“Segala perairan di sekitar, di
antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk
daratan negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya
adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan negara Republik
Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang
berada di bawah kedaulatan mutlak daripada negara Republik Indonesia.
Lalu-lintas yang damai diperairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin
selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan
keselamatan negara Indonesia. Batas laut teritorial Indonesia yang sebelumnya 3
mil diperlebar menjadi 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik
ujung terluar pada pulau-pulau dari wilayah negara Indonesia pada saat air laut
surut.” Deklarasi Djuanda, 13 Desember
1957.
Latar
Belakang
Muhammad Yamin dalam rapat BPUPKI tahun
1945, menyatakan: “Tanah air Indonesia ialah terutama daerah lautan dan
mempunyai pantai yang panjang. Bagi tanah yang terbagi atas beribu-ribu pulau,
maka semboyan “mare liberum” –laut
merdeka menurut ajaran Hugo Grotius itu dan yang diakui oleh segala bangsa
dalam segala seketika tidak tepat dilaksanakan dengan begitu saja, karena
kepulauan Indonesia tidak saja berbatasan dengan Samudera Pasifik dan Samudera
Hindia, tetapi juga berbatasan dengan beberapa lautan dan beribu-ribu selat
yang luas atau yang sangat sempit. Di bagian selat dan lautan sebelah dalam,
maka dasar “laut merdeka” tidak dapat dijalankan, dan jikalau dijalankan akan
sangat merendahkan kedaulatan negara dan merugikan kedudukan pelayaran,
perdagangan laut dan melemahkan pembelaan negara. Oleh sebab itu, maka dengan
penentuan batasan negara, haruslah pula ditentukan daerah, air lautan manakah
yang masuk lautan lepas. Tidak menimbulkan kerugian, jikalau bagian Samudera
Hindia Belanda, Samudera Pasifik dan Tiongkok Selatan diakui menjadi laut
bebas, tempat aturan laut merdeka. Sekeliling pantai pulau yang jaraknya
beberapa kilometer sejak air pasang-surut dan segala selat yang jaraknya kurang
dari 12 km antara kedua garis pasang-surut, boleh ditutup untuk segala
pelayaran di bawah bendera negara luaran selainnya dengan seizin atau
perjanjian negara kita.”
M. Yamin secara eksplisit menyebutkan
untuk “menutup wilayah laut pedalaman”, pendapat demikian pada waktu itu tidak
lazim dalam hubungan antarnegara. Selain itu, kita hanya memiliki aturan hukum
wilayah laut warisan dari Belanda, yakni: TZMKO 1939 –Territoriale Zee en Marietieme Kringen Ordonantie, yang hanya
mengatur lebar laut teritorial sejauh tiga mil saja. Dalam ketentuan
Ordonantie 1939 tersebut, memuat empat kelompok mengenai perairan
Indonesia. Pertama, apa yang disebut
dengan “de Nederlandsch Indische territoriale zee” –Laut Teritorial Indonesia. Kedua,
apa yang disebut dengan “Het Nederlandsch-indische Zeege bied” –Perairan Teritorial Hindia Belanda,
termasuk bagian laut teritorial yang terletak pada bagian sisi darat laut
pantai, daerah luar dari teluk-teluk, ceruk-ceruk laut, muara-muara sungai dan
terusan. Ketiga, apa yang dinamakan
“de Nederlandsch-Indische Binnen Landsche wateren” yaitu semua perairan yang
terletak pada sisi darat laut teritorial Indonesia termasuk sungai-sungai,
terusan-terusan dan danau-danau, dan rawa-rawa Indonesia. Keempat, apa yang dinamakan dengan “de Nederlandsch-Indische
Wateren“, yaitu laut teritorial termasuk perairan pedalaman Indonesia. Dengan demikian, Ordonantie 1939 –Staatblad tahun 1939 No.442 tersebut memunculkan banyak wilayah
laut bebas di antara pulau-pulau yang ada di Indonesia. Laut bebas ini, membuat
wilayah Indonesia menjadi: terpisah-pisah.
Pasca kemerdekaan, pemerintah Republik
Indonesia tidak mempunyai waktu untuk membenahi masalah perbatasan. Pertama,
konsentrasi pemerintah terkuras untuk mengurus masalah dalam negeri yang penuh
gejolak. Kedua, ada masalah Papua Barat yang masih ditongkrongi
Belanda. Masalah perbatasan Indonesia, mulai mendapat perhatian di masa Kabinet
Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956 – 14 Maret 1957). Gagasan untuk mengubah Ordonantie
1939 muncul atas desakan dari beberapa departemen yang merasa hukum laut
warisan Belanda itu tidak dapat melindungi keutuhan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Adanya laut bebas itu, dikhawatirkan akan digunakan oleh
kapal-kapal Belanda untuk mengganggu kedaulatan negara. Apalagi pada waktu itu,
kita masih bersengketa mengenai status Irian Barat. Atas dasar itulah, Perdana
Menteri Ali Sastroamidjojo membentuk sebuah tim yang ditugaskan untuk membuat Rancangan
Undang-Undang tentang Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim. Tim
ini terbentuk berdasarkan Keputusan Perdana Menteri RI No. 400/P.M./1956, dan dipimpin
oleh Kolonel Laut R.M.S. Pirngadi. Setelah hampir satu tahun lebih, tim
Pirngadi akhirnya dapat menyelesaikan rencana RUU Wilayah Perairan Indonesia
dan Lingkungan Maritim. Sebagian besar isi dari RUU itu hampir sama dengan Ordonantie
1939, namun memiliki perbedaan pada penentuan garis teritorial yang
sebelumnya 3 mil, menjadi 12 mil laut. RUU tersebut belum sempat disetujui,
karena Kabinet Ali Sastroamidjojo II kemudian bubar, dan digantikan oleh
Kabinet Djuanda (9 April 1957 – 10 Juli 1959).
Deklarasi
Djuanda
MR. Mochtar Kusumaatmaja |
Kabinet Djuanda –Djuanda Kartawidjaja yang merupakan zaken kabinet (kabinet ahli) masih
melanjutkan RUU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim, dengan
menugaskan Meester in de Rechten
Mochtar Kusumaatmaja untuk mencari dasar hukum untuk mempertahankan wilayah
Republik Indonesia. Mr. Mochtar Kusumaatmaja kemudian memberikan gagasan yang
disebut Archipelagic Principle yang telah ditetapkan oleh Mahkamah
Internasional pada tahun 1951. Dengan demikian, tim tersebut telah berhasil
menyusun lebar laut teritorial seluas 12 mil sesuai dengan perkembangan yang
terjadi dalam hukum internasional. Kemudian Chaerul Saleh –Menteri Veteran mendatangi Mr. Mochtar Kusumaatmaja, dan tidak
setuju dengan usulan tim penyusun. Alasannya adalah: jika aturan diterapkan,
maka: “terdapat laut bebas antara pulau-pulau di Indonesia sehingga kapal-kapal
asing bisa bebas keluar masuk”. Hal tersebut jelas dapat “mengganggu”
kedaulatan Indonesia yang masih berumur muda. Saran dari Chaerul Saleh adalah
untuk menutup perairan dalam –Laut Jawa
sehingga tidak ada kategori laut bebas didalamnya. Chaerul Saleh berpendapat
demikian dengan alasan strategis, yaitu: demi menjaga kesatuan –integral wilayah Indonesia, karena
Chaerul Saleh mempunyai latar belakang militer. Mochtar berjanji, masukan dari
Chaerul Saleh tersebut akan didiskusikan dengan tim –meski ide Chaerul Saleh tersebut, sebenarnya bertentangan dengan hukum
internasional pada saat itu. Mochtar menerima ide Chaerul Saleh, karena
hampir sama dengan pendapat negara Norwegia di Mahkamah Internasional pada
kasus: “Norwegian Fisheries Case” tahun 1951. Sebagai alternatif terhadap RUU
dan gagasan Archipelagic Principle itu, kemudian dibuatlah konsep ’Asas
Negara Kepulauan’. Konsepsi ini memandang: “segala perairan di sekeliling dan
di antara pulau-pulau dinyatakan sebagai bagian yang integral dari wilayah
Indonesia”. Ir. Djuanda mempunyai pemikiran bahwa harus segera mengesahkan RUU
tersebut, karena banyak kapal Belanda yang melakukan intervensi dari dan menuju
New Guinea di zona laut yang bebas. Hari Jumat, 13 Desember 1957, tim RUU Laut
Teritorial menghadap kepada Perdana Menteri Djuanda. PM. Djuanda meminta untuk
dijelaskan perihal hasil rancangan tim, dan Mochtar Kusumaatmadja sebagai ahli
hukum internasional –hukum laut
tampil ke depan untuk menjelaskan. Gagasan Mr. Mochtar Kusumaatmaja yang menggunakan
Asas Negara Kepulauan, diterima pada saat sidang parlemen tanggal 13 Desember
1957. Kemudian, diputuskan untuk mengeluarkan sebuah deklarasi. Selanjutnya, pemerintah
mengeluarkan pengumuman yang dikenal kemudian sebagai Deklarasi Djuanda. Fakta
di atas memunculkan “tiga aktor” penting hingga dikeluarkanya Deklarasi
Djuanda, yaitu; Djuanda Kartawidjaja; Mochtar Kusumaatmadja; dan Chaerul Saleh.
Satu hal yang pasti ialah Deklarasi Djuanda merupakan keputusan PM. Djuanda,
karena posisi dia saat itu sebagai pengambil kebijakan.
Perjuangan
Diplomasi
Dengan dikeluarkannya peraturan
tersebut, maka Ordonantie 1939 sudah tidak berlaku lagi di Indonesia,
dan garis teritorial laut Indonesia –yang
sebelumnya 3 mil menjadi 12 mil. Namun, tidak lama setelah Indonesia
mengeluarkan peraturan tersebut, muncul beberapa reaksi terhadap peraturan
tersebut. Reaksi protes datang dari beberapa negara seperti dari Amerika
Serikat –pada tanggal 30 Desember 1957;
Inggris –tanggal 3 Januari 1958;
Australia –3 Januari 1958; Belanda –3 Januari 1958; Perancis –8 Januari 1958; dan Selandia Baru –11 Januari 1958. Reaksi penolakan
tersebut sudah dipikirkan oleh pemerintah Indonesia, dan sudah pula diumumkan
bahwa reaksi-reaksi dari berbagai negara tersebut akan diperhatikan dan dibahas
dalam konferensi internasional mengenai hak-hak atas lautan yang akan diadakan
pada 1958 di Jenewa. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia telah siap dengan
reaksi protes yang diajukan dan siap berdebat pada konferensi di Jenewa.
Delegasi Indonesia yang datang pada
konferensi internasional mengenai hak-hak atas lautan yang diadakan di Jenewa,
terdiri atas: Mr. Ahmad Subardjo Djojohadisuryo, S.H. –pada waktu itu menjabat sebagai Duta Besar RI di Swiss; Mr. Mochtar
Kusumaatmadja; Goesti Moh. Chariji Kusuma; dan M. Pardi –Ketua Mahkamah Pelayaran. Dalam kesempatan itu, delegasi Indonesia
mengemukakan asas “Archipelagic
Principle” dalam pidatonya. Inilah untuk pertama kalinya, masyarakat
internasional mendengar penjelasan mengenai implementasi “Archipelagic Principle” terhadap
suatu negara yang melahirkan “Archipelagic
State Principle” –yang pada waktu
itu masih asing bagi dunia internasional. Asing, karena asas ini eksis tapi
belum ada satu pun negara di dunia yang menggunakannya. Meskipun telah
dijelaskan lewat pidato, negara-negara yang pernah menyampaikan protes kepada
pemerintah Indonesia belum dapat menerima. Hanya saja, Indonesia mendapatkan
dukungan dari: Ekuador; Filipina; dan Yugoslavia. Pemerintah Indonesia kemudian
menggunakan beberapa cara untuk mendapat simpati dari negara-negara lain,
misalnya dengan menyebarkan tulisan: “The Indonesian Delegation to the
Conference on the Law of the Sea”.
Usaha itu mulai membuahkan hasil, dan setelah itu mulai banyak negara-negara
yang bersimpati dengan perjuangan Indonesia.
Pemerintah Indonesia kemudian merancang
peraturan 13 Desember 1957 menjadi undang-undang agar kedudukannya menjadi
lebih kuat. Pada tahun 1960 pengumuman tersebut dituangkan dalam Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) No. 4/ 1960, selanjutnya diresmikan
menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang “Perairan Indonesia”. Dengan peraturan
tersebut, luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari
2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya –Papua Barat yang walaupun wilayah
Indonesia tapi waktu itu belum diakui secara internasional. Produk hukum inilah
yang kemudian juga disampaikan pada Konferensi Hukum Laut PBB kedua yang
diselenggarakan tahun 1960, namun usul Indonesia masih belum dapat diterima.
Pada tahun 1962, Indonesia kembali menerbitkan PERPU No. 8/ 1962 mengenai “Lalu-lintas
Laut Damai Kapal Asing dalam Perairan Indonesia”, dan masih terus
menyempurnakan implementasi Asas Negara Kepulauan dalam sistem hukum di
Indonesia. Jalan Indonesia untuk memperjuangkan diakuinya Asas Negara Kepulauan
mulai menemui kemudahan ketika pada tahun 1971 Indonesia dipilih menjadi
anggota Committee of the Peaceful Uses of the Sea-Bed and Ocean Floor beyond
the Limit of National Jurisdiction yang merupakan badan PBB untuk
mempersiapkan Konferensi Hukum Laut PBB. Dipilihnya Indonesia sebagai anggota
badan tersebut, membuat Indonesia lebih mudah dalam menyosialisasikan
implementasi prinsip negara kepulauan agar mendapatkan pengakuan dari pihak
internasional. Pada tanggal 12 Maret 1980, dengan menggunakan dasar Hukum Laut
Internasional mengenai Economic
Exclusive Zone –Zone Ekonomi
Eksklusif (ZEE) Pemerintah Indonesia juga mengumumkan peraturan tentang ZEE
selebar 200 mil diukur dari garis dasar. Pada tahun 1983, pengumuman ini
disahkan menjadi Undang-Undang RI No. 5/ 1983.
Kemenangan
Indonesia
Konsep negara kepulauan sendiri, baru
disetujui oleh mayoritas negara-negara di dunia pada 10 Desember 1982 pada Konvensi
Hukum Laut Internasional PBB ketiga –United
Nations Convention on the Law of The Sea (UNCLOS). Deklarasi Djuanda yang diterima
dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB tersebut, dipertegas kembali oleh
pemerintah RI dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang “Pengesahan UNCLOS 1982
bahwa Indonesia adalah negara kepulauan”. Tidak hanya konsep negara kepulauan
saja yang disetujui, namun juga mengenai ZEE. Lebih dari itu, konsep negara
kepulauan juga dimasukkan sebagai bagian dari Konvensi Hukum Laut PBB. Suatu
kemenangan diplomasi Indonesia yang patut dicatat sejarah. Berdasarkan fakta
sejarah itulah, maka pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid mencanangkan
tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Penetapan Hari Nusantara ini
dipertegas oleh Presiden Megawati dengan menerbitkan Keputusan Presiden RI
Nomor 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara, sehingga tanggal 13 Desember resmi
menjadi hari perayaan nasional tidak libur. Maka sejak saat itulah, setiap
tanggal 13 Desember diperingati sebagai “Hari
Nusantara”. Kini tanggal 13 Desember, hari di saat “UU Wilayah Perairan
Indonesia dan Lingkungan Maritim” dan di terimanya “Asas Negara Kepulauan”,
diperingati sebagai Hari Nusantara. Hari di saat para stake holder
bangsa kita memperjuangkan kedaulatan wilayah NKRI di masa lalu. Kolaborasi
antara: Djuanda Kartawidjaja; Mochtar Kusumaatmadja; dan Chaerul Saleh, telah
berhasil merumuskan sebuah politik hukum yang menguntungkan kepentingan
republik. Hebatnya lagi, Deklarasi Djuanda dapat diterima oleh masyarakat
internasional dan konsepsi negara kepulauan ditetapkan menjadi bagian hukum
internasional dengan dicantumkannya dalam UNCLOS 1982.
Bravo… Indonesia.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar