Jumat, 29 Juni 2012

Pedoman Evaluasi Diri Sekolah

Kata Pengantar

Kebijakan pembangunan pendidikan nasional sebagaimana digariskan dalam Rencana Strategis Depdiknas (2010-2014) diarahkan pada upaya mewujudkan daya saing, pencitraan publik, dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan. Tolak ukur efektivitas implementasi kebijakan tersebut dilihat dari ketercapaian indikator-indikator mutu penyelenggaraan pendidikan yang telah ditetapkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dalam delapan (8) Standar Nasional Pendidikan (SNP). Tidak dipungkiri bahwa upaya strategis jangka panjang untuk mewujudkannya, menuntut satu “Sistem Penjaminan dan Peningkatan Mutu Pendidikan”  yang dapat membangun kerjasama dan kolaborasi di antara berbagai institusi terkait dalam satu keterpaduan jaringan kerja nasional. Dengan kata lain, diperlukan pengembangan sistem penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan. Tata kerja yang dibangun mengisyaratkan adanya serangkaian proses dan prosedur  untuk mengumpulkan; menganalisa; dan  melaporkan data mengenai kinerja dan mutu tenaga pendidik dan kependidikan; program; dan lembaga. 
Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (EQAS – Educational Quality Assurance and System) sedang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama dengan bantuan Pemerintah Australia. Proses penjaminan mutu mengidentifikasi aspek pencapaian dan prioritas peningkatan, menyediakan data sebagai dasar perencanaan dan pengambilan keputusan serta membantu membangun budaya peningkatan berkelanjutan. Pencapaian mutu pendidikan untuk pendidikan dasar dan menengah dikaji berdasarkan delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) dari BSNP. Empat hal penting yang perlu dilakukan dalam  penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan untuk pendidikan dasar dan menengah di Indonesia, yaitu : (1) Pengkajian mutu pendidikan, (2) Analisis dan pelaporan mutu pendidikan, (3) Peningkatan mutu merujuk pada Standar Nasional Pendidikan, dan (4) Penumbuhan budaya peningkatan mutu berkelanjutan.
Salah satu aspek dalam pengembangan sistem penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan adalah Evaluasi Diri Sekolah (EDS) sebagai  cara  menumbuhkan budaya peningkatan mutu berkelanjutan di sekolah. EDS dilaksanakan oleh setiap sekolah sebagai satu kebutuhan untuk meningkatkan kinerja dan mutu sekolah secara berkelanjutan. EDS merupakan mekanisme evaluasi internal yang dilakukan oleh kepala sekolah bersama guru; komite sekolah;  orang tua; dengan bantuan pengawas. Hasil evaluasi diri sekolah dimanfaatkan sebagai bahan untuk menyusun program pengembangan sekolah dan laporan kepada dinas pendidikan tentang pencapaian sekolah untuk pengembangan lebih lanjut.
Instrumen EDS disusun atas dasar delapan SNP, yaitu: Standar Isi, Standar Proses, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pembiayaan, Standar Pengelolaan, dan Standar Penilaian. Butir-butir instrumen evaluasi diri sekolah difokuskan pada aspek-aspek kehidupan sekolah yang paling esensial, yaitu kondisi-kondisi yang berkaitan dengan mutu pelayanan belajar-mengajar.
Sistem penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan dasar dan menengah di Indonesia beroperasi dalam suatu  manajemen pendidikan dan pemerintahan yang mendelegasikan sebagian besar tanggung jawab implementasinya kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, penyelenggara pendidikan swasta (yayasan pendidikan), dan satuan pendidikan (sekolah/madrasah). Oleh karena itu, diyakini bahwa upaya keberhasilan inovasi pendidikan sangat ditentukan oleh adanya komitmen, profesionalisme, kerjasama, dan kolaborasi semua pemangku kepentingan pendidikan.

PEDOMAN PENGGUNAAN EVALUASI DIRI SEKOLAH (EDS)

Evaluasi Diri Sekolah (EDS) di tiap sekolah menjadi tanggung jawab kepala sekolah dan dilakukan oleh Tim Pengembang Sekolah (TPS) yang terdiri dari Kepala Sekolah, Guru, Komite Sekolah, Orang Tua Peserta Didik, dan Pengawas. Proses EDS dapat mengikutsertakan tokoh masyarakat atau tokoh agama setempat. Instrumen EDS ini khusus dirancang  untuk digunakan oleh TPS dalam melakukan penilaian  kinerja sekolah terhadap Standar Pelayanan Minimum (SPM) dan Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang hasilnya menjadi masukan dan dasar penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) dalam upaya peningkatan kinerja sekolah.  EDS sebaiknya dilaksanakan setelah anggota TPS mendapat pelatihan. 
Informasi ringkas tentang EDS dapat dilihat di bawah ini:
1.    Apakah yang dimaksud dengan Evaluasi Diri Sekolah?
  • Evaluasi diri sekolah adalah proses yang mengikutsertakan semua pemangku kepentingan  untuk membantu sekolah dalam menilai mutu penyelenggaraan pendidikan berdasarkan indikator-indikator kunci yang mengacu pada Standar Pelayanan Minimum (SPM) dan Standar Nasional Pendidikan  (SNP).
  • Melalui EDS kekuatan dan kemajuan sekolah dapat diketahui dan aspek-aspek yang memerlukan peningkatan dapat diidentifikasi.
  • Proses evaluasi diri sekolah merupakan siklus, yang dimulai dengan pembentukan TPS, pelatihan penggunaan Instrumen, pelaksanaan EDS di sekolah dan penggunaan hasilnya sebagai dasar penyusunan RPS/RKS dan RAPBS/RKAS.
  • TPS mengumpulkan informasi dari berbagai sumber untuk menilai kinerja sekolah berdasarkan indikator-indikator yang dirumuskan dalam Instrumen. Kegiatan ini melibatkan semua pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah untuk memperoleh informasi dan pendapat dari seluruh pemangku kepentingan sekolah. 
  • EDS juga akan melihat visi dan misi sekolah. Apabila sekolah belum memiliki visi dan misi, maka diharapkan kegiatan ini akan memacu sekolah membuat atau memperbaiki visi dan misi dalam mencapai kinerja sekolah yang diinginkan.
  • Hasil EDS digunakan sebagai bahan untuk menetapkan aspek yang menjadi prioritas dalam rencana peningkatan dan pengembangan sekolah pada RPS/RKS dan RAPBS/RKAS.
  • Laporan hasil EDS dikirim ke Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota atau Kandepag sebagai informasi kinerja sekolah terkait pencapaian SPM dan SNP dan sebagai dasar penyusunan perencanaan pada tingkat kabupaten/kota dan provinsi.
2.  Apa yang diperoleh sekolah dari hasil EDS?
  • Seberapa baik kinerja sekolah? Dengan EDS akan diperoleh informasi mengenai pengelolaan sekolah yang telah memenuhi SNP untuk digunakan sebagai dasar penyusunan RPS/RKS dan RAPBS/RKAS.
  • Bagaimana mengetahui kinerja sekolah sesungguhnya? Dengan EDS akan diperoleh informasi tentang kinerja sekolah yang sebenarnya dan informasi tersebut diverifikasi dengan bukti-bukti fisik yang sesuai.
  • Bagaimana memperbaiki kinerja sekolah? Sekolah menggunakan informasi yang dikumpulkan dalam EDS untuk menetapkan apa yang menjadi prioritas bagi peningkatan sekolah dan digunakan untuk mempersiapkan RPS/RKS dan RAPBS/RKAS.
3. Keuntungan apa yang akan diperoleh sekolah dari EDS?
  • Sekolah mampu mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya sebagai dasar penyusunan rencana  pengembangan lebih lanjut.
  • Sekolah mampu mengenal peluang untuk memperbaiki mutu pendidikan, menilai keberhasilan upaya peningkatan, dan melakukan penyesuaian program-program yang ada.
  • Sekolah mampu mengetahui tantangan yang dihadapi dan mendiagnosis jenis kebutuhan yang diperlukan untuk perbaikan.
  • Sekolah dapat mengetahui tingkat pencapaian kinerja berdasarkan SPM dan SNP.
  • Sekolah dapat menyediakan laporan resmi kepada para pemangku kepentingan tentang kemajuan dan hasil yang dicapai.
4. Seberapa sering sekolah melakukan EDS?
  • Sekolah melakukan proses EDS setiap tahun sekali.
5. Bagaimana bentuk Instrumen EDS?
Instrumen EDS terdiri dari 8 (delapan) bagian sesuai  dengan SPM dan SNP. Setiap bagian terdiri atas :
·         Serangkaian pertanyaan terkait dengan SNP sebagai dasar bagi sekolah dalam memperoleh informasi kinerjanya yang bersifat kualitatif.
·         Setiap standar bisa terdiri dari beberapa aspek yang memberikan gambaran lebih menyeluruh .
·         Setiap aspek dari standar terdiri dari 4 tingkat pencapaian : tingkat pencapaian 1 berarti kurang, 2 berarti sedang, 3 berarti baik, dan 4 berarti amat baik.
·         Tiap tingkatan pencapaian mempunyai beberapa indikator.
·         Pada bagian akhir dari aspek setiap standar, terdapat halaman rekapitulasi untuk menuliskan hasil penilaian pencapaian yang diperoleh. Halaman rekapitulasi ini terdiri dari bukti fisik yang menguatkan pengakuan atas tingkat pencapaian, deskripsi umum temuan yang diperoleh untuk menilai aspek tersebut, dan penentuan tingkat pencapaian kinerja sekolah.
·         Sejumlah pertanyaan terkait dengan SPM dan SNP yang paling erat hubungannya dengan mutu pembelajaran dan aspek-aspek yang perlu dikembangkan bagi keperluan penyusunan rencana peningkatan sekolah.
·         Tingkat pencapaian pada tiap Standar dalam Instrumen ini dapat digunakan sekolah untuk menilai kinerjanya pada standar tertentu.

6.  Bagaimana sekolah menggunakan tingkat pencapaian?
  • Anggota TPS secara bersama mencermati Instrumen EDS pada setiap aspek dari setiap standar. Sebaiknya perlu disiapkan peraturan menteri, indikator atau peraturan pemerintah yang berkaitan dengan SNP sebagai rujukan.
  • Berdasarkan kondisi nyata sekolah, anggota TPS menilai apakah sekolah mereka termasuk dalam tingkatan 1, 2, 3 atau 4 dalam pencapaian SPM dan SNP ini. Misalnya pada Standar Isi ada aspek kesesuaian dan relevansi kurikulum serta aspek penyediaan kebutuhan untuk pengembangan diri. Bisa saja aspek kesesuaian dan relevansi kurikulum berada di Tingkat ke-4, tapi aspek kebutuhan untuk pengembangan diri ada di Tingkat ke-2. Ini tidak menjadi masalah. Tingkat pencapaian pada setiap standar  menggambarkan keadaan seperti apa kondisi kinerja sekolah pada saat dilakukan penilaian terkait dengan pertanyaan tertentu.
  • Setelah menentukan tingkat pencapaiannya, sekolah perlu menyertakan bukti fisik atas pengakuannya. Contoh bukti fisik atas keikutsertaan masyarakat dalam kehidupan sekolah berupa rapat komite sekolah, notulen, daftar hadir, dan undangan. 
  • Hasil semua penilaian dan penentuan tingkat pencapaian kinerja sekolah untuk aspek tertentu pada setiap standar ditulis pada lembar laporan penilaian atau rekapitulasi dengan menyertakan bukti fisik yang sesuai (lihat keterangan pada nomor 5 di atas).
  • Sekolah menetapkan tingkat pencapaian kinerja dan bukan hanya sekedar memberikan tanda cek (contreng)  pada setiap butir dalam Instrumen EDS.
  • Tingkat pencapaian kinerja sekolah bisa berbeda dalam aspek yang berbeda pula. Hal ini penting sebab sekolah harus memberikan laporan kinerja apa adanya. Dalam pelaksanaan EDS yang dilakukan setiap tahun, sekolah mempunyai dasar nyata aspek dan standar yang memerlukan perbaikan secara terus-menerus.
  • Dengan menggunakan Instrumen EDS ini, sekolah dapat mengukur dampak kinerjanya terhadap pembelajaran peserta didik. Sekolah juga dapat memeriksa hasil dan tindak lanjutnya terhadap perbaikan layanan pembelajaran yang diberikan dalam memenuhi kebutuhan pembelajaran peserta didik.

7. Jenis bukti apa yang dapat ditunjukkan?
  • Bukti fisik yang menggambarkan tingkat pencapaian harus sesuai dengan aspek atau standar yang dinilai. Untuk itu perlu dimanfaatkan berbagai sumber informasi yang dapat dijadikan sebagai bukti fisik misalnya kajian catatan, hasil observasi, dan hasil wawancara/konsultasi dengan pemangku kepentingan seperti komite sekolah, orang tua, guru-guru, siswa, dan unsur lain yang terkait.
  • Perlu diingat bahwa informasi kualitatif yang menggambarkan kenyataan dapat berasal dari informasi kuantitatif. Sebagai contoh, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) tidak sekedar merupakan catatan mengenai bagaimana pengajaran dilaksanakan. Keberadaan dokumen kurikulum bukan satu-satunya bukti bahwa kurikulum telah dilaksanakan.
  • Berbagai jenis bukti fisik dapat digunakan sekolah sebagai bukti tingkat pencapaian tertentu. Selain itu, sekolah perlu juga menunjukkan sumber bukti fisik lainnya yang sesuai.

8.   Bagaimana proses EDS membantu penyusunan rencana pengembangan sekolah?
·         TPS menganalisis informasi yang dikumpulkan, menggunakannya untuk mengidentifikasi dan menetapkan prioritas yang selanjutnya menjadi dasar penyusunan RPS/RKS dan RAPBS/RKAS.
·         Berdasarkan hasil EDS, sekolah mengembangkan RPS dengan prioritas peningkatan mutu kinerja sekolah yang dirumuskan secara jelas, dapat diobservasi dan diukur.  Dengan demikian, RPS menjadi dokumen kinerja sekolah yang meliputi aspek implementasi, skala prioritas, batas waktu, dan ukuran keberhasilannya.
·         Proses EDS berkaitan dengan aspek perubahan dan peningkatan. Upaya perubahan dan peningkatan tersebut hanya bermanfaat apabila diwujudkan dalam perencanaan bagi peningkatan mutu pendidikan dan hasil belajar  peserta didik. Diharapkan dengan adanya ragam data dan informasi yang diperoleh dari hasil EDS, sekolah bukan saja dapat merumuskan perencanaan pengembangan dengan tepat, akan tetapi penilaian kemajuan di masa depan juga akan lebih mudah dilakukan dengan tersedianya data yang dapat dipercaya. Hal tersebut dengan sendirinya memudahkan sekolah untuk menunjukkan hasil-hasil upaya peningkatan mereka setiap saat.

9.   Laporan apa yang perlu disiapkan?
·         Sekolah menyusun laporan hasil EDS dengan menggunakan format yang terpisah, yang menyajikan tingkat pencapaian serta bukti-bukti yang digunakannya. Hasil EDS digunakan untuk dasar penyusunan RPS sekolah, namun dilaporkan juga ke Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota atau Kandepag untuk dianalisis lanjut dengan memanfaatkan EMIS (Educational Management Information System/Sistem Informasi Manajemen Pendidikan) bagi keperluan perencanaan dan berbagai kegiatan peningkatan mutu lainnya.
·         Laporan sekolah yang mengungkapkan berbagai temuan dapat digunakan untuk melakukan validasi internal (menilai dan mencocokkan) oleh pengawas sekolah, dan validasi external dengan menggunakan beberapa sekolah oleh Kelompok Kerja Pengawas Sekolah (KKPS) pada tingkat kecamatan dengan bantuan staf penjaminan mutu dari LPMP.
·         Hasil EDS merupakan bagian yang penting dalam kegiatan monitoring kinerja sekolah oleh pemerintah daerah dalam rangka penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan.

Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan


PERATURAN  MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
NOMOR 63 TAHUN 2009

TENTANG

SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,

Menimbang     :  a.   bahwa pendidikan nasional menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dan oleh karena itu penjaminan mutu pendidikan menjadi tanggung jawab bersama ketiga unsur tersebut;
                           b.   bahwa penjaminan mutu pendidikan perlu terus didorong dengan perangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan arah dalam pelaksanaannya;
c.  bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan;

Mengingat       :  1.   Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
2.      Undang-Undang Nomor  32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan  Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);
3.      Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586);
4.      Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4774);
5.      Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
6.      Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4965);
7.      Undang-Undang Nomor  25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038);
8.      Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496);
9.      Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
10.  Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4863);
11.  Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4864);
12.  Peraturan Pemerintah 74 Tahun 2008 tentang Guru (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 194, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4941);
13.  Peraturan Pemerintah 37 Tahun 2009 tentang Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5007);
14.  Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 20  Tahun 2008;
15.  Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 77/P Tahun 2007;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:        PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL TENTANG SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Bagian Kesatu
Batasan Istilah

Pasal 1
Dalam peraturan menteri ini yang dimaksud dengan:
1.            Mutu pendidikan adalah tingkat kecerdasan kehidupan bangsa yang dapat diraih dari penerapan Sistem Pendidikan Nasional.
2.            Penjaminan mutu pendidikan adalah kegiatan sistemik dan terpadu oleh satuan atau program pendidikan, penyelenggara satuan atau program pendidikan, pemerintah daerah, Pemerintah, dan masyarakat untuk menaikkan tingkat kecerdasan kehidupan bangsa melalui pendidikan.
3.            Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan yang selanjutnya disebut SPMP adalah subsistem dari Sistem Pendidikan Nasional yang fungsi utamanya meningkatkan mutu pendidikan.
4.            Standar Pelayanan Minimal bidang pendidikan yang selanjutnya disebut SPM adalah jenis dan tingkat pelayanan pendidikan minimal yang harus disediakan oleh satuan atau program pendidikan, penyelenggara satuan atau program pendidikan, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten atau kota sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
5.            Standar Nasional Pendidikan yang selanjutnya disebut SNP adalah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan peraturan perundangan lain yang relevan.
6.            Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan yang selanjutnya disebut LPMP adalah unit pelaksana teknis Departemen Pendidikan Nasional sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 7 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 66 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Sumatera Barat, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Jawa Tengah, dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Sulawesi Selatan.
7.            Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal yang selanjutnya disebut BPPNFI adalah unit pelaksana teknis Departemen Pendidikan Nasional sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal.
8.            Pusat Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal yang selanjutnya P2PNFI adalah unit pelaksana teknis Departemen Pendidikan Nasional sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 8 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal.
9.            Badan Standar Nasional Pendidikan yang selanjutnya disebut BSNP adalah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
10.        Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi yang selanjutnya disebut BAN-PT adalah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
11.        Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah yang selanjutnya disebut BAN-S/M adalah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
12.        Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal yang selanjutnya disebut BAN-PNF adalah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
13.        Badan akreditasi provinsi yang selanjutnya disebut BAP adalah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
14.        Departemen adalah departemen yang menangani urusan pemerintahan dalam bidang pendidikan nasional.
15.        Menteri adalah menteri yang menangani urusan pemerintahan dalam bidang pendidikan nasional.

Bagian Kedua
Tujuan Penjaminan Mutu Pendidikan

Pasal 2
(1)         Tujuan akhir penjaminan mutu pendidikan adalah tingginya kecerdasan kehidupan manusia dan bangsa sebagaimana dicita-citakan oleh Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dicapai melalui penerapan SPMP. 
(2)         Tujuan antara penjaminan mutu pendidikan adalah terbangunnya SPMP termasuk:
a.       terbangunnya budaya mutu pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal;
b.      pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas dan proporsional dalam penjaminan mutu pendidikan formal dan/atau nonformal pada satuan atau program pendidikan, penyelenggara satuan atau program pendidikan, pemerintah kabupaten atau kota, pemerintah provinsi, dan Pemerintah;
c.       ditetapkannya secara nasional acuan mutu dalam penjaminan mutu pendidikan formal dan/atau nonformal;
d.      terpetakannya secara nasional mutu pendidikan formal dan nonformal yang dirinci menurut provinsi, kabupaten atau kota, dan satuan atau program pendidikan;
e.       terbangunnya sistem informasi mutu pendidikan formal dan nonformal berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang andal, terpadu, dan tersambung yang menghubungkan satuan atau program pendidikan, penyelenggara satuan atau program pendidikan, pemerintah kabupaten atau kota, pemerintah provinsi, dan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Paradigma dan Prinsip Penjaminan Mutu Pendidikan

Pasal 3
(1)         Penjaminan mutu pendidikan menganut paradigma:
a.       pendidikan untuk semua yang bersifat inklusif dan tidak mendiskriminasi peserta didik atas dasar latar belakang apa pun;
b.      pembelajaran sepanjang hayat berpusat pada peserta didik yang memperlakukan, memfasilitasi, dan mendorong peserta didik menjadi insan pembelajar mandiri yang kreatif, inovatif, dan berkewirausahaan; dan
c.       pendidikan untuk perkembangan, pengembangan, dan/atau pembangunan berkelanjutan (education for sustainable development), yaitu pendidikan yang mampu mengembangkan peserta didik menjadi rahmat bagi sekalian alam.
(2)         Penjaminan mutu pendidikan dilakukan atas dasar prinsip:
a.       keberlanjutan;
b.      terencana dan sistematis, dengan kerangka waktu dan target-target capaian mutu yang jelas dan terukur dalam penjaminan mutu pendidikan formal dan nonformal;
c.       menghormati otonomi satuan pendidikan formal dan nonformal;
d.      memfasilitasi pembelajaran informal masyarakat berkelanjutan dengan regulasi negara  yang seminimal mungkin;
e.       SPMP merupakan sistem terbuka yang terus disempurnakan secara berkelanjutan.

Bagian Keempat
Cakupan Penjaminan Mutu Pendidikan

Pasal 4
(1)         Tingginya kecerdasan kehidupan manusia dan bangsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) mengacu pada mutu kehidupan manusia dan bangsa Indonesia yang komprehensif dan seimbang yang mencakup sekurang-kurangnya:
a.       mutu keimanan, ketakwaan, akhlak, budi pekerti, dan kepribadian;
b.      kompetensi intelektual, estetik, psikomotorik, kinestetik, vokasional, serta kompetensi kemanusiaan lainnya sesuai dengan bakat, potensi, dan minat masing-masing;
c.       muatan dan tingkat kecanggihan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang mewarnai dan memfasilitasi kehidupan;
d.      kreativitas dan inovasi dalam menjalani kehidupan;
e.       tingkat kemandirian serta daya saing, dan
f.       kemampuan untuk menjamin keberlanjutan diri dan lingkungannya.
(2)         Penjaminan mutu pendidikan meliputi:
a.       penjaminan mutu pendidikan formal;
b.      penjaminan mutu pendidikan nonformal; dan
c.       penjaminan mutu pendidikan informal.

Bagian Kelima
Pembagian Peran dalam Penjaminan Mutu Pendidikan

Pasal 5
Penjaminan mutu pendidikan formal dan nonformal dilaksanakan oleh satuan atau program pendidikan.

Pasal 6
(1)          Penyelenggara satuan atau program pendidikan wajib menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk terlaksananya penjaminan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(2)          Penyelenggara satuan atau program pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.       penyelenggara satuan atau program pendidikan masyarakat;
b.      pemerintah kabupaten atau kota;
c.       pemerintah provinsi;
d.      Pemerintah.
(3)          Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d terdiri dari: Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama, dan kementerian/lembaga pemerintah lainnya penyelenggara satuan pendidikan.

Pasal 7
(1)         Penyelenggara satuan atau program pendidikan mensupervisi,  mengawasi, dan dapat memberi fasilitasi, saran, arahan, dan/atau bimbingan kepada satuan atau program pendidikan dalam penjaminan mutu pendidikan.
(2)         Pemerintah kabupaten atau kota mensupervisi, mengawasi, mengevaluasi, dan dapat memberi bantuan, fasilitasi, saran, arahan, dan/atau bimbingan kepada  satuan atau program pendidikan sesuai kewenangannya dalam penjaminan mutu pendidikan.
(3)         Pemerintah provinsi mensupervisi, mengawasi, mengevaluasi, dan dapat memberi bantuan, fasilitasi, saran, arahan, dan/atau bimbingan kepada satuan atau program pendidikan sesuai kewenangannya dalam penjaminan mutu pendidikan.
(4)         Pemerintah mensupervisi, mengawasi, mengevaluasi, dan dapat memberi bantuan, fasilitasi, saran, arahan, dan/atau bimbingan kepada satuan atau program pendidikan sesuai kewenangannya dalam penjaminan mutu pendidikan.

Pasal 8
(1)          Pemerintah kabupaten atau kota wajib mensupervisi, mengawasi, dan mengevaluasi, serta dapat memberi fasilitasi, saran, arahan, dan/atau bimbingan kepada penyelenggara satuan pendidikan sesuai kewenangannya berkaitan dengan penjaminan mutu satuan pendidikan.
(2)          Pemerintah provinsi wajib mensupervisi, mengawasi, dan mengevaluasi, serta dapat memberi fasilitasi, saran, arahan, dan/atau bimbingan kepada pemerintah kabupaten atau kota dan/atau penyelenggara satuan pendidikan sesuai kewenangannya berkaitan dengan penjaminan mutu satuan pendidikan.
(3)          Pemerintah wajib mensupervisi, mengawasi, dan mengevaluasi, serta dapat memberi fasilitasi, saran, arahan, dan/atau bimbingan kepada pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten atau kota, dan/atau penyelenggara satuan pendidikan sesuai kewenangannya berkaitan dengan penjaminan mutu satuan pendidikan.

BAB II
PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN INFORMAL

Pasal 9
(1)         Penjaminan mutu pendidikan informal dilaksanakan oleh masyarakat baik secara perseorangan, kelompok, maupun kelembagaan.
(2)         Penjaminan mutu pendidikan informal oleh masyarakat dapat dibantu dan/atau diberi kemudahan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.
(3)         Bantuan dan/atau kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berbentuk:
a.       pendirian perpustakaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b.      penyediaan bahan pustaka pada Perpustakaan Nasional, perpustakaan daerah provinsi, perpustakaan daerah kabupaten atau kota, perpustakaan kecamatan, perpustakaan desa, dan/atau taman bacaan masyarakat (TBM);
c.       pemberian bantuan dan/atau kemudahan pendirian dan/atau pengoperasian perpustakaan milik masyarakat seperti perpustakaan di tempat ibadah;
d.      pemberian kemudahan akses ke sumber belajar multi media di perpustakaan bukan satuan pendidikan formal dan nonformal.
e.       pemberian bantuan dan/atau kemudahan pendirian dan/atau pengoperasian toko buku kategori usaha kecil milik masyarakat di daerah yang belum memiliki toko buku atau jumlah toko bukunya belum mencukupi kebutuhan;
f.       kebijakan perbukuan nonteks yang mendorong harga buku nonteks terjangkau oleh rakyat banyak;
g.      pemberian subsidi atau penghargaan kepada penulis buku nonteks dan nonjurnal-ilmiah yang berprestasi dalam pendidikan informal;
h.      pemberian penghargaan kepada media masa yang berprestasi dalam menyiarkan atau mempublikasikan materi pembelajaran informal kepada masyarakat;
i.        pemberian penghargaan kepada anggota masyarakat yang berprestasi atau kreatif dalam menghasilkan film hiburan yang sarat pembelajaran informal;
j.        pemberian penghargaan kepada tokoh masyarakat yang berprestasi atau kreatif dalam pembelajaran informal masyarakat ;
k.      pemberian penghargaan kepada anggota masyarakat yang sukses melakukan pembelajaran informal secara otodidaktif;
l.        pemberian layanan ujian kesetaraan sesuai peraturan perundang-undangan; serta
m.    kegiatan lain yang membantu dan/atau mempermudah pembelajaran informal oleh masyarakat.

BAB III
PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN FORMAL DAN NONFORMAL

Bagian Kesatu
Acuan Mutu Dalam Penjaminan Mutu Pendidikan

Pasal 10
(1)         Penjaminan mutu pendidikan oleh satuan atau program pendidikan ditujukan untuk memenuhi tiga tingkatan acuan mutu, yaitu:
a.       SPM;
b.      SNP; dan
c.       Standar mutu pendidikan di atas SNP.
(2)         Standar mutu pendidikan di atas SNP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a.       Standar mutu di atas SNP yang berbasis keunggulan lokal
b.      Standar mutu di atas SNP yang mengadopsi dan/atau mengadaptasi standar internasional tertentu.

Pasal 11
(1)         SPM berlaku untuk:
a.       satuan atau program pendidikan;
b.      penyelenggara satuan atau program pendidikan;
c.       pemerintah kabupaten atau kota; dan
d.      pemerintah provinsi.
(2)         SNP berlaku bagi satuan atau program pendidikan.
(3)         Standar mutu di atas SNP berlaku bagi satuan atau program pendidikan yang telah memenuhi SPM dan SNP.
(4)         Standar mutu di atas SNP yang berbasis keunggulan lokal dapat dirintis pemenuhannya oleh satuan pendidikan yang telah memenuhi SPM dan sedang dalam proses memenuhi SNP.

Pasal 12
(1)         SPM ditetapkan oleh Menteri.
(2)         SNP ditetapkan oleh Menteri.
(3)         Standar mutu di atas SNP dipilih oleh satuan atau program pendidikan sesuai prinsip otonomi satuan pendidikan.

Pasal 13
(1)         SNP bagi satuan atau program pendidikan nonformal dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menghilangkan atau mengurangi keluwesan dan kelenturan pendidikan nonformal dalam melayani pembelajaran peserta didik sesuai dengan3 kebutuhan, kondisi, dan problematika yang dihadapi masing-masing peserta didik.
(2)         Acuan mutu satuan atau program pendidikan formal adalah:
a.       SPM;
b.      SNP; dan
c.       Standar mutu di atas SNP yang dipilih satuan atau program pendidikan formal.
(3)         Acuan mutu satuan atau program pendidikan nonformal yang lulusannya ditujukan untuk mendapatkan kesetaraan dengan pendidikan formal adalah:
a.       SPM;
b.      Standar Isi, Standar Proses, dan Standar Kompetensi Lulusan dalam SNP yang berlaku bagi satuan atau program pendidikan formal yang sederajat; dan
c.       Standar mutu di atas SNP sebagaimana dimaksud pada huruf b.
(4)         Acuan mutu satuan atau program pendidikan nonformal yang lulusannya tidak ditujukan untuk mendapatkan kesetaraan dengan pendidikan formal adalah:
a.       SPM;
b.      SNP yang berlaku bagi satuan atau program studi pendidikan nonformal masing-masing; dan
c.       Standar mutu di atas SNP sebagaimana dimaksud pada huruf b.

Bagian Kedua
Kerangka Waktu Penjaminan Mutu Pendidikan

Pasal 14
(1)         SPM harus dipenuhi oleh penyelenggara satuan pendidikan dalam rangka memperoleh izin definitif pendirian satuan pendidikan atau pembukaan program pendidikan.
(2)         SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipenuhi oleh penyelenggara satuan atau program pendidikan paling lambat 2 (dua) tahun setelah satuan atau program pendidikan memperoleh izin prinsip untuk berdiri dan beroperasi.

Pasal 15
(1)          SPM yang berlaku bagi penyelenggara satuan pendidikan dipenuhi oleh penyelenggara satuan pendidikan dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak ditetapkannya SPM yang bersangkutan.
(2)          SPM yang berlaku bagi pemerintah kabupaten atau kota dipenuhi oleh  pemerintah kabupaten atau kota dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak ditetapkannya SPM yang bersangkutan.

(3)          SPM yang berlaku bagi pemerintah provinsi dipenuhi oleh pemerintah provinsi dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak ditetapkannya SPM yang bersangkutan.

Pasal 16
(1)         SNP dipenuhi oleh satuan atau program pendidikan dan penyelenggara satuan atau program pendidikan secara sistematis dan bertahap dalam kerangka jangka menengah yang ditetapkan dalam rencana strategis satuan atau program pendidikan.
(2)         Standar mutu di atas SNP dipenuhi oleh satuan atau program pendidikan dan penyelenggara satuan atau program pendidikan secara sistematis dan bertahap dalam kerangka waktu yang ditetapkan dalam rencana strategis satuan atau program pendidikan.
(3)         Rencana Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menetapkan target-target terukur capaian mutu secara tahunan.

Bagian Ketiga
Tanggung Jawab dan Koordinasi Pemenuhan Standar Mutu Pendidikan

Pasal 17
Pemenuhan SPM menjadi tanggung jawab:
a.             satuan atau program pendidikan formal atau nonformal;
b.            penyelenggara satuan atau program pendidikan formal atau nonformal;
c.             pemerintah kabupaten atau kota; dan
d.            pemerintah provinsi.

Pasal 18
(1)         Pemenuhan Standar Isi, Standar Proses, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan, dan Standar Penilaian Pendidikan,  masing-masing dalam SNP dan standar mutu di atas SNP, menjadi tanggung jawab satuan pendidikan formal.
(2)         Pemenuhan Standar Isi, Standar Proses, dan Standar Kompetensi Lulusan dalam SNP dan standar mutu di atas SNP menjadi tanggung jawab satuan atau program pendidikan nonformal yang lulusannya ditujukan untuk mendapatkan kesetaraan dengan pendidikan formal.
(3)         Pemenuhan SNP dan standar mutu di atas SNP menjadi tanggung jawab satuan atau program pendidikan nonformal yang lulusannya tidak ditujukan untuk mendapatkan kesetaraan dengan pendidikan formal.
(4)         Penyediaan sumber daya untuk pemenuhan Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), menjadi tanggung jawab penyelenggara satuan atau program pendidikan.

Pasal 19
(1)         Program koordinasi penjaminan mutu pendidikan secara nasional dituangkan dalam Rencana Strategis Pendidikan Nasional yang menetapkan target-target terukur capaian mutu pendidikan secara tahunan.
(2)         Program koordinasi penjaminan mutu pendidikan pada tingkat provinsi dituangkan dalam rencana strategis pendidikan provinsi yang menetapkan target-target terukur capaian mutu pendidikan secara tahunan dan sejalan dengan Rencana Strategis Pendidikan Nasional.
(3)         Program koordinasi penjaminan mutu pendidikan pada tingkat kabupaten atau kota dituangkan dalam rencana strategis pendidikan kabupaten atau kota yang menetapkan target-target terukur capaian mutu pendidikan secara tahunan dan sejalan dengan Rencana Strategis Pendidikan Provinsi dan Rencana Strategis Pendidikan Nasional.
(4)         Program koordinasi penjaminan mutu pendidikan pada tingkat penyelenggara satuan atau program pendidikan dituangkan dalam rencana strategis penyelenggara satuan atau program pendidikan yang menetapkan target-target terukur capaian mutu pendidikan secara tahunan dan sejalan dengan Rencana Strategis Pendidikan Kabupaten atau Kota yang bersangkutan, Rencana Strategis Pendidikan Provinsi yang bersangkutan , dan Rencana Strategis Pendidikan Nasional.
(5)         Program penjaminan mutu pendidikan oleh satuan atau program pendidikan dituangkan dalam rencana strategis satuan atau program pendidikan yang menetapkan target-target terukur capaian mutu pendidikan secara tahunan dan sejalan dengan Rencana Strategis Pendidikan Penyelenggara satuan atau program pendidikan yang bersangkutan, Rencana Strategis Pendidikan Kabupaten atau Kota yang bersangkutan, Rencana Strategis Pendidikan Provinsi yang bersangkutan, dan Rencana Strategis Pendidikan Nasional.

Bagian Keempat
Jenis Kegiatan Penjaminan Mutu Pendidikan

Pasal 20
(1)         Kegiatan penjaminan mutu pendidikan formal dan nonformal terdiri atas:
a.       penetapan regulasi penjaminan mutu pendidikan oleh Pemerintah,  pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten atau kota berdasarkan peraturan perundang-undangan;
b.      penetapan SPM;
c.       penetapan SNP;
d.      penetapan prosedur operasional standar (POS) penjaminan mutu pendidikan oleh penyelenggara satuan pendidikan atau penyelenggara program pendidikan;
e.       penetapan prosedur operasional standar (POS) penjaminan mutu tingkat satuan pendidikan oleh satuan atau program pendidikan;
f.       pemenuhan standar mutu acuan oleh satuan atau program pendidikan;
g.      penyusunan kurikulum oleh satuan pendidikan sesuai dengan acuan mutu;
h.      penyediaan sumber daya oleh penyelenggara satuan atau program pendidikan;
i.        pemberian bantuan, fasilitasi, saran, arahan, dan/atau bimbingan oleh Pemerintah;
j.        pemberian bantuan, fasilitasi, saran, arahan, dan/atau bimbingan oleh pemerintah provinsi;
k.      pemberian bantuan, fasilitasi, saran, arahan, dan/atau bimbingan oleh pemerintah kabupaten atau kota;
l.        pemberian bantuan, fasilitasi, saran, arahan, dan/atau bimbingan oleh penyelenggara satuan atau program pendidikan;
m.    pemberian bantuan dan/atau saran oleh masyarakat;
n.      supervisi dan/atau pengawasan oleh Pemerintah;
o.      supervisi dan/atau pengawasan oleh pemerintah provinsi;
p.      supervisi dan/atau pengawasan oleh pemerintah kabupaten atau kota;
q.      supervisi dan/atau pengawasan oleh penyelenggara satuan atau program pendidikan;
r.        pengawasan oleh masyarakat ;
s.       pengukuran ketercapaian standar mutu acuan; dan
t.        evaluasi dan pemetaan mutu satuan atau program pendidikan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten atau kota.
(2)         Pengukuran ketercapaian standar mutu acuan dilakukan melalui:
a.       audit kinerja;
b.      akreditasi;
c.       sertifikasi; atau
d.      bentuk lain pengukuran capaian mutu pendidikan.

Bagian Kelima
Tanggung Jawab Menteri Dalam Penjaminan Mutu Pendidikan

Pasal 21
(1)         Menteri menetapkan regulasi nasional penjaminan mutu pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
(2)         Menteri menetapkan SPM yang berlaku bagi satuan atau program pendidikan, penyelenggara satuan atau program pendidikan, pemerintah kabupaten atau kota, dan pemerintah provinsi;
(3)         Menteri menetapkan SNP yang berlaku bagi satuan atau program pendidikan.
(4)         Menteri menetapkan program koordinasi penjaminan mutu pendidikan secara nasional dalam Rencana Strategis Pendidikan Nasional.
(5)         Menteri melakukan evaluasi pelaksanaan penjaminan mutu pendidikan secara nasional dan dampaknya pada peningkatan kecerdasan kehidupan bangsa.

Pasal 22
(1)         Menteri memetakan secara nasional pemenuhan SPM oleh satuan pendidikan, penyelenggara satuan atau program pendidikan, pemerintah kabupaten atau kota, dan pemerintah provinsi melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen.
(2)         Dalam pemetaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menyangkut satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen bekerjasama dengan LPMP, P2PNFI, BPPNFI, Departemen Agama, dan Kementerian/Lembaga pemerintah lainnya penyelenggara satuan pendidikan.

Pasal 23
(1)         Menteri memetakan secara nasional pemenuhan SNP oleh satuan atau program pendidikan melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen.
(2)         Dalam pemetaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menyangkut satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen bekerjasama dengan LPMP, P2PNFI, BPPNFI, dan Departemen Agama, dan Kementerian/Lembaga pemerintah lainnya penyelenggara satuan pendidikan.

Pasal 24
(1)         Menteri menyelenggarakan Ujian Nasional pendidikan dasar dan pendidikan menengah melalui BSNP sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk mengukur ketercapaian Standar Kompetensi Lulusan pendidikan formal dan nonformal kesetaraan.
(2)         Menteri melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen, memetakan capaian nilai Ujian Nasional dan tingkat kejujuran pelaksanaan ujian nasional menurut:
a.       satuan pendidikan;
b.      kabupaten atau kota;
c.       provinsi; dan
d.      nasional.

Pasal 25
(1)         Menteri mengakreditasi satuan atau program pendidikan melalui BAN-S/M, BAN-PT, dan BAN-PNF.
(2)         Atas dasar akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan peta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24, Menteri melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen memetakan secara nasional dan komprehensif mutu satuan atau program pendidikan formal dan nonformal menurut:
a.       satuan atau program pendidikan;
b.      kabupaten atau kota; dan
c.       provinsi;
(3)         Peta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembangkan sedemikian rupa sehingga merefleksikan:
a.       capaian mutu pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; dan
b.      kualitas pelaksanaan pendidikan untuk perkembangan, pengembangan, dan/atau pembangunan berkelanjutan.

Bagian Keenam
Tanggung Jawab Departemen, Departemen Agama, dan
Kementerian/Lembaga Pemerintah Lainnya
Penyelenggara Satuan Pendidikan Formal Dalam Penjaminan Mutu Pendidikan

Pasal 26
(1)         Departemen, Departemen Agama, dan kementerian/lembaga pemerintah lainnya penyelenggara satuan pendidikan menetapkan regulasi teknis penjaminan mutu pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kewenangan masing-masing.
(2)         Keterlibatan Departemen, Departemen Agama, dan kementerian/lembaga pemerintah lainnya penyelenggara satuan pendidikan dalam penjaminan mutu satuan pendidikan menjunjung tinggi prinsip otonomi satuan pendidikan.

Pasal 27
(1)         Supervisi, pengawasan, evaluasi, dan pemberian fasilitasi, saran, arahan, bimbingan, dan/atau bantuan oleh Departemen kepada satuan atau program pendidikan dilaksanakan oleh unit kerja terkait sesuai peraturan perundang-undangan.
(2)         Inspektorat Jenderal Departemen melakukan audit kinerja terhadap:
a.       Kantor Pusat Unit Utama Departemen;
b.      LPMP;
c.       P2PNFI;
d.      BPPNFI;
e.       BSNP;
f.       BAN-PT;
g.      BAN-S/M; dan
h.      BAN-PNF,
terkait keterlibatan masing-masing dalam penjaminan mutu pendidikan.
(3)         Departemen mengembangkan sistem informasi nasional mutu pendidikan formal dan nonformal berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang andal, terpadu, dan dalam jejaring yang menghubungkan:
a.       satuan atau program pendidikan;
b.      pemerintah kabupaten atau kota;
c.       pemerintah provinsi;
d.      Departemen Agama; dan
e.       kementerian/lembaga pemerintah lain penyelenggara satuan pendidikan.
(4)         Untuk menjamin interoperabilitas sistem informasi, Menteri menetapkan standar sistem informasi mutu pendidikan yang mengikat semua satuan atau program pendidikan,  penyelenggara satuan atau program pendidikan, pemerintah kabupaten atau kota, pemerintah provinsi, Departemen, Departemen Agama, dan kementerian/lembaga pemerintah lain penyelenggara satuan pendidikan.

Pasal 28
(1)         Supervisi, pengawasan, evaluasi, serta pemberian bantuan, fasilitasi, saran, arahan, dan/atau bimbingan oleh Departemen Agama kepada satuan atau program pendidikan dilaksanakan oleh unit kerja terkait sesuai peraturan perundang-undangan.
(2)         Inspektorat Jenderal Departemen Agama melakukan audit kinerja terhadap :
a.       unit kerja di Departemen Agama yang terkait dengan penjaminan mutu pendidikan;
b.      kantor wilayah Departemen Agama; dan
c.       kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kota.
terkait keterlibatan masing-masing dalam penjaminan mutu pendidikan.
(3)          Departemen Agama mengembangkan sistem informasi nasional mutu pendidikan formal dan nonformal agama dan keagamaan berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang andal, terpadu, dan dalam jejaring yang menghubungkan:
a.       satuan atau program pendidikan; dan
b.      Departemen.
(4)          Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kompatibel dan memiliki interoperabilitas dengan sistem informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dan ayat (4).

Pasal 29
(1)         Supervisi, pengawasan, evaluasi, serta pemberian bantuan, fasilitasi, saran, arahan, dan/atau bimbingan oleh kementerian/lembaga lain penyelenggara satuan pendidikan kepada satuan atau program pendidikan dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan.
(2)         Inspektorat Jenderal atau Inspektorat Utama kementerian/lembaga pemerintah lainnya penyelenggara satuan pendidikan melakukan audit kinerja terhadap  unit kerjanya yang terlibat dalam penjaminan mutu pendidikan.
(3)          Kementerian/lembaga lain penyelenggara satuan pendidikan formal mengembangkan sistem informasi mutu satuan pendidikan berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang andal, terpadu, dan dalam jejaring yang menghubungkan:
a.       satuan pendidikan; dan
b.      Departemen.
(4)          Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kompatibel dan memiliki interoperabilitas dengan sistem informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dan ayat (4).

Pasal 30
Departemen, Departemen Agama, dan kementerian/lembaga pemerintah lainnya penyelenggara satuan pendidikan menyediakan biaya akreditasi satuan atau program pendidikan formal atau nonformal sesuai kewenangannya masing-masing.

Pasal 31
Departemen, Departemen Agama, dan kementerian/lembaga pemerintah lainnya penyelenggara satuan pendidikan berkewajiban mendukung sepenuhnya pemetaan mutu satuan atau program pendidikan yang dilakukan oleh Menteri.

Bagian Ketujuh
Tanggung Jawab Pemerintah Provinsi Dalam Penjaminan Mutu Pendidikan

Pasal 32
(1)         Pemerintah provinsi menetapkan regulasi penjaminan mutu pendidikan sesuai dengan kewenangannya dan peraturan perundang-undangan.
(2)         Keterlibatan pemerintah provinsi dalam penjaminan mutu satuan atau program pendidikan menjunjung tinggi prinsip otonomi satuan pendidikan.

Pasal 33
(1)          Supervisi, pengawasan, evaluasi, serta pemberian bantuan, fasilitasi, saran, arahan, dan/atau bimbingan oleh pemerintah provinsi kepada satuan atau program pendidikan formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dilakukan bekerjasama dan berkoordinasi dengan LPMP.
(2)         Supervisi, pengawasan, evaluasi, serta pemberian bantuan, fasilitasi, saran, arahan, dan/atau bimbingan oleh pemerintah provinsi kepada satuan atau program pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dilakukan bekerjasama dan berkoordinasi dengan P2PNFI atau BPPNFI.
(3)         Supervisi, pengawasan, evaluasi, serta pemberian bantuan, fasilitasi, saran, arahan, dan/atau bimbingan oleh pemerintah provinsi kepada satuan atau program pendidikan memperhatikan pertimbangan dari dewan pendidikan provinsi, BAN-S/M, dan/atau BAN-PNF.
(4)         Inspektorat provinsi melakukan audit kinerja terhadap unit pelaksana teknis daerah yang terlibat dalam penjaminan mutu pendidikan.
(5)         Pemerintah provinsi melalui BAP membantu BAN-S/M dalam pelaksanakan akreditasi satuan pendidikan formal di provinsi yang bersangkutan.
(6)         Pemerintah provinsi membantu BSNP dalam pelaksanakan Ujian Nasional di wilayahnya dengan penuh kejujuran sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(7)         Pemerintah provinsi mengembangkan sistem informasi mutu pendidikan formal dan nonformal berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang andal, terpadu, dan dalam jejaring  yang menghubungkan:
a.       satuan atau program pendidikan;
b.      pemerintah kabupaten atau kota; dan
c.       Departemen.
(8)          Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) kompatibel dan memiliki interoperabilitas dengan sistem informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dan ayat (4).
(9)         Dalam pengembangan sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) pemerintah provinsi dapat bekerjasama dengan LPMP dan P2PNFI, atau BPPNFI.

Pasal 34
Pemerintah provinsi berkewajiban mendukung sepenuhnya pemetaan mutu satuan atau program pendidikan yang dilakukan oleh Menteri.

Bagian Kedelapan
Tanggung Jawab Pemerintah Kabupaten atau Kota
Dalam Penjaminan Mutu Pendidikan

Pasal 35
(1)          Pemerintah kabupaten atau kota menetapkan regulasi penjaminan mutu pendidikan sesuai dengan kewenangannya dan peraturan perundang-undangan.
(2)          Keterlibatan pemerintah kabupaten atau kota dalam penjaminan mutu satuan atau program pendidikan menjunjung tinggi prinsip otonomi satuan pendidikan

Pasal 36
(1)         Supervisi, pengawasan, evaluasi, serta pemberian bantuan, fasilitasi, saran, arahan, dan/atau bimbingan oleh pemerintah kabupaten atau kota kepada satuan atau program pendidikan formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dilakukan dengan mengikuti arahan dan binaan pemerintah provinsi dan LPMP.
(2)         Supervisi, pengawasan, evaluasi, serta pemberian bantuan, fasilitasi, saran, arahan, dan/atau bimbingan oleh pemerintah kabupaten atau kota kepada satuan atau program pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dilakukan dengan mengikuti arahan dan binaan pemerintah provinsi dan P2PNFI atau BPPNFI.
(3)         Supervisi, pengawasan, evaluasi, serta pemberian bantuan, fasilitasi, saran, arahan, dan/atau bimbingan oleh pemerintah kabupaten atau kota kepada satuan atau program pendidikan memperhatikan pertimbangan dari dewan pendidikan kabupaten atau kota.
(4)         Inspektorat kabupaten atau kota melakukan audit kinerja terhadap unit pelaksana teknis daerah yang terlibat dalam penjaminan mutu pendidikan.
(5)         Pemerintah kabupaten atau kota membantu BSNP dalam pelaksanakan Ujian Nasional di wilayahnya dengan penuh kejujuran sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(6)         Pemerintah kabupaten atau kota mengembangkan sistem informasi mutu pendidikan formal dan nonformal berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang andal, terpadu, dan dalam jejaring yang menghubungkan:
a.      satuan atau program pendidikan;
b.     pemerintah provinsi; dan
c.      Departemen.
(7)         Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) kompatibel dan memiliki interoperabilitas dengan sistem informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dan ayat (4).
(8)         Dalam pengembangan sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) pemerintah kabupaten atau kota dapat bekerjasama dengan LPMP dan P2PNFI atau BPPNFI.

Pasal 37
Pemerintah kabupaten atau kota berkewajiban mendukung sepenuhnya pemetaan mutu satuan atau program pendidikan yang dilakukan oleh Menteri.

Bagian Kesembilan
Tanggung Jawab Penyelenggara Satuan Pendidikan atau Program Pendidikan Dalam Penjaminan Mutu Pendidikan

Pasal 38
(1)         Supervisi, pengawasan, evaluasi, serta pemberian bantuan, fasilitasi, saran, arahan, dan/atau bimbingan oleh penyelenggara satuan pendidikan kepada satuan pendidikan menjunjung tinggi prinsip otonomi satuan pendidikan.
(2)         Penyelenggara satuan atau program pendidikan menetapkan prosedur operasional standar (POS) untuk memenuhi Standar Sarana dan Prasarana,  Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, dan Standar Pembiayaan yang ditetapkan Menteri dalam SNP.
(3)         Penyelenggara satuan atau program pendidikan yang telah memenuhi SPM dan SNP menetapkan prosedur operasional standar (POS) untuk memenuhi Standar Sarana dan Prasarana,  Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, dan Standar Pembiayaan di atas SNP yang dipilih oleh satuan atau program pendidikan yang diselenggarakannya.

Pasal 39
Penyelenggara satuan atau program pendidikan formal menyediakan sumberdaya yang diperlukan satuan pendidikan yang diselenggarakannya untuk memenuhi Standar Sarana dan Prasarana,  Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, dan Standar Pembiayaan.

Bagian Kesepuluh
Penjaminan Mutu Pendidikan Oleh Satuan Pendidikan atau Program Pendidikan

Pasal 40
(1)         Penjaminan mutu oleh satuan atau program pendidikan menjadi tanggung jawab satuan atau program pendidikan dan wajib didukung oleh seluruh pemangku kepentingan satuan atau program pendidikan.
(2)         Penjaminan mutu oleh satuan atau program pendidikan dipimpin oleh pemimpin satuan atau program pendidikan.
(3)         Komite sekolah/madrasah memberi bantuan sumberdaya, pertimbangan, arahan, dan mengawasi sesuai kewenangannya terhadap penjaminan mutu oleh satuan pendidikan.
(4)         Penjaminan mutu oleh satuan pendidikan dilaksanakan sesuai prinsip otonomi satuan pendidikan untuk mendorong tumbuhnya budaya kreativitas, inovasi, kemandirian, kewirausahaan, dan akuntabilitas.
(5)         Penjaminan mutu oleh satuan pendidikan tinggi dilaksanakan sesuai prinsip otonomi keilmuan.
(6)         Satuan atau program pendidikan menetapkan prosedur operasional standar (POS) penjaminan mutu satuan atau program pendidikan.

Pasal 41
Penjaminan mutu oleh satuan atau program pendidikan ditujukan untuk:
a.             memenuhi SPM dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak ditetapkannya izin prinsip pendirian/pembukaan dan operasi satuan atau program pendidikan;
b.            secara bertahap dalam kerangka jangka menengah yang ditetapkan dalam rencana strategis satuan atau program pendidikan memenuhi SNP;
c.             secara bertahap satuan atau program pendidikan yang telah memenuhi SPM dan SNP dalam kerangka jangka menengah yang ditetapkan dalam rencana strategis satuan pendidikan memenuhi standar mutu di atas SNP yang dipilihnya.

Pasal 42
Semua satuan atau program pendidikan wajib melayani audit kinerja penjaminan mutu yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten atau kota sesuai kewenangannya.

Pasal 43
Semua satuan atau program pendidikan wajib mengikuti akreditasi yang diselenggarakan oleh BAN-S/M, BAN-PT, atau BAN-PNF sesuai kewenangan masing-masing.

Pasal 44
Satuan atau program pendidikan dapat mengikuti sertifikasi mutu pendidikan untuk:
a.             lembaganya;
b.            pendidik atau tenaga kependidikannya; dan/atau
c.             peserta didiknya.

  Pasal 45
(1)         Satuan atau program pendidikan mengembangkan sistem informasi mutu pendidikan berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang andal, terpadu, dan dalam jejaring yang menghubungkan:
a.       penyelenggara satuan pendidikan;
b.      pemerintah kabupaten atau kota yang bersangkutan;
c.       pemerintah provinsi yang bersangkutan;
d.      Departemen Agama, bagi satuan atau program pendidikan agama dan keagamaan;
e.       kementerian/lembaga lain penyelenggara satuan atau program pendidikan; dan
f.       Departemen.
(2)         Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kompatibel dan memiliki interoperabilitas dengan sistem informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dan ayat (4).

Pasal 46
Satuan atau program pendidikan berkewajiban mendukung sepenuhnya pemetaan mutu satuan atau program pendidikan yang dilakukan oleh Menteri.

BAB IV
SANKSI

Pasal 47
(1)          Pimpinan satuan atau program pendidikan yang melanggar peraturan ini disanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2)          Pejabat atau fungsionaris penyelenggara satuan atau program pendidikan yang melanggar peraturan ini disanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB V
KETENTUAN PENUTUP

Pasal  48
Semua peraturan yang terkait dengan penjaminan mutu pendidikan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Menteri ini.

Pasal  49
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
                                                                                             
                                                                                             
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 September 2009
                                                                 
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
          
TTD.                                 
     
BAMBANG SUDIBYO


Salinan sesuai dengan aslinya.
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
Departemen Pendidikan Nasional,

                                                                                      


Dr. A. Pangerang Moenta, S.H.,M.H.,DFM.
NIP. 196108281987031003