Jumat, 15 November 2013

Kina, Iklim dan Junghuhn



"Di sana aku menghargai dan memelihara ilmuku bagaikan benda keramat. Selama 12 tahun aku menjelajahi gunung-gunung dan hutan-hutan Kepulauan Sunda yang mempesonakan itu. Dengan sengaja aku mengikuti jalan setapak yang sepi, dan tidak ada petunjuk jalan lain yang menemaniku kecuali kecintaan pada pekerjaan itu dan antusiasme".

"Hanya di ketinggian pegunungan saya dapat bahagia! Betapa senangnya, betapa mudahnya hati ini tersentuh saat berada di atas gunung." Sementara angin berhembus sepoi menerpa pohon kasuarina dan bintang berkelip menembus atap gubuk hijau tipis. Tiada genting yang menghalangi kita dari tatapan langit yang ramah. Tiada tembok gelap yang menyesakkan kita. Di sini kita bernafas lega dan bebas".

Demikianlah tulisan Junghuhn, saat beliau menjelajahi Jawa yang eksotik hampir selama 30 tahun, penjelajahan sekaligus penelitiannya ditumpahkan dalam berbagai tulisan dan sketsa indah. Sementara itu di bait kedua, merupakan karya lainnya berjudul ‘Junghuhn di atas Gunung Kawi’, tahun 1844.
Cagar Alam Junghuhn, Taman Junghuhn, Lembang Bandung.

Taman Junghuhn
Itulah dr Franz Wilhem Junghuhn, lahir 26 Oktober 1908, seorang dokter Belanda yang berasal dari Mansfeld, Jerman. Seorang seniman, peneliti, botanis, dokter, fotografer, pelukis, petualang dan sederet atribut lain yang bisa disematkan padanya. Dialah orang pertama yang berhasil memetakan topografi Pulau Jawa. Identifikasi tanaman dan pemetaan tumbuhan juga merupakan sumbangsih beliau. Dari hasil penjelajahan dan bukunya, tumbuh teori-teori baru yang menjadi tulang punggung perkembangan keilmuan Indonesia. Junghuhn berjasa sebagai peneliti pulau Jawa dari sudut pandang ilmu bumi, geologi, vulkanologi dan botanik dan juga daerah Batak di Sumatera. Uraian menurut ilmu alam, dia tuangkan pada karya utamanya: Pulau Jawa - Bentuknya, Permukaannya dan Susunan Dalam (3 jilid, 1852-54), yang dilengkapi oleh peta pertama dari pulau itu yang terperinci dan andal. Junghuhn juga menyusun sejumlah herbarium, singkatan ilmiahnya adalah Jungh. Dikenal pula pada upaya-upayanya untuk membina pemeliharaan pohon-pohon cinchona untuk menghasilkan obat kinine.
Tugu Makam Junghuhn
Segala kecintaan dan hasratnya, ditumpahkan di Jawa dan sebagian Sumatera. Kecintaan dan antusiasme, bagi sebagian orang disebut kegilaan. Kedua hal itu menjadi spirit penjelajahannya di tanah Jawa. Hasil karyanya menjadi sumber tak terkira untuk perkembangan keilmuan. Lelaki dengan petualangan yang tak terbayangkan ini dimakamkan di Jayagiri Lembang, menghadap ke arah Tangkuban Parahu. Sejatinya bernama Cagar Alam Junghuhn, namun masyarakat mengenalnya sebagai Taman Junghuhn. Ya, Taman Junghuhn di Kampung Genteng; Desa Jayagiri; Kecamatan Lembang; Kabupaten Bandung Barat. Di taman itu pula, Junghuhn tutup usia pada 24 April 1864. Taman yang seharusnya indah dan menjadi salah satu perpustakaan alam ini, hancur tidak terawat. Walaupun tak terpelihara, namun tempatnya bisa dijadikan untuk merenung sejenak dan menikmati sedikit dari aura Junghuhn. Lelaki yang lebih memilih jalan sepi ini, suasana kuburannya pun sepi pengunjung. Hanya ada beberapa pasangan muda mudi memadu kasih di sana.

Franz Wilhelm Junghuhn
Lahir di Mansfeld, Magdeburg-Prusia Jerman (dekat Pegunungan Harz), 26 Oktober 1809 – meninggal di Lembang, 24 April 1864 pada umur 54 tahun) adalah seorang naturalis, doktor, botanikus, geolog dan pengarang berkebangsaan Jerman (lalu Belanda).
Junghuhn
Dalam usia remajanya, Junghuhn memperlihatkan kecintaan pada alam. Cita-citanya menjadi botanikus. Tahun 1827 - 1831 berkuliah di Universitas Halle, kemudian di Berlin. Baru satu tahun di Berlin Junghuhn dihadapkan dengan tuntutan duel oleh seorang mahasiswa Swiss bernama Schwoerer. Penuntut tidak mengalami cedera apapun, padahal Junghuhn terluka pada pahanya. Tapi, Junghuhn malah dihukum 10 tahun tahanan dalam benteng. Lawannya, yaitu Schwoerer bunuh diri –menurut dugaan, untuk menghindari dari tahanan. Tahanannya dimulai bulan Januari tahun 1832 di benteng Ehrenbreitstein di atas kota Koblenz. Pada bulan September 1833, Junghuhn melarikan diri ke Perancis dan masuk Legiun Asing. Ia ditempatkan di Aljazair dan pada tahun 1834 diberhentikan dari legiun. Ia pergi ke Paris, di mana ia diberi nasihat oleh Persoon –seorang botanikus dan mikolog, untuk menyelidiki flora tropis kepulauan India. Junghuhn tidak punya pilihan lain daripada masuk dinas kesehatan pada tentara penjajahan Belanda. Tahun 1835 tiba di Batavia, ia bertugas dalam dinas kesehatan di Batavia dan Semarang. Pada tahun 1837 dan 1838, melakukan dua perjalanan dinas dengan Dr. E. A. Fritze –pada waktu itu, Fritze selaku direktur dinas kesehatan di Hindia-Belanda, untuk menjelajahi seluruh pulau Jawa. Mereka mendaki hampir semua gunung api di sana. Pada pertengahan 1840, Junghuhn dipindahkan ke Padang. Dia ditugaskan oleh Gubernur Jenderal Pieter Merkus untuk pergi ke daerah Batak dan menyelidikinya, karena pada waktu itu bagian Sumatera masih kurang terkenal. Hermann von Rosenberg –seorang penyelidik alam berkebangsaan Jerman disuruh mendampingi Junghuhn, tapi von Rosenberg terpaksa membatalkannya karena suatu peristiwa dalam kegiatan berburu, yang mengakibatkan ia jatuh sakit. Akhirnya Junghuhn berangkat sendirian dan selama satu tahun setengah, selama ekspedisinya berlangsung hanya diiringi pendamping-pendamping pribumi saja. Ia hanya dapat menjelajahi bagian Selatan dari daerah Batak, sebabnya masyarakat Batak di bagian Utara menghalanginya untuk masuk ke pedalaman. Perjalanan ke daerah Batak juga dipersulitkan oleh akibat perang Paderi, yang baru berakhir pada tahun 1838 dan meninggalkan pada suku Batak suatu trauma terhadap orang dari luar. Perjalanan kaki Junghuhn melalui hutan belantara dan pegunungan di daerah Batak pada waktu itu sangat melelahkan dan penuh kepayahan. Tenaga fisik dan psikis Junghuhn dan para pendampingnya ditantang secara sangat berat. Dari 17 bulan, yang ia berada di daerah itu, ia terpaksa menjaga tempat tidur selama sepuluh bulan untuk merawat kakinya yang terkena sakit parah.
Franz Wilhelm Junghuhn
Dalam segala tulisannya ia menunjukkan simpati besar kepada orang Batak. Ia memberikan penghargaan tinggi, atas keramahan mereka terhadap tamu, spontanitasnya, keramah-tamahannya dan juga keterbukaannya. Ia mengagumi bahasa baku mereka, tetapi tidak dapat memahami kenapa mereka menggemari kanibalisme. Agaknya kanibalisme mereka cuma sebuah legenda, yang disebarluaskan oleh masyarakat Batak sendiri untuk menghalangi orang-orang luar untuk masuk ke daerah mereka. Pada Juni 1842, Junghuhn kembali di Batavia. Pemerintah kolonial Belanda menugaskan dia untuk melakukan pengukuran topografis Jawa Barat, kemudian juga Jawa Timur. Pada Mei 1845, ia diangkat secara resmi sebagai anggota Natuurkundige Commissie di Batavia. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Rochussen, ia ditugaskan untuk mencari tempat di pulau Jawa, di mana dapat ditambang batubara.
Pada tahun 1848, Junghuhn terpaksa pulang ke Eropa sebab kesehatannya kurang stabil. Ia pergi ke Leiden, di mana para botanikus yang sangat terkenal selama tahun 1851 - 1856 mengerjakan edisi Plantae Junghunianae, publikasi tumbuhan-tumbuhan yang ditemukan oleh Junghuhn di pulau Jawa dan Sumatera. Januari 1850 Junghuhn menikah di kota Leiden dengan Johanna Louisa Frederica Koch. Pada bulan Agustus 1853 ia diberikan kewarganegaraan Belanda. Karena pekerjaan untuk menyelesaikan rumusan terakhir karya utamanya Java - seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart menemukan sejumlah kesulitan, publikasi itu baru diterbitkan pada tahun 1850 sampai dengan 1854 di Amsterdam dalam versi Belanda dan pada tahun 1852 sampai dengan 1854 di Leipzig dalam versi Jerman. Serentak pada tahun 1854, peta yang merupakan sebagian dari karyanya itu dicetak, sedangkan peta besar pulau Jawa, baru keluar setahun kemudian, yaitu pada tahun 1855. Di tahun 1854, Junghuhn mengarang sebuah karya dengan pandangannya tentang agama primordial (Naturreligion) berlawanan dengan tradisi agama kristen. Buku itu berjudul Licht- und Schattenbilder aus dem Innern von Java.
FW Junghuhn
Pada bulan Juni Junghuhn ditugaskan sebagai inspektur penyelidikan alam di Pulau Jawa dan ia berangkat lagi ke Hindia Belanda. Junghuhn sekarang seorang naturalis bereputasi internasional, mendapatkan beberapa penghargaan dan jadi anggota sejumlah lembaga ilmiah. Tugas utamanya pemeliharaan tanaman cinchona untuk menghasilkan kinine. Pada tahun 1857, ia secara resmi ditugaskan untuk melakukan pengawasan perkebunan cinchona. Ia langsung merubah prosedur penanaman percobaan yang diterapkan J.K. Hasskarl, pendahulunya, dengan memindah perkebunan cinchona ke daerah pegunungan yang lebih tinggi dan menyuruh menanam semaian-semaian di dalam keteduhan hutan. Dari tahun 1858 sampai dengan tahun 1862, Johan Eliza de Vrij –seorang farmakolog ternama menjadi penasihat proyek cinchona itu. De Vrij menyarankan memilih jenis cinchona lain yang lebih produktif. Tetapi pada waktu itu spesies cinchona ledgeriana belum tersedia, yang kelak dikemudian hari akan memungkinkan terjadinya peningkatan penghasilan kinine di pulau Jawa, sehingga pada akhir abad ke-19 kontribusi dari Nederlands Indie mencapai dua pertiga dari penghasilan kinine dunia. Sayang sekali proyek perkebunan cinchona, baru menjadi sukses beberapa tahun sesudah Junghuhn meninggal dunia. Meskipun begitu, jasanya tak akan pernah pudar. Sepatutnya, ia dapat dianggap perintis perkebunan cinchona di Pulau Jawa
Pada akhir tahun 1861, ia terkena infeksi amoeba dan sejak waktu itu tidak dapat sembuh lagi. Ia wafat pada tanggal 24 April 1864 dalam usia 54 tahun di rumahnya di Lembang. Makamnya terdapat di kaki Gunung Tangkuban Parahu di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Dalam sebuah taman, Taman Junghuhn, yang ditumbuhi Cinchona succirubra maupun C. ledgeriana.


Pohon Kina
Tanaman Kina
Tanaman Kina berbentuk perdu besar atau pohon kecil dan berasal dari daerah tropis Amerika Selatan. Tingginya dapat mencapai 5 – 15 meter. Kulit pohonnya merupakan sumber dari berbagai jenis alkaloid. Yang paling dikenal adalah kuinina, suatu senyawa antipiretik (penawar demam) yang sering digunakan dalam pengobatan malaria. Kulit kayu Kina juga digunakan untuk merangsang sekresi air liur dan getah lambung. Tanaman kina terdiri dari 38 spesies yang berbeda. Dari banyak penghasil kinina, hanya Cinchona Officinalis dan Cinchona Pubescens yang dibudidayakan dalam perkebunan. Untuk Cinchona Officinalis, yang dipakai hanya batang bawahnya. Jenis-jenis inilah yang dikenal dalam perdagangan sebagai tumbuhan kina. Tanaman kina dimanfaatkan dengan diambil kulit kayunya, untuk kemudian diproses sesuai keperluan, mulai pil kina –penyembuh malaria, garam kina, dan minuman ringan.
Batang Pohon Kina
Kina juga digunakan untuk meningkatkan nafsu makan, membantu pengeluaran cairan pencernaan, mengobati kembung, dan masalah perut lainnya. Digunakan juga untuk mengobati gangguan pembuluh darah, termasuk: wasir, varises, dan kram kaki. Beberapa orang menggunakan kina untuk mengatasi influenza ringan, flu babi, flu biasa, malaria, dan demam. Kegunaan lainnya adalah untuk mengobati penyakit kanker, mulut dan tenggorokan, pembesaran limpa, dan kram otot. Kina juga digunakan dalam lotion untuk mengurangi rasa nyeri mata, membunuh kuman dan sebagai astringent. Ekstrak Kina juga digunakan pada kulit untuk merangsang pertumbuhan rambut, dan mengobati varises.
Masuknya tumbuhan endemik dataran tinggi Amerika Selatan itu ke Indonesia tak lepas dari periode kelam agrikultur di bumi Nusantara ini saat penerapan sistem tanam paksa atau cultuur stelsel oleh perusahaan dagang Belanda Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1830. Khusus tanah di wilayah Jawa Barat, karena lebih spesifik pada komoditas perkebunan, sistemnya diatur sendiri dan dinamakan: Priangan Stelsel. Sedikit berbeda dari motif penanaman kopi dan teh yang harganya di dunia saat itu sangat tinggi, kina ditanam di Priangan pada awalnya untuk menjaga agar tumbuhan jenis itu tidak punah. Pasalnya, saat itu, kina terbukti menjadi obat yang sangat penting. Setelah permintaan dunia kedokteran meningkat dan harganya menjadi tinggi, Pemerintah Belanda melihatnya sebagai peluang bisnis.
Nyamuk Anopheles, penyebab malaria.
Junghuhn merupakan perintis penanaman kina di Indonesia. Ia merintisnya di sejumlah daerah pegunungan di Wilayah Priangan Jawa Barat mulai sekitar tahun 1830. Ilmuwan sekaligus pencinta alam yang mulanya berkebangsaan Jerman itulah yang meminta pemindahan pembibitan kina dari Kebun Raya Bogor ke Pangalengan pada tahun 1855. Saat Junghuhn menangani pembibitan kina di Pangalengan, jumlah pohon kina di Pulau Jawa hanya 167 batang. Namun, 6,5 tahun kemudian, jumlah pohon kina pun bertambah menjadi 1.359.877 batang dan 70 persen di antaranya berjenis Cinchona Pahudiana. Belakangan, usaha yang dirintisnya itu mampu membawa harum nama daerah Priangan, dengan sempat menjadi pemasok utama kina dunia sampai menjelang Perang Dunia II, sebelum akhirnya usaha kina Jabar (nasional) kemudian mengalami kemunduran. Sebagai penghargaan atas nama besar dan jasa Junghuhn, namanya diabadikan untuk sebuah perkebunan dan rumah sakit di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Setidaknya, masyarakat dapat mengenal namanya melalui Perkebunan Pasir Junghuhn –kini bagian dari Perkebunan Purbasari, dan Rumah Sakit Pasir Junghuhn, yang dikelola PTPN VIII.
Kulit Kina
Puncak kejayaan kina Indonesia –Hindia Belanda, dialami sampai menjelang Perang Dunia II pecah. Lebih dari 90 persen kebutuhan bubuk kina dunia, dipasok dari berbagai perkebunan kina di daerah Priangan Jabar, dengan total produksi 11.000 hingga 12.400 ton kulit kina kering per tahun yang pabriknya berada di sekitar Bandung.
Sampai menjelang tahun 1940 jumlah perkebunan di Jabar yang mengusahakan tanaman kina mencapai 58 unit (dari total 323-326 unit perkebunan yang ada di Jabar, jika ditambah Banten menjadi sekitar 400 unit pada saat itu). Daerah penanaman kina terbanyak di Kab. Bandung (18 perkebunan), diikuti Kab. Garut (13), Kab. Cianjur (12), Kab. Bogor (5), Kab. Sukabumi (4), Kab. Purwakarta (2), Kab. Subang (2), dan Kab. Sumedang (2). Jumlah itu, terdiri dari perkebunan yang seluruhnya menanam kina, serta yang diusahakan di antara tanaman teh dan karet, dengan luas penanaman kina total seluas 17.000 - 18.000-an hektare.
Kuli Kina, obat malaria.
Setelah zaman kemerdekaan (1945), jumlah perkebunan yang mengusahakan tanaman kina di Jabar menyusut drastis. Di antara penyebabnya, rusak karena perang, hubungan Indonesia dengan negara pengimpor terputus sehingga “kehilangan” pasar, serta banyak perkebunan mengkonversi kina ke tanaman lain –tentunya yang dinilai lebih menguntungkan.
Walau demikian, sejumlah perkebunan yang mengelola kina, bersama berbagai perkebunan yang mengelola tanaman lain, dapat terselamatkan, lalu dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia menjelang dan sesudah tahun 1958. Berbagai perkebunan itu kemudian dikelola Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) dan perusahaan swasta. Di Jabar hanya tinggal sekitar 20 unit perkebunan yang masih terdapat tanaman kina.
Perkebunan Ramawatia, Priangan.
Untuk perkebunan di Jabar yang dikelola PPN –saat reorganisasi PPN Lama dan PPN Baru dilakukan peleburan menjadi PPN Kesatuan pada tahun 1961, tinggal terdapat 16 perkebunan yang mengusahakan tanaman kina (juga antara yang seluruhnya ditanami kina, maupun bersama tanaman teh, karet, atau kopi). Namun di luar itu, terdapat pula beberapa perkebunan yang mengusahakan tanaman kina oleh perusahaan perkebunan negara lain, yaitu PPN Dwikora IV, perusahaan swasta, serta yang diusahakan oleh rakyat.
Pada tahun 1963-1968, perusahaan perkebunan negara diubah lagi, di mana di Jabar, tanaman kina bersama tanaman teh ditangani PPN Aneka Tanaman (Antan) VII, PPN Antan VIII, PPN Antan IX, dan PPN Antan X. Setelah itu kemudian diubah lagi, dengan dibentuk menjadi PN Perkebunan/PT Perkebunan (PNP/PTP), di mana tanaman kina di Jabar ditangani PTP XII dan PTP XIII. Sedangkan perkebunan yang dikelola perusahaan lain, misalnya PT Kimia Farma (Perkebunan Bintang), dan swasta (misalnya Perkebunan Selekta).
Pengepakan kulit kina, tahun 1940.
Jumlah areal penanaman kina pun kembali berkurang karena berbagai sebab, terutama akibat kurang terpelihara. Menurut data tahun 2002-2003 dari Dinas Perkebunan Jabar, di daerah ini tanaman kina yang masih diusahakan hanya tinggal sekitar 4.496,27 hektare. Namun demikian, berdasarkan data sampai dengan triwulan I/2003 dari PTPN VIII, tanaman kina yang mereka kelola menjadi tinggal seluas 3.859 hektare. Produksi kina mereka seluruhnya dijual kepada pabrik pengolah industri hilir, yaitu PT. Sinkona Indonesia Lestari (anak perusahaan PTPN VIII yang berpatungan bersama PT. Kimia Farma dan PT. Tri Usaha Bakti) untuk selanjutnya diekspor. Sampai hitungan waktu itu, produksi kina sebanyak 163 ton, sedangkan volume penjualan berjumlah 119 ton dengan nilai Rp 1,8 miliar.
Menguliti pohon kina, 1945-1950.
Menurun drastisnya produksi kina Indonesia –khususnya di Jabar, membuat posisi Indonesia kini berbalik menjadi negara importir. Padahal di Indonesia, saat ini terdapat dua pabrik kina, yaitu PT Kimia Farma dan PT Sinkona Indonesia Lestari (SIL) yang diperkirakan membutuhkan sekitar 3.000-5.000 ton kulit kina per tahun. Sedangkan produksi kulit kina dari perusahaan tersebut, diperkirakan sekitar 1.500-1.800 ton per tahun. Indonesia juga merupakan satu-satunya negara di dunia yang memiliki perkebunan dan pabrik pengolahan kina yang lokasinya berdekatan. Kapasitas normal per tahun dari pabrik PT. Kimia Farma sebesar 150 ton dalam bentuk kinina sulfat, sedangkan PT. SIL berkapasitas 150 ton dalam bentuk kinina/kinidina. Dari jumlah itu, kebutuhan bubuk kina internasional sendiri saat ini baru berkisar 600 ton per tahun, tak berbeda jauh dari tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan informasi Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung, Kab. Bandung, produksi kina saat ini mencapai 10.000 ton setiap tahunnya. Kebutuhan itu dipenuhi dari negara di kawasan Afrika sebanyak 5.000 ton, dan negara lain di luar Indonesia sebanyak 1.700 ton. Pada kondisi lain, belakangan ini produk kina asal Indonesia pun mengalami tantangan, di antaranya akibat ketidakpastian harga pada pasar internasional yang dialami sejak beberapa tahun terakhir. Kondisi ini disebabkan oleh masih “gelap”-nya kejelasan harga dan produksi di pasar internasional selama beberapa tahun terakhir. Harga pasaran kina dunia menjadi cenderung terdikte oleh pembeli. Parahnya, berbagai produsen kina setengah jadi, kemudian menjadi saling menawarkan harga yang rendah, sekadar berharap memperoleh pasaran secara cepat. Produsen utama produk kina setengah jadi di dunia sampai kini terutama Indonesia (PT SIL dan PT Kimia Farma), Jerman (Buchler), disusul Belanda, Bangladesh, dan dikabarkan India membangun pabrik pengolahan. Namun, di antara mereka, saingan Indonesia hanya Buchler Jerman karena memiliki peralatan lebih modern.
Pabrik kulit kina, Bandung 1900-1910.
Produk kina setengah jadi dari PT SIL sendiri, umumnya dijual dalam bentuk garam kina, dengan pasar utama ke AS, Eropa, dan beberapa negara Asia, untuk bahan farmasi dan bahan minuman. Sedangkan produksi kina untuk obat, selama ini dilakukan PT. Kimia Farma. Namun menurut sejumlah sumber di PT. Kimia Farma Bandung, karena pasokan kina nasional sendiri kurang mencukupi, membuat produksi pil kina pun menjadi harus disesuaikan dengan suplai kina yang ada.
Sementara itu, upaya meningkatkan produksi kina Indonesia sebenarnya sudah dilakukan. Ini terutama oleh PTPN VIII sejak tahun 1994, yang juga merupakan produsen kina terbesar nasional di samping teh. Langkah yang dilakukan, di antaranya peremajaan kebun, serta rehabilitasi kebun-kebun yang usia tanaman kinanya sudah tua. Di samping itu, juga dilakukan penyulaman sehingga jumlah populasi tanaman per hektare sesuai standar. Perbaikan pun dilakukan untuk pola panen, dengan menyempurnakan sistem stumping di seluruh areal, menjadi sistem selective stumping untuk memperkecil kematian tanaman.
Perkebunan Kina Sedep Priangan, 1920-1940.
Peluang pengembangan tanaman kina di Indonesia, khususnya di Jabar cukup prospektif. Pertimbangannya, Indonesia memiliki sumber plasma nutfah yang kandungan kinina sulfat (bahan untuk pil kina) di atas 14 persen, sedangkan negara lain hanya 7-8 persen. Prospek pengembangan areal tanaman kina, masih berpotensi dilakukan di Kab. Bandung, Garut, Subang, Sukabumi, dan Majalengka. Pada tahun ini, Dinas Perkebunan Jabar, PTPN VIII, PT SIL, sedang menyusun perencanaan perluasan tanaman kina, baik di lahan kosong perkebunan besar serta rakyat. Penanaman kembali tanaman kina juga dikaitkan dengan gerakan rehabilitasi lahan kritis. Pada sisi lain, penanaman kina sebagai upaya meningkatkan suplai bahan obat juga sebagai konservasi lingkungan hidup. Walau tanaman kina sedang tak menjadi unggulan produk perkebunan di Jabar, namun prospeknya tetap baik jika dikaitkan dengan jumlah permintaan dibandingkan suplai yang ada. Peluang ini, setidaknya dapat menjadikan motivasi di antara berbagai produsen kina nasional, baik usaha perkebunan maupun industrinya untuk lebih seiring sejalan. Setidaknya, agar memperoleh usaha lebih baik di pasar internasional berikut suplai untuk kina pengobatan malaria.
Ya, dari aspek ekologis, kina punya keunggulan. Sebagai tanaman berakar kuat, sebanyak 6.000 pohon kina yang pernah tertanam di Hulu Citarum itu mampu menjadi areal tangkapan resapan air yang mencegah banjir dan erosi. Kini, ketika memandangi hulu Sungai Citarum, tak tampak satu pun pohon kina tersisa. Semuanya gundul, rata dengan kebun sayur. Ironis.

Iklim
Junghuhn juga mengadakan penelitian tentang iklim dan cuaca di Sumatera Selatan dan Dataran Tinggi Bandung. Dari hasil penelitiannya, ia membagi iklim di Indonesia berdasarkan ketinggian tempat dan jenis vegetasi yang tumbuh di daerah tersebut. Empat daerah iklim menurut Junghuhn adalah sebagai berikut:
1.    Zona Iklim Panas/ Tropis. Zona iklim panas terletak pada daerah dengan ketinggian antara 0 – 650 meter di atas permukaan air laut (dpal) dan temperatur antara 26,3 °C – 22 °C.
2.    Zona Iklim Sedang. Zona iklim sedang terletak pada daerah dengan ketinggian antara 650 – 1500 meter dpal dan temperatur antara 22 °C – 17,1 °C.
3.    Zona Iklim Sejuk. Zona iklim sejuk terletak pada daerah dengan ketinggian antara 1500 – 2500 meter dpal dan temperatur antara 17,1 °C – 11,1 °C.
4.    Zona Iklim Dingin. Zona iklim dingin terletak pada daerah dengan ketinggian di atas 2500
meter dpal dan temperatur kurang dari 11,1 °C.
Junghuhn (kiri) dan Richthofen di Talaga Patenggang.
Tanaman atau vegetasinya:
·         Tanaman yang cocok di Iklim Panas:  padi, jagung, kopi, tembakau, tebu, karet, kelapa, dan cokelat.
·         Tanaman yang cocok di Iklim Sedang: padi, tembakau, teh, kopi, cokelat, kina, dan sayur-sayuran.
·         Tanaman yang cocok di Iklim Sejuk: teh, kopi, kina, dan sayur-sayuran.
·         Tidak ada tanaman budidaya yang cocok di Iklim Dingin, kecuali sejenis lumut.
 
Iklim Junghuhn


 
Iklim menurut Junghuhn



***

1 komentar:

  1. Salam kenal kang Ade,

    Tulisan mengenai Junghun selalu menarik hati saya. Terutama sebagai orang yang senang bertualang dna meneliti.

    Izin bertanya, apakah ini murni tulisan kang Ade, atau saduran dari beberapa penulis? JIka ada mohon bantuannya untuk informasi tulisan terdahulu. terima kasih untuk informasinya kang

    BalasHapus