Bagian keenam
dari 6
Pelanggaran Pasal
169 dan Pasal 153 bis
Pembentukan
tenaga, pembentukan kekuasaan atau machtsvorming
Bahwasanya, sebagaimana kaum buruh
negeri Belanda berjuang untuk hak pemilihan umum (algemeen kiesrecht) dengan nyanyian:
“Wathelpen
ons gebeden, voor het kiesrecht dient gestreden!”, “Tiada guna meminta
sayang, buat hak pilih harus berjuang!”,
Maka kami juga mendengungkan kami punya
semboyan:
“Tiada guna meminta sayang, buat
kemerdekaan harus berjuang!” –“ What
helpen ons gebeden, voor de vrijheid dient gestreden!”
Berjuang! Dengan apa berjuang? Dengan
pedang? Dengan bedil? Dengan bom? Dengan merusak keamanan umum? Dengan menjalankan
kejahatan? Amboi, tidak! Tidak dengan pedang, tidak dengan bedil, tidak dengan
bom, tidak dengan melanggar pasal 153 bis atau 169, tidak dengan melintasi
batas undang-undang kami berjuang, –kami berjuang ialah dengan “pembentukan
tenaga” yang halal, dengan suatu modern georganiseerde
machhtsvorming di dalam lingkungan undang-undang, sebagaimana kaum buruh di
negeri Belanda berjuang melawan kapitalisme dan “mengambil” kekuasaan politik
itu juga tidak memakai cara-cara yang diharamkan oleh hukum, melainkan juga
hanya dengan pembentukan tenaga yang halal belaka. Pembentukan tenaga yang
halal, pembentukan kekuasaan di dalam lingkungan undang-undang, itulah yang PNI
maksudkan, Tuan-tuan Hakim, dan bukan pembentukan tenaga yang diharamkan oleh
undang-undang itu, —bukan pembentukan kekuasaan dengan serdadu-serdadu rahasia,
bukan pembentukan kekuasaan ala nihilisme,
bukan pula pembentukan kekuasaan yang bermaksud membahayai “keamanan umum”,
melanggar pasal 153 bis dan pasal 169 Undang-Undang Hukum Pidana. Jadi buat apa
pembentukan kekuasaan! Buat apa machtsvorming!
Kami dengar orang bertanya. Machtsvorming, pembentukan kekuasaan,
oleh karena soal jajahan adalah soal kekuasaan, soal macht! Pembentukan kekuasaan oleh karena seluruh riwayat dunia
mengatakan bahwa perubahan-perubahan besar hanya diadakan oleh kaum yang
menang, kalau pertimbangan akan untung rugi menyuruhnya, atau kalau suatu kekuasaan
menuntutnya. “Tak pernahlah suatu kelas suka melepaskan hak-haknya dengan
kemauan sendiri,” begitulah Marx berkata.
Seluruh riwayat dunia adalah riwayat
pergerakan-pergerakan kekuasaan ini. Seluruh riwayat dunia, terutama sesudah
lahirnya faham demokrasi pada fajar abad ke-19, adalah menunjukkan pembentukan
kekuasaan itu; tiap-tiap partai politik, tiap-tiap serikat pekerja, tiap-tiap
perkumpulan adalah suatu pembentukan kekuasaan, suatu pembentukan kekuatan.
Orang seorang-seorang tidaklah bisa mengembangkan kekuasaan yang besar. Maka
manusia seorang-seorang itu lantas berkumpul, menggabungkan diri satu sama lain,
–suatu perkumpulan lahirlah ke dunia. Kalau misalnya orang-orang Eropa di sini
mengadakan suatu perkumpulan PEB, kalau orang-orang Eropa di sini mendirikan Vaderlandsche Club, kalau sebagian orang
Tionghoa membangunkan Chung Hwa Hui,
kalau orang-orang Bumiputra berserikat dalam “Wargi Bandung” atau “Tulak Bahla
Tawil Oemoer ”, maka mereka hanyalah mendirikan badan-badan pembentukan kuasa
belaka. O… memang, pembentukan kekuasaan PEB, pembentukan kekuasaan Vaderlandsche Club, pembentukan
kekuasaan “Tulak Bahla Tawil Umur ” tidaklah sama sifat tabiatnya dengan
pembentukan kekuasaan PNI. Sedang PEB mengejar kepentingan-kepentingan yang
sesuai dengan kepentingan imperialisme, sedang Vaderlandsche Club mau meneruskan penjajahan Indonesia itu sampai
kiamat, sedang TBTO percaya pula dalam kebahagiaan penjajahan itu, —sedang
perkumpulan-perkumpulan itu adalah partai-partai reaksi atau partai-partai
konservatif, maka PNI adalah mengejar kepentingan-kepentingan yang sama sekali
bertentangan dengan kepentingan imperialisme, PNI adalah partai perlawanan,
partai oposisi. Pembentukan kekuasaan PNI sebagai yang tadi kami katakan,
pembentukan kekuasaan PNI adalah timbul dari keyakinan, bahwa soal jajahan
adalah soal kekuasaan. Selama rakyat Indonesia belum menjadi suatu kekuasaan
yang maha sentosa, selama rakyat itu masih saja tercerai-berai dengan tiada
kerukunan satu sama lain, selama rakyat itu belum bisa mendorongkan semua
kemauannya dengan suatu kekuasaan yang teratur dan tersusun,–selama itu maka
kaum imperialisme yang mencari untung sendiri itu akan tetaplah memandang
kepadanya sebagai seekor kambing yang menurut dan akan terus mengabaikan segala
tuntutan-tuntutannya. Sebab tiap-tiap tuntutan rakyat Indonesia adalah
merugikan bagi imperialisme; tiap-tiap tuntutan rakyat Indonesia tidaklah akan diturutinya,
kalau kaum imperialisme itu tidak terpaksa menurutinya. Tiap-tiap kemenangan
rakyat Indonesia atas kaum imperialisme dan pemerintah adallah buah desakan
yang rakyat itu lakukan, —tiap-tiap kemenangan rakyat Indonesia itu adalah
suatu konsesi yang dipaksakan! Sosialis
Cramer pada 10 Juni 1925 berkata dalam Tweede
Kamer:
“Walaupun diselimuti dengan kata-kata
manis, dari sini nyata sekali, bahwa….. kepentingan-kepentingan Belanda, atau
lebih benar, kepentingan-kepentingan kapital besar, senantiasa lebih dulu harus
dijamin keselamatannya; kepentingan-kepentingan rakyat Hindia baru diperhatikan
dalam tingkat kedua, ketiga atau keempat. Tuan Ketua! Rakyat Hindia tentulah
tak urung menarik satu-satunya kesimpulan yang benar, bahwa dari suatu kamer yang
disusun seperti sekarang ini, tidak bisa dan tidak usah diharapkan apa-apa dan bahwa
mereka, jika hendak mencapai sesuatu harus memperhadapkan kekuasaan dengan
kekuasaan. Sebab bukankah seluruh soal matang atau tidak matang untuk ikut
memerintah itu, terutama adalah soal kekuasaan?” “Memperhadapkan kekuasaan
dengan kekuasaan”, “macht tegenover macht”,
begitulah nasihat Cramer. Meskipun demikian, Cramer bukan bolsjewik, Cramer bukan sosialis kiri! Cramer bukan orang yang mau
main bedil-bedilan atau bom-boman, bukan orang yang mau “membahayai keamanan
umum”, bukan orang yang mau “menyerang” atau “merobohkan” kekuasaan pemerintah.
Cramer adalah sosialis yang “kutuq”,
seorang “warga yang tulus”. Anggota partai oposisi SDAP yang tenang itu! Bahwasanya,
pembentukan kekuasaan suatu partai perlawanan tidaklah selamanya harus
pembentukan kekuasaan yang melewati batas hukum! Sebagaimana SDAP dengan jalan
pembentukan kekuasaan yang halal itu, dari suatu golongan kecil yang
dihina-hina dan dimaki-maki bisa menjadi suatu kekuasaan yang ditakuti orang, karena
sekarang mempengaruhi orang ratusan ribu; sebagaimana SDAP itu, dengan
pergerakan puluhan ribu kaum rakyat, dengan mendirikan serikat-serikat kaum
buruh, dengan mengadakan koperasi-koperasi, dengan mengeluarkan berpuluh-puluh
surat kabar, bisa mendesak dan memaksa kepada musuhnya mengadakan konsesi-konsesi
yang berharga; sebagaimana SDAP atau kaum buruh di Eropa Barat dengan
pembentukan kekuasaan yang mahahebat tetapi halal itu, mau mencapai kekuasaan
politik dan lantas memberhentikan kapitalisme, —maka PNI dengan jalan pembentukan
kekuasaan pula, ingin menjadi kekuasaan yang ditakuti, yang akhirnya bisa
menuntun rakyat Indonesia ke atas “kekuasaan politik juga, — kekuasaan politik
kemerdekaan, yang menurut penglihatan kami, adalah syarat yang terpenting untuk
memberhentikan imperialisme sama sekali.
Tiap
partai Kemerdekaan mau berontak
“Mencapai kekuasaan politik!
Mendatangkan Indonesia Merdeka! Ya, benar, mendatangkan Indonesia Merdeka! Jadi
PNI mau berontak, kalau kemerdekaan itu tidak diberikan! –begitulah orang bisa berkata.
Amboi, aneh benar “logika” yang demikian ini! Kalau memang benar “logika” yang
demikian itu, orang lantas boleh me-“logika”-kan pula: jadi, PSI yang
bercita-cita pemerintahan Islam itu, juga mau berontak! Atau orang boleh
me-“logika”-kan pula: jadi Budi Utomo, jadi Pasundan, jadi kaum Betawi, jadi
Sarekat Madura, jadi semua anggota PPPKI yang juga mau mendatangkan kemerdekaan
itu, juga mau membikin huru-hara! Ya, orang boleh me-“logika”-kan pula: jadi
SDAP, jadi ISDP, jadi Albarda c.s. dan Stokvis c.s. yang bersemboyan “mencapai
kekuasan politik!, nyah dengan kapitalisme!” itu, juga mau mengamuk dengan bom
dan dinamit!. Amboi, kocak benar kalau begitu: Orang tua Stokvis mengamuk dengan
bom dan dinamit! Padahal, —bagaimanakah aksi ISDP? Bagaimanakah aksi SDAP? Bagaimanakah
Stokvis c.s. dan Albarda c.s. itu mau mencapai kekuasaan politik itu? “Bagaimanakah
jalannya mengambil kekuasaan politik?” begitulah kami itu menjawab di dalam
buku kecil mereka tentang asas dan tujuan SDAP:
“Kami sedang melakukan yang demikan itu
pada tiap-tiap keeping organisasi,
yang kami dirikan dan luaskan. Kami bekerja untuk itu pada tiap pemilihan, pada
tiap perjuangan untuk hak memilih, pada tiap aksi besar terhadap kaum borjuis.
Ini bukan pemberontakan satu hari, tapi adalah pekerjaan perlawanan kami bertahun-tahun…..
alat-alat yang kelihatan, yang dipergunakan oleh proletariat dalam perjuangannya, disesuaikan dengan syarat-syarat dan
kemungkinan-kemungkinan perjuangan itu dan dengan senjata-senjata yang
diberikan oleh masyarakat kapitalis itu sendiri kepada kami. Sebab itulah
terutama kami pergunakan parlemen, sebab itulah pula gerakan sekerja memakai
senjata mogok –di negeri Belanda adalah hak mogok, Tuan-tuan Hakim –yang bisa dipergunakannya
oleh karena tenaga buruh tidak bisa ditiadakan dalam proses produksi. Tapi
senjata itu pula yang dipergunakan oleh proletariat
juga untuk tuntutan-tuntutan politik umum dan tuntutan-tuntutan kelas, apabila
dianggapnya bisa mendatangkan manfaat…. kekerasan menurut pengalaman kami,
ternyata adalah suatu senjata yang jelek, boleh bilang tidak perlu kalau
kekuasaan ada pada kita, merugikan selama kita tidak mempunyai kekuasaan….
Tapi aksi apa pun yang hendak kita
lakukan, —senjata apa pun hendak kita pakai, —dasar yang tidak bisa ditiadakan
dari segala, ialah: adanya suatu organisasi yang tahan lama, kuat susunannya
dan tumbuh terus, suatu organisasi yang mempunyai hak susila dan kekuasaan,
untuk memegang pimpinan kelas kaum buruh dalam perjuangan kelas-kelas”.
Sesungguhnya, kocak betullah “logika”
yang me-“logika”-kan, bahwa karena itu, PNI akan membikin huru-hara. Tetapi,
juga dengan tidak menertawakan “logika” yang kocak itu, maka tiap-tiap orang
yang mau mengakui bahwa sedikitnya otak kami toh masih belum terganggu,
tiap-tiap orang yang tidak memandang kami orang yang gila atau orang idioot, tentulah mengerti, bahwa kami mustahillah
tak mengetahui bahwa kemerdekaan itu hanya bisa tercapai dengan suatu usaha
susunan dan usaha kekuasaan yang maha sukar dan mahaberat adanya, dan bahwa
mustahillah pula kami misalnya bisa berkata, bahwa kemerdekaan itu akan datang dalam
tahun ‘30! Sebagaimana kekuasaan politik tidak bisa dicapai oleh kaum buruh
Eropa di dalam satu, dua, tiga, sepuluh, dua puluh tahun, maka kemerdekaan pun
tak bisa diperoleh rakyat Indonesia dalam satu helaan nafas saja! Ai, ai,
“kemerdekaan akan datang dalam tahun ’30! ”Kami dikatakan pernah bilang, bahwa
kemerdekaan akan datang dalam tahun ’30! Sesungguhnya, kalau memang benar
begitu, perlu sekalilah kami dengan segera dikirimkan ke rumah sakit gila Cikeumeuh,
bagian “pasien-pasien yang tidak sembuh lagi”, bersama-sama dengan saudara Mr.
Sartono, yang juga dikatakan pernah berpidato kemerdekaan akan datang tahun
ini. Dalam Bintang Timur, edisi bahasa Belanda, 4 Januari yang lain kami baca:
“Atas pertanyaan Mr. Sartono apakah
bukti-bukti pendakwaan, polisi menjawab, bahwa pemerintah mendapat kabar dari
seluruh Indonesia, bahwa PNI mau mengadakan revolusi dan juga bahwa –ini pun
berita-berita dari mata-mata juga –Mr. Sartono di dalam suatu rapat terbuka
(???) mengatakan, bahwa tahun 1930 negeri ini akan mendapat kembali
kemerdekaannya…. Mr. Sartono lantas menjawab dengan tepatnya, bahwa pucuk
Pimpinan tidak pernah merancang maksud seperti itu. Sebab jika benar demikian,
tentulah Pucuk Pimpinan mengeluarkan suatu keputusan beserta petunjuk-petunjuk!
Dan lagi pula, jika sekiranya sungguh-sungguh mereka itu mempunyai maksud jahat
itu, tentulah mereka semuanya menyimpan senjata-senjata atau sekurang-kurangnya
golok di dalam rumah, sedangkan sekarang, tatkala dilakukan penggeledahan
besar-besaran tidak didapati satu pisaupun atau senjata lain pada
pemimpin-pemimpinnya. Dia ingat, bahwa didalam suatu rapat umum dia pernah
menerangkan bahwa dalam tahun 1930 saudara-saudara kita bangsa Tionghoa
disamakan haknya dengan bangsa Eropa. Berhubung dengan itu ia berkata, bahwa
konsekuensi penyamaan hak itu, orang Indonesia juga berhak mendapat hak-hak
yang timbul dari undang-undang penyamaan hak itu. Dia selalu menerangkan, bahwa
dia ingin sekali Indonesia merdeka. Dalam hampir saban rapat umum dia menerangkan
yang demikian itu dengan tidak ada pembatasan. Tapi dia tidak pernah
mengatakan, bahwa Indonesia mulai 1 Januari 1930 akan merdeka, dan bahwa
menjelang waktu itu, di sini kan meletus revolusi. Jikalau dia pernah berkata
begitu, dia merasa heran mengapa dia tidak ditangkap waktu itu juga.
Benar sekali!
Kami tak pernah tedeng aling-aling,
bahwa kami mengejar kemerdekaan. Kami tak pernah tedeng aling-aling, bahwa PNI
punya idam-idaman ialah Indonesia merdeka! Tetapi kami tidak begitu tolol untuk
mengira atau mengatakan bahwa kemerdekaan itu dalam satu helaan nafas saja akan
datang! O, memang, kalau umpamanya kemerdekaan itu bisa jatuh dari langit ini
hari, kalau umpamanya bisa datang seorang malaikat manis menghadiahkan kemerdekaan
itu ini hari, maka kami, dari Partai Nasional Indonesia, kami tidak akan
menolaknya, tetapi sebaliknya akan bersukaria. Kami di dalam hal itu akan
mengucap syukur dan alhamdulillah, oleh karena sepanjang keyakinan kami
kemerdekaan adalah kunci pintu gerbang surga kebesaran kami. Kami memandang kemerdekaan
ini hari itu sebagai suatu cita-cita yang seindah-indahnya, dan oleh karena
itu, tidak adalah bagi kami kemerdekaan yang datangnya terlalu pagi.
Kami tidak mau bersikap sebagai kaum
setengah sosialis, yang sudah lebih dulu –apriori- menyembunyi-nyembunyikan
asasnya sendiri dengan menolak tuntutan merdeka ini hari. Menolak cita-cita merdeka
ini hari. Tetapi,….. kemerdekaan tidak akan datang ini hari atau besok pagi!
Kemerdekaan hanyalah hasil suatu usaha susunan dan usaha persatuan yang sesuatu
rakyat harus kerjakan tak berhenti-hentinya dengan habis-habisan mengeluarkan
keringat, membanting tulang, memeras tenaga. Kemerdekaan, menurut perbandingan
pemimpin India Surendranath Banneryee, adalah:
“laksana dewi yang cemburu, yang minta
dipuja-puja dengan teliti sekali dan menuntut dari pemuja-pemujanya pembaktian
yang rajin dan tiada hentinya.”
Kemerdekaan, begitulah kami
sering-sering terangkan di dalam rapat-rapat umum, kemerdekaan tidaklah bagi
kami. Kemerdekaan adalah buat anak-anak kami, buat cucu-cucu kami, buat
buyut-buyut kami yang hidup di kelak kemudian hari!
Tidak! Untuk mencapai kemerdekaan itu,
PNI tidak bermaksud pedang-pedangan atau golok-golokan atau bom-boman, tidak
pula bermaksud menyindir atau memujikan pengrusakan keamanan umum atau
pelanggaran kekuasaan pemerintah atau menjalankan hal-hal lain sebagai yang
dituduhkan kepada kami dalam proses ini, tetapi PNI mengerjakan pembentukan
kekuasaan yang halal itu, mengerjakan pembentukan kekuasaan itu menurut contoh
organisasi modern, dan sebagaimana kaum buruh di Eropa yang juga memandang
kekuasaan politik dan lenyapnya kapitalisme sebagai kunci satu-satunya bagi
kebahagiaan yang sejati itu, dalam sementara menumpuk-numpuk pembentukan
kekuasaan itu sudah mencoba-coba meringankan nasibnya dengan pelbagai aturan
dan kemenangan-kemenangan yang bisa tercapai ini hari; sebagaimana kaum uurh
Eropa itu dalam sementara mengejar maksud yang tertinggi itu, tak emoh akan
keuntungan-keuntungan yang langsung, maka PNI pun dalam sementara mengejar
kemerdekaan itu, sudah pula berjuang secara halal bagi keuntungan-keuntungan
ini hari yang demikian itu juga adanya. PNI pun dalam sementara mengejar Indonesia
merdeka itu, sudah pula berusaha di atas lapangan ekonomi, sosial dan politik
sehari-hari, ya malahan memandang keuntungan-keuntungan ini hari itu sebagai
syarat-syarat pula bagi kemerdekaan itu.
Ia mencoba mendirikan sekolah-sekolah,
membangunkan rumah-rumah sakit, melawan riba, menyokong bank-bank nasional, membuka
koperasi-koperasi, memajukan serikat-serikat sekerja dan perserikatan-perserikatan
tani. Ia mencobba menghilangkan pasal-pasal pencegah penyebaran kebencian (haatzaai-artikelen) beserta pasal-pasal
153 bis-ter dan pasal 161 bis dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
menghilangkan hak-hak exorbitante dari
gubernur jenderal. Ia mencoba jadi penyokong rakyat yang sengsara itu di dalam
kebutuhannya sehari-hari. Dan jika PNI pada saat ini belumbanyak hasil di atas
lapangan itu; jika PNI belum banyak sekolah-sekolahnya, belum banyak
poliklinik-polikliniknya, belum banyak koperasi-koperasinya; jika PNI belum
dapat menghapuskan ranjau-ranjau politik yang kami sebutkan tadi, maka itu
adalah oleh karena PNI baru berumur dua tiga tahun saja!
Aksi
dengan Perbuatan
Di dalam makna inilah kongres PNI di
Jakarta tahun yang lalu mengambil putusan akan mengadakan “aksi dengan
perbuatan” dalam tahun 1929-1930. Di dalam makna “berusaha secara halal
mendatangkan perbaikan-perbaikan yang bisa tercapai sekarang”, begitulah
perkataan “aksi dengan perbuatan” itu harus diartikan. Sebelum kongres di
Jakarta itu, sebelum Mei 1929 itu, maka PNI masih dalam zaman propaganda.
Segala rapat-rapat, segala ucapan-ucapan, gerak-bangkitnya, sebelum kongres di
Jakarta itu, terutama hanyalah untuk memperkenalkan diri belaka kepada rakyat
Indonesia, mempropagandakan azas-azas dan tujuan-tujuannya, agar rakyat Indonesia
mengetahui dan menjadi tertarik dengan kebenaran azas-azasnya itu. Hampir di tiap-tiap
rapat umum yang diadakan oleh PNI di dalam fase yang pertama ini, kami hanya
berpidato menerangkan panjang lebar kami punya keterangan azas belaka, sebagai
yang terletak dalam buku anggaran dasar PNI itu. Hampir tiap-tiap rapat umum di
dalam fase ini adalah rapat umum mendirikan cabang baru, atau rapat umum buat
menambah terkenalnya diri dan azas PNI ditempat cabang yang sudah ada. Di dalam
fase propaganda ini, maka PNI belumlah mengadakan “aksi”; ia belum mengusahakan
organisasinya untuk mendatangkan perbaikan-perbaikan yang termaktub dalam
daftar usahanya. Di dalam fase itu PNI hanyalah mempropagandakan dasar-dasarnya
belaka, –belumlah ia “berusaha”, belumlah ia beraksi untuk melaksanakan rencana
kerjanya! Nah, tatkala di dalam permulaan tahun 1929 PNI semakin banyak anggotanya,
tatkala pada permulaan tahun 1929 itu PNI sudah semakin banyak mempunyai
tenaga, –tatkala pada saat itu PNI sudah cukup agaknya dipropagandakan,– maka
pucuk pimpinan memandang perlu mengerjakan apa yang tertulis dalam daftar usahanya,
pucuk pimpinan memandang perlu menginjak lapangan perbuatan, lapangan aksi.
Azas dasar sudah cukup dipropagandakan, nah, rencana kerja sekarang harus
dikerjakan, “aksi dengan perbuatan” sekarang harus dijalankan! Dan atas usul
pucuk pimpinan itu, maka Kongres Jakarta mengambil putusan untuk menjalankan
aksi dengan perbuatan itu tentang pasal I d dan III d dari daftar usaha, yakni
pasal-pasal “menghapus alangan-alangan yang merintangi kemerdekaan diri,
kemerdekaan bergerak, kemerdekaan cetak-mencetak, kemerdekaan berserikat dan kemerdekaan
berkumpul”, beserta “memajukan serikat-serikat sekerja dan
perserikatan-perserikatan tani”. Sejak Kongres Jakarta itu maka fase propaganda
sudah tertutup,– mulailah fase baru, mulailah fase pembangunan yang nyata,
yakni fase bekerja, fase aksi.
Caranya beraksi? Caranya beraksi dengan
perbuatan? Bom, bedil, dinamit? –Tidak, caranya aksi dengan perbuatan tidaklah
dengan bom, tidaklah dengan bedil, tidak dengan dinamit, tidak pula dengan apa-apa
yang dilarang hukum. Caranya tak lain dari mengadakan rapat-rapat umum di
mana-mana untuk mempengaruhi, menggugahkan, membangkitkan pendapat umum,
menulis karangan-karangan di dalam surat-surat kabar, mengadakan kursus-kursus
kepada anggota-anggota sendiri tentang pasal-pasal itu tadi. Caranya tak lain
adalah menggerakkan kekuasaan kami secara halal, membesar-besarkan kekuasaan
itu. Caranya tak lain dari menggerakkan kamu punya kekuasaan secara halal,
meluaskan kami punya pembentukan kekuasaan itu, tak lain dari sebagaimana SDAP beraksi,
sebagaimana partai Sarekat Islam beraksi, –yakni menggerakkan semangat sendiri
dan menggerakkan semangat pendapat umum sehebat-hebatnya,–mengeluarkan tenaga
bekerja ke dalam untuk melahirkan badan-badan organisasi yang perlu, misalnya
serikat-serikat sekerja dan tani itu tadi, mengeluarkan tenaga bekerja keluar
untuk mengadakan desakan yang sekuat-kuatnya agar supaya tuntutan-tuntutannya
bisa terlaksana adanya. Bukan desakan dengan bom, bukan desakan dengan dinamit,
bukan desakan dengan apa-apa yang dilarang oleh hukum! —tetapi desakan hahal,
desakan yang sebagaimana kami katakana di dalam pemeriksaan, oleh Dr.
Ratulangi, tatkala ia masih radikal dan belum lunak seperti sekarang, disebutkan
“desakan semangat”, “moreel geweld”.
Ah, Tuan-tuan Hakim, adakah
perkataan-perkataan “aksi dengan perbuatan” tentu berarti pemberontakan, barrikaden, perkosaan, –adakah
perkataan-perkataan itu tentu berarti kekerasan, atau setidak-tidaknya,
pelanggaran hukum? Kaum sosialis Eropa toh sering juga menganjurkan “aksi
dengan perbuatan” itu, sering juga menganjurka “aksi langsung”,–dan mereka
bukankah juga tidak memaksudkan pelanggaran hukum, perkosaan atau bom-bom
dengan “aksi langsung” itu?
“Oleh karena kekuasan kapital besar
justru tidak terutama duduk dalam parlemen, tapi diluarnya, maka kaum buruh
tidak bisa membatasi perjuangannya kepada parlemen saja. Sebab itu kaum buruh,
disamping senjata aksi di dalam parlemen, harus mempergunakan pula, di
saat-saat perjuangannya yang besar, senjata aksi yang langsung, yakni aksi
politik dari serikat-serikat sekerja”…
Begitulah misalnya pemuka SDAP
berpidato, –dan semua orang mengetahui, bahwa dengan aksi langsung diluar
parlemen itu, tidaklah dimaksudkan pelanggaran hukum atau perkosaan, atau pemberontakan!
Tidak, Tuan-tuan Hakim, sekali lagi kami ulangi: tidak dengan maksud membikin
huru-hara, tidak dengan maksud membikin putsch,
tidak dengan maksud melanggar pasal 153 bis atau lain-lain hal yang dituduhkan
di dalam proses ini, PNI mau menjalankan aksinya mengejar kemerdekaan, –tetapi
PNI mau mencapai maksudnya dengan mengorganisasi dan menggerakkan suatu
organisasi kekuasaan yang sah, suatu organisasi kekuasaan nasional modern,
suatu massa-aksi nasional yang menolak tiap-tiap cara yang tidak nasionalistis
adanya.
Revolusioner,
revolusi
Tetapi perkataan “revolusioner”! Tetapi
halnya PNI menyebutkan diri suatu partai “revolusioner”! Tidakkah itu berat
bahwa PNI bermaksud mengadakan pemberontakan, atau setidak-tidaknya bermaksud
melanggar kekuasaan pemerintah, mengganggu keamanan umum? O, memang, kami sering
mengatakan bahwa kami adalah kaum revolusioner, kami sering menyebut PNI itu
suatu partai revolusioner! PNI memang sedari mulanya adalah suatu partai revolusoner!
Kalimat di dalam surat pendakwaan, bahwa PNI adalah kemudian menjadi
revolusioner, kalimat itu adalah salah sama sekali. PNI tidak kemudian menjadi
revolusioner, PNI adalah revolusioner sejak hari lahirnya! Tetapi kata
revolusioner dalam makna kami, sama sekali tidak berarti “mau membikin
pemberontakan” atau “menjalankan sesuatu pelanggaran hukum”.
Kata revolusioner didalam makna kami
adalah berarti “radikal”, “mau mengadakan perubahan dengan lekas”, “omvormend in snel tempo”. Kata revolusioner
di dalam makna kami haruslah diambil sebagai kebalikan kata “sabar”, kebalikan
kata “sedang”. Kami, kaum PNI, kami memang bukan kaum sabar, kami memang bukan
kaum sedang, kami memang bukan kaum “uler kambang”, yang selamanya kami sebut
“kapuk”; kami adalah kaum “radikal”, kaum yang ingin mengadakan perubahan
selekas-lekasnya, —kami adalah kaum ”Kepala Banteng”. Ah, Tuan-tuan Hakim,
perkataan “revolusioner” toh tidak di dalam makna kami saja berarti “ingin perubahan
dengan lekas”, yakni “omvormend in snel
tempo”. Kalau orang berkata “mesin uap itu mengadakan revolusi di dalam
cara produksi”, kalau orang berkata, “Prof. Einstein sudah merevolusikan
segenap ilmu alam”, kalau orang menyebutkan “Yesus Kristus seorang revolusioner
yang terbesar di seluruh riwayat dunia”, kalau pasifis Tolstoyanis Ds.B.de
Light menulis buku “Christen
revolutionnair”, —ya, kalau kaum Marxis, berhubung dengan hukum evolusi di
dalam pergaulan hidup (sebagai variasi atas Heraclitus “panta rei”) berkata: ”kita hidup didalam revolusi terus-terusan,
yakni di dalam Revolution im Permanenz”,
—adalah itu semua mengingatkan akan pedang, akan bedil, akan bom, akan dinamit,
barrikaden, darah manusia dan hawa maut?
PNI adalah “revolusioner”, oleh karena PNI ingin mengadakan perubahan yang
lekas dan radikal. Prof. Bluntschli, ahli hukum kerajaan yang termashur dan
yang sama sekali bukan “kaum merah”, mengatakan bahwa revolusi umumnya berarti:
“umgestal-tung van Grund aus”, yakni
perubahan yang radikal, perubahan yang sedalam-dalamnya. Sebagaimana tiap-tiap
partai yang mau mengadakan perubahan yang radikal adalah suatu partai
revolusioner, makas PNI adalah pula suatu partai yang revolusioner, PSI adalah
revolusioner, ISDP adalah revolusioner, sebagai Tuan Koch mengakui sendiri, segenap
perjuangan kelas dari kaum buruh adalah revolusioner.
“Bukan bentuk-bentuk tertentu dari
perjuangan kelas yang revolusioner, tetapi perjuangan kelas itu sendiri yang
pada hakikatnya revolusioner, meskipun kebanyakan orang menganggap keributan
dan pemogokan, itulah “yang disebut revolusioner,” begitulah Stenhuis berkata.
Dengarkanlah pula bagaimana social
democrat Liebknecht yang tersohor itu menerangkan perkataan “revolusioner”:
“kita mengalami “revolusi terus-terusan”, Revolution
im Permanenz. Sejarah dunia adalah satu revolusi yang terus-menerus.
Sejarah dan revolusi adalah sama. Proses perubahan yang revolusioner dalam
masyarakat dan negara tak pernah terhenti sekejap mata pun, sebab negara dan
masyarakat adalah barang-barang yang hidup, –dan akhir proses perubahan, proses
pembaharuan ini, adalah maut. Kami, kaum social
democrat, mengerti akan hal itu dan itulah sebabnya kami membentuk suatu
partai revolusioner, yakni suatu partai yang bermaksud menghilangkan
rintangan-rintangan bagi perkembangan sewajarnya dari masyarakat dan negara!”, dan
dengarkanlah apa sebabnya Karl Marx menyebut kaumnya itu kaum revolusioner:
“Kaum sosialis adalah revolusioner,
bukan karena mereka bertingkah laku keras, tapi karena anggapan mereka tentang
tumbuhnya cara produksi, yakni: di dalam pertumbuhan itu harus ditimbulkan
pengertian-pengertian dan bentuk-bentuk baru tentang milik dan produksi.
Sebaiknya dari anggapan orang sekarang, mereka itu revolusioner karena
cita-cita dan usahanya menyusun dan membikin matang untuk itu, kelas yang
harusakan melaksanakan sistem baru itu”.
Sesungguhnya, jika sekalilah perkataan Karl
Kautsky: “Sosial-demokrasi adalah suatu partai yang revolusioner, tapi bukan
suatu partai yang bikin revolusi-revolusi!”
Tidakkah ternyata sekarang kebenaran
perkataan kami, bahwa SDAP adalah revolusioner, bahwa ISDP adalah revolusioner,
bahwa Albarda cs. adalah revolusioner, bahwa Stokvis, bahwa de Dreu, bahwa
Middendorp adalah revolusioner? Tidakkah PNI revolusioner juga, tidakkah kami
kaum revolusioner juga, —PNI dan kami, yang juga bermaksud “menghilangkan
rintangan-rintangan bagi perkembangan sewajarnya dari masyarakat dan negara”,
juga bermaksud “menyusun dan membikin matang rakyat untuk itu”? Oleh karena
itu, sekali lagi, memang PNI adalah revolusioner, kami adalah kaum
revolusioner, –tetapi tidak karena apa-apa, melainkan hanya karena PNI ingin
perubahan yang lekas dan radikal, ingin “omvorming
in snel tempo”, ingin “Umgestaltung
von Grund aus” itu. PNI dan kami adalah revolusioner, tidak karena PNI dan
kami mau golok-golokan atau bom-boman atau dinamit-dinamitan, tidak karena PNI
(dengan perkataan Kautsky) adalah “suatu partai yang bikin revolusi-revolusi”,
—tetapi hanya karena PNI ingin menghilangkan segala hal yang merintangi dan
memundurkan suburnya pergaulan hidup Indonesia dan mengorganisir rakyat untuk
menghilangkan rintangan-rintangan itu.
Kekuasaan
semangat
Amboi! Golok, bom dan dinamit! Kami
dituduh golok-golokan, bom-boman dan dinamit-dinamitan! Seperti tidak ada
senjata yang lebih tajam lagi daripada golok, bom dan dinamit! Seperti tidak
ada senjata yang lebih kuasa lagi daripada puluhan kapal perang, ratusan kapal
udara, ribuan, ketian, milyunan serdadu darat! Seperti tidak ada senjata
semangat lagi, yang, jikalau sudah sadar dan bangkit dan berkobar-kobar di
dalam kalbu rakyat, lebih hebat kekuasaannya dari seribu bedil dan seribu
meriam, ya, seribu armada laut dan seribu tentara yang lengkap alat dan lengkap
senjata! Seperti kami tak mengetahui akan kekuasaan semangat rakyat yang bisa
dibikin mahasakti dan mahadigjaya itu. Orang menuduh kami mau membikin
ramai-ramai dengan mercon sumet dan
mercon banting! Seperti tidak ada ilmu ketimuran lagi, yang dinyanyikan dalam
buku Bagawad Gita dan yang mengajarkan kekuatan semangat itu!
“Ketahuilah, senjata tiada menyinggung
hidup; Api tiada membakar, tiada air membasahi, Tiada angus oleh angin yang
panas. Tiada tertembusi, Tiada terserang, tiada terpijak dan merdeka Kekal
abadi, di mana-mana, tetap tegak, tidak nampak, terucapkan tiada, Tiada
terangkum oleh kata, pikiran, senantiasa pribadi tetap –Begitulah disebut
jiwa!”
Tidak, PNI tidak mencari kekuasaan dalam
ribut-ribut atau bom-boman atau dinamit-dinamitan, tidak pula mencari tenaga
dalam sengaja melanggar undang-undang sebagai dituduhkan disini. PNI mencari
kekuasaan pembentukan tenaga dalam organisasi sosial dan organisasi semangat
rakyat yang sedar dan bangkit, mencari kekuasaan pembentukan tenaganya dengan
lebih lagi menghidup-hidupkan dan menyusun semangat rakyat yang oleh pengaruh imperialisme
turun-temurun, kemarin sudah hampir padam, tetapi kini mulai menyala lagi. PNI
mengetahui, PNI insaf, PNI yakin, bahwa jika semangat rakyat itu sudah tersusun
serta menyala-nyala berkobar-kobar, tidak ada satu kekuasaan duniawi yang bisa
membinasakannya, PNI yakin bahwa, jika ia sudah menggenggam senjata semangat
yang sedemikian itu, ia tentu mencapai segala apa yang dimaksudkan, zonder pedang, zonder bedil, zonder bom,
zonder meriam, ya, zonder “kocak-kocakan” sengaja melanggar
pasal 153 bis dan 169 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai yang dituduhkan
kepada kami dalam proses ini. Dengan senjata semangat yang demikian itu, maka ia
dengan sebenar-benarnya menggenggam senjata yang mahasakti, dengan
sebenar-benarnya beraji candrabirawa dan pancasona, –mahakuasa, kekal abadi,
tiada terkalahkan!
‘Siapa bisa merantai suatu bangsa, kalau
semangatnya tak mau dirantai? Siapa bisa membinasakan sesuatu bangsa, kalau semangatnya
tak mau dibinasakan?”
Begitulah Sarojini Naidu, Srikandi
India, berpidato tatkala membuka Kongres Nasional India yang ke-40 dan Mac
Swiney, pendekar Irlandia yang termashur itu, di dalam bukunya “Principes de la Liberte ” menulis:
“Sebab seorang yang dirampas senjatanya,
tidak bisa melawan orang banyak, satu tentara tak bisa mengalahkan
tentara-tentara yang tak terpermanai banyaknya, —tapi semua tentara dari semua negara
di seluruh dunia bersama-sama, tidak kuasa menundukkan satu jiwa, yang telah
bertekad untuk berjuang mempertahankan hak.”
Sesungguhnya, buat apa bom-boman atau
dinamit-dinamitan, buat apa kocak-kocakan sengaja melanggar pasal 153 bis dan
169 –kalau kami dengan pembentukan kekuasaan organisasi semangat itu saja sudah
mempunyai kepastian akan mencapai semua maksud?
Nasionalisme
nyawanya pembentukan kekuasaan
PNI oleh karenanya, tak
berhenti-hentinya menyubur-nyuburkan semangat rakyat itu. Semangat tiap-tiap
rakyat yang disengsarakan oleh suatu keadaan, baik rakyat proletar di negeri-negeri industri, maupun rakyat di tanah-tanah
jajahan, adalah semangat ingin merdeka: Nah, kami menyuburkan semangat ingin
merdeka itu pada rakyat Indonesia. Kami menyuburkannya tidak terutama dengan
keinsafan kelas sebagai pergerakan kaum buruh umumnya, tetapi terutama dengan
keinsafan bangsa, dengan keinsafan nasionaliteit,
dengan nasionalisme. Sebab tiap-tiap rakyat yang dikuasai oleh bangsa lain,
tiap-tiap rakyat jajahan, tiap-tiap rakyat yang saban hari, saban jam,
merasakan imperialisme bangsa lain, —tiap-tiap rakyat yang diperintahi secara
jajahan demikian itu, adalah berbudi akal nasionalistis. Rasa pertentangan,
yang di Eropa atau di Amerika, berwujud rasa pertentangan kelas, oleh karena kaum
yang berkuasa dan kaum yang dikuasai di sana terdiri dari satu bangsa, satu
kulit, satu rasa, —rasa pertentangan itu di suatu negeri jajahan adalah menyatu
dengan pertentangan nasionalistis. Bukan terutama rasa pertentangan si buruh
terhadap si kapilistis, bukan terutama rasa pertentangan kelas yang kita alami
dalam suatu negeri jajahan, tetapi, rasa pertentangan si hitam terhadap si
putih, si Timur terhadap si Barat, si terjajah terhadap si penjajah. PNI
mengerti akan hal ini. PNI mengerti, bahwa di dalam kesadaran nasioanlistis, di
dalam nasionalisme inilah letaknya daya, yang nanti bisa membuka kenikmatan
hari kemudian. PNI oleh karenanya, menyubur-nyuburkan dan memelihara
nasionalisme itu, dari nasionalisme yang kurang hidup dibikin jadi nasionalisme
yang hidup, dari nasionalisme yang instinktif
jadi nasionalisme yang sadar, dari nasionalisme yang statis jadi nasionalisme yang dinamis, –pendek kata: dari
nasionalisme yang negatif jadi nasionalisme yang positif. Dibikin jadi
nasionalisme positif, Tuan-tuan Hakim, dibikin nasionalisme positif, sebab
dengan nasionalisme yang hanya rasa protes atau rasa dendam saja terhadap
imperialisme, kami belumlah tertolong.
Kami punya nasionalisme haruslah suatu
nasionalisme yang positif, suatu nasionalisme yang positif, suatu nasionalisme yang
mencipta, suatu nasionalisme yang “mendirikan”, suatu nasionalisme yang
“mencipta dan memuja”.
Dengan nasionalisme yang positif itu
maka rakyat Indonesia bisa mendirikan syarat-syarat hidup merdeka yang bersifat
kebendaan dan kebatinan. Dengan sekarang sudah menghidup-hidupkan nasionalisme
yang positif itu, maka ia bisa menjaga, jangan sampai nasionalisme itu menjadi nasionalisme
yang benci kepada bangsa lain, yakni jangan sampai nasionalisme itu menjadi
nasionalisme yang chauvinistis atau jingo-nasionalisme yang agresif, sebagai
yang kita alami jahatnya dalam perang dunia yang lalu, —suatu
jingo-nasionalisme “of gain andloss”
–sebagai kata C.R. Das – yang agresif, yakni suatu jingo-nasionalisme yang
bersemboyan “untung atau rugi” dan menyerang kian kemari. Dengan nasionalisme
yang positif itu, maka rakyat Indonesia merasai kebenaran kalimat-kalimat
Arabindo Chose, yang mengatakan bahwa nasionalisme yang demikian itu adalah sebenarnya
Allah sendiri. Dengan nasionalisme yang demikian itu, maka rakyat kami tentulah
melihat hari kemudian itu sebagai fajar yang berseri-seri dan terang cuaca,
tentulah hatinya penuh dengan pengharapan-pengharapan yang menghidupkan.
Tidakkah lagi hari kemudian itu dipandang olehnya sebagai malam yang
gelap-gulita, tidaklah lagi hatinya penuh dengan syak dan dendam belaka. Dengan
nasionalisme yang demikian itu rakyat kami akan rida dan suka hati menjalankan
segala pengorbanan untuk membeli hari kemudian yang indah yang menimbulkan
hasrat itu. Pendek kata: dengan nasionalisme yang demikian itu rakyat kami akan
bernyawa, akan hidup, dan tidak laksana bangkai sebagai sekarang! “Oleh karena
rasa kebangsaanlah,” begitu pemimpin Mesir yang termashur, Mustafa Kamil,
menggambarkan nasionalisme positif itu:
“Oleh karena rasa kebangsaanlah, maka
bangsa-bangsa yang terkebelakang lekas mencapai peradaban, kebesaran dari
kekuasaan. Rasa kebangsaanlah yang menjadi darah yang mengalir dalam urat-urat
bangsa-bangsa yang kuat dan rasa kebangsaanlah yang memberi hidup kepada tiap-tiap
manusia yang hidup”.
Zonder nasionalisme
tiada kemajuan, zonder nasionalisme
tiada bangsa.
“Nasionalisme adalah-milik yang berharga
yang memberi kepada suatu negara tenaga untuk mengejar kemajuan dan memberi kepada
suatu bangsa tenaga untuk mempertahankan hidupnya,” begitulah Dr. Sun Yat Sen
berkata.
Membangkitkan
Nasionalisme: hari dulu, hari sekarang, hari kemudian
Dan caranya menyuburkan nasionalisme
itu? Jalannya menghidupkannya? Jalannya adalah tiga:
Pertama: kami
menunjukkan kepada rakyat, bahwa ia punya hari dulu, adalah hari dulu yang
indah; Kedua: kami menambah keinsafan
rakyat, bahwa ia punya hari sekarang, adalah hari sekarang yang gelap; Ketiga: Kami memperlihatkan kepada
rakyat sinarnya hari kemudian yang berseri-seri dan terang cuaca, beserta
cara-caranya mendatangkan hari kemudian yang penuh dengan janji-janji itu.
Dengan lain perkataan, PNI membangkitkan
dan menghidupkan keinsafan rakyat akan ia punya “masa silam yang indah”, “masa yang
gelap gulita” dan; “janji-janji suatu masa depan yang melambai-lambai,
berseri-seri”. PNI mengetahui, bahwa hanya trimurti
inilah yang akan bisa menjadikan kembang Jayakusuma yang menghidupkan
kembali nasionalisme rakyat yang layu. Kami punya hari dulu yang indah, kami
punya masa silam yang gemilang! Ah, Tuan-tuan Hakim, siapakah orang Indonesia
yang tidak mengeluh hatinya, kalau mendengarkan cerita tentang keindahan itu,
siapakah yang tidak menyesalkan hilangnya kebesaran-kebesarannya! Siapakah
orang Indonesia yang tidak hidup semangat nasionalnya, kalau mendengarkan
riwayat tentang kebesaran kerajaan Melayu dan Sriwijaya, tentang kebesaran Mataram
yang pertama, kebesaran zaman Sindok dan Erlangga dan Kediri dan Singasari dan
Majapahit dan Pajajaran, – kebesaran pula dari Bintara, Banten dan Mataram
kedua di bawah Sultan Agung! Siapakah orang Indonesia yang tak mengeluh hatinya
kalau ia ingat akan benderanya yang dulu ditemukan dan dihormati orang sampai di
Madagaskar, di Persia dan di Tiongkok! Tetapi sebaliknya, siapakah tidak hidup
harapannya dan kepercayaannya, bahwa rakyat yang demikian kebesarannya hari
dulu itu, pasti cukup kekuatan untuk mendatangkan hari kemudian yang indah
pula, pasti masih juga mempunyai kebiasaan-kebiasaan menaik lagi di atas
tingkat kebesaran di kelak kemudian hari? Siapakah yang tidak seolah-olah mendapat
nyawa baru dan tenaga baru, kalau ia membaca riwayat zaman dulu itu! Begitulah
pula rakyat, dengan mengetahui kebesaran hari dulu itu, lantas hiduplah rasa
nasionalnya, lantas menyala lagilah api harapan di dalam hatinya, dan lantas
mendapat lagilah rakyat itu nyawa baru dan tenaga baru oleh karenanya. O,
memang, zaman dulu zaman feodal, zaman sekarang zaman modern. Kami bukan mau
menghidupkan lagi zaman feodal itu; kami bukan pula mufakat dan cinta kepada
aturan-aturan feodal itu. Kami mengetahui kejelekan-kejelekannya bagi rakyat.
Kami hanyalah menunjukkan kepada rakyat, bahwa feodalisme kami hari dulu itu adalah
feodalisme yang hidup, feodalisme yang tidak sakit-sakitan, feodalisme yang
sehat dan bukan feodalisme yang penyakitan, –feodalisme yang penuh dengan
kemungkinan-kemungkinan berkembang dan yang, umpamanya tidak diganggu hidupnya
oleh imperialisme asing, niscaya bisa “meneruskan perjalanannya”, bisa “menyelesaikan
evolusinya”, yakni niscaya bisa hamil dan akhirnya melahirkan suatu pergaulan hidup
modern yang sehat pula!
Tetapi bagaimana pergaulan hidup kami
hari sekarang ini? Bukan sehat, bukan penuh dengan kemungkinan-kemungkinan berkembang,
tetapi sakit-sakitan, “kosong”.
Pada permulaan, tatkala kami menggambarkan
nasib rakyat Indonesia pada masa ini, tatkala kami menceritakan caranya
imperialisme mengobrak-abrik pergaulan hidup kami itu, maka Tuan-tuan sudah
mendapat sedikit pemandangan tentang keadaan hari sekarang itu, maka tuan-tuan sudah
mendapat sedikit pemandangan tentang keadaan hari sekarang itu. Berhubung
dengan sempitnya waktu, cukuplah sekian saja, tak perlulah kami tambah-tambahi.
Tetapi perlu sekalilah kami terangkan di sini, bahwa keinsafan akan jeleknya
nasib hari sekarang inilah yang paling menghidupkan rasa nasional rakyat. Memang
bukan saja bagi rakyat kami, tetapi bagi tiap-tiap rakyat lain dan tiap-tiap
manusia, tiap-tiap makhluk yang bernyawa, pengetahuan akan suatu nasib yang
jelek adalah sumber keinginan akan nasib yang lebih nyaman baginya. Tidak ada
keinginan, tidak ada harapan, tidak ada nafsu, kalau tidak ada rasa tak puas
dengan keadaan yang ada.
Itulah sebabnya, maka tiap-tiap
perkumpulan atau tiap-tiap surat kabar di tiap-tiap negeri dan di tiap-tiap
zaman, suka sekali “membongkar keadaan”, yakni suka sekali membeber-beberkan keadaan-keadaan
yang ia tidak sukai. Jikalau AID de
Preangerbode mengamuk perkara politik pemerintah sekarang atau perperkara pergerakan
rakyat yang ia takuti, jikalau PEB geger membicarakan bahaya yang mengancam kepentingan
imperialisme, jikalau Vaderlandsche Club
memaki-maki ke kanan dan ke kiri, maka semua itu adalah oleh karena mereka tak
senang akan keadaan sekarang dan oleh karena mereka dengan menyiarkan mereka
punya ketidakpuasan atau ketidaksenangan itu, bermaksud membangunkan atau
mengeraskan lagi keinginan, harapan, nafsu kaumnya akan keadaan yang lebih
nyaman baginya. Begitu pula PSI, Budi Utomo, Pasundan dan perkumpulan atau
surat kabar Indonesia mana pun juga, dengan mereka punya propaganda atau protes-protes
tak lain daripada bermaksud menyebarkan mereka punya ketidaksenangan dan
membesarkan lagi keinginan dan nafsu mereka punya kaum. Nah, kalau PNI lebih
menginsafkan lagi rakyat Indonesia akan kepahitan nasibnya hari sekarang itu,
maka ia tak lain-pula dari bermaksud memperkeraskan lagi keinginan dan harapan
rakyat itu akan keadaan-keadaan yang lebih layak. PNI mengetahui, bahwa keinginan
dan harapan inilah yang menjadi pendorong nafsu berusaha, pendorong “nafsu
mendirikan”, pendorong “nafsu mengadakan”. PNI mengerti, bahwa makin mendalam
keinsafan rakyat akan getirnya nasib hari sekarang itu, membikin pula makin rajin
dan makin maunya rakyat berusaha membanting tulang dan memeras tenaga untuk
terkabulnya kesanggupan-kesanggupan hari kemudian yang indah itu, –mengerti,
bahwa makin merasuk keinsafan akan perihnya hari sekarang itu di dalam daging
dan sumsum rakyat, membikin lebih hidupnya rasa nasional, lebih berkobar-kobarnya
nasionalisme positif yang memang sudah menyala! Orang boleh menamakan ini menyebarkan
“ketidaksenangan”, orang boleh menamakan ini “membikin pahit hati dan dendam
hati pada rakyat”, orang boleh mengatakan kami penghasut, pembakar nafsu,
ophitser, opruier –kami menjawab: apa bedanya perbuatan kami itu sebagai tadi
kami terangkan, dengan perbuatan AID dan VC dan PEB dalam hakikatnya, apa
bedanya dengan perbuatan PSI, BU, Pasundan dan lain-lain? Lagi pula: kami tidak
pernah meninggalkan obyektifitas, kami tidak menyebarkan yang dinamakan “ketidaksenangan”
itu untuk “ketidaksenangan”, kami tidak “membikin pahit hati dan dendam” untuk
membangkitkan rasa kebencian dan rasa kedengkian atau nafsu-nafsu lain yang
rendah, –kami menyebarkan yang dinamakan “ketidaksenangan” itu hanyalah untuk
lebih menghidupkan dan lebih mengeraskan lagi keinginan rakyat akan keadaan
yang lebih nyaman, lebih membesarkan kemuannya berusaha, lebih menyuburkan nasionalisme
positif adanya. , ‘
Kami di sini ingat akan pidato Dr. Sun
Yat Sen yang berkata: “Jikalau keadaan yang tadi saya gambarkan itu…. benar,
maka haruslah kita menanam di dalam ingatan kita, bagaimana berbahayanya
kedudukan kita sekarang ini dan betapa genting nyawaktu yang sekarang kita
jalani, barulah kita bisa mengetahui, bagaimana caranya menghidupkan kembali
nasionalisme kita yang telah padam itu.” “jikalau kita mencoba menghidupkan
kembali dengan tidak mengerti betul keadaan, maka akan hilanglah segala harapan
buat selama-lamanya dan bangsa Tionghoa akan binasa.” “kita sendiri harus
mengetahui dulu keadaan-keadaan, kita harus mengerti bahwa bencana-bencana ini
sangat mengancam, kita harus mendengungkannya ke mana-mana sehingga tiap orang
menjadi insaf betapa besar kesedihan kita, jikalau bangsa kita sampai jatuh”. “Apabila
kita hendak mengobarkan nasionalisme, maka haruslah lebih dulu kita insafkan
bangsa kita yang 400 juta itu, bahwa saat matinya sudah dekat!”
Artinya: membikin rakyat insaf akan
keadaannya yang sengsara itu, agar supaya nasionalismenya bangun dan ia mau
bergerak, –itulah pengajaran pemimpin besar ini. Itulah yang kami kerjakan pula.
Ketidaksenangan yang memang ketidaksenangan, bukanlah bikinan kami;
ketidaksenangan yang tulen dan asli itu, adalah bikinan imperialisme sendiri! Tuan-tuan
Hakim yang terhormat, begitulah bagian yang pertama dan bagian yang kedua dari
usaha PNI menyuburkan semangat nasional itu: membangunkan keinsafan akan hari
dulu dan hari sekarang. Tentang bagian yang ketiga, yakni bagian menunjukkan keindahan
sinar hari kemudian beserta cara-cara mencapainya, tentang bagian yang ketiga
itu, kami, juga oleh sempitnya tempo, tak usahlah panjang kata: sebab, segenap
usaha PNI akan pembentukan kekuasaan, segenap aksi PNI keluar dan ke dalam,
segenap gerak-bangkitnya, ya, segenap jiwa raganya PNI, adalah cara-cara
mendatangkan dan melaksanakan kesanggupan-kesanggupan hari kemudian itu. Dan
akan bisanya rakyat Indonesia mencapainya, buat kami kaum PNI bukanlah
teka-teki lagi: rakyat Indonesia yang dahulu begitu bersinar-sinar dan tinggi
kebesarannya, meskipun sekarang sudah hampir sebagai bangkai, rakyat Indonesia
itu pasti cukup kekuatan dan cukup kebisaan mendirikan gedung kebesaran pula di
kelak kemudian hari, pasti bisa menaiki lagi ketinggian tingkat derajatnya yang
sediakala, ya, melebihi lagi ketinggian tingkat itu!
Tetapi wujudnya hari kemudian? Bagaimana
wujudnya hari demikian itu?
Tidak ada satu manusia yang bisa
menggambarkan hari kemudian dengan seksama. Tidak ada satu manusia yang bisa
menetukan lebih dulu wujud hari kemudian menurut kemauannya. Tidak ada satu manusia
yang bisa mendahului riwayat. Kita hanya bisa menetapkan ancer-ancerannya saja,
kita hanya bisa mempelajari tendensinya. Misalnya kaum Marxis pun tak bisa
menunjukkan wujudnya pergaulan hidup sosialistis dengan saksama, melainkan juga
hanyalah bisa mengetahui garis-garisnya yang besar dan tendensnya belaka. Hari
kemudian Indonesia kini hanyalah tampak sinarnya saja yang indah sebagai sinar
fajar yang akan menyingsing, hanyalah kedengaran janji-janjinya saja sebagai
merdunya gamelan pada malam terang bulan yang kedengaran dari jauhan. Sebagai
di dalam cerita wayang sebelum ksatria Dananjaya datang, kita lebih dulu sudah
melihat sinar tejanya dan sudah mendengar nyanyian burung-burung yang mengantarkan
dan mengikutinya, –begitulah pula datangnya hari kemudian yang indah itu kini
sudah dialamatkan lebih dulu kepada kita, yang menunggu-nunggunya dengan hati yang
mengharap-harap. Kita sudah mendengar janji-janjinya akan rezeki berjuta-juta
yang tidak diangkuti ke negeri lain, akan perikehidupan rakyat yang karena itu,
senang dan selamat, akan keadaan sosial yang sesuai dan memenuhi kebutuhannya,
akan susunan hidup politik yang secara kerakyatan longgar, akan kemajuan seni, ilmu
kebudayaan yang tak teralang-alang. Kita dengar janjinya akan datang suatu
Republik Indonesia Serikat, yang hidup di dalam persobatan dan kehormatan
dengan bangsa-bangsa lain, akan suatu bendera Indonesia yang menghiasi angkasa
Timur. Kita mendengar janjinya akan suatu bangsa yang teguh dan sehat, ke luar
dan ke dalam….
Urat
saraf pembentukan kekuasaan: Empat Macam
Tuan-tuan Hakim yang terhormat, dengan
menggambarkan tiga bagian tentang hari dulu, hari sekarang dan hari kemudian
itu, maka kami sudahlah dengan singkat sekali menunjukkan usaha PNI tentang
nyawanya pembentukan kekuasaan, yakni nasionalisme, kecintaan pada tanah air
dan bangsa, rasa gembira atas kebahagiaannya, rasa mengeluh atas kemalangannya.
Marilah kami sekarang menjawab pertanyaan, apakah urat-urat dan saraf-saraf pembentukan
kekuasaan PNI itu. Urat-urat dan saraf-saraf pembentukan kekuasaan PNI adalah
bertentangan dengan urat-urat dan saraf-saraf sistem imperialisme di sini.
Urat-urat dan saraf-saraf sistem imperialisme yang terpenting adalah empat
rupa: Pertama: sistem imperialisme
melahirkan politik divide et impera, yakni politik memecah-mecah; Kedua: sistem imperialisme menetapkan
rakyat Indonesia di dalam kemuduran; Ketiga:
sistem imperialisme membangunkan kepercayaan di dalam hati dan pikiran rakyat,
bahwa bangsa kulit berwarna itu memang bangsa yang kurang “karat”nya, dan bahwa
bangsa kulit putih memang “adhi-adhining” bangsa; Keempat: Sistem imperialisme membangunkan kepercayaan di dalam hati
dan pikiran rakyat pula, bahwa kepentingan-kepentingan rakyat itu adalah sesuai
dan sama dengan kepentingan-kepentingan kaum imperialisme itu, sehingga rakyat
itu jangan menjalankan politik selfhelp dan politik ingin merdeka, tetapi
haruslah memeluk politik bersatu dengan kaum pertuanan, yakni politik asosiasi.
Nah, sama sekali bertentangan dengan
politik divide et impera inilah, sama
sekali bertentangan dengan politik yang menetapkan rakyat didalam kemunduran;
sama sekali berhadap-hadapan dengan politik yang bermaksud “memasukkan pikiran
tentang kurang harganya bangsa berwarna dan tinggi harganya bangsa kulit
putih”, sama sekali kontra politik asosiasi itulah urat-urat dan saraf-saraf pembentukan
kekuasaan PNI.
a. Kontra politik memecah belah
PNI menjawab politik divide et impera itu dengan
mendengungkan tekad persatuan Indonesia, menjawab politik yang memecah belah itu
dengan dayanya mantram nasionalisme Indonesia yang merapatkan barisan. Dari
zaman dulu sampai zaman sekarang, beradab-adablah rakyat kami itu kemasukan
baji pemecah tak berhenti-hentinya, baik di zaman kompeni maupun di zaman modern.
Memang di dalam perceraian dan di dalam ketidakrukunan
itulah letaknya kelemahan kami, di dalam perceraian kami itulah letaknya
kemenangan musuh. “Verdeel enheers”, —
itulah mantram tiap-tiap rakyat yang
mau mengalahkan rakyat lain, mantram imperialisme di mana-mana zaman dan di
mana-mana negeri. “Verdeel en heers”
adalah mantram bangsa Roma yang
memang penemu mantram itu, adalah mantram bangsa Spanyol dan Portugis di
zaman dulu yang mengibarkan benderanya di negeri-negeri orang lain, adalah mantram bangsa Inggris mendirikan ia
punya kerajaan dunia “British Empire”.
Dengarlah bagaimana Prof. Seeley di dalam bukunya yang termashur “The Expansion of England” menceritakan
“politik divide et impera” di India:
“Jikalau Inggris, yang bukan negeri
militer itu, dengan sesungguhnya harus menguasai penduduk yang beberapa juta
jumlahnya dengan suatu kekuatan militer Inggris, tak perlu dikatakan, bahwa
beban yang sebesar itu melebihi kekuatan kami. Tapi tidaklah demikian halnya,
oleh karena Inggris menaklukkan India dan tetap menguasainya terutama dengan
bantuan pasukan-pasukan India dan dengan uang India…. Jika sekiranya di India bisa
timbul suatu gerakan nasional, seperti yang kita lihat di Italia dulu, maka
kekuasaan Inggris belum lagi akan bisa memberikan perlawanan sekuat perlawanan
Ustria di Italia, tapi segera tentu roboh”. “Suatu kumpulan orang
seorang-seorang, yang tidak terikat oleh perasaan-perasaan dan
kepentingan-kepentingan yang sama, mudah ditaklukkan, oleh karena mereka bisa
diadu-dombakan.” “Seperti Tuan lihat, pemberontakan itu sebagian besar bisa dipadamkan
dengan jalan mengadu-dombakan rakyat India yang satu dengan yang lain.”
Dan di Indonesia pun imperialisme-tua
dan imperialisme-modern tak lupa akan kemajuan mantram itu; di Indonesia pun baji-pemecah tak berhenti-hentinya
bekerja:
“-musuh-musuhnya yang paling berbahaya
dilumpuhkannya sehingga hampir-hampir tidak bertenaga apa-apa lagi dengan menjalankan
politik “divide et impera”;…….. kemenangan-kemenangan
yang paling gemilang didapatnya dengan senjata orang yang lemah, perhitungan
yang licik dan tipu daya” –begitulah Prof. Veth menggambarkan politik
imperialisme-tua di Indonesia itu dan Clive Day menulis:
“Divide
et impera”, itulah peribahasa asli yang dituruti apabila berhubungan dengan
kerajaan-kerajaan anak negeri dan itulah asas yang dipakai buat sebagian besar
oleh orang Belanda untuk mencapai hasil yang baik,”
Imperialisme tua kini sudah mati; tetapi
tidak matilah warisan yang diberikannya kepada imperialisme-modern, yakni
warisan japa-mantram “divide et impera” yang ampuh, yang
bertuah itu. Tidak sebagai dulu, dipakai menakluk-naklukkan dan
melebar-lebarkan jajahan, –kini semua pulau sudah takluk, “pembulatan batas
negara” (staatsafronding) sudah
selesai,– tidak sebagai dulu dibarengi dengan gemerincingnya pedang, detusnya
bedil dan gunturnya meriam, tetapi dipakai untuk mengekalkan apa yang sudah
tercapai dengan melalui (menurut kata Stokvis) “jalan-jalan yang lebih sunyi”, “Stillere wegen”. Memang, semua kepulauan
sudah takluk, “pembulatan batas negara” sudah selesai, –lahirnya Indonesia
dibikin satu, lahirnya diikat didalam satu persatuan, tetapi “persatuan” ini,
menurut perkataan seorang sosialis adalah suatu: “persatuan yang ditaklukkan,
yang hanya persatuan ketaklukkan belaka,” dan amboi….. janganlah batinnya
menjadi satu, janganlah semangatnya kemasukan nasionalisme dan menjadi semangat
bangsa! Sebab kaum imperialisme tahu, bahwa suatu rakyat yang tiada
nasionalisme dan tiada semangat bangsa adalah sebagai Dr. SunYat Sen
mengatakan, hanya “a sheet of loose sand”
belaka, sebagai pasir yang meluruh dan ngeprul dan tiada hubungan satu sama
lain, yang bisa ditiup-tiupkan ke mana-mana dan bisa dikorek semau-maunya…., Semangat,
semangatlah yang terutama oleh sistem imperialisme-modern itu dijatuhi mantram,
di-“pecah-pecah” supaya sistem itu bisa “memerintah” selama-lamanya.
Semangatlah yang terutama dimasuki baji-pemecah agar supaya tidak bisa menjadi
semangat nasionalisme yang masuk sebagai semen di dalam pasir yang ngeprul itu
dan membikin daripada satu blok beton mahabesar yang tak bisa hancur walaupun
dimeriam. Kaum imperialisme-modern tak lupa akan wejangan karuhun-karuhunnya
itu. Japamantram “divide et impera” tak lupa saban hari, saban
jam dikemah-kemihkan. Bilamana India menyatakan diri adalah suatu bangsa yang
ditaklukkan, “begitulah Prof. Seeley mengajarkan padanya,
“Bilamana India menyatakan diri adalah….
suatu bangsa yang ditaklukkan, kita pun segeralah tahu bahwa kita tidak mungkin
akan bisa mempertahankannya”… “Apabila, oleh suatu sebab, penduduk mulai merasa
tergolong dalam satu kebangsaan, maka saya tidak akan berkata ada alasan kita
khawatir akan keselamatan pemerintahan kita; tidak, saya akan berkata: kita
harus segera melepaskan segala harapan!”
Segera melepaskan segala harapan!” “Onmiddellijk alle hoopopgeven!” Sesungguhnya,
suatu ajaran yang mendahsyatkan! Tetapi, tidak, tidak usah dahsyat dan kurang
tidur! Sebab tidakkah cukup surat-surat kabar sebagai AID de Preangerbode, Java
Bode, Nieuws van den Dag, de Locomotief, Soerabajaasch Hahdelsblad, dan lain-lain yang saban minggu, saban hari,
biasa menebar-nebarkan benih pemecahan itu, berisi caci-maki atas tiap usaha
persatuan dan atas tiap usaha membangunkan nasionalisme dari pihak “inlander” (bumiputra)? Tidakkah bahasa Indonesia,
yakni bahasa persatuan akan lekas dihapuskan dari sekolah-sekolah dan tidakkah
sistem pendidikan di sekolah-sekolah itu sudah membunuh tiap-tiap rasa
kebangsaan? Tidakkah masih ada seorang Colijn, yang dengan bukunya “Koloniale Vraagstukkenvan Heden en Morgen”
mencoba mewujudkan asas divide et impera
itu di dalam suatu susunan administrasi pemerintahan yang bernama “eiland gouvernementen” —pemerintahan
sepulau-sepulau–, masih ada seorang De Kat Angelino yang membikin tebal yang penuh
dengan lafal-lafal pembunuh nasionalisme Indonesia itu? Tidakkah masih ada
seorang Couvreur, yang di dalam suatu nota memujikan kepada pemerintah:
“pembukaan Pulau Bali untuk missi dan
pengkristenan penduduknya. Dengan begitu di masa depan akan didapat suatu pulau
Bali yang beragama Room-Katolik, yang akan merupakan baji antara Jawa dan pulau-pulau
di sebelah Timur. Baji seperti itu sudah ada antara Aceh dan Minangkabau,
yakni: negeri Batak yang sudah dikristenkan”, –tidakkah masih ada seorang
Couvreur yang memujikan baji yang demikian itu, sehingga dari kalangan bangsa
Indonesia-Kristen terdengar protes yang berbunyi:
“Astaga, suatu baji Kristen! Haruskah
kita, bangsa Indonesia Kristen, yang meskipun berbeda agama dengan orang lain
bangsa kita, adalah putra-putra Ibu Indonesia juga, —haruskah kita membiarkan
agama kita yang suci itu dipakai buat maksud itu? Haruskah kita membiarkan
agama Kristen yang luhur itu dipakai sebagai alat untuk mencegah persatuan
kebangsaan kita dan untuk mengasingkan putra-putra Ibu Indonesia yang satu dari
yang lain?”
Pendek kata, tidakkah di mana-mana masih
ada sistem, yang menjaminkan padamnya semangat itu dan menjaminkan kekalnya
perceraian antara “Inlander” dengan “Inlander” itu? Tetapi kami, yang ingin
kuasa, kami pun tak usah kurang tidur! Kamipun kini mempunyai japa-mantram yang
malahan nantinya tentu lebih ampuh daripada mantram divide et impera itu, kami pun tak sia-sia berguru di dalam
pertapaan Sanghyang Merdeka, yang mewejangkan pada kami saktinya ilmu “bersatu
kita teguh, bercerai kita jatuh!’ Kami pun memperhatikan, pula pengajaran Prof.
Seely tadi itu, tetapi di dalam kami punya arti, di dalam kami punya makna!
Persatuan Indonesia, Tuan-tuan Hakim,
persatuan Indonesia, yang menggabungkan segenap rakyat Indonesia itu menjadi
satu umat, satu bangsa, itulah urat dan saraf pembentukan kekuasaan PNI yang
pertama.
b. Kontra kemunduran, yakni kontra
dekadensi akal budi
Dan yang kedua? Urat saraf pembentukan
kekuasaan kami yang kedua adalah kontra urat saraf sistem imperialisme yang
kedua pula. Sistem imperialisme mau menetapkan rakyat kami di dalam kemunduran,
–wahai, kami mau menjunjung rakyat kami daripada kemunduran itu! Kami
mengetahui: kemunduran budi-akal rakyat adalah kepentingan sistem imperialisme
di sini. Sebab imperialisme di sini bukanlah terutama imperialisme dagang:
imperialisme di sini adalah sebagai kami terangkan di muka, yang paling hebat
terutama di dalam shaktinya yang keempat, yang paling hebat di dalam mengusahakan
Indonesia sebagai daerah pengusahaan dari kapital lebih. Ia adalah paling hebat
di dalam usahanya sebagai industri-industri pertanian, industri pertambangan,
industri biasa dan perusahaan lain-lain, –yakni semua perusahaan yang butuh
akan kaum buruh murah, akan penyewaan tanah murah, akan kebutuhan-kebutuhan
rakyat yang murah. Untuk kemurahan hal-hal ini, maka rakyat kami dibikin rakyat
yang “hidup kecil” dan “nrima”, rendah pengetahuannya, lembek kemaluannya,
sedikit nafsu-nafsunya, padam kegagahannya, –rakyat “kambing” yang bodoh dan
mati energinya! Di muka sudah kami beberkan penyelidikan Prof. Van Gelderen
yang membuktikan kepentingan imperialisme ini atas kemunduran sosial-ekonomi
rakyat; nah, kemunduran budi-akal pun, adalah kepentingannya! Di dalam Welvaartsverslag deel IX b 2, halaman
172, kami membaca:
“Rakyat desa dan kepalanya dan
kampungnya dari dulu merupakan “si orang kecil”, si rendah bakti,…. yang oleh
karenanya harus ditetapkan rendah selamanya, —pembayar pajak yang paling setia.
Sebaliknya kaum priayi termasuk kaum yang memerintah dan untuk kepentingan umum
perbedaan ini harus dibikin seterang-terangnya. Seluruh pergaulan hidup di sini
berdiri atas dasar ini…. Meskipun untung sekali orang makin baik memelihara kepentingan
si kecil,…… ia harus tetap kecil!”
“Ia harus tetap kecil”, Tuan-tuan Hakim,
—dia harus tetap “hidup kecil” dan “nrima”, tetap rakyat “kambing” yang harus
menurut saja! Berpuluh tahun sistem ini bekerja, ya, berabad-abad sistem ini menjalankan
pengaruhnya. Herankah Tuan-tuan, kalau Ny. Augustade Wit di dalam bukunya “Natuur en Menschen In Indie” menulis:
“Ketidakadilan sudah berjalan terlalu
lama; akal budi orang sudah tumbuh sesuai dengan itu, tumbuh kerut merut. Akal
pikiran sudah menjadi bengkok dan kerdil, kemauan lemah terkulai.”
Herankah Tuan-tuan, kalau PNI menuliskan
perlawanan kepada dekadensi akal budi ini di atas panji-panjinya? Kami, kaum
PNI, kami mencoba memberantas penyakit ini dengan mengadakan lebih banyak
pendidikan rakyat, menyokong sekolah-sekolah rakyat, mengurangi buta huruf di
kalangan rakyat. Kami mencoba membangkit-bangkitkan dan membesar-besarkan
kemauan rakyat akan nasib yang lebih mirip nasib manusia, menyalakan lebih
banyak nafsu-nafsu di dalam kalbu rakyat. Kami berusaha menghidup-hidupkan lagi
kegagahan rakyat, tenaga kemauan rakyat, energi rakyat sebagai sediakala,
–rakyat yang kini “sudah mati kutunya” itu, “rakyat kambing” yang menurut Prof.
Veth:
“Semangat harimaunya sudah dijinakkan
sampai kutu-kutunya”, karena “tak luput dari bekerjanya obat tidur penjajahan
yang lama di bawah bangsa asing yang lebih kuat”!
Energi rakyat inilah salah satu urat
saraf pembentukan kekuasaan kami, —salah satu urat saraf penolak daya
imperialisme, tetapi terutama sekali ialah urat saraf pendorong rakyat ke
depan!
C. Kontra penamaan kepercayaan, bahwa
kami bangsa kelas kambing
Tuan-tuan Hakim, sempitnya tempo memaksa
kami membicarakan urat saraf pembentukan kekuasaan PNI yang nomor tiga dengan
cara yang sesingkat-singkatnya pula. Urat saraf yang nomor tiga ini adalah
bergandengan sekali dengan urat saraf nomor dua itu, yakni bergandengan sekali
dengan urat saraf penolak daya yang mengambing-ngambingkan itu. Sebab sistem
imperialisme di sini tidaklah berkepentingan saja atas kemunduran sosial
ekonomi dan kemunduran akal budi rakyat kami itu, —sistem imperialisme di sini
adalah pula berkepentingan atas halnya rakyat itu percaya, bahwa ia memang
suatu rakyat kelas kambing. Di atas sudah kami tunjukkan, bahwa kaum
imperialisme itu, sebagai kaum imperialisme di mana-mana saja, adalah
menutupi-maksudnya yang sebenar-benarnya. Mereka menutupi dengan macam-macam teori
yang manis, mereka mengatakan bahwa maksudnya bukanlah urusan rezeki, bukanlah
urusan yang begitu “kasar” – tetapi maksudnya adalah “mendidik” kami dari bodoh
ke arah kemajuan, dari “tidak matang” dijadikan “matang”, pendek kata, mereka
mau memenuhi suatu “suruhan suci”, yakni suatu “mission sacree”. Mereka mengatakan, bahwa mereka itu tidaklah
mendapat keuntungan apa-apa, tidaklah mendapat manfaat apa-apa, melainkan malahan
mendapat rugi belaka, malahan mendapat beban belaka, —yakni malahan mendapat “burden”, “white man’s burden” menjunjung dan memikul kami ke atas kemajuan!
Maka untuk “lakunya” teori “mission
sacree” ini, untuk “lakunya” teori
‘white man’s burden itu, perlu sekalilah kaum kulit coklat itu dimasukkan
ke dalam kepercayaan, bahwa mereka dalam hakikatnya memang suatu bangsa
inferieur atau “kurang karatnya”, bahwa sebaliknya bangsa kulit putih adalah
bangsa yang memang superieur, bangsa
yang memang “adhi adhining” bangsa, —dan bahwa karena itu sudah semestinya
bangsa yang “inferieur” ini harus
“dituntun” oleh bangsa yang “superieur”
itu dengan ……. imperialismenya!
“itu tuan-tuan rambut jagung,” –begitulah
Karl Kautsky di dalam bukunya tentang suku bangsa dan bangsa Yahudi
menggambarkan pendirian bangsa “rambut jagung” itu terhadap bangsa Yahudi:
“itu Tuan-tuan rambut jagung
mengunggul-unggulkan diri sendiri sebagai orang yang paling budiman, paling
mulia hati dan paling kuat, kepada siapa orang lain harus mengabdikan diri”, dan
adakah pendiriannya terhadap bangsa-bangsa Asia berbeda, adakah pendiriannya
terhadap bangsa kami berlainan? Tidak, tidak berbeda, tidak berlainan, —tidak
kurang kerasnya di Indonesia bekerja sistem menanamkan kepercayaan dalam hati
kalbu rakyat, bahwa mereka memang superieur,
kami memang inferieur, —tidak kurang
kerasnya di sini menyala kesombongan si kulit putih, tidak kurang kerasnya di
sini merajalela rasa “iyeuh aing uyah kidul!” Pastor van Lith, orang alim yang
tulus hati itu, belum lama berselang di dalam buku kecilnya yang termashur,
menulis:
“Tetapi, walaupun mereka itu sama sekali
tidak termasuk golongan pencuri-pencuri cengkeh pada waktu dulu, mereka ikut
menerima warisannya. Mereka semua menerima bagian dari warisan kompeni yang
termashur itu. Mereka itu datang di Hindia sebagai turunan Tuan-tuan yang
mahakuasa itu, sebagai putra-putra yang memerintah, dengan kesombongan turunan
yang memerintah terhadap yang diperintah. Barangkali mereka itu tidak sadar
akan kesombongannya, tetapi mereka mempunyai sifat itu. Barangkali mereka tidak
sombong tatkala berangkat dari negeri Belanda, mungkin sekali; tapi apabila
mereka sudah tiba di Hindia, maka mereka tidak luput dari kesombongan itu.
Keadaan di sekitarnya mempengaruhi mereka. Yang seorang banyak, yang lain kekurangan,
tapi semua mereka terjangkiti sebagian oleh penyakit kesombongan bangsa itu.
Pergaulan hidup Belanda seperti yang sekarang hidup terus di…. Hindia, adalah
penerusan perusahaan dagang kompeni dulu, dan tiap orang Belanda, biarpun dia
katolik, ….hidup dalam suasana kedai rempah-rempah yang besar itu….. dan hidup
untuk keperluan perusahaan yang besar itu, hidupnya sendiri dan keselamatannya
sendiri tergantung kepada terus hidupnya dan suburnya perusahaan itu.”
Lebih terang sebagai di sini, tidak
bisalah dinyatakan, bahwa rasa keunggulan itu adalah salah satu urat saraf dari
perusahaan besar “reuzen-onderneming”
itu. Memang, tidak kurang-kuranglah kita mendengar cacian “Inlander seperti kerbau”, “inlander
goblok”, “inlander bodoh, kalau nggak
ada kita modar lu”, beserta lain-lain “pujian” lagi yang “segar”! Tetapi,
walaupun begitu, bukan terutama dalam ucapan-ucapan sombong orang Eropa itu
letaknya bahaya yang terbesar buat kami, bukan terutama di dalam ketinggian
hati suatu bangsa kulit putih itu letaknya bencana batin dari rakyat kami, —bahaya
yang paling besar dan bencana yang paling merusak adalah sistem yang tak
pedot-pedot, yang tak terhambat-hambat menginjeksikan kepada rakyat kami racun
kepercayaan “kamu Inlander bodoh,
kamu modar kalau tidak kita tuntun” itu. Sebab injeksi ini lama-lama “makan”!
Berabad-abad kami mendapat cekokan “inlander
bodoh”, berabad-abad kami diinjeksi rasa kurang karat; turun temurun kami
menerima sistem ini, ketambahan lagi kami ditetapkan “rendah” dan ditetapkan
“kecil” sebagai laporan tentang kemakmuran itu tadi mengatakan,
dipadam-padamkan segenap energi kami, sekarang percayalah kebanyakan bangsa
kami, bahwa kami, sesungguhnya, memang adalah bangsa kurang karat yang tak bisa
apa-apa! Hilanglah tiap-tiap kepercayaan atas kebisaan sendiri, hilanglah”
tiap-tiap rasa kegagahan, hilanglah tiap-tiap rasa percaya pada diri sendiri
dan keperwiraan. Kami, sediakala adalah bangsa yang ikut menjunjung tinggi obor
kebudayaan Timur dan kebesaran Timur, yang dulu begitu insaf akan kebisaan diri
dan kepandaian diri, kami sekarang menjadi rakyat yang sama sekali hilang
keinsafan itu. Kami menjadilah kini rakyat yang mengira, ya, percaya, bahwa kami
memang adalah rakyat yang “inferieur”.
Kini di mana-mana terdengarlah kesah: “yah, kami memang bodoh kalau tidak ada
bangsa Eropa, bagaimana kami bisa hidup!” O, Tuan-tuan Hakim, bagaimana baiknya
kalau kami bisa membongkar bencana batin yang demikian ini! Bagaimana baiknya kalau
kami bisa menanamkan lagi dengan sekejap mata saja “wahyu Cakraningrat” yang
meniadakan rantai roh yang mengikat itu! Tuan-tuan tentu mengerti bahwa
perasaan “memang kurang karat” atau perasaan inferioriteit itu adalah racun bagi kemajuan tiap-tiap bangsa, rem
yang sejahat-jahatnya bagi gerak suburnya atau evolusi tiap-tiap rakyat.
Herankah Tuan-tuan, kalau Tuan melihat PNI membanting tulang memberantas
perasaan inferioriteit, memeras
keringat dan tenaganya memberantas segala perasaan “ini tak bisa itu tak bisa”
ini, membongkar teori “mission sacree”
dan “white man’s burden” dengan
akar-akarnya, —mengembalikan lagi kepercayaan di dalam kalbu rakyat, bahwa
bangsa kami, asal saja diberi kesempatan, mempunyai kebisaan-kebisaan yang tak
kalah dengan kebisaan-kebisaan bangsa lain? Herankah Tuan-tuan, kalau melihat
PNI membongkar-bongkar kebohongan kata, bahwa dunia Timur akan menjadi biadab
sama sekali, kalau tidak ada dunia Barat? Tidak, bagi kami kaum Partai Nasional
Indonesia bagi kami tidaklah syakwasangka lagi, bahwa “inferioriteit” atau “kebodohan” kami itu bukanlah “inferioriteit dan kebodohan” yang memang
sifat hakikat asli bangsa kulit berwarna, tetapi hanyalah “inferioriteit” dan kebodohan” yang terbikin dan terinjeksikan belaka,
—tidaklah pula kami syakwasangka lagi atas kebenaran kalimat Karl Kautsky yang
memang kami sudah dalilkan itu yakni kalimat:
“tetapi orang yang tidak punya apa-apa
dengan sendirinya kekurangan pula alat-alat peradaban, jadi juga kekurangan
peradaban,” dan bahwa teori “mission
sacree” itu hanyalah benar di dalam lahirnya saja, hanya. “Seolah-olah saja
peradaban berkuasa atas kebiadaban!”
Lahirnya saja, Tuan-tuan Hakim,
lahirnya! Lahirnya saja kami bangsa yang kurang karat, lahirnya saja kaum imperialisme
kaum yang lebih superieur di dalam hakikatnya. Memberantas pandangan yang salah
ini, memberantas rasa kurang karat, itulah kami punya urat saraf pembentukan kekuasaan
yang ketiga. Dengan memberantas rasa kurang karat itu, maka PNI menaruh salah
satu syarat yang terpenting bagi politiknya “percaya pada diri sendiri”, “bekerja
sendiri untuk sendiri”, —yakni syarat bagi politiknya “self-reliance” atau “self-help”!
D. kontra politik persatuan dengan kaum
sana
Marilah kami sekarang membicarakan urat
saraf pembentukan kekuasaan kami yang keempat. Juga di sini kami bisa singkat
kata. Sebab tadi sudah kami terangkan, bahwa di dalam tiap-tiap negeri jajahan
ada pertentangan kepentingan antara kaum imperialisme dan Bumiputra, di atas
tiap-tiap lapangan, baik lapangan ekonomi, maupun lapangan sosial, baik
lapangan politik maupun lapangan apa saja pun. Tak benarlah ajaran kaum
imperialisme bahwa kedua pihak itu mempunyai persamaan kepentingan, dan oleh
karenanya, tak benarlah pula ajarannya, bahwa sebab itu, jajahan harus
selamanya bersatu dengan “negeri induk” dan bahwa sebab itu, kami harus
menjalankan politik bersatu dengan kaum sana, yakni politik asosiasi. Tidak,
PNI tidak mau mengakui persamaan kepentingan itu, tidak mau menjalankan politik
asosiasi itu. PNI adalah teguh di dalam keyakinannya, bahwa di sini ada
pertentangan kepentingan, ada antitese kepentingan, sebagaimana pula diakui
oleh banyak kaum Eropa yang tulus hati. PNI teguh di dalam keyakinannya, bahwa
dengan adanya pertentangan kepentingan itu tidak ada satu jajahan yang bisa membereskan
semua pergaulan hidupnya dengan sempurna, kalau pertentangan kepentingan itu
belum berhenti adanya, –yakni kalau jajahan itu belum berhenti menjadi jajahan!
PNI adalah karena partai kemerdekaan, –partai kemerdekaan nasional.
Dan kemerdekaan tidak akan “dihadiahkan”
oleh imperialisme yang sekarang berusaha “mematangkan” kami dulu, sebab
kemerdekaan adalah ruginya imperialisme itu. Kemerdekaan adalah hasil yang kami
sendiri harus usahakan, yang kami sendiri harus lahirkan, yang kami sendiri
harus ciptakan dan pujikan!
Politik asosiasi adalah bertentangan
dengan faham kepribadian ini, politik asosiasi adalah mengeruhkan keadaan. Di dalam
suatu jajahan ada antitesa kepentingan, –nah, politik kami haruslah berdiri, di
atas antitese itu juga. Siapa orang Indonesia yang tidak berdiri di atas
antitesa ini di dalam politiknya, ia adalah ngelamun! PNI tidak mau ngelamun,
PNI tidak mau terapung-apung di atas awan angan-angan, –PNI mau berdiri di atas
keadaan yang sebenarnya, diatas realiteit. Tidak, bukan politik asosiasi,
tetapi politik antitesalah yang menjadi urat saraf pembentukan kekuasaan PNI
yang keempat. Dengan politik antitesa ini, maka ia menarik garis yang terang
antara sini dan sana, memisahkan golongan sini dari golongan sana, —menjernihkan
keadaan menjadi sejernih-jernihnya!
Badan
Lahirnya Pembentukan Kekuasaan
Tuan-tuan Hakim, kami sekarang tinggal
menerangkan satu hal lagi dari pembentukan kekuasaan kami. Kami sudah
menerangkan, nyawa pembentukan kekuasaan kami, yakni nasionalisme. Kami sudah
menerangkan pula urat-urat dan saraf-saraf pembentukan kekuasaan itu, yakni
persatuan Indonesia, memerangi kemunduran akal budi rakyat, memberantas
perasaan rendah diri, menjalankan politik antitesa. Kami sekarang harus
menerangkan anggota-anggota pembentukan kekuasaan kami itu, –badan lahirnya,
badan wadagnya. Badan lahirnya pembentukan kekuasaan PNI?
Badan lahir pembentukan kekuasaan PNI
sebagai yang diinginkannya, adalah massa. Idam-idaman PNI bukanlah satu partai
dari puluhan atau ratusan orang saja, bukanlah perkumpulan segundukan kaum “politikus
salon” saja yang pekerjaannya sehari-hari hanya menggurutu saja, -idam-idaman
PNI ialah suatu pergerakan massa yang sehebat-hebatnya, suatu massa-aksi, yang
membangkitkan ribuan, laksaan, ketian, ya, milyunan rakyat tua muda,
laki-perempuan, pandai-bodoh, menak dan somah! Hanya dengan massa-aksi yang
demikian itulah, menurut keyakinannya, pembentukan kekuasaannya bisa menjadi sempurna.
Hanya dengan massa-aksi yang sebagai
banjir yang mahakuasa dan tak dapat dicegah majunya., massa-aksi yang sebagai gelombang
melimpahi seluruh Indonesia, dari Aceh sampai ke Fak-fak, hanya dengan
massa-aksi yang begitu, pembentukan kekuasaannya bisa menjadi kekuasaan yang
sebenar-benarnya. Air-air Indonesia yang tenang sejak berwindu-windu, air-air
Indonesia itu PNI ingin mengalirkannya, sumber sambung sumber, sungai sambung
sungai, samudra sambung samudra, sehingga akhirnya menjadi aliran yang
mahalebar dan mahatinggi, bergelombang-gelombang menuju ke satu arah. Dengan badan
lahir yang sebagai raksasa itu, dengan urat saraf empat shakti sebagai yang
tadi tadi kami terangkan, dengan nyawa nasionalisme yang berkobar-kobar di
dalam kalbu maka sepanjang idam-idaman PNI pembentukan kekuasaannya menjadilah
sebagai Krishna Tiwikrama,–hebat, tidak terkalahkan!
Massa-aksi
Krishna Tiwikrama! Jadi toh revolusi,
jadi toh hamuk sebagai “hamuk Jayabinangun”, jadi toh huru-hara atau
setidak-tidaknya menjungkirkan hukum? Bukan, sekali lagi bukan! Bukan pelanggaran
hukum atau revolusi, —tetapi suatu massa-aksi yang aman tetapi hebat, suatu
massa-aksi yang teratur tetapi dahsyat, sebagai misalnya massa-aksi SDAP
“tatkala dua puluh tahun yang lalu, berjuang merebut hak pilih umum. Adakah di
dalam massa-aksi SDAP pada waktu itu, tatkala puluhan, ratusan ribu manusia bergerak,
bom-boman atau dinamit-dinamitan, pengrusakan keamanan umum, pelanggaran
kekuassan pemerintah? Adakah SDAP di dalam massa-aksi untuk hak pilih itu
mengalirkan darah, adakah pemimpin-pemimpinnya kena hukuman lantaran melanggar pasal
ini atau pasal itu? Tuan-tuan Hakim, rakyat Belanda sekarang merasa besar
hatilah atas kemenangan demokrasi itu; kami pun ikut mengucap syukur atasnya,
kami pun ikut berseru: “bahagia, bahagialah kamu dengan hak pilih umum itu,
hai, bangsa Belanda!” –Tetapi…… marilah kita ingat sebentar, bagaimana rakyat
Belanda itu caranya mendatangkan hak pilih umum itu, bagaimana caranya kemenangan
demokrasi itu didatangkan! Tak lain tak bukan,–dengan massa aksi! Dengan
massa-aksi yang bergelombang-gelombang melimpah seluruh negeri Belanda,
membangkitkan seluruh energinya rakyat, mengelektrisasi sekujur badannya
bangsa, —massa aksi yang hebat dan kini tertulis dengan huruf emas di dalam
buku riwayat bangsa Belanda dan mendatangkan aturan pemerintah yang modern!
Massa-aksi yang demikian hebatnya itulah
yang diidam-idamkan oleh PNI, massa-aksi yang hebat dan mahakuasa, yang juga menggetarkan
seluruh tubuhnya rakyat dan juga mengelektrisasi sekujur badannya bangsa, –massa
aksi yang bergelombang-gelombang menuju ke arah maksudnya, tidak dengan
bermaksud –iseng-iseng langgar-langgaran undang-undang sebagai yang dituduhkan
kepada kami dalam proses ini, tidak pula dengan senjata bom atau bedil atau gas
racun atau “ramai-ramaian” apapun juga, melainkan hanyalah dengan senjata
semangat yang berupa nasionalisme beserta empat urat saraf itu tadi saja, sebab
senjata semangat ini, asal sudah cukup mengasahnya, sudah bisalah membikin kami
mahasakti dan tak dapat ditundukkan, yakni bisa membangkitkan desakan
“kekerasan batin”, moreel geweld, yang mahabesar, sehingga maksud kami tentu
dapat tercapai! Kami kembali lagi: badan lahirnya pembentukan kekuasaan PNI
kami cari di dalam rakyat Murba yang berjuta-juta itu, di dalam masa yang
berkerumun-kerumun sebagai semut. Aha! AID sering menulis atau saksi Albreghs
ala Colijn berkata- jadi, gantinya PKI, jadi, gantinya, Gombinis”!! Satu “logika” lagi yang kocak, Tuan-tuan Hakim! “Logis”,
bukan? PNI didirikan tidak lama sesudah PKI mati PNI sering menunjukkan sikap
anti-imperialisme sebagai PKI, PNI mau menggerakkan massa sebagai PKI, jadi PNI
sama dengan PKI, jadi, merah putih kepala banteng sama dengan merah martil arit,
jadi, nasionalis Indonesia sama dengan “Gombinis”!
Walaupun begitu, —walaupun “logika” yang begitu “logis” itu,– PNI bukan “Gombinis”! PNI memang didirikan di dalam
tahun 1927, memang anti-imperialisme, memang suatu partai massa, memang suatu
partai yang kromoistis dan marhaenistis, memang dikhawatirkan oleh dr. Cpito
akan lekas dituduh dan ditindas sebagai gantinya PKI, tetapi bukan “Gombinis”, PNI bukan “heimelijke opvolgster ” dari Partai
Komunis Indonesia!
PNI adalah suatu partai nasionalisme
revolusioner sebagai yang kami terangkan tadi, dan massaisme, kromoisme,
marhaenisme PNI tidaklah karena faham “Gombinis”,
melainkan ialah karena susunan pergaulan hidup Indonesia yang memang menyuruh
PNI memeluk kromoisme dan marhaenisme itu!
Marhaenisme
Menyuruh memeluk kromoisme? Tuan-tuan
Hakim, menyuruh memeluk kromoisme, sebagaimana susunan pergaulan hidup Eropa menyuruh
kaum sosialis memeluk proletarisme pula! Sebab susunan pergaulan hidup
Indonesia sekarang adalah pergaulan merk Kromo, pergaulan hidup merk marhaen, -pergaulan
hidup yang sebagian besar sekali adalah terdiri dari kaum tani kecil, kaum
buruh kecil, kaum pedagang kecil, kaum pelayar kecil, pendek kata: …… kaum kromo
dan kaum marhaen yang apa-apanya semua kecil! Suatu golongan borjuis nasional yang
kuasa sebagai di India, suatu golongan borjuis yang tenaganya bisa dipakai di
dalam perjuangan melawan imperialisme itu dengan; politik “selfcontaining” di sini boleh dikatakan tidak ada. Banyak kaum
nasionalis bangsa Indonesia, yang mengatakan, bahwa pergerakan Indonesia harus meniru
pergerakan India dengan mengadakan pula boikot ekonomi atau swadeshi sebagai di
India itu. Kami menjawab: kalau bisa memang bagus, tetapi pergerakan Indonesia
tidak bisa meniru pergerakan India, tidak bisa ikut-ikut mengadakan swadeshi,
tidak bisa memakai tenaga suatu golongan borjuis nasional, oleh karena di Indonesia
tidak ada golongan borjuis nasional yang kuasa itu.
Pergerakan Indonesia haruslah suatu
pergerakan yang mencari tenaganya di dalam kalangan Kang Kromo dan Kang Marhaen
saja, oleh karena Indonesia hampir melulu mempunyai kaum kromo dan kaum Marhaen
belaka! Di dalam tangan kaum Kromo dan kaum Marhaen itulah terutama letaknya
nasib Indonesia, di dalam organisasi kaum kromo dan kaum Marhaen itulah
terutama letaknya nasib Indonesia, di dalam organisasi kaum kromo dan kaum
Marhaen itu terutama harus dicari tenaganya. Siapa dari kaum pergerakan
Indonesia menjauhi atau tak mau bersatu dengan saudara-saudara “rakyat rendah”
yang sengsara dan berkeluh kesah itu, siapa yang menjalankan politik
“salon-salonan” atau “menak-menakan”, siapa yang tidak memperusahakan
marhaenisme atau kromoisme, –walaupun ia seribu kali sehari berteriak cinta
bangsa cinta rakyat, ia hanyalah menjalankan politik yang……… Cuma ”politik-politikan”
belaka!
Kekromoan dan kemarhaenan!, –itulah kini
gambar susunan pergaulan hidup kami. Sebab sistem imperialisme di Indonesia
adalah dari sejak semulanya, dari zaman Kompeni sampai ke zaman Cultuurstelsel, dari zaman Cultuurstelsel, sampai ke zaman modern,
merebut dan membasmi tiap-tiap perusahaan besar daripada rakyat kami dengan
sulur-sulurnya dan akar-akarnya, mengalang-ngalangi dan membikin tidak bisa
lebih hidup suatu perusahaan kerajinan atau industri atau onderneming Indonesia
apa pun juga. Perdagangan, pelayaran, pertukangan, –semua matilah oleh pengaruh
imperialisme-tua dan imperialisme modern yang kedua-keduanya monopolistis itu!
Kini tinggallah perdagangan kecil
belaka, pelayaran kecil belaka, pertukangan kecil belaka, pertanian kecil
belaka, ketambahan lagi milyunan kaum buruh yang sama sekali tiada perusahaan
sendiri, –kini pergaulan hidup Indonesia itu hanyalah pergaulan hidup kekromoan
dan kemarhaenan saja! Tuan-tuan Hakim, sempitnya tempo mengalang-alangi kami menguraikan
dan membuktikan keadaan yang penting ini lebih luas, tetapi satu dua dalil dari
bangsa Eropa yang terpelajar, tak bisa kami tinggalkan, misalnya dari Raffles,
Prof. Veth, Prof. Kielstra, Prof. Gonggripj, Prof. V. Gelderen, ataupun
Schmalhausen, Rouffaer, dan lain-lain yang semuanya adalah membuktikan
kebenaran kata kami itu! Di dalam buku Raffles yang termashur tentang tanah
Jawa, kami membaca tentang imperialisme-tua:
“Begitu sukarnya menggambarkan dengan
panjang lebar, luasnya perdagangan di tanah Jawa pada saat orang Belanda mulai
berdiam di laut-laut Timur, begitu pula menyedihkan hati membuktikan dengan
cara bagaimana perdagangan itu oleh perbuatan bangsa asing dialang-alangi,
diubah sama sekali dikecil-kecilkan, oleh kekuasaan monopoli yang bobrok, oleh
ketamakan dan keserakahan akan duit dibarengi kekuasaan, dan oleh kelaliman
yang picik dari suatu pemerintah saudagar”….. “Demikianlah pasal-pasal yang
terpenting dari tiga puluh satu pasal mengenai pembatasan, yang membelenggu
tiap gerak perdagangan dan memadamkan bara yang penghabisan dari semangat
berusaha,untuk memuaskan pemandangan-pemandangan picik angkara murka, yang bisa
disebut kefanatikan akan keserakahan kepada harta.
Tuan-tuan Hakim, Raffles adalah terkenal
sebagai pembenci bangsa Belanda! Karena itu, marilah kita menyelidiki pendapat
pujangga-pujangga Belanda sendiri dan kita akan mendengar pendapat yang tidak
berbeda. Tidakkah Prof. Veth tentang imperialisme-tua itu mengatakan, bahwa
bangsa kami, “dalam abad ke-16, seperti juga di zaman Majapahit, terutama terkenal
sebagai kaum saudagar yang besar usaha, kaum pelaut yang gagah, kaum perantau
yang berani, dan bahwa mereka umumnya…… telah harus mengalami perubahan yang
besar untuk menjadi petani-petani yang diam dan damai seperti sekarang ini”,
dan bahwa: “nyata” sekali, bahwa semangat harimaunya sudah dijinakkan sampai
kutu-kutunya dan bahwa (mereka) tak luput dari bekerjanya obat tidur penjajahan
yang lama di bawah bangsa asing yang lebih kuat”!
Tidakkah Prof. Kielstra menulis:
“Politik perdagangan bangsa Belanda
menyebabkan banyak sumber-sumber penghidupan menjadi tertutup atau kering sama sekali;
tapi perduli apa! Tidakkah orang….. mengajarkan, bahwa orang tak boleh
menyimpang dari pendirian, bahwa rakyat yang miskin paling gampang bisa
diperintahi!”
Dan haraplah perhatikan perkataan Prof.
Gonggrijp yang berbunyi:
“Usaha yang hebat untuk mengekalkan
monopoli itu sudah membinasakan kesejahteraan pulau-pulau Maluku dan menindas semangat
dagang dan nafsu berusaha yang (masih) ada sedikit pada penduduk bumiputra”!
Haraplah memperhatikan pula pendapat
Prof. Van Gelderen yang menulis di dalam buku pidato-pidatonya:
“Dengan adanya perpustakaan yang luas,
kini tak bisa disangkal lagi, sudah ada permulaan perdagangan yang aktif dan
teratur, lalulintas tukar-menukar dengan seberang lautan dengan alat-alat yang
ada waktu itu….. oleh adanya sistem contingenten
dan leverantien! Kemudian oleh adanya
sistem tanaman paksaan, maka produsen Bumiputra didesak dari pasar dunia dan
dialang-alangilah tumbuh suburnya suatu kelas majikan dan kelas saudagar bangsa
sendiri”!
Orang bisa membantah, “O, itu keadaan
tempo dulu, keadaan sekarang sudah lain!” O, memang,-itu keadaan tempo dulu,
itu jahatnya imperialisme-tua! Tetapi keadaan sekarang, di bawah imperialisme
modern, tidak lain halnya! Keadaan sekarang masih tetap mengalang-alangi
timbulnya suatu kaum perusahaan besar di Indonesia, tetap “mengkromokan”, tetap,
memarhaenkan” di dalam tendensnya, –walau, dengan meminjam lagi perkataan
Stokvis, “melalui jalan-jalan yang lebih sunyi”, “langs stillere wegen”. Keadaan sekarang tetap menunjukkan suatu
pergaulan hidup tani kecil, pedagang kecil, pelayar kecil, segalanya kecil,
beserta berjuta-juta kaum yang tak mempunyai suatu milik atau perusahaan
sendiri yang bagaimana kecilnya pun, proletar, yang (terbawa oleh tendens
imperialisme-modern yang menurut Prof. Van Gelderen membikin kami menjadi
“rakyat kaum buruh”, dan “si buruh antara bangsa-bangsa”), makin lama makin bertambah.
Dalil- dalil? Haraplah memperhatikan
perkataan bekas Asisten Residen Schmalhausen, yang atas laporan Du Bus yang
berbunyi:
“Hal yang sama, dan malahan lebih-lebih
lagi, terjadi dengan barang tenunan. Jawa di zaman dulu mengambil kain-kain
yang agak halus dari pesisir, tapi yang untuk keperluan sehari-hari dibikinnya sendiri
untuk kebutuhan tanah Jawa dan buat sebagian besar juga untuk Kepulauan Hindia.
Berkapal-kapal kain-kain itu meninggalkan tanah Jawa dan disebarkan ke
pulau-pulau sekitarnya. Sekarang kita memasukkan di tanah Jawa dan kepulauan
Hindia kita punya kain-kain Belanda….. Di dalam pertentangan ini perusahaan
Bumiputra menjadi mundur dan pabrik-pabrik kita di negeri Belanda ada harapan
akan bisa menggantikannya sama sekali dalam waktu yang pendek”.
Menulis komentar buat zaman sekarang
yang mengatakan:
“sedangkan Du Bus menyebutkan di antara
sebab-sebab maka keadaan jelek, ialah hilangnya beberapa banyak barang-barang ekspor
yang lain, di samping tertahan-tahannya pengeluaran beras, maka kita di zaman
ini bisa pula mengatakan, bahwa banyak industri-industri Bumiputra binasa atau
merana hidupnya!
Dan adakah beda tulisan G.P. Rouffaer
yang berbunyi:
“Dalam keadaan demikian itu, maka tidak
boleh tidak perusahaan kain Bumiputra… makin lama makin tertindas oleh
banyaknya impor dari luar negeri.”
Tidak, tidak ada bedanya. Dan tidak
bedalah pula nasib perusahaan-perusahaan Indonesia yang lain. Di manakah
sekarang kami punya pelayaran? Dimanakah kami punya perusahaan besi dan
kuningan, kami punya kaum pedagang? Sesungguhnya, benarlah tulisan Prof.Van
Gelderen yang berbunyi:
“……… suburnya industri-industri modern
ini, sudah mendesak usaha-usaha industri rumahan yang agak maju. Perdagangan
ekspor Bumiputra binasa dan industri setempat-setempat hilang tersapu oleh
gelombang barang-barang impor yang murah, hasil bikinan terbanyak-banyak”.
“….Begitulah maka, juga di dalam zaman tanaman merdeka, yang datang sesudah
zaman cultuurstelsel, berlaku terus
perpisahan antara si tani Jawa, –dan dengan ini sebenarnya segenap penduduk
Bumiputra,- dan pasar dunia zaman sekarang.
Tuan-tuan Hakim, dengan pergaulan hidup
yang demikian ini, dengan pergaulan hidup yang tiada kelas perusahaan besar
ini, dengan pergaulan hidup yang hampir penuh dengan kaum kromo dan kaum
marhaen saja ini, kami dari Partai Nasional Indonesia, yang selamanya berdiri
di atas realiteit itu, kami harus menjalankan politik yang Kromoistis dan
Marhaenistis pula. Tidak bisalah kami mencoba mengalahkan imperialisme itu
dengan mendesaknya keluar dengan kekuatan persaingan ekonomi, tidak bisalah
kami mencoba melemahkan dayanya dengan daya “selfcontaining” yang nasional-ekonomis sebagai di India itu. Kami
hanya bisa mengalahkannya dengan aksi Kang Kromo dan Kang Marhaen, dengan
massa-aksi kebangsaan yang sebesar-besarnya. Kami mencoba menyusun-nyusun
energi massa yang berjuta-juta itu, mencoba membelokkan energi segenap kaum
intelektual Indonesia ke arah susunan massa ini; kami mencoba, -dan kami yakin
akan bisa-, kami mencoba memberi keinsafan pada kaum intelektual Indonesia itu,
bahwa di dalam kalangan massa inilah mereka harus terjun dan berjuang, di dalam
kalangan massa inilah mereka harus mencari kekuasaan bangsa, –jangan lebih dulu
hanya menjalankan politik “salon-salonan” saja, menggerutu sendiri-sendiri atau
marah-marah di dalam kalangan sendiri saja. Tidak!
“Di dalam massa, dengan massa, untuk
massa!”,- itulah harus menjadi semboyan kami dan semboyan tiap-tiap orang
Indonesia yang mau berjuang untuk keselamatan tanah air dan bangsa!
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar