Senin, 02 Februari 2015

Dokter Denis Gerard Mulder, antara Kesehatan dan Seni Budaya



Bila membicarakan tentang dokter Denis Gerard Mulder, maka akan terbayang empat hal di Kota Garut, yakni: Sanatorium Ngamplang; Rumah Sakit; Apotek Garut; dan Batik Sanatorium Ngamplang. Dr. Denis Gerard Mulder membangun sebuah kompleks rekreasi dan pemulihan bagi yang sakit “Sanatorioem Garoet” di bukit Ngamplang Garut, yang merupakan cikal bakal Grand Hotel Ngamplang. Beliau juga orang pertama yang merintis pembangunan zeinhuis (rumah sakit), merupakan cikal bakal dari Rumah Sakit Umum Daerah dr. Slamet Garut. Selain sebagai seorang dokter, Dr. Denis Gerard Mulder juga merupakan seorang fotografer amatir yang fanatik. Garoetsche Apotheek yang ia dirikan, berfungsi juga sebagai studio foto G.A.H. Foto Atelier Lux. Dan terakhir, Dr. Denis Gerard Mulder memiliki perhatian tinggi terhadap batik tulis Garutan. Batik Painting of Sanatorium koleksinya, menjadi masterpiece koleksi Tropenmuseum di Amsterdam Belanda.
Ziekenhuis (Rumah Sakit) Garoet, 1930.

Sanatorioem Garoet
Seorang dokter bernama Denis Gerard Mulder, mulai membuka praktek dokter di Garut pada tahun 1912. Ia mendirikan sebuah klinik kesehatan bersama temannya Dr. Sthiohtor –Internis/ahli penyaki dalam yang letaknya di Tjimanoekstraat –Jalan Cimanuk. Dr. Denis Gerard Mulder, selain seorang Chirurg/ahli bedah, ia juga spesialis dalam terapi dengan sinar ultra-violet. Dr. Mulder mempunyai cita-cita untuk membangun sebuah kompleks rekreasi dan pemulihan, bagi yang sakit paru –tuberculose. Pada tahun 1913, ia mulai membangun “Sanatorioem Garoet” di bukit Ngamplang Cilawu –sekitar 4 km dari Kota Garut. Sanatorium tersebut, ia namakan: De Villa Fanny van het Hotel Sanatorioem Garoet. Pada tahun 1915, Sanatorioem Garoet mulai dibuka untuk umum. Dr. Mulder sendiri selain bertindak sebagai direktur, juga merangkap langsung sebagai dokter yang menangani klien. Ia, dibantu oleh delapan orang Eropa sebagai perawat. Pada tahun 1920, Dr. Mulder diangkat sebagai dokter pemerintah di Bandung, hingga kemudian bangunan Sanatorioem Garoet ini dijual kepada The Dutch East Indies Hotel Corp –yang merupakan salah satu anggota dari Nederlands Indische Hotelvereeniging. Nama Sanatorioem Garoet kemudian berganti menjadi Hotel Ngamplang –pernah berubah menjadi Grand Sanatorium Ngamplang dan Lapang Golf Flamboyan Ngamplang.
Sanatorium Garoet, cikal bakal Hotel Ngamplang Garut.
Gang di Sanatorium Garoet
Dalam catatan sejarah, penanggulangan tuberculose, sudah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda. Sesuai dengan pemahaman dokter-dokter tentang penanganan penyakit tersebut saat itu –dimana pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, saat antibiotik belum ditemukan, yang menekankan peningkatan sistem kekebalan tubuh pasien dengan istirahat, lingkungan yang baik dan nutrisi yang kuat, dibangunlah sanatorium di beberapa tempat di Indonesia. Pada dasarnya, sanatorium atau petirahan, dibangun untuk merawat pasien penyakit menahun –terutama tuberculose. Centrale Vereeniging voor Tuberculose Bestrijding (CVT), perkumpulan swasta bentukan Pemerintah Hindia Belanda, pada tahun 1908, mendirikan 15 sanatorium besar dan kecil dengan 20 Consultant Bureau –biro konsultasi yang tersebar terutama di Pulau Jawa. Tempat yang dipilih biasanya adalah dataran tinggi, karena menurut pemahaman saat itu, udara pegunungan yang bersih dan dingin adalah terapi terbaik penyakit paru. Dengan demikian, usahanya terbatas pada “pengasingan penderita” dalam sanatorium dengan istirahat dan terapi diet. Pada tahun 1933, baru-lah perhatian ditujukan kepada rakyat umum yang juga perlu dilindungi terhadap penularan penyakit ini dengan mendirikan biro-biro konsultasi yang ditangani oleh sebuah yayasan "Stichting Centrale Vereninging Bestrijding der Tuberculose" (SCVT). Prinsip pengobatan sanatorium –berupa: istirahat dan terapi diet, mulai ditinggalkan, dan diganti dengan tindakan aktif dengan pembedahan terapi kolaps yang tujuannya memperpendek masa perawatan.
Pintu Masuk, Rumah Sakit Garut
Kamar Sal, Rumah Sakit Garut.
Kamar Sal
Barak Pasien, Rumah Sakit Garut.
Kamar Operasi, Rumah Sakit Garut.
Rawat Inap
Lapang Paris di dekat Rumah Sakit Garut

Rumah Sakit
Sebelum tahun 1917, Kabupaten Garut belum mempunyai rumah sakit yang representatif untuk merawat pasien. Pada waktu itu, hanya ada satu klinik kesehatan yang didirikan oleh oleh Dr. Denis Gerard Mulder dan Dr. Sthiohtor di Jalan Cimanuk. Pada tahun 1917, mulailah rencana Dr. Mulder untuk mendirikan gedung rumah sakit umum dengan jembatan Maktal. Pada tahun 1921, gedung dan jembatan telah selesai dan mulai dapat dipergunakan. Namun, Dr. Mulder hanya memimpin selama kurang lebih 2 bulan, beliau harus pulang ke Belanda. Pimpinan rumah sakit dilanjutkan oleh dr. Ungor, tetapi tahun 1927 beliau pulang ke Belanda. Penggantinya adalah dr. Pilon (ahli mata), sedangkan untuk mengobati penyakit dalam, diangkat seorang dokter pribumi, yaitu: dr. Mas Slamet Atmosoediro –dokter bangsa Indonesia pertama yang memangku jabatan dokter di RSU tersebut, meninggal karena penyakit pes sewaktu menangani wabah pes yang merebak di Kabupaten Garut.
Berita meninggalnya Dokter Mas Slamet Atmosoediro akibat wabah pes
Tahun 1920 sampai 1930-an, wabah pes merajalela di Garut. Pes atau sampar adalah penyakit menular yang disebabkan oleh: bakteri Yersinia Pestisdinamai sesuai nama penemunya, bakteriolog Perancis A.J.E. Yersin. Penyakit pes sesungguhnya adalah penyakit pada hewan pengerat –terutama tikus, tetapi kemudian menular pada manusia. Wabah penyakit ini, banyak terjadi dalam sejarah dan menimbulkan korban jiwa yang besar. Kasus yang paling dramatis adalah apa yang disebut sebagai: “Black Death”, yang terjadi di Eropa pada Abad Pertengahan, dan membunuh sepertiga populasi orang Eropa. Koran-koran yang terbit pada tanggal 13 Mei 1930, ramai memberitakan seorang dokter Garut yang meninggal karena penyakit pes. Ironisnya, dokter tersebut adalah seorang yang ditugasi untuk memberantas wabah pes di Garut sejak tahun 1927. Ia adalah dokter Mas Slamet Atmosoediro, seorang dokter pribumi pertama yang ditugaskan di Garut. Meninggal pada tanggal 12 Mei 1930, ia tertular penyakit pes dari pasien yang dirawatnya. Dulu, karena banyaknya penderita penyakit pes di Garut, kabarnya dr. Slamet dan sejawatnya pernah menggunakan Lapangan “Paris” dekat RSU sebagai tempat penampungan penduduk yang terserang wabah. Pemerintah telah mengeluarkan data resmi bahwa pada Maret 1933 terdapat sekitar 400 kasus pes di Garut. Untuk periode sampai November 1933, dilaporkan sudah ada 822 kasus. Belakangan diketahui, angka korban wabah pes di Garut selama tahun 1933 adalah 921 kasus. Angka kematian karena wabah pes, masih tinggi. Angka kasus dan kematian akibat wabah pes di Garut itu, menempati urutan kedua tertinggi setelah Bandung. Koran Soerabaijasch Handelsblad, pada edisi tanggal 17 November 1937, menampilkan data mingguan dari empat minggu terakhir saat itu.
Data Mingguan Wabah Pes, Koran Soerabaijasch Handelsblad, 1937.
Kondisi demikian, memunculkan tulisan di koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, edisi 16 Desember 1933, dengan judul yang agak sedikit provokatif: “De Pest en Garoet. Geen Reden tot eenige Ongerustheid” (Pes dan Garut. Beberapa Alasan Untuk Cemas), bagi orang yang membacanya, seakan-akan Kota Garut-lah yang dilanda wabah. Padahal, kasus pes memang ada dibeberapa onderdistricttapi tidak di Kota Garut. Dengan demikian, tidak  ada alasan untuk mencemaskan keadaan di Kota Garut. Sebagai contoh, kasus wabah di Pameungpeuk, disebutkan terletak di “Garoet” –padahal, tempat itu berjarak 90 km dari Kota Garut. Kasus kematian akibat wabah, terdapat di: onderdistrict Samarang, Karangpawitan, Tjilawoe, dan lainnya, yang cukup jauh dari Kota Garut. Sementara itu, promosi kunjungan wisata ke Garut juga gencar dilakukan. Seakan ingin melawan pemberitaan tentang pes. Bahkan pada tahun 1936, mulai digelar acara rally otomotif tahunan bertajuk: “Mooi Garoet Sterrit”.
Pada tahun 1933, dr. Pilon sebagai pimpinan rumah sakit, digantikan oleh dr. Paryono. Pada tahun 1939, seluruh bangunan rumah sakit mengalami perbaikan total oleh provinsi sehingga menjadi rumah sakit yang ideal untuk perawatan pasien. Pada bulan Maret 1941, gedung I dan II dipergunakan sebagai asrama tentara Jepang, sedangkan para opsirnya menggunakan gedung kelas. Pada bulan Juli 1947, Agresi Militer Belanda II dimana kota Bandung berhasil dikuasai Belanda, para dokter berkumpul di RSU Garut. Pada tahun 1979, terbit SK Menkes RI nomor 51/Men.Kes/SK/II/79 tentang Penetapan Kelas RSU Pemerintah, dimana RSU Garut menjadi Kelas C. Para pimpinan rumah sakit mengusulkan kepada bupati, untuk memberi nama dr. Slamet sebagai nama RSU Garut.
Rumah Sakit Garut dengan latar depan Sungai Cimanuk, dan berlatar belakang Gunung Guntur.

Garoetsche Apotheek dan G.A.H. Foto Atelier Lux
Koleksi Foto Thilly Weissenborn
Dokter Denis Gerard Mulder, mulai membuka praktek dokter di Garut pada tahun 1912 di Tjimanoekstraat –Jalan Cimanuk. Untuk menunjang kegiatan prakteknya, melalui perusahaan NV. Garoetsche Apotheek en Handelsonderneming miliknya, iapun mendirikan Apotek Garoet di Societeitstraat 15 –Jalan Jend. A. Yani. Sementara itu, untuk menyalurkan hobi memotretnya –sebagai fotografer amatir, di gedung yang sama dengan Apotek Garoet, ia membuka studio foto: G.A.H. Foto Atelier Lux.
Pada tahun 1917, Thilly Weissenborn –perempuan fotografer pertama di Hindia Belanda, pindah dan menetap di Garut. Di Kota Garut ini, Thilly dipercaya untuk mengelola G.A.H. Foto Atelier Lux oleh Dr. Mulder. Dan ketika tahun 1920 Dr. Mulder pindah ke Bandung, Thilly secara resmi mengambil-alih Foto Atelier Lux serta mengganti namanya menjadi hanya Foto Lux. Pada tahun 1930, Thilly meresmikan perusahaannya sebagai NV. Lux Fotograaf Atelier. Selama lebih dari 20 tahun Thilly tinggal di Garut, sampai kedatangan Jepang membuatnya harus mendekam dalam kamp interniran di Karees Bandung, sejak tahun 1943. Tahun 1956, Thilly Weissenborn kembali ke Belanda hingga meninggal di Baarn, pada 28 Oktober 1964. Kumpulan foto-foto karya Thilly Weissenborn diterbitkan dalam buku: Vastgelegd voor Later. Indische Foto’s (1917-1942) van Thilly Weissenborn.
Ngamplang Garoet dan sekitarnya, 1930.

The Batik Painting of Sanatorioem Garoet
Mahakarya ini dibuat berdasarkan pesanan Dr. Mulder di tahun 1918, dengan kreatornya adalah Oeji dan Doerachman. Menurut The Virtual Collection of Asian Masterpieces, batik tulis Garutan dengan motif Hotel “Sanatorioem Garoet” Ngamplang ini disebut: masterpiece karena motif batiknya yang tidak biasa, dan juga punya catatan yang terkait dengan sejarah pelayanan kesehatan medis di masa Hindia Belanda. Berbeda dengan motif batik pada umumnya, the Batik Painting of Sanatorioem Garoet ini menggambarkan bangunan Sanatorioem Garoet di puncak bukit Ngamplang Tjilawoe. Alhasil, batik ini lebih berupa lukisan dengan medium dan bahan untuk membatik. Dalam keterangannya, disebutkan karya ini sebagai: decorative artyang berarti lebih sebagai barang seni dekoratif, bukan barang yang fungsional. Material yang digunakan berbahan katun, dengan ukuran 123×280 cm. Sekarang, the Batik Painting of Sanatorioem Garoet ini didonasikan oleh putra Dr. Mulder menjadi koleksi Tropenmuseum di Amsterdam.
the Batik Painting of Sanatorium Garoet
 
Benar-benar mirip dengan foto Sanatorioem Ngamplang Garoet yang diambil dari sudut yang kurang lebih sama, 1925.
Sanatorium Ngamplang Garoet, 1920.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar