan sifat yang unik pada setiap siswa ditambahlagi dengan lingkungan dan pengalaman yang berbeda, sedangkan kurikulum dan materi ditentukan sama untuk setiap siswa, maka guru akan banyak mengalami kesulitan bilamana semuanya diatasi sendiri. Masalah ini dapat diatasi dengan media pembelajaran, yakni dengan kemampuan dalam memberikan perangsang yang sama; mempersamakan pengalaman; dan menimbulkan persepsi yang sama.

4.    Jenis-jenis Media Pembelajaran
Dalam pengertian teknologi pendidikan, media atau bahan sebagai sumber belajar merupakan komponen-komponen dari system instruksional di samping pesan; orang; teknik latar dan peralatan. Pengertian media ini sering dikacaukan dengan peralatan. Media atau bahan adalah perangkat lunak (software) berisi pesan atau informasi pembelajaran yang biasanya tersajikan dengan menggunakan alat, sedangkan peralatan atau perangkat keras (hardware) sendiri merupakan sarana untuk dapat menampilkan pesan yang terkandung dalam media tersebut (AECT, 1977). Dengan masuknya berbagai pengaruh ke dalam khasanah pendidikan, seperti ilmu cetak-mencetak; tingkah laku (behaviourism); komunikasi; dan laju perkembangan teknologi elektronika; media dalam perkembangannya tampil dalam berbagai jenis format (modul cetak; film; televisi; video; program radio;dan komputer) masing-masing mempunyai ciri dan kemampuannya sendiri. Untuk tujuan praktis, berikut ini akan dibahas karakteristik beberapa jenis media yang biasa digunakan dalam kegiatan belajar mengajar.
Klasifikasi media dan jenisnya : Media Grafis : (1) gambar/foto; (2) sketsa; (3) diagram; (4) grafik; (5) bagan; (6) kartun; (7) poster; (8) peta dan globe; (9) papan flannel; (10) papan bulletin. Media Audio : (1) radio; (2) tape/ audio CD. Media Proyeksi Diam : (1) film bingkai (slide film); (2) media transparansi (OHT). Media Proyeksi Gerak (Audio Visual) : (1) film; (2) program siaran TV; (3) video (cassette/laser disc/CD). Multimedia : file program komputer multimedia. Benda atau Model : (1) benda nyata/asli; (2) benda tiruan/model (Piran Wiroatmojo dan Sasonohardjo, 2002, h.20-21).

5.    Karakteristik Media Pembelajaran
a.    Media Grafis
Media grafis termasuk media visual sebagaimana halnya media lainnya, berfungsi untuk menyalurkan pesan dari sumber ke penerima pesan. Saluran yang dipakai, menyangkut indera penglihatan. Pesan yang akan disampaikan dituangkan ke dalam simbol-simbol komunikasi visual. Simbol-simbol tersebut perlu dipahami benar artinya agar proses penyampaian pesan dan berhasil dan efisien. Selain fungsi umum tersebut, secara khusus grafis berfungsi pula untuk menarik perhatian; memperjelas sajian ide; menggambarkan atau menghiasi fakta yang mungkin akan cepat dilupakan atau diabaikan bila tidak digrafiskan. Selain sederhana dan mudah pembuatannya, media grafis termasuk media yang relatif murah ditinjau dari segi biayanya.
b.   Media Audio
Berbeda dengan grafis, media audio berkaitan dengan indera pendengaran. Pesan yang akan disampaikan dituangkan ke dalam lambing-lambang auditif, baik verbal (ke dalam kata-kata/bahasa lisan) maupun nonverbal. Ada beberapa jenis media yang dapat kita kelompokkan ke dalam media audio, antara lain : radio; alat perekam pita magnetik; kaset audio; piringan hitam; compact disc audio; dan laboratorium bahasa.
c.    Media Proyeksi Diam
Media proyeksi diam mempunyai persamaan dengan media grafis dalam arti menyajikan rangsangan-rangsangan visual. Kecuali itu, bahan-bahan grafis banyak dipakai dalam media proyeksi diam. Perbedaan yang jelas diantara mereka adalah : bila media grafis dapat secara langsung berinteraksi dengan pesan media yang bersangkutan, pada media proyeksi pesan tersebut harus diproyeksikan dengan peralatan proyektor terlebih dahulu agar dapat dilihat oleh peserta didik. Adakalanya jenis media ini disertai rekaman audio, tetapi kebanyakan hanya visual saja.
1)   Film Bingkai
Beberapa keuntungan menggunakan film bingkai sebagai media pembelajaran, yaitu :
2)   Film Rangkai
Seperti halnya film bingkai, kecepatan penyajian film rangkai bisa diatur; dapat ditambah narasi dengan kontrol oleh pengajar. Semua kelebihan non projected still picture, dimiliki oleh film rangkai. Film rangkai dapat mempersatukan berbagai media pembelajaran yang berbeda dan dalam satu rangkai (foto; bagan; dukumen; gambar; tabel; simbol; dan kartun), cocok untuk mengajarkan keterampilan, urutan gambar sudah pasti karena film rangkai adalah satu kesatuan. Penyimpanannya mudah, cukup digulung dan dimasukkan ke tempat khusus. Reproduksinya dalam jumlah besar, relatif mudah pergambarnya dibandingkan dengan film bingkai, dan dapat untuk belajar kelompok maupun individual.
3)   Media Transparansi
Media transparansi atau overhead transparency (OHT) dan nama perangkat kerasnya yaitu overhead projector (OHP). Berbagai obyek atau pesan yang dituliskan atau digambarkan pada transparansi dapat diproyeksikan lewat OHP, misalnya : diagram; peta; grafik; dan karikatur. Sebagai media pembelajaran, media transparansi mempunyai beberapa kelebihan dan keterbatasan.
4)   Proyektor Tak Tembus Pandang (opaque projector)
Kelebihan proyektor tak tembus pandang sebagai media pembelajaran ialah bahwa bahan cetak pada buku; majalah; fotografis; bagan; diagram; atau peta dapat diproyeksikan secara langsung tanpa dipindahkan ke permukaan transparansi terlebih dahulu. Kelebihan lainnya yaitu : dapat digunakan untuk hampir semua bidang studi yang ada dikurikulum; dapat memperbesar benda kecil menjadi sebesar papan sehingga bahan yang semula hanya untuk individu jadi untuk seluruh kelas. Namun selain itu, memiliki kelemahan yaitu bahwa proyektor tak tembus pandang tidak seperti OHP harus digunakan di ruangan yang digelapkan.
5)   Mikrofis
Adalah lembaran film transparan yang terdiri dari lambing-lambang visual (grafis maupun verbal) yang diperkecil sedemikian rupa sehingga tak dapat dibaca dengan mata telanjang. Ukurannya ada beberapa macam, bisa 3 x 5 inchi; 6 x 8 inchi; atau 4 x 6 inchi. Microcard, misalnya sebagai salah satu variasi mikrofis dapat meringkas 50 halaman buku biasa ke dalam satu lembar kartu ukuran 3 inchi x 5 inchi. Dengan microcard yang khusus, kartu tersebut dapat dibaca dengan jelas.
d.   Media Audio Gerak (Audio Visual)
Media ini mampu menayangkan gambar-gambar diam, bergerak, dan bersuara, baik melalui proyektor maupun melalui pesawat televisi. Berikut ini jenis media audio gerak :
1)   Film Gerak
Sebagai suatu media, keunggulan-keunggulan film gerak antara lain : merupakan suatu denominator belajar yang umum; film gerak sangat bagus untuk menerangkan suatu proses; gerakan-gerakan lambat dan pengulangan-pengulangan akan memperjelas uraian dan ilustrasi; film gerak dapat menampilkan kembali masa lalu dan menyajikan kembali kejadian-kejadian sejarah yang lampau; film gerak dapat mengembara dengan lincahnya dari satu negara ke negara yang lain; horizon menjadi amat lebar; dunia luar dapat dibawa masuk kelas; film gerak dapat menyajikan, baik teori maupun praktik dari yang bersifat umum ke khusus atau sebaliknya; film gerak dapat mendatangkan seorang ahli dan memperdengarkan suaranya di kelas; film gerak dapat menggunakan teknik-teknik seperti : warna, gerak lambat, dan animasi untuk menampilkan butir-butir tertentu; film gerak dapat memikat perhatian setiap orang; lebih realistis; dapat diulang-ulang; dan dihentikan sesuai kebutuhan; hal-hal yang abstrak menjadi jelas; dapat mengatasi keterbatasan daya indera kita (penglihatan); dan film gerak dapat merangsang atau memotivasi kegiatan para peserta.
2)   Film Gelang
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan media film gelang, diantaranya : ruangan tak perlu digelapkan; dapat berputar berulang-ulang sehingga pengertian yang kabur menjadi jelas; baik sekali untuk menunjukkan suatu periode yang pendek yang berisi gerakan-gerakan tertentu dari obyek yang dipelajari. Obyek yang dipelajari hanya akan dimengerti bila dipertunjukkan gerakan, misalnya : perpecahan; dan perkembangbiakkan protozoa. Film gelang mudah sekali diintegrasikan ke pelajaran dan dipakai bersama media lain. Karena sederhana, peserta didikpun bisa memakainya sendiri dan film dapat dihentikan setiap saat untuk diselingi penjelasan atau diskusi.
3)   Program Siaran Televisi (TV)
Sebagai media pembelajaran, televisi mempunyai kelebihan-kelebihan diantaranya : TV dapat menerima, menggunakan, mengubah, atau membatasi semua bentuk media yang lain, menyesuaikannya dengan tujuan-tujuan yang akan dicapai; TV merupakan media yang menarik, modern, dan selalu siap diterima oleh semua usia karena sudah merupakan kebutuhan kehidupan; TV menyajikan informasi visual dan lisan secara simultan; TV merupakan realitas dari film tapi juga mempunyai kelebihan yang lain yaitu immediacy (obyek yang baru saja ditangkap kamera, karena dapat segera dipertontonkan); sifatnya langsung atau nyata.
4)   Video
Sebagai media pembelajaran, video mempunyai kelebihan-kelebihan diantaranya : dapat menarik perhatian untuk periode-periode yang singkat dari rangsangan luar lainnya; dengan alat perekam pita video, sejumlah besar penonton dapat memperoleh informasi dari ahli-ahli atau spesialis; demonstrasi yang sulit dapat dipersiapkan dan direkam sebelumnya sehingga pada waktu mengajar, pengajar dapat memusatkan perhatian pada penyajiannya; menghemat waktu dan rekaman dapat diputar berulang-ulang; kamera TV dapat mengamati lebih dekat obyek yang lagi bergerak atau obyek yang berbahaya seperti harimau; keras-lemah suara yang ada, dapat diatur dan disesuaikan, bila akan disisipi komentar, gambar proyeksi biasa di-“beku’-kan untuk diamati dengan seksama. Pengajar dapat mengatur di mana ia akan menghentikan gerakan gambar tersebut dan ruangan tak perlu digelapkan pada waktu penyajiannya.
e.    Komputer Multimedia
Memanfaatkan program komputer dengan file multimedia sebagai media pembelajaran, mampu menampilkan gambar-gambar maupun tulisan yang diam dan bergerak serta bersuara. Mutu tampilan gambar dan suara, sangat bagus. Sudah stereo surround dan efek tiga dimensi. Apabila ada perubahan tampilan, prosesnya dapat dilakukan pada saat itu juga dalam waktu yang sangat singkat di depan peserta didik, sehingga lebih menarik dan lebih informatif. Dalam kenyataannya, media ini mampu menggantikan hampir semua peranan media yang ada sebelumnya. Sejauh tetap berfungsi normal, dibantu penayangannya dengan LCD projector (infocus) serta selama power listrik tidak padam.
f.     Benda Nyata dan Model
Memanfaatkan benda nyata (asli) dalam proses pembelajaran terutama bila metode yang dipakai adalah demonstrasi atau praktik di lapangan, membuat siswa lebih mantap dan yakin atas kegiatan tersebut. Untuk mengatasi keterbatasan, baik objek serta situasi maka perlu diadakan benda tiruan (model atau miniatur) sehingga proses pembelajaran berjalan dengan baik.

C.  EVALUASI PEMBELAJARAN IPS
1.    Tujuan
Tujuan Umum
Agar para peserta Diklat memahami dasar-dasar atau prinsip-prinsip pengukuran dan penilaian pendidikan, serta dapat melaksanakan usaha pengukuran dan penilaian pendidikan menurut prinsip-prinsip tersebut dalam rangka pelaksanaan tugas dan kewajibannya sebagai guru yang profesional.
Tujuan Khusus
Agar peserta Diklat mampu merumuskan kisi-kisi perencanaan ujian atau tes; dapat mengolah angka (score) mentah dengan statistik yang sederhana; dapat menerapkan pendekatan-pendekatan dalam memberikan nilai akhir; dapat menganalisis soal-soal objektif (misalnya: Benar-Salah dan Pilihan Ganda) secara empiris; serta dapat mengemukakan unsur-unsur validitas, reliabilitas, dan kepraktisan ujian/tes.
2.    Terminologi
Pengukuran adalah suatu usaha untuk mengetahui keadaan sesuatu sebagaimana adanya. Pengukuran dapat berupa pengumpulan data. Usaha untuk mengetahui luas lapangan sepak bola disebut pengukuran luas lapangan sepak bola. Contoh lain, usaha untuk mengetahui jumlah nama kota di Jawa Barat yang diingat oleh anak usia 5 tahun, disebut : pengukuran jumlah nama kota di Jawa Barat oleh anak usia 5 tahun. Hasil pengukuran dapat berupa angka atau uraian yang menggambarkan derajat kualitas atau kuantitas serta eksistensi objek yang diukur tersebut.
Penilaian adalah semua usaha membandingkan hasil pengukuran terhadap sesuatu bahan pembanding (patokan). Si Polan memiliki angka mata pelajaran Geografi 130, sedangkan angka rata-rata kelasnya 85. Sehingga dapat dikatakan : Polan memperoleh angka tinggi dibandingkan dengan angka rata-rata kelasnya. Jika batas lulus ditetapkan 80, maka angka Polan jauh melampaui angka batas lulus. Evaluasi merupakan kegiatan yang meliputi pengukuran dan penilaian. Pengukuran dalam bahasa asing measurement, sedangkan penilaian adalah evaluation. Dari kata evaluation inilah diperoleh kata evaluasi yang berarti menilai, tetapi dilakukan dengan mengukur terlebih dahulu. Untuk melakukan pengukuran dalam pendidikan, biasanya dilakukan melalui alat yang disebut tes atau ujian. Dalam penilaian hasil ujian misalnya, digunakan patokan-patokan pembanding yang berbeda-beda, diantaranya : (1) angka yang diperoleh kawan-kawan sekelasnya; (2) batas penguasaan kompetensi terendah yang harus dicapai untuk dianggap lulus; (3) prestasi siswa yang bersangkutan di waktu lampau; dan (4) kemampuan dasar dari anak itu sendiri. Dalam keseluruhan strategi dan proses pembelajaran, maka tujuan pengukuran dan penilaian adalah untuk mengetahui taraf pencapaian tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
3.    Pendekatan dan Kompetensi yang Diukur
Hasil pengukuran dibandingkan dengan patokan atau pembanding yang berbeda-beda, ada dua pendekatan yang digunakan dalam penilaian yaitu : pendekatan acuan norma dan pendekatan penilaian acuan patokan. Hasil pengukuran seorang siswa yang dibandingkan dengan hasil pengukuran yang diperoleh siswa lain dalam kelompoknya, pendekatan ini disebut Penilaian Acuan Norma (PAN) atau Norm-Referenced Evaluation (NRE). Hasil pengukuran seorang siswa yang dibandingkan dengan patokan batas lulus atau tingkat penguasaan minimum (passing grade) yang telah ditetapkan terlebih dahulu, pendekatan ini disebut Penilaian Acuan Patokan (PAP) atau Criterion-Referenced Evaluation (CRE).
Kompetensi yang diukur berdasarkan taksonomi yang meliputi : kognitif; afektif; dan psikomotorik. Khusus mengenai ranah kognitif, perlu diperhatikan pada pokok bahasan atau tema materi yang dibahas harus terkandung aspek-aspek : (1) pengetahuan atau fakta; (2) pemahaman; (3) penerapan; (4) analisis; (5) sintesis; dan (6) evaluasi.
4.    Bentuk-bentuk Pengukuran
a.    Soal atau Tes
Tes (dalam bhs. Inggris test) dapat dianggap mempunyai arti yang paling sempit diantara pengertian lain seperti evaluasi atau pengukuran. Tes diartikan sebagai seperangkat tugas yang telah dibakukan, diberikan kepada satu orang atau lebih untuk menyelesaikannya. Untuk menguji setiap pokok bahasan atau indikator pembelajaran, dapat digunakan beberapa bentuk soal sebagai berikut : bentuk soal uraian (essay); ujian objektif (objective test); bentuk soal benar-salah (true-false); bentuk soal pilihan ganda (multiple choise); bentuk soal menjodohkan (matching); bentuk soal melengkapi atau isian. Jenis kompetensi dan bentuk soal, harus ditentukan proporsinya bagi setiap pokok bahasan atau materi dalam suatu kisi-kisi perencanaan ujian.
b.    Bukan Tes : (1) Wawancara; (2) Kuesioner; dan (3) Skala Sikap.
5.    Persyaratan Alat Ukur (Instrumen) dan Prosedur Pengukuran
Alat atau instrumen pengukuran, paling tidak harus memenuhi tiga syarat pokok yaitu : validitas; reliabilitas; dan kepraktisan.
a.    Validitas
Merupakan suatu alat ukur dapat dikatakan valid (sahih) apabila alat tersebut benar-benar cocok untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Untuk mengukur panjang dipakai alat ukur meteran, untuk mengukur berat digunakan alat pengukur timbangan. Suatu ujian atau tes untuk mata pelajaran Geografi misalnya, dikatakan valid jika tes tersebut benar-benar cocok dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan melalui penyajian materi pembelajaran tersebut.
Taraf validitas suatu tes dinyatakan oleh dua pertimbangan : (1) rasional; dan (2) empiris-statistis. Pertimbangan rasional adalah suatu analisis terhadap topik dan bidang yang diujikan, yaitu isi ujian, sehingga diperoleh validitas isi (content validity). Analisis dilakukan pula terhadap kegiatan-kegiatan dan proses-proses yang sesuai dengan konsep-konsep tertentu yang menjadi isi ujian, sehingga diperoleh apa yang disebut dengan validitas konsep atau konstruksi (concept or construct validity). Pertimbangan empiris-statistis diperoleh dengan menghubungkan alat ukur (tes) yang sedang dipelajari dengan kenyataan-kenyataan lain, misalnya dengan hasil pengukuran yang telah ada yang setara. Tiga jenis validitas empiris yaitu : (1) validitas pengukuran setara (congruent validity); (2) validitas pengukuran serentak (concurrent validity); dan (3) validitas ramalan (predictive validity).
b.   Reliabilitas
Suatu alat ukur harus dipertanyakan, sampai dimanakah ketelitian atau keterandalannya mengukur apa yang seharusnya diukur itu. Alat ukur adalah reliabel (handal) apabila pengukuran dilakukan berulang-ulang dengan memakai alat yang sama terhadap objek yang sama pula, maka hasilnya akan tetap atau relatif sama pula. Ada tiga cara untuk mempertimbangkan bahwa alat ukur itu reliabel, yaitu : (1) pengulangan alat ukur yang sama; (2) pengujian alat yang setara (equivalen); dan (3) membagi alat ukur kedalam dua atau lebih alat ukur yang seimbang.
Reliabilitas Pengukuran Ulang. Untuk pengujian alat ukur yang dapat diandalkan maka pengukuran dapat dilakukan dua kali, yaitu : pengukuran pertama dan ulangan. Pengujian dapat dilakukan oleh orang yang sama atau berbeda. Pengukuran pertama hendaknya tidak mewarnai hasil pengukuran yang kedua, dan keadaan yang diukur ulang itu harus benar-benar dalam keadaan tetap sama. Kedua hasil pengukuran kemudian dikorelasikan dan hasilnya akan menunjukkan kenyataan reliabilitas.
Reliabilitas Pengukuran Setara. Dua bentuk pengukuran yang setara diberikan kepada siswa, dapat dalam satu rangkaian atau dengan selang waktu. Korelasi antara kedua hasil ujian akan memberikan kenyataan reliabilitas.
Reliabilitas Belah Dua. Dalam suatu ujian, hasil ujian dibagi dua dengan cara memilah nomor soal. Pilihan pertama nomor-nomor gasal dan pilihan kedua nomor-nomor genap. Kedua hasil ujian yang telah dipilah tersebut dikorelasikan, hasilnya akan menunjukkan kenyataan reliabilitas ujian.
c.    Kepraktisan
Penghematan dan kemudahan dapat dicapai dengan : suatu ujian (tes) dapat digunakan berulang-ulang; panjang pendeknya ujian (dengan ujian lebih panjang, cenderung memiliki reliabilitas yang tinggi). Lembar jawaban hendaknya terpisah dari lembar soal; kunci jawaban berlobang atau sejenisnya sangat mempercepat pemeriksaan. Petunjuk dalam penyelesaian soal hendaknya jelas dan mudah untuk dimengerti, waktu ujian harus cukup sesuai dengan volume ujian. Suatu alat ukur yang valid tentu reliabel, tetapi alat ukur yang reliabel belum tentu valid.
6.    Pengolahan Hasil Ujian
Hasil ujian, umumnya berupa angka mentah (raw score). Supaya hasil ujian lebih bermakna, maka angka mentah perlu mengalami pengolahan, misalnya penghalusan; urut jenjang (ranking); angka rata-rata; dan klasifikasi. Untuk semua itu, digunakan teknik statistik sederhana. Selanjutnya, angka terolah itu digunakan untuk dasar membuat keputusan, baik melalui pendekatan acuan norma atau acuan patokan.
a.    Pemeriksaan Lembar Jawaban
Penulis soal, terlebih dahulu menentukan cara-cara untuk memeriksa pekerjaan siswa yang diuji, misalnya : model jawaban untuk ujian uraian; dan kunci jawaban untuk ujian objektif. Dipersiapkan pula untuk menghadapi faktor terkaan untuk soal-soal objektif, yaitu persiapan suatu rumus koreksi. Faktor ini hendaknya diberitahukan kepada siswa agar tidak menerka-nerka secara membabi buta.

Rumus Koreksi :                                 ∑S
                                  AHU = ∑B  - 
                                                           P – 1

AHU : Angka Hasil Ujian
∑B    : Jumlah soal yang dijawab Benar
∑S    : Jumlah soal yang dijawab Salah
P       : Kemungkinan jawaban untuk masing-masing soal (Benar-Salah, P=2.
           Pilihan Ganda, P=4 atau 5 option)

b.   Penghalusan Angka Mentah
Penghalusan angka mentah biasanya dikaitkan dengan rentang nilai tertentu yang biasa dipakai di lembaga pendidikan, misalnya : 1 – 10;  1 – 100; atau 1 – 4.
Rumus Penghalusan :
                                           AMH  =   AHU  x Na
                                                             AM
AMH : Angka Mentah yang Dihaluskan
AHU  : Angka Hasil Ujian (angka mentah)
AM    : Angka Mentah Tertinggi, bila semua soal dijawab benar
Na      : Rentang Nilai Akhir Tertinggi

c.    Penerapan Pendekatan dalam Penilaian
Dua hal pokok yang mendasari Penilaian Acuan Norma, yaitu : (1) penetapan pengikut ujian yang akan diluluskan; dan (2) penetapan batas lulus. Biasanya para pengajar cenderung untuk meluluskan siswanya 80%. Bagaimanapun corak penyebaran angka mentah yang diperoleh pengikut ujian yang diluluskan, tetap akan berjumlah 80%. Dengan ditetapkannya jumlah yang diluluskan, secara otomatis adanya batas lulus. Angka mentah yang disusun berdasarkan penyebaran frekuensi, maka akan segera dapat diketahui sampai batas angka mentah berapakah sehingga jumlah 80% yang diluluskan itu dapat dicapai ? Angka mentah inilah yang kemudian menjadi batas lulus. Pendekatan lain bertitik tolak dari batas lulus yang telah ditetapkan lebih dahulu, batas lulus ini dikaitkan dengan data statistik yaitu angka rata-rata dan angka simpangan baku yang diperoleh dari penyebaran angka mentah. Nilai akhir diberikan atas dasar penyimpangan angka mentah terhadap angka rata-rata. Misalnya dengan pedoman seperti ini :
Batas Daerah Kurve
Nilai
Banyaknya (dalam %)
X + 1,50 S atau lebih
10

Antara X + 1,25 S dan X + 1,50 S
9

Antara X + 1,00 S dan X + 1,25 S
8

Antara X + 0,75 S dan X + 1,00 S
7

Antara X + 0,50 S dan X + 0,75 S
6

Antara X + 0,25 S dan X + 0,50 S
5

Antara X + 0,00 S dan X + 0,25 S
4


d.   Penentuan Nilai Akhir
1)   Penilaian Acuan Norma
Atas dasar angka rata-rata dan simpangan baku.
Faktor-faktor statistik :
N            : banyaknya pengikut ujian
∑X         : jumlah seluruh angka mentah
X            : angka rata-rata
∑X2       : jumlah kuadrat dari setiap angka mentah
JK = ∑X2  -   ∑X2
                        N
S (simpang baku)  =  JK
                                   X
2)   Penilaian Acuan Patokan
Penentuan batas lulus merupakan hal yang pokok, harus dimulai dengan menentukan batas kompetensi minimum yang diperlukan. Adanya hubungan yang benar-benar antara derajat penguasaan kompetensi yang dimaksud di atas dengan nilai akhir yang akan diberikan kepada setiap pengikut ujian.










PENELITIAN TINDAKAN KELAS DAN
KARYA TULIS ILMIAH

Oleh :
Prof. Dr. H. Dedi Herawan, M.Pd
Dr. Hj. Sri Wardani, M.Pd
Dr. H. Yat Rospia Brata, M.Si

I.     Pendahuluan
Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, maka isu utamanya adalah pembangunan pendidikan dalam segala aspek. Salah satu isu krusial peningkatan kualitas pendidikan adalah efektivitas pembelajaran oleh guru profesional. Guru sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik; mengajar; membimbing; mengarahkan; melatih; menilai; dan mengevaluasi peserta didik, membutuhkan peningkatan profesional secara berkesinambungan dan terus menerus.
Di era kurikulum yang senantiasa mengalami pergeseran atau perubahan ini, penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran membutuhkan guru yang juga berfungsi sebagai peneliti secara most powerfull; yakni guru yang mampu melaksanakan tugas dan mengadopsi strategi baru. Jika guru diinginkan mengadopsi sesuatu yang baru, maka harus diberi waktu untuk merefleksi teori tentang bagaimana peserta didik belajar atau memperoleh informasi.
Profesionalitas guru sejak awal herus dikemas dalam rangka pembentukkan ilmu pengetahuan, dimana : meneliti; menulis; dan pertemuan ilmiah adalah tiga serangkai kegiatan yang memberikan kemampuan pembentukan pengetahuan (knowledge construction) tersebut. Melalui PTK, seorang guru memperoleh pemahaman tentang apa yang harus dilakukan; merefleksi diri untuk memahami dan menghayati nilai pendidikan dan pembelajarannya sendiri; dapat bekerja secara kontekstual; dan mengerti sejarah tentang pendidikan dan persekolahannya, demikian Stephen Kemmis dan Robbin Mc Taggart (dalam Aswandi, 2006).
Terkait hal di atas, maka Penelitian Tindakan Kelas (PTK) memiliki potensi yang cukup besar dalam meningkatkan kualitas pembelajaran ketika diimplementasikan dengan baik dan benar. Terminologi implementasi dengan baik, berarti guru mencoba dengan sadar untuk mengembangkan kemampuan dalam mendeteksi dan memecahkan masalah-masalah pendidikan dan pembelajaran melalui tindakan bermakna yang diperhitungkan dapat memecahkan masalah atau memperbaiki situasi dan kemudian secara cermat mengamati pelaksanaannya untuk mengukur tingkat keberhasilannya. Diimplementasikan dengan benar, berarti sesuai dengan kaidah-kaidah penelitian tindakan.
Sesungguhnya apabila guru merasa bahwa proses pembelajaran dalam kelas tidak bermasalah, maka PTK tidak perlu dilakukan. Namun yang menjadi masalah biasanya adalah guru tidak bisa obyektif dalam menilai diri sendiri. Guru telah terjebak dalam kekeliruan rutinitas tahunan yang tidak disadari. Jika guru pada satu titik fase telah menyadari adanya problema dalam proses belajar mengajar, maka pada saat yang sama harus lahir kesadaran untuk mencari akar persoalannya untuk dipecahkan secara profesional. Upaya atas kesadaran untuk memecahkan problema dalam proses pembelajaran itulah yang menjadi justifikasi akademik untuk melakukan penelitian tindakan kelas.
Pada prinsipnya, aktivitas penelitian telah banyak dilakukan. Namun sayangnya berbagai kegiatan penelitian tersebut kurang dirasakan dampaknya bagi peningkatan mutu pembelajaran. Menurut Raka Joni dkk (1998) penyebabnya ada dua hal, yaitu :
1.      Penelitian bidang pendidikan umumnya dilakukan oleh pakar atau peneliti, baik yang bekerja di berbagai perguruan tinggi, termasuk LPTK maupun diberbagai lembaga penelitian yang mandiri. Meskipun penelitian oleh pakar, sering dilakukan di sekolah dan di kelas, namun penelitian semacam ini kurang melibatkan guru dalam pembentukan ilmu pengetahuan;
2.      Penyebarluasan (dissemination) hasil penelitian melalui publikasi ilmiah ke kalangan guru di lapangan memakan waktu sangat panjang, yakni sekitar tiga tahun. Selain itu, menurut penulis ini juga disebabkan karena kurangnya kesempatan guru mengakses hasil penelitian untuk perbaikan mutu pembelajaran. Sedangkan penyebarluasan hasil program penelitian dan pengembangan memakan waktu yang jauh lebih panjang.
Karena itu, mari kita bicarakan penelitian tindakan (PTK). Kalau anda pernah mempelajarinya, pembicaraan ini berfungsi untuk menyegarkan kembali atau memperkaya apa yang telah diketahui. Kalau belum tahu banyak, lewat pembicaraan ini akan dikenal; dipahami; dan akhirnya dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan keberhasilan dalam mendidik; mengajar; dan melatih siswa-siswa yang akan memberikan sumbangan yang signifikan pada peningkatan kualitas pendidikan nasional.
Sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3: pendidikan nasional berfungsi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, yang merupakan salah satu tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia, seperti dinyatakan pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Oleh sebab itu, upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas, merupakan amalan mulia karena memberikan kontribusi dalam mengisi kemerdekaan yang telah direbut lewat pengorbanan yang besar dari pejuang bangsa.
II.  Kegiatan Belajar 1
Pengertian PTK
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau classroom action research adalah action research yang dilaksanakan oleh guru di dalam kelas. Action research pada hakikatnya merupakan rangkaian “riset – tindakan – riset – tindakan” yang dilakukan secara siklis dalam rangka memecahkan masalah, sampai masalah itu terpecahkan. Ada beberapa jenis action research, dua diantaranya adalah individual action research dan collaborative action research (CAR). Jadi, CAR bisa berarti dua hal yaitu : classroom action research dan collaborative action research, dua-duanya merujuk pada hal yang sama.
Arikunto dkk (2006) menartikan penelitian tindakan kelas sebagai suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama. Karena itu penelitian tindakan yang dilakukan oleh guru ditujukan untuk meningkatkan situasi pembelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Hal tersebut sejalan dengan Burns (1999); Kemmis & Mc Taggart (1982); Reason & Bradbury (2001) dalam Madya (2007) yang menjelaskan bahwa penelitian tindakan merupakan intervensi praktik dunia nyata yang ditujukan untuk meningkatkan situasi praktis.
Karena itu, penelitian tindakan yang dilakukan oleh guru ditujukan untuk meningkatkan situasi pembelajaran yang menjadi tanggung jawabnya dan ia disebut “penelitian tindakan kelas” atau PTK. Sehubungan dengan itu, maka pertanyaan yang muncul adalah : “Kapan seorang guru secara tepat dapat melakukan PTK ?”. jawabnya : Ketika guru ingin meningkatkan kualitas pembelajaran yang menjadi tanggung jawabnya dan sekaligus ia ingin melibatkan peserta didiknya dalam proses pembelajaran. Karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan utama PTK adalah untuk mengubah perilaku pengajaran guru; perilaku siswa di kelas; dan/atau mengubah kerangka kerja pelaksanaan pembelajaran di kelas oleh guru (Madya, 2006).
Kemmis (1992) : Action research as a form of self-reflective inquiry undertaken by participants in a social (including educational) situation in order to improve the rationality and justice of (a) their on social or educational practices, (b) their understanding of these practices, and (c) the situations in which practices are carried out

Berdasarkan penjelasan Kemmis tersebut, dapat dicermati pengertian PTK secara lebih rinci dan lengkap. PTK didefinisikan sebagai suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan. Tindakan tersebut dilakukan untuk meningkatkan kemampuan rasional dari tindakan-tindakan mereka dalam melaksanakan tugas sehari-hari, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan, serta memperbaiki kondisi di mana praktik-praktik pembelajaran tersebut dilakukan. Untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut, PTK dilaksanakan dalam proses berdaur (cyclical) yang terdiri dari empat tahapan : planning; action; observation/evaluation, dan reflection.

Prinsip-prinsip PTK
Hopkins (dalam Aqib, 2007) mengemukakan ada enam prinsip yang harus diperhatikan dalam PTK, yaitu : (1) metode PTK yang ditarapkan seyogyanya tidak mengganggu komitmen sebagai pengajar; (2) metode pengumpulan data yang digunakan tidak menuntut waktu yang berlebihan karena justru ia dilakukan dalam proses pembelajaran yang alami di kelas sesuai dengan jadwal; (3) metodologi yang digunakan harus reliable; (4) masalah program yang diusahakan adalah masalah yang merisaukan dan didasarkan pada tanggung jawab profesional; (5) dalam menyelenggarakan PTK, guru harus selalu bersikap konsisten dan memiliki kepedulian tinggi terhadap proses dan prosedur yang berkaitan dengan pekerjaannya; (6) PTK tidak dilakukan sebatas dalam konteks kelas atau mata pelajaran tertentu melainkan dengan perspektif misi sekolah secara keseluruhan.
Sehubungan dengan itu, maka Madya (2007) mengemukakan bahwa PTK : (1) bersifat situasional; kontekstual; berskala kecil; terlokalisasi; dan relevan dengan situasi nyata dalam dunia kerja; (2) subyek dalam PTK termasuk murid-murid; (3) dapat dilakukan dengan bekerjasama (kolaborasi) dengan guru lain yang mengajar bidang pelajaran yang sama; (4) guru dituntut untuk adaptif dan fleksibel agar kegiatan PTK selaras dengan situasi yang ada, tetapi tetap mampu menjaga agar proses mengarah pada tercapainya perbaikan; (5) guru diharapkan mampu melakukan evaluasi diri secara kontinyu sehingga perbaikan demi perbaikan betapapun kecilnya, dapat diraih; (6) diperlukan kerangka kerja agar semua tindakan dilaksanakan secara terencana, hasilnya direkam dan dianalisis dari waktu ke waktu untuk dijadikan landasan dalam melakukan modifikasi.

Tujuan dan Manfaat PTK
Tujuan PTK, yaitu : (1) meningkatkan mutu isi; masukan; proses; serta hasil pendidikan dan pembelajaran di sekolah, (2) membantu guru dan tenaga kependidikan lainnya mengatasi masalah pembelajaran dan pendidikan di dalam dan di luar kelas; (3) meningkatkan sikap profesional pendidik dan tenaga kependidikan; (4) menumbuhkembangkan budaya akademik di lingkungan sekolah sehingga tercipta sikap proaktif didalam melakukan perbaikan mutu pendidikan dan pembelajaran secara berkelanjutan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka manfaat yang dapat diperoleh jika guru mau dan mampu melaksanakan PTK antara lain : (1) inovasi pembelajaran; (2) pengembangan kurikulum di tingkat sekolah dan di tingkat kelas; serta (3) peningkatan profesionalisme guru (Aqib, 2007).
Sejalan dengan itu, Rustam dan Mundilarto (2004) mengemukakan manfaat PTK bagi guru, yaitu : (1) membantu guru memperbaiki mutu pembelajaran; (2) meningkatkan profesionalitas guru; (3) meningkatkan rasa percaya diri guru; (4) memungkinkan guru secara aktif mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya.
Ada beberapa model PTK yang sampai saat ini sering digunakan didalam dunia pendidikan, di antaranya :
1)   Model Kurt Lewin; PTK pertama kali diperkenalkan oleh Kurt Lewin pada tahun 1946. Konsep inti PTK yang diperkenalkan oleh Kurt Lewin ialah bahwa dalam satu siklus, terdiri dari empat langkah yaitu : (1) perencanaan (planning); (2) aksi atau tindakan (acting); (3) observasi (observing); dan (4) refleksi (reflecting) (Lewin, 1990). Sementara itu, empat langkah dalam satu siklus yang dikemukakan oleh Kurt Lewin tersebut, oleh Ernest T. Stringer dielaborasi lagi menjadi : (1) perencanaan (planning); (2) pelaksanaan (implementing); (3) penilaian (evaluating) (Ernest, 1996).
2)   Model John Elliot; apabila dibandingkan dua model yang sudah diutarakan di atas, yaitu model Kurt Lewin dan Kemmis-Mc Taggart, PTK model John Elliot ini tampak lebih detail dan rinci. Dikatakan demikian, oleh karena didalam setiap siklus dimungkinkan terdiri dari beberapa aksi yaitu antara 3 – 5 aksi (tindakan). Sementara itu, setiap aksi kemungkinan terdiri dari beberapa langkah yang terealisi dalam bentuk kegiatan belajar mengajar. Maksud disusunnya secara rinci pada PTK model John Elliot ini, supaya terdapat kelancaran yang lebih tinggi antara taraf-taraf didalam pelaksanaan aksi atau proses belajar mengajar. Selanjutnya dijelaskan pula olehnya bahwa terincinya setiap aksi atau tindakan sehingga menjadi beberapa langkah oleh karena suatu pelajaran terdiri dari beberapa subpokok bahasan atau materi pelajaran. Di dalam kenyataan praktik di lapangan, setiap pokok bahasan biasanya tidak akan dapat diselesaikan dalam satu langkah tetapi akan diselesaikan dalam beberapa rupa. Itulah yang menyebabkan John Elliot menyusun model PTK yang berbeda secara skematis dengan kedua model sebelumnya. Secara garis besar ada empat tahapan yang lazim dilalui, yaitu tahap : (1) perencanaan; (2) pelaksanaan; (3) pengamatan; dan (4) refleksi. Namun perlu diketahui bahwa tahapan pelaksanaan dan pengamatan sesungguhnya dilakukan secara bersamaan. Adapun model dan penjelasan untuk masing-masing tahap adalah sebagai berikut :























Gambar : Riset Aksi Model

Tahap 1 : Perencanaan Tindakan
Dalam tahap ini, peneliti menjelaskan tentang : apa; mengapa; kapan; dimana; oleh siapa; dan bagaimana tindakan tersebut dilakukan. Penelitian tindakan yang ideal, sebetulnya dilakukan secara berpasangan antara pihak yang melakukan tindakan dan pihak yang mengamati proses jalannya tindakan (secara kolaboratif). Cara ini dikatakan ideal, karena adanya upaya untuk mengurangi unsur subyektivitas pengamat serta mutu kecermatan amatan yang dilakukan. Dalam pelaksanaan pembelajaran, rencana tindakan dalam rangka penelitian, dituangkan dalam bentuk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Tahap 2 : Pelaksanaan Tindakan
Tahap ke-2 dari penelitian tindakan adalah pelaksanaan, yaitu : implementasi atau penerapan isi rencana tindakan di kelas yang diteliti. Hal yang perlu diingat adalah bahwa dalam tahap 2 pelaksanaan ini, guru harus ingat dan berusaha mentaati apa yang sudah dirumuskan dalam rencana tindakan, tetapi harus pula berlaku wajar; tidak kaku; dan tidak dibuat-buat. Dalam refleksi, keterkaitan antara pelaksanaan dengan perencanaan perlu diperhatikan.
Tahap 3 : Pengamatan Terhadap Tindakan
Tahap ke-3 yaitu kegiatan pengamatan yang dilakukan oleh pengamat, baik oleh orang lain maupun guru sendiri. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kegiatan pengamatan ini tidak terpisah dengan pelaksanaan tindakan karena pengamatan dilakukan pada waktu tindakan sedang dilakukan. Jadi, keduanya berlangsung dalam waktu yang sama.
Karena itu, kepada guru pelaksana yang berstatus sebagai pengamat ini, untuk melakukan “pengamatan balik” terhadap apa yang terjadi ketika tindakan berlangsung. Sambil melakukan pengamatan balik ini, guru pelaksana mencatat sedikit demi sedikit apa yang terjadi.
Tahap 4 : Refleksi Terhadap Tindakan
Tahap ke-4 ini merupakan kegiatan untuk mengemukakan kembali apa yang sudah dilakukan. Istilah “refleksi” dari kata bahasa Inggris reflection yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia pemantulan. Kegiatan refleksi ini sebetulnya lebih tepat dikenakan ketika guru pelaksana sudah selesai melakukan tindakan, kemudian berhadapan dengan peneliti untuk mendiskusikan implementasi rancangan tindakan. Inilah inti dari penelitian tindakan, yaitu ketika guru pelaku tindakan mengatakan kepada peneliti pengamat tentang hal-hal yang dirasakan sudah berjalan baik dan bagian mana yang belum. Apabila guru pelaksana juga berstatus sebagai pengamat, maka refleksi dilakukan terhadap diri sendiri. Guru tersebut melihat dirinya kembali untuk menemukan hal-hal yang sudah dirasakan memuaskan hati karena sudah sesuai dengan rancangan dan mengenali hal-hal yang masih perlu diperbaiki. Dalam hal seperti ini, maka guru melakukan self evaluation yang diharapkan dilakukan secara obyektif. Untuk menjaga obyektivitas tersebut, seringkali refleksi ini diperiksa ulang atau divalidasi oleh orang lain, misalnya guru/teman sejawat yang diminta mengamati; kepala sekolah atau nara sumber yang menguasai bidang tersebut. Jadi pada intinya, kegiatan refleksi adalah kegiatan evaluasi; analisis; pemaknaan; penjelasan; penyimpulan; dan identifikasi tindak lanjut dalam perencanaan siklus selanjutnya. Keempat tahap dalam penelitian tindakan tersebut adalah unsur untuk membentuk sebuah siklus, yaitu satu putaran kegiatan beruntun dari tahap penyusunan rancangan sampai dengan refleksi yang tidak lain adalah evaluasi. Apabila dikaitkan dengan “bentuk tindakan” sebagaimana disebutkan dalam uraian ini, maka yang dimaksud dengan bentuk tindakan adalah siklus tersebut. Jadi, bentuk penelitian tindakan tidak pernah merupakan kegiatan tunggal tetapi selalu berupa rangkaian kegiatan yang akan kembali ke asal, yaitu dalam bentuk siklus.
Rangkuman
PTK adalah satu model penelitian tindakan. PTK memiliki prinsip-prinsip pembelajaran yang berbeda dengan pembelajaran biasa (konvensional). Pembelajaran berbasis PTK umumnya mengikuti siklus, yaitu : (i) perencanaan; (ii) pelaksanaan tindakan; (iii) pengamatan; dan (iv) refleksi. Pelaksanaan PTK yang benar akan sangat membantu guru dalam peningkatan kualitas pembelajarannya yang pada akhirnya juga akan meningkatkan kualitas belajar siswa.

Latihan
Bu Ana seorang guru SD yang memiliki pengalaman mengajar 20 tahun. Ia hampir setiap 2 tahun berpindah dari kelas 1 hingga kelas 6 menjadi wali kelas. Dari pengamatannya menjadi wali kelas, ia menemukan banyak permasalahan di kelas. Suatu waktu, ia mengikuti seminar tentang PTK. Dari mengikuti seminar itu, ia berniat melakukan PTK hingga akhirnya ia betul-betul melaksanakannya. Langkah yang ia lakukan : pertama adalah meminta jadwal khusus kepada kepala sekolah, lalu ia kumpulkan seluruh siswa kelas 6 dan menyampaikannya bahwa ia mau melakukan PTK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar