Sabtu, 11 Januari 2014

Melacak Rajatapura




Merupakan bagian terakhir dari: Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Tatar Sunda, Kumpulan Tulisan Pangeran Wangsakerta.

BAGIAN 4
MENELUSURI  PULASARI
MELACAK  RAJATAPURA

Sentuhan Hinduisme
Saleh Danasasmita berpendapat tentang Hinduisme, dalam buku Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat jilid 1(1984), antara lain sebagai berikut:
Poerbatjaraka dalam desertasinya Agastya in den Archipel (1921) mengemukakan, bahwa lakon wayang yang mengisahkan kepergian Bambang Kumbayana dari negeri Atas‑angin ke Nusa Jawa sebenarnya berkaitan dengan masa awal sentuhan budaya Hindu di Nusantara. Menurut legenda yang dikenal di India Selatan dan di Bali, penyebaran agama Hindu di daerah‑daerah seberang (di luar India) dilakukan oleh Maharesi Agastya alias Resi Kumbayana. Tangan kiri sosok wayang Kumbayana yang kaku itu adalah tiruan dari tangan kiri patung Agastya yang selalu menating kendi tempat air suci. Begitu pula halnya bentuk janggut wayang Kumbayana yang lancip, meniru bentuk janggut patung Agastya. Pada wayang Kumbayana, kendi itu dihilangkan, untuk keleluasaan gerak (Dana sasmita,1984:29).
Tentang adanya sentuhan Hinduisme di Provinsi Banten, Claude Guillot membahas pernah ditemukannya arca‑arca di kawasan Gunung Pulasari Pandeglang, melalui pemberitaan Brumund dan Van Hoevel, antara lain sebagai berikut:
Sesungguhnya, pada paro pertama abad ke‑19, dua pakar yang terkenal, Brumund dan Van Hoevell, menyebut arca‑arca lama yang menghiasi taman asisten residen di Caringin. Arca itu, yang menggambarkan Brahma, Siwa, Agastya, Durga dan Ganesha, beberapa tahun kemudian diangkut ke Museum Bataviaasch Genootschap, yang waktu itu masih bertempat di anjung sositet Harmonie, dan sekarang berada di Museum Nasional Jakarta. Beberapa puluh tahun kemudian, asisten residen Caringin itu dalam suratnya kepada Bataviaasch Genootschap, memberitahukan "bahwa beberapa arca pernah ditemukan di Cipanas di dekat kawah yang sudah mati; semuanya dikirim ke Batavia, kecuali satu, yang karena terlalu berat ditinggalkan di tepi Sungai Labuan dan sekarang masih ada di sana. Lagi pula orang-orang Cina tidak mau mengangkutnya ke Batavia, karena yakin bahwa barang siapa berani melakukannya pasti mendapat bencana di laut". Beberapa bulan kemudian arca itu, ternyata sebuah yoni, diangkut ke museum pula, sekalipun orang Cina berkeberatan, dan didaftarkan dengan nomor 361 (Guillot,1996:101).
Boleh jadi, apa yang dikemukakan oleh Poerbatjaraka, ada keterkaitan dengan hasil temuan arca-arca di Gunung Pulasari, sebagaimana yang dikemukakan oleh Brumund dan Van Hoevell. Pemujaan terhadap Agastya, adalah merupakan sekte lainnya dalam agama Hindu. Bila dikaji lebih dalam, kemungkinan besar kedua pemikiran tersebut, bisa dijadikan acuan bagi penelitian Salakanagara.
Selanjutnya R Friederich pada tahun 1850 mengemukakan pendapatnya, tentang proses Hinduisasi sebuah `kerajaan' di pesisir Selat Sunda, antara lain sebagai berikut:
Lebih jauh lagi bolehlah kami ajukan hipotesis, bahwa pada masa hutan rimba pegunungan Sunda dihuni orang-orang biadab yang mirip kera (ingatlah dongeng Raja Lutung Kasarung yang diringkaskan oleh Raffles), maka sejumlah pendatang Hindu menetap di pantai‑pantai Sunda yang elok, dan mendirikan sebuah kerajaan yang makmur berkat perdagangan di Selat Sunda (Friederich, 1850, dalam Guillot, 1996:104).
Sayangnya, Friederich terlalu memaksakan temuan Manusia Purba dengan mitos Sunda cerita Lutung Kasarung. Kedua-duanya, ada di wilayah disiplin ilmu yang berbeda.
Halwany Michrob, telah mengidentifikasi wilayah pesisir Barat Tatar Sunda. Dalam buku Catatan Masalalu Banten (1993), mengemukakan pendapatnya, antara lain sebagai berikut:
Pulau Panaitan merupakan pulau yang langsung berhubungan dengan Selat Sunda yang bersama Pulau Peucang, luasnya sekitar 17.500 Ha termasuk kawasan pelestarian/suaka alam Taman Nasional Ujung Kulon. Penelitian geologi di Pulau Panaitan, menunjukkan bahwa pulau ini telah ada sejak ± 26 juta tahun lalu, apabila dilihat dari umur batuan yang paling tua. Pada berbagai singkapan, tampak bahwa pulau ini tersusun dari jenis‑jenis batuan andezite, tuffa, gamping dan yang termuda batuan aluvial (Michrob,1993:33).
Pada materi yang sama, Anwas Adiwilaga mengemukakan pendapatnya, kemudian dibahas oleh Yogaswara, antara lain sebagai berikut:
Di Pulau Panaitan pada kira‑kira tahun 130 M pernah berdiri satu kerajaan yang merupakan kerajaan tertua di Jawa Barat Kerajaan ini bernama Salakanagara (Negeri Perak) dengan pusatnya di kota Rajatapura, yang terletak di pesisir Barat Pandeglang. Raja pertamanya bernarna Dewawarman I (130 ‑168 M). Daerah kekuasannya meliputi: Kerajaan Agrabinta (di Pulau Panaitan), Kerajaan Agnynusa (di Pulau Krakatau), dan daerah ujung Selatan Surnatera. Dengan demikian, seluruh Selat Sunda dapat dikuasai Dewawarman I ini, sehingga ia digelari Aji Raksa Gapurasagara (Raja Penguasa Gerbang Lautan) (Yogaswara, dalam Michrob,1993:33).
Selanjutnya, Anwas Adiwilaga menduga Rajatapura berada di Pulau Panaitan (Pandeglang) (Yogaswara, 1978:38), dengan ditemukannya patung Ganesha dan patung Siwa dengan tanda ardachandra (bulan sabit) di dahinya, di Pulau Panaitan. Padahal keberadaan patung‑patung itu tidak menolong keadaan, karena ada yang menduga bahwa patung‑patung itu berasal dari abad ke‑7 Masehi (Danasasrnita, 1984:3334). Bahkan dalam hasil penelitian lainnya, dua arca tersebut diperkirakan berasal dari abad ke‑14 atau ke‑15 Masehi (Vorderman,1894 dalam Guillot,1996:106).
Perkiraan Letak Salakanagara

Menelusuri Pulasari 
Sering disebut‑sebutnya Gunung Pulasari (Pandeglang) dalam berbagai wacana penelitian sejarah, baik dalam naskah babad maupun hasil kajian para ahli, mengisyaratkan, bahwa peran Gunung Pulasari memiliki arti penting dalam sejarah. Mengacu kepada Pupuh XVII dalam Babad Banten, seperti yang dibahas oleh Hoesein Djajadiningrat (1913), memberitakan Gunung Pulasari sebagai berikut:
Molana Hasanuddin berkelana di hutan‑hutan dan di atas Gunung Pulosari, dan ia pun tibalah di sebuah pertapaan yang ditinggalkan. Ketika bapaknya datang kepadanya, dikatakannya kepadanya, bahwa pertapaan itu adalah pertapaan Brahmana Kadali ‑ atau Kandali (Djajadiningrat, 1983:33).
Temuan arkeologis di sekitar Gunung Pulasari, dikemukakan dalam buku Banten Sebelum Zaman Islam; Kajian Arkeologi di Banten Girang 932? 1526, (1996), oleh Claude Guillot dan kawan‑kawan. Dalam pada itu, Tantu Panggelaran mengandung keterangan yang menarik, yaitu bahwa "di ujung Barat Pulau Jawa" (nusa Jawa tungtungan kulwan) terdapat Gunung Mahameru yang bagian atasnya diangkut ke Timur, sedangkan bagian bawahnya bernama Gunung Kailasayaitu tempat kedudukan Siwa tetap berada di tempatnya. Bahwa dalam naskah itu disebutkan tempat di luar daerah kebudayaan Jawa mengherankan Pigeaud (penyunting naskah tersendiri) yang dalam ulasannya mengemukakan hipotesis –meskipun kurang yakin sendiri bahwa "Nusa Jawa" itu barangkali terbatas pada daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur saja. Dan Pigeaud hanya dapat menyatakan bahwa "gunung apa yang dinamakan Kailasa itu masih harus dicari". Pada hemat kami, Tantu Panggelaran sangat sesuai dengan informasi dalam SB tentang adanya golongan besar pendeta di atas Gunung Pulasari, oleh karena gunung tersebut memang terletak "di ujung Barat Pulau Jawa". Artinya Gunung Kailasa dapat disamakan dengan Gunung Pulasari. Kekeramatan itu tidak mungkin termasyhur sampai ke Jawa Timur kalau di atas gunung itu tidak terdapat tempat pemujaan lama (Guillot, 1996:100).
Berdasarkan cerita rakyat Desa Cilentung, di sekitar puncak Gunung Pulasari, terdapat batu‑batu yang dikeramatkan. Untuk membuktikan kebenarannya, Tim berangkat dari Desa Cilentung Kecamatan Saketi, pada tanggal 8 Oktober 2000 pagi, dipandu oleh 4 orang penduduk Desa Cilentung, Tim mengadakan pendakian menuju ke puncak Gunung Pulasari. Sepanjang perjalanan secara berturut-turut, ditemukan batu‑batuan yang dikeramatkan itu, antara lain:
Batu Sanghiyang Arca. Mengamati bentuk batu Sanghiyang Arca, ada kemiripan dengan lempeng batu prasasti Kawali II (Ciamis) atau Batu Tulis kota Bogor. Menurut cerita rakyat Cilentung, dahulu di lokasi Sanghiyang Arca, Maulana Hasanuddin menyabung ayam dengan Pucuk Umun Pulasari.
Air Terjun Curug Putri. Menurut cerita rakyat, air terjun Curug Putri, dahulunya merupakan tempat pemandian Nyai Putri Rinak Manik dan Ki Roncang Omas. Di lokasi tersebut, terdapat aneka macam batuan dalam bentuk persegi, yang berserak di bawah cucuran air terjun.
Batu Sanghiyang Kotok. Pada salah satu permukaan batu Sanghiyang Kotok, menurut cerita rakyat, ada semacam "gambar" ayam jantan. Ayam jantan tersebut, konon milik Maulana Hasanuddin.
Batu Kiara Sarebu. Batu Kiara Sarebu berbentuk empat persegi panjang, pipih, dengan luas permukaan 80 x 50 centimeter, tebal 10 centimeter. Di lokasi Batu Kiara Sarebu, dahulu kala banyak terdapat pohon kiara. Menurut cerita rakyat, diperkirakan merupakan tempat bertapa raja‑raja. Patut disayangkan, dikarenakan lokasi tersebut sudah dirusak oleh perambah hutan, kini pohon kiara yang tertinggal hanya sebuah.
Batu Kiara Jinglar. Batu Kiara Jingkar, sesungguhnya hanya merupakan sebuah batu biasa. Kekeramatan batu tersebut, ditandai oleh adanya 3 buah pohon hanjuang merah (hanjuang siang), yang dibentuk serupa "makam".
Batu Cangkrung. Batu Cangkrung, merupakan sebuah batu dengan salah satu permukaannya yang cekung, sehingga dapat menampung air (nyangkrung). Uniknya, menurut cerita rakyat, air di atas permukaan yang cekung tersebut, tidak pernah kering. Sehingga digunakan untuk minum berbagai jenis burung.
Ketika tiba di sekitar puncak Gunung Pulasari, pada ketinggian antara 1.300 meter hingga 1.346 meter di atas permukaan laut, terdapat dua tempat yang dikeramatkan, yaitu: puncak Rincik Manik dan puncak Roncang Omas.
Di lokasi puncak Rincik Manik, terdapat dua "makam" dengan karakter yang berbeda. Makam yang pertama, membujur arah Timur‑Barat, dan di lokasi tersebut terdapat semacam batu lumpang serta sejenis kapak genggam. Makam yang satunya lagi, membujur arah Utara‑Selatan, dan di lokasi tersebut terdapat sejenis menhir.
Di lokasi puncak Rincik Manik, juga terdapat sebuah batu yang sangat unik, sehingga Tim menamainya "batu magnit". Uniknya, ketika diukur menggunakan kompas, walaupun ditempatkan di sekeliling batu ke berbagai arah mata angin, jarum magnetis Utara (U) kompas selalu mengarah ke batu tersebut. Hal itu, mengingatkan akan peristiwa jatuhnya pesawat terbang di lereng Timur Laut Gunung Pulasari, tidak jauh dari lokasi Batu Kiara Sarebu. Mungkin saja arah kompas kapal terbang yang nahas, dikacaukan oleh "batu magnit" puncak Rincik Manik.
Di lokasi puncak Roncang Omas, terdapat sebuah tempat yang dianggap "makam", dengan ditandai tumpukan batu yang sudah demikian terlantar. Di lokasi itu, banyak sampah‑sampah berserakan, yang ditinggalkan wisatawan lokal. Bahkan batu‑batuan yang ditemukan, nampak gosong, akibat seringkali digunakan sebagai tungku untuk memasak atau api unggun.
Kekeramatan itu tidak mungkin termasyhur sampai ke Jawa Timur, kalau di atas gunung itu tidak terdapat tempat pemujaan lama (Guillot, 1996). Mungkin, puncak Rincik Manik dan puncak Roncang Omas itulah yang dimaksud oleh Guillot. Di bagian lain, Guillot mengemukakan pendapatnya tentang Situs Sanghiyang Dengdek, yang juga berlokasi di lereng Gunung Pulasari.
Selain tempat‑tempat keramat biasa, sata‑satunya tempat pemujaan lama yang masih ada terdapat di Desa Sanghyang Dengdek, yang menyandang nama "dewa" yang dipuja di situ. Tempat pemujaan tersebut sudah lama dikenal, dengan tipe "primitif" yang umum di Jawa Barat; di atas sebuah onggokan tanah yang dikelilingi batu sungai yang besar‑besar, berdiri tegak sebuah batu yang tingginya kira‑kira satu meter dan puncaknya dipahat secara kasar berbentuk kepala; kelihatan pula, tetapi hampir tidak menonjol, lengan‑lengan dan kelamin lelaki. Nama tokoh itu "si bungkuk yang terpuja" berasal dari bentuk batu yang secara alam agak membungkuk.
Betapapun menariknya tempat pemujaan tersebut, rupanya tidak setara dengan kekeramatan Gunung Pulasari menurut SB, Tantu Panggelaran dan Serat Centhini, apalagi kalau diingat bahwa pengarang kedua karya terakhir ini sudah tentu mengetahui bangunan agama yang jauh lebih canggih. Lagi pula sulit dibayangkan bahwa negeri terbuka ke dunia luar seperti Banten Girang, dapat puas dengan gaya primitif dan "kampungan" dari arca‑menhir itu (Guillot,1996:100).
Pendapat Guillot terkesan merendahkan nilai kepurbakalaan menhir Sanghiyang Dengdek, dengan sebutan "si bungkuk yang terpuja", "primitif" dan "kampungan". Mungkin Guillot kecewa, karena kepurbakalaan Sanghiyang Dengdek, tidak mampu mendukung kebesaran temuan Banten Girang.
Haris Sukendar, dalam makalah Peranan Menhir Dalam Masyarakat Prasejarah di Indonesia, menerangkan makna dan fungsi menhir, antara lain sebagai berikut:
Menhir berasal dari bahasa Breton yang terdiri dari kata "men" =batu dan "hir" = berdiri, yang secara keseluruhan berarti batu tegak (berdiri) (Soejono, 1981/1982: 247). Menhir merupakan peninggalan tradisi megalitik yang sangat banyak ditemukan di berbagai situs, dan berbagai masa setelah periode neolitik (bercocok tanam) (Van der Hoop 1938). Bahkan sampai masa‑masa pengaruh Hindu maupun pengaruh Islam di Indonesia menhir sebagai salah satu obyek tradisi megalitik masih memegang peranan penting bahkan berkembang sampai sekarang. Dengan adanya peranan menhir yang meliputi kurun waktu cukup panjang tersebut maka tidak mengherankan jika terjadi perkembangan‑perkembangan pada bentuk‑bentuk dan fungsi menhir itu sendiri. Situs‑situs megalitik telah menghasilkan menhir‑menhir yang mempunyai bentuk berbeda-beda. Di daerah Lampung, Jawa Barat, Sulawesi dan lain‑lain ditemukan menhir dalam bentuk sederhana dari batuan kasar, dan belum dikerjakan (Sukendar,1985: 92).
Dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa I sarga 1, mengenai pitarapuja (penghormatan terhadap arwah leluhur), dikemukakan antara lain sebagai berikut:
.../hana jnua pamuja
nikang jan m apada ring samang-
kana/ akweh pamu-
ajanya// mapan sarwa pa-
muja sakaharepni-
ra/ lawan angucap mantra
yatiku makadi pi-
trepuja// marika ma-
malaku ning sang pita-
ra makapu (ru) haranya ma-
kadi sang pitrepuja
ning kawitan la-
wan waneh sthapan mantra/
sangkep lawan widhiwidha-
na mwang asthapana se-
wana lawan sarwa bho-
ga// nityabhiprayanira
yatanyan sidha citta-
nya//...
Terjemahannya:
Adapun yang jadi pujaan warga masyarakat pada waktu itu, banyak sekali. Karena yang menjadi pujaannya sekehendak mereka, dengan mengucapkan mantra, yaitu terutama pemujaan terhadap nenek‑moyang. Mereka memohon kepada nenek‑moyang, yang menjadi tujuan terakhir, terutama pujaan terhadap nenek‑moyang dari ayah dan juga mantera sihir, lengkap dengan upacara yang diperlukan serta asthapana sewana (nama sejenis mantra) dan berbagai makanan. Selalu maksudnya agar cita‑cita mereka tercapai.
Saleh Danasasmita pernah mengungkapkan, bagaimana sesungguhnya fungsi dan makna dari menhir atau batuan lainnya, yang sudah ada jauh sebelum Hindu masuk ke Tatar Sunda. Para "pemuja leluhur" ini telah memiliki tatanan kehidupan yang teratur yang kemudian tumbuh secara dinamik, ketika mendapat sentuhan pengaruh Hindu. Orang Jawa Barat berkenalan dengan panteon baru yang dihuni para dewa, namun seperti diungkapkan oleh Wangsakerta dan Pleyte, rakyat banyak tetap setia memuja roh leluhurnya. Sampai sekarang hal ini masih tampak cukup jelas (Danasasmita,1984:42).
Selanjutnya Saleh Danasasmita memberikan gambaran, tentang kemungkinan terjadinya transisi keagamaan, antara lain sebagai berikut:
Dalam abad ke‑13 atau sedikitnya abad ke‑14 raja‑raja di Jawa Barat sudah mulai mempertaruhkan nasib negaranya di kabuyutan atau di sasaka domas. Tempat-tempat seperti itu pada umumnya berasal dari peninggalan para leluhur yang dimanfaatkan terus atau dimanfaatkan kembali. Dengan kabuyutan sebagai "pusat dangiang", mereka makin menggeser jauh dari garis Hinduisme. Lingga dan yoni gaya Hindu ditinggalkan; mereka kembali kepada penggunaan disolit yang berupa pasangan tonggak batu dengan lempeng batu. Kalau tempat‑tempat seperti itu dilengkapi patung‑patung, bukanlah patung dewa‑dewa Hindu yang ditempatkannya melainkan patung‑patung nenek‑moyang. Tempat-tempat seperti itu pada umumnya ditandai oleh adanya petak bersegi empat mirip "kuburan" (Danasasmita, 1984:42).
Mengacu kepada pendapat Saleh Danasasmita, di seputar Gunung Pulasari Pandeglang, terdapat peninggalan kepurbakalaan dimaksud, antara lain berupa menhir:
1.   Sanghiyang Dengdek. Lokasi di Kampung Kaduhejo, Desa Sanghyangdengdek, Kecamatan Saketi.
2.   Sanghyang Heuleut. Lokasi di Desa Banjarnegara, Kecamatan Saketi.
3.   Batu Pahoman. Lokasi di Kampung Pahoman, Desa Pasirpeuteuy, Kecamatan Cadasari.
4.   Batu Goong. Lokasi di Desa Sukasari, Kecamatan Menes.
5.   Batu Lingga. Lokasi di Desa Batulingga, Kecamatan Banjar.
6.   Batu Cihanjuran. Jumlah 3 buah menhir, lokasi di mata air Cihanjuran, Desa Cikoneng, Kecamatan Mandalawangi.
7.   Makam Gunung Cupu. Lokasi di Desa Gunungcupu, Kecamatan Cimanuk.
8.   Batu Rincik Manik. Posisi di puncak Gunung Pulasari, pada ketinggian + 1300 meter di atas permukaan laut.
9.   Sanghiyang Arca. Lokasi di ketinggian Kampung Cilentung, Kecamatan Saketi.
Berdasarkan kajian geografi sejarah, pada masa 2000 tahun yang silam, keadaan pantai Barat Pandeglang, tentunya berbeda dengan keadaan yang sekarang. Dihitung secara geologis, sangat memungkinkan terjadi pendangkalan akibat terjadinya beberapa kali letusan gunung Krakatau, Gunung Pulasari, Gunung Karang, juga Gunung Aseupan. Terhanyutnya pasir, debu, kerikil dari letusan gunung, oleh arus deras sungai Cibama, Cilabuan, Cicaringin dan Cibangangah, membentuk pendangkalan selebar antara 8‑10 kilometer di sepanjang pantai Barat Gunung Pulasari.
Keadaan tanah situs Sanghiyang Dengdek, berada pada ketinggian 250 meter di atas permukaan laut, berjarak 14 kilometer dari garis pantai. Keadaan Sanghiyang Dengdek pada saat 2000 tahun yang lalu, sebelum terjadi pengendapan di sepanjang pantai Teluk Lada, jaraknya hanya 3 kilometer dari tepi pantai. Berpedoman kepada naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa I sarga 1, yang menyatakan "pernah adanya masyarakat pesisir pantai Barat", dapat diduga bahwa Dukuh Pulasari (tempat Panghulu Aki Tirem dan masyarakatnya bermukim), berlokasi di areal pemukiman Sanghiyang Dengdek.

Jejak Agama Sunda
Di sekitar Gunung Pulasari, Gunung Aseupan dan Gunung Karang di Kabupaten Pandeglang, ditemukan pula batu‑batuan berbentuk dolmen, di antaranya:
1.   Batu Ranjang. Lokasi di Kampung Baturanjang, Desa Palanyar, Kecamatan Cimanuk.
2.   Batu Pangasaman. Lokasi di Desa Parigi, Kecamatan Saketi.
3.   Batu Pangsalatan. Lokasi di tepi jalan raya di wilayah Kecamatan Mandalawangi.
Sedangkan batu‑batu yang ditemukan dalam bentuk lain, diduga memiliki nilai kepurbakalaan, antara lain:
1.         Batu Sanghiyang Kotok. Lokasi di lereng Gunung Pulasari.
2.         Batu Cangkrung. Lokasi di lereng Gunung Pulasari.
3.         Batu Keris dan Batu Teko. Lokasi di tengah hamparan pesawahan Desa Cimanuk, Kecamatan Cimanuk.
4.         Batu Kuda I. Lokasi di tepi jalan Desa Cimanuk, Kecamatan Cimanuk.
5.         Batu Kuda II. Lokasi di Pasir Pariuk Nangkub, Kampung Sampalan, Desa Parigi, Kecamatan Saketi.
6.         Batu Qur'an. Lokasi di Kampung Cibulakan, Kecamatan Cimanuk.
7.         Batu Notod. Lokasi di Desa Parigi, Kecamatan Saketi.
8.         Batu Saketeng. Lokasi di Desa Saketi, Kecamatan Saketi.
9.         Batu Tumbung. Lokasi di Kampung Cidaresi, Desa Palanyar, Kecamatan Cimanuk.
10.     Batu Kasur. Lokasi di Kampung Nembol, Kecamatan Mandalawangi.
11.     Batu Tongtrong. Lokasi di Desa Palanyar, Kecamatan Cimanuk.
12.     Batu Kolam Citaman. Lokasi di Desa Sukasari, Kecamatan Menes.
Di kawasan Provinsi Banten, masih terdapat gejala religi "agama masa silam", dan masih dianut oleh kelompok masyarakat yang menamakan diri "Sunda Wiwitan" (Sunda Awal). Hal ini diperkuat oleh laporan RA.A.A. Djajadiningrat, Bupati Serang tahun 1908, dalam laporan resminya (1908 no. 1786; van Tricht,1929:47), yang dikutip Judistira Garna dalam bukunya Orang Baduy, antara lain sebagai berikut:
Menurut adat dan kepercayaan, orang‑orang Baduy merupakan kelompok yang mewakili suatu zaman peradaban Pasundan yang telah silam. Meskipun kita telah jauh dari pengetahuan yang pasti tentang satu dan lainnya mengenai pandangan mereka, namun melihat keterasingannya yang ketat yang mereka lakukan, sejauh ini dapat disimpulkan bahwa mereka itu bukan penganut ajaran Ciwa atau Wisnu, bukan pula penganut suatu sekte Hindu ataupun Budha. Walaupun kurang terdapat keterangan terinci, namun berdasarkan berbagai pengamatan dan laporan resmi Djajadiningrat serta pengamatan Pennings (1902), van Tricht mengemukakan tentang agama Sunda sebagai kepercayaan orang Baduy. Agama itu merupakan agama tua yang dipeluk oleh penghuni Wilayah Jawa Barat (sekarang) yang permulaan penyebaran agama Islam sedikit sekali dipengaruhi oleh agama Hindu (1929:47) (Garna,1987:61)
Mengenai jejak religi masa silam seperti itu, Saleh Danasasmita pernah memberikan penjelasan, antara lain sebagai berikut:
Sesuai dengan kehidupan leluhurnya yang masih biasa berpindah‑pindah tiap habis musim panen, watak agama yang diwarisinya lebih sederhana dalam arti: praktis, akrab dengan alam dan lebih mengutamakan isi daripada bentuk. Praktis sehingga dapat dilaksanakan di manapun mereka berada. Akrab dengan alam sehingga lebih mengutamakan keheningan mutlak daripada kehiruk-pikukan masa. Lebih mementingkan isi sehingga ukuran kesungguhan dan kekhidmatan tidak didasarkan kepada nilai-nilai materil benda‑benda upacaranya melainkan dalam hati dan tingkah laku. Jelas upacara‑upacara dalam agama Hindu yang penuh formalitas dengan urutan yang ketat serta mantera-mantera yang tak boleh salah ucap atau salah susun, tidak serasi dengan karakter agama yang diwarisi dari para leluhurnya. Bagi mereka, sebongkah batu alam yang agak aneh sudah cukup untuk dijadikan titik pusat upacara pemujaan. Setelah selesai, batu itu ditinggalkannya karena di tempat lain pun mudah memperoleh batu sejenis. Namun, sejenak kesungguhan hati yang dibungkus keheningan alam sekitar merupakan modal mereka yang utama dalam menjalin hubungan dengan Yang Gaib (Danasamita,1984:43).
Situs religi masa silam terbesar di wilayah Provinsi Banten, berupa peninggalan dari masa pra‑Hindu, dengan ditemukannya beberapa punden berundak di wilayah Kabupaten Lebak. Keterangan peninggalan tersebut, diungkapkan oleh Halwany Michrob dalam buku Lebak Sibedug dan Arca Doms di Banten Selatan (1993), antara lain sebagai berikut:
Undakan batu di Kosala terdiri 5 tingkat yang pada setiap tingkatnya terdapat menhir. Kadang-kadang dijumpai sebuah papan batu (lab stone) berbentuk segi lima, dan pada bagian bawah yang terpendam dalam tanah terdapat beberapa buah batu bulat (batu pelor) yang bergaris tengah antara 10‑15 cm. Sebuah arca kecil ditemukan di dekat struktur berundak tersebut kedua tangannya terlipat ke depan, salah satu di antaranya seperti dalam sikap mangacungkan ibujari. Arca Domas adalah bangunan berundak dengan 13 tingkatan dan pada tingkat paling atas terdapat sebuah menhir berukuran besar, yang pemercaya dianggap melambangkan Batara Tunggal, Sang Pencipta Roh, dan kepadanya pula roh‑roh akan kembali. Monumen Lebak Sibedug juga merupakan bangunan berundak empat tingkat setinggi ± 6 meter. Di depan undak batu ini terdapat dataran yang di tengahnya terdapat sebuah menhir. Menhir pusat ini ditunjang oleh batu‑batuan berukuran kecil (Michrob,1993: 5‑6).
Dalam naskah kuno Kropak 630 Sanghiyang Siksakandang Karesian, terdapat jejak "agama asli" yang jauh lebih mendasar, jika dibandingkan dengan kedua gejala Hinduisme dan Budhisme. Hal tersebut pernah dikaji oleh Saleh Danasasmita, mengemukakan pendapatnya, antara lain sebagai berikut:
Dalam dasaperbakti di antaranya disebutkan, "ratu bakti di dewata, dewata bakti di hiyang" (raja tunduk kepada dewata, dewata tunduk kepada hiyang). Jadi hiyang‑lah yang paling tinggi. Kemudian dinyatakan bahwa dewa‑dewa seperti Brahma, Wisnu, Iswara, Siwa dan lain‑lainnya tunduk kepada Batara Seda Niskala. Dialah Batara Jagat (penguasa alam) "nu ngretakeun bumi niskala" (Yang mengatur dunia gaib). Seda Niskala adalah nama Hiyang yamg disangsakertakan (seda = sempurna; niskala = gaib). Nama itu dapat diartikan "Yang Maha Gaib" (Danasasmita, 1984:41).
Ikhwal peninggalan Hinduisme yang terdapat di Pulau Panaitan, maupun temuan di Gunung Pulasari (yang kini telah dipindahkan ke museum), kemungkinan besar pernah tersingkir, akibat terdesak oleh kebangkitan kembali agama pribumi (agama Sunda). Kemungkinan-kemungkinan itulah, yang tidak sempat dikaji dan dipahami Claude Guillot, sehingga Sanghiyang Dengdek disebutnya "si bungkuk yang terpuja", dan dinilai bergaya "primitif” dan "kampungan". Guillot tidak memahami agama leluhur Sunda, sehingga ia lebih tertarik oleh "bentuk" arca Hinduisme, dari pada "isi" (makna dan fungsi) pitarapuja Sanghiyang Dengdek. Tidak menutup kemungkinan, peninggalan kepurbakalaan Hinduisme dan Budhisme di Cibuaya dan Batujaya (Karawang), terkuburnya menjadi bukit‑bukit (hunyur), kemungkinan ada unsur kesengajaan.
Carita Parahiyangan menunjukkan adanya para wiku "nu ngawakan Jati Sunda" yaitu para pendeta yang khusus mengamalkan "agama Sunda" dan memelihara "kabuyutan parahiyangan". Sisa dari kabuyutan Jati Sunda atau parahiyangan seperti itu adalah Mandala Kanekes yang dihuni "orang Baduy" sekarang. Leluhur mereka dalam jaman kerajaan mengemban tugas memelihara mandala atau kabuyutan “Jati Sunda" yang dewasa ini disebut sasaka domas. Orang Tangtu ("Baduy‑dalam") adalah keturunan "para wiku", orang panamping ("Baduy‑luar") merupakan keturunan "kaum sangga". Mereka bertugas melakukan "tapa di mandala" dan sudah menjalankan tugas tersebut secara turun temurun sejak masa jauh sebelum Kerajaan Pajajaran berdiri (Danasasmita,1984:41).
Sendi‑sendi religi masa silam pra-Hindu di seputar lereng dan suku Gunung Pulasari, mengingatkan adanya benang merah religius, antara tokoh Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya dengan "Pitarapuja Hiyang"‑nya; bangkit kembali pada masa kerajaan; Sunda, Galuh, Pajajaran dengan "Hiyang Seda Niskala"‑nya, terlestarikan dalam refleksi masyarakat Sunda Wiwitan (Baduy) masa kini dengan Agama Sundanya.

Melacak Rajatapura 
Ayatrohaedi, dalam makalah Naskah dan Sajarah (1989), mengemukakan tentang permulaan lahirnya ilmu arkeologi, antara lain sebagai berikut:
Sebagai seorang anak Eropah, sudah sejak kecil Heinrich Schhemann berkenalan dengan mitologi Yunani yang dianggap sebagai salah satu akar kebudayaan Eropah masa berikutnya. Selain di sekolah, mitologi Yunani itu dikenalnya juga melalui kedua orang tuanya, para tetangganya, dan buku‑buku yang dibacanya. Ia sangat tertarik oleh kisah Perang Troya yang menggambarkan bagaimana sebuah kota yang kokoh, akhirnya dapat direbut berkat kecerdikan musuh yang mengepungnya. Ketertarikannya itu ternyata berkepanjangan menjadi tanda tanya besar baginya. Mungkinkah kisah yang demikian nyata itu, benar‑benar hanya sekadar dongeng tanpa satu pun acuan peristiwa yang tetjadi? Jika orang lain beranggapan kisah itu sekadar mitos, tidak demikian halnya dengan Heinrich. Ia menduga bahwa kisah itu lahir karena ada suatu peristiwa penting yang pernah terjadi di kota atau sekitar kota Troya itu. Kebetulan orangtuanya pedagang kaya, dan juga memahami rasa penasaran anaknya itu. Dengan dukungan dana dari orangtuanya, di samping ia sendiri kemudian menjadi saudagar yang juga kaya, ia memutuskan untuk pergi ke Yunani. Bukan untuk membuktikan kepada dunia bahwa di sana ada sebuah kota dan peradaban yang bernama Troya, melainkan lebih disebabkan oleh keinginan memenuhi rasa penasarannya itu. Bersama dengan istri dan sejumlah pembantu lapangan, mereka berangkat ke Yunani, lalu menuju tempat yang menurut berbagai acuan diduga sebagai tempat berdirinya kota Troya. Berhari‑hari mereka menggali di situ, tak juga menemukan apa yang dicari. Ketika seluruh rombongan (kecuali Heinrich) sudah benar-benar berputus asa, cangkul yang dihujamkan ke tanah mengenai sesuatu yang keras. Keputus-asaan untuk sementara ditangguhkan, dan penggalian diteruskan. Hasilnya, bukti pertama bekas kota dan peradaban itu tergali, dan dari penggalian itu lahirlah ilmu yang kemudian dikenal sebagai widyapurba atau arkeologi. (Ayatrohaedi, 1989:1-2)
Untuk memberikan ilustrasi yang lebih jelas, Ayatrohaedi mengemukakan peristiwa lainnya, mengenai keterkaitan antara naskah dengan pembuktian sejarah, antara lain sebagai berikut:
Dalam pada itu, nenek‑moyang orang India meninggalkan dua buah wiracarita yang terkenal, Mahabharata karya Wyasa dan Ramayana karya Walmiki. Menurut para ahli bahasa, kedua naskah itu berasal dari kurun masa antara 400 sM-400 M. Seperti juga halnya dengan kisah Troya, para pembaca naskah itu umumnya menganggap bahwa semuanya hanyalah sekadar dongeng, kalaupun bukan mitos. Tetapi, seperti halnya dengan Heinrich, ada saja orang yang tidak percaya akan keasaldongengan kedua wiracarita itu. Inggris yang ketika itu menjadi yang dipertuan di India, juga mempunyai beberapa orang warga yang menganggap bahwa kisah Troya kaol (=versi) India seharusnya tersembunyi di balik kisah tersebut. Berbekal anggapan itu, mereka mencoba menggali dan menemukan kota yang seharusnya menjadi pusat kerajaan Indraprahasta (kita mengenalnya dengan nama Amarta), di daerah sebelah Barat Daya, beberapa kilometer dari kota Nutana Dehali (New Delhi). Hasilnya? Bekas kota tua yang diduga berasal dari pertengahan abad ke‑12 sebelum Masehi (1150 sM) muncul kepermukaan. Dalam pada itu, dendam kesumat antara Rama dengan Rahwana, ternyata masih berlanjut hingga sekarang berupa sengketa antara orang Singhala di Srilangka (Alengka) dan orang Tamil yang tidak mustahil keturunan Subali dan Sugriwa. (Ayatrohaedi,1989: 2‑3).
Dari dua ilustrasi yang dicontohkan oleh Ayatrohaedi, mendapatkan gambaran yang jelas, bahwa naskah dongeng sekalipun, dapat dimanfaatkan sebagai pemandu pembuktian sejarah. Karena masa penulisannya yang tidak muasir itu, diperlukan kecermatan dan ketelitian, jika seseorang bermaksud menggunakan naskah sebagai sumber sejarah, termasuk naskah‑naskah yang sebenarnya menyebut dirinya sajarah, hikayat, asal‑usul, silsilah, carita, tambo, atau babad. Betapapun, nama-nama yang disandangnya itu mengisyaratkan bahwa sampai taraf tertentu, naskah‑naskah itu dapat dimanfaatkan sebagai sumber sejarah (Ayatrohaedi,1989:6).
Kembali ke masalah Salakanagara, Dewawarman dan Rajatapura, yang telah lama menjadi perdebatan para ahli. Di Gunung Pulasari, sebagaimana yang diungkapkan oleh Claude Guillot, sesungguhnya merupakan pemandu ke arah pembuktian Salakanagara. Guillot mengemukakan pendapatnya, antara lain sebagai berikut:
Dari berbagai sisi, arca‑arca itu penting untuk pokok pembicaraan ini. Pertama, meskipun muka arca‑arca itu sudah dirusakkan (pada masa Hasanuddin?), gayanya sangat berbeda dari gaya arca Sunda, dan persis serupa dengan gaya akhir periode Jawa Tengah, artinya dapat ditentukan berasal dari paro pertama abad ke‑10. Kedua, dapat dilihat bahwa arca-arca itu merupakan kelompok arca dewa yang terdapat dalam setiap arca dewa yang terdapat dalam setiap candi Siwa, yaitu Dewa Siwa, Agastya (titisan Siwa yang amat sering terdapat di Jawa), Durga (yaitu Parvati, sakti Siwa) dan Ganesha (putra Siwa), serta lingga yang sudah hilang, namun semula sudah barang tentu bersatu dengan yoni. Wahana (vahana) Siwa, yaitu sapi Nandi, mungkin sekali juga sudah hilang. Kehadiran arca Brahma barangkali menunjukkan bahwa, seperti di Prambanan, candi utama Siwa diapit oleh candi Brahma dan candi Wisnu, sedangkan arca Wisnu itu tidak ditemukan kembali. Ketiga, seperti dijelaskan dalam surat asisten residen tersebut, arca‑arca itu terdapat di Cipanas yaitu di Gunung Pulasari, dekat kawah yang oleh C.W.M. van de Velde digambarkan dalam sebuah sketsa yang termasyhur pada pertengahan abad ke‑19, pasti tidak lama sesudah pengangkatan arca-arca tersebut (Guillot,1996:102).
Guillot sudah menduga, bahwa arca‑arca hasil temuan dari Cipanas Gunung Pulasari itu, berasal dari peninggalan Hinduisme. Hanya saja, jika Guillot mau melirik hasil kajian para ahli tentang Salakanagara, temuannya sangat membantu dalam perkembangan selanjutnya.
Sementara itu, dalam naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, parwa I sarga 1, halaman 158-160, terdapat suatu riwayat tentang pernah dibuatnya candi beserta arca‑arcanya oleh Dewawarman VIII (240‑362 Masehi), antara lain sebagai berikut:
...// diwasa sang de-
wawarman astama nyakra-
warti i bhumi Jawa ku-
lwan ring samangkana pra-
nah ing janapada rikung
kreta subhika//...
...// sang raja gawe
ta sira candi lawa-
n pratistha ing siwa ma-
hadewamardhacandra-
kapala // lawann ganaya-
nadewa /juga hya wi-
snudewa / anggwa sira
sakweh ing wa(i)snawa//ma-
pan siwa kabeh jana-
pada padaherup hu-
rip tulushayu/...
Terjemahannya:
Pada masa Dewawarman kedelapan memerintah di bumi Jawa Kulwan, pada waktu itu kehidupan warga masyarakat ada dalam keadaan makmur sejahtera. Sanghyang Agatna senantiasa dihormati, dipelihara dan sangatlah baik karenanya. Di antara warga masyarakat yang memuja Hyang Wisnu tidak seberapa banyaknya. Ada yang memuja Hyang Siwa. Ada yang memuja Hyang Ganayana. Ada yang memuja Siwa-Wisnu. Maka demikianlah pemuja Hyang Ganayana [atau] disebut juga pemuja Ganapati. Golongan ini banyak pengikutnya. Adapun mata pencaharian warga masyarakat, di antaranya berburu di hutan pegunungan, berdagang, mengusahakan pelayanan, menangkap ikan di tengah lautan sepanjang tepi sungai. Juga memelihara binatang dan menanam buah-buahan, bertani dan sebagainya. Sang Raja membuat candi, serta patung Siwa Mahadewamardhacandrakapala dan Ganayanadewa, juga Hyang Wisnudewa. Anutan mereka sekalian Waisnawa. Karena sekalian warga masyarakat, mengharapkan hidup lanjut dan selamat.
Temuan arca-arca di "Candi Pulasari", seperti yang dikemukakan oleh Claude Guillot, ternyata mendapat penjelasan dari naskah Pangeran Wangsakerta. Kekunoan arca‑arca tersebut, sangat berbeda dengan arca‑arca lain yang lebih muda, yang ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Oleh karena kekunoannya itulah, Guillot mempersoalkan "arca-arca itu sudah dirusakkan (pada masa Hasanudin?)". Akan tetapi, pada bagian lain, Guillot menjelaskan, antara lain sebagai berikut:
Arca-arca yang disebutkan sebagai "arca Caringin" itu telah dilupakan lama sekali sejak diangkut ke Jakarta, dan di sana tercampur dengan ratusan arca lain yang sejenis, sehingga hilang keunikan tempat asalnya. Meskipun demikian, arti pentingnya tidak luput dari perhatian R Friederiich pada tahun 1850. Dalam sebuah kajian mengenai gaya arca-arca yang disimpan di Museum Batavia, ia menulis tentang arca Ganesha, sebuah ulasan yang layak dikutip: "Bahwa arca semacam itu, beserta beberapa arca lain yang bergaya lama, telah ditemukan di daerah Banten, di bagian Pulau Jawa yang paling Barat, berarti bahwa peradaban dan seni Hindu telah tersebar sampai ke pantai itu. Sejarah kerajaan yang telah melahirkan peninggalan kuno tersebut, dan bahkan nama kerajaan itu, untuk sementara belum dapat dipastikan. Jelas, peninggalan kuno itu tidak dapat dianggap berasal dari Kerajaan Pajajaran sebab segala peninggalan dan segala sesuatu yang kita ketahui tentang Pajajaran menunjukkan keterbelakangan di bidang ilmu pengetahuan dan seni. Begitu pula peninggalan Majapahit jauh dari menyamai peninggalan masa‑masa sebelumnya (Guillot,1996:103).
Bagian yang terpenting dari pernyataan Guillot, terdapat pada bagian akhir (kesimpulan), yang kutipannya antara lain sebagai berikut:
Maka kami menarik kesimpulan bahwa peninggalan di Caringin cukup kuno, dan bahwa sebelum masa Pajajaran terdapat sebuah kerajaan Hindu di Banten (Guillot,1996:108).
Kutipan tersebut sangat berharga, memberikan kepastian lokasi; Banten sebelum masa Pajajaran. Oleh karena itu, penelusuran harus kembali ke wilayah Gunung Pulasari Pandeglang, sebagai tempat asal (insitu) arca‑arca Hinduisme itu pernah berada. Saleh Danasasmita, menunjuk muara Sungai Ciliman di wilayah Teluk Lada (Pandeglang), sebagai pusat kota Rajatapura (Danasasmita,1984:13).
Kota Palembang di Sumatera Selatan, antara abad ke‑7 hingga abad ke-11, berada tepat di pantai. Sedangkan Palembang sekarang, posisinya jauh dari garis pantai, hingga mencapai 8‑9 kilometer. Begitu pula yang terjadi di Gunung Muria (Jawa Tengah). Akibat endapan lumpur Sungai Lusi (Purwodadi) dan Sungai Tuntang (Demak) pada abad ke‑11 (masa kekuasaan Raja Airlangga), daratan Gunung Muria menjadi satu dengan Pegunungan Kapur pantai Utara (Blora) di Jawa Tengah (Daldjoeni,1984).
Pelabuhan Aruteun terletak di muara Sungai Cisadane. Pada waktu itu muara sungai Cisadane terletak jauh ke dalam, karena garis pantai Laut Jawa lima belas abad yang lalu jauh berbeda dengan sekarang. Tanah alluvial dari masa Ciaruteun sampai garis pantai Laut Jawa sekarang ialah hasil endapan selama lima belas abad (Muljana,1980:13).
Begitu pula hal yang sama, bisa saja terjadi dalam proses geologi pembentukan endapan di pantai Barat Pandeglang. Kemungkinan besar, ketika Salakanagara didirikan oleh Dewawarman tahun 130 Masehi (1871 tahun yang lalu), posisi kota kecamatan Mandalawangi, kurang lebih 8‑10 kilometer dari garis pantai, berada di pesisir Barat Pandeglang. Kemungkinan tersebut, didukung oleh pendapat Dedi M. Barmawijaya (ahli geologi), bahwa posisi pantai Barat Pulau Jawa abad ke‑2 Masehi, berada pada ketinggian 120 meter di atas permukaan laut, saat ini (18 Maret 2001).
Lokasi Rajatapura sebagai ibukota Salakanagara, dalam naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, parwa I sarga 1, halaman 154, terungkap sebagai berikut:
...//hana pwa dewa
warman wamsanyakrawar
ting rajya salakana-
gara i bhumi jawa ku-
lwan/ i sedertg kitha-
rajyanya ngaran rajata-
pura ri tina ning sagara//
Terjemahannya:
Adapun wangsa Dewawarman memerintah kerajaan Salakanagara di Bumi Jawa Barat, dengan ibukota kerajaan bernama Rajatapura, (terletak) di tepi laut.
Secara kebetulan, di situs Cihunjuran (Desa Cikoneng Kecamatan Mandalawangi), juru pelihara Burhan, menyimpan sebuah batu bulat elipsis (panjang 24 cm, lebar 18 cm, tinggi 9,5 cm). Di salah satu permukaan batu itu, terdapat titik-titik dan garis‑garis yang terukir mirip peta. Oleh karena itulah, Burhan menyebutnya "Batu Peta".
Kecamatan Mandalawangi di Kab. Pandeglang Banten.
Setelah dicoba dikaji‑bandingkan, dengan peta topografi Pandeglang (cetakan Belanda tahun 1938), terindikasi adanya beberapa ketepatan. Titik-titik dan garis-garis yang terukir pada "Batu Peta", sebagian besar bertepatan dengan peta lokasi situs kepurbakalaan, yang tersebar di sekitar lereng Gunung Pulasari. Kemudian, titik terbesar yang berbentuk persegi empat, berada di tengah‑tengah, bertepatan dengan posisi kota Kecamatan Mandalawangi sekarang. Posisi kota Kecamatan Mandalawangi, ditinjau dari segi pertahanan keamanan, sangat strategis, terlindung oleh 3 buah benteng alam: Gunung Pulasari, Gunung Aseupan dan Gunung Karang. Oleh karena itu, posisi Mandalawangi, diduga kuat, bekas lokasi Rajatapura ibukota Salakanagara.




(bagian 4 dari 4)


Sumber:
Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Tatar Sunda, Kumpulan Tulisan Pangeran Wangsakerta.



***

1 komentar:

  1. Terina kasih atas tulisannya mengenai kerajaan Salakanagara. Saya sedang dalam proses menukis novel, dan salah satu settingnya mengambil tempat di Rajatapura di masa hidup Putri Iswari. Dari tukisan bapak, saya simpulkan bahwa Rajatapura terletak di muara sungai Ciliman di kaki gunung Pulasari, di tempat yang sekarang menjadi kabupaten Mandalawangi. Pada masa itu kaki gunung Pulasari hanya sekitar 3 km dari pantai. Mohon koreksinya jika pemahaman saya kurang tepat.

    BalasHapus