Gedung Landraad, Bandung. |
Bagian keempat
dari 6
Pergerakan
di Indonesia
Pergerakan tentu lahir
Toh…….. diberi hak-hak atau tidak diberi
hak-hak; diberi pegangan atau tidak diberi pegangan; diberi penguat atau tidak
diberi penguat, —tiap-tiap makhluk, tiap-tiap umat, tiap-tiap bangsa tidak
boleh tidak, pasti akhirnya berbangkit, pasti akhirnya bangun, pasti akhirnya menggerakkan
tenaganya, kalau ia sudah terlalu sekali merasakan celakanya diri teraniaya
oleh suatu daya angkara murka!
Jangan lagi manusia, jangan lagi bangsa,
–walau cacing pun tentu bergerak berkeluget-berkeluget kalau merasakan sakit!
Seluruh riwayat dunia adalah riwayat
golongan-golongan manusia atau bangsa-bangsa yang bergerak menghindarkan diri
dari suatu keadaan yang celaka; seluruh riwayat dunia, menurut perkataan Herbert
Spencer, adalah riwayat “reactief verzet
van verdrukteelementen”! Kita ingat pergerakan Yesus Kristus dan agama
Kristen yang menghindarkan rakyat-rakyat Yahudi dan rakyat-rakyat Lautan Tengah
dari bawah kaki burung garuda Roma; kita ingat perjuangan rakyat Belanda yang
menghindarkan diri dari bawah tindasan Spanyol; kita ingat pergerakan-pergerakan
demokrasi kewargaan (burgerlijke
democretie) yang menghindarkan rakyat-rakyat Eropa pada akhir abad ke-18
dan awal abad ke-19 dari bawah tindasan autokrasi
dan absolutisme, kita menjadi saksi
atas hebatnya pergerakan-pergerakan sosialisme yang mau menggugurkan takhta
kapitalisme; kita mengetahui pergerakan rakyat Mesir di bawah pimpinan Arabi
dan Zaglul Pasha beserta pergerakan rakyat India dibawah pimpinan Tilak atau Gandhi
melawan ketamakan asing; kita mengetahui perjuangan rakyat Tiongkok menjatuhkan
absolutisme Mancu dan melawan
imperialisme Barat; kita telah bertahun-tahun melihat seluruh dunia Asia
bergelora sebagai lautan mendidih menentang imperialisme asing, —tidakkah ini
memang sudah terbawa oleh hakikat keadaan, tidakkah ini memang sudah terbawa
oleh nafsu mempertahankan dan melindungi diri atau nafsu zelfbehound yang ada pada tiap-tiap sesuatu yang bernyawa, tidakkah
ini memang sudah “reactief verzet van verdrukte
elementen” itu? Rakyat Indonesia pun sekarang sejak 1908 sudah berbangkit;
nafsu menyelamatkan diri sekarang sejak 1908 sudah menitis juga kepadanya! Imperialisme-modern
yang mengaut-ngaut di Indonesia itu, imperialisme-modern yang menyebarkan
kesengsaraan di mana-mana itu, — imperialisme-modern itu sudah menyinggung dan membangkitkan
musuh-musuhnya sendiri. Raksasa Indonesia yang tadinya pingsan seolah-olah tak
bernyawa, raksasa Indonesia itu sekarang sudah berdiri tegak dan sudah memasang
tenaga! Saban kali mendapat hantaman, saban kali ia rebah, tetapi saban kali
pula ia tegak kembali! Sebagai mempunyai kekuatan rahasia, sebagai mempunyai
kekuatan penghidup, sebagai mempunyai aji-pancasona dan aji-candrabirawa, ia
tidak bisa dibunuh dan malah makin lama makin tak terbilang pengikutnya!
Amboi, –di manakah kekuatan duniawi yang
bisa memadamkan semangat suatu bangsa, di manakah kekuatan duniawi yang bisa menahan
bangkitnya suatu rakyat yang mencari hidup, dimanakah kekuatan duniawi yang
bisa membendung banjir yang digerakkan oleh tenaga-tenaga pergaulan hidup
sendiri! Di manakah kebenaran jeritan anggota-anggota dan sahabat-sahabat
imperialisme yang mengatakan ini ialah bikinan beberapa kaum “penghasut”, yakni
kaum “opruiers” kaum “raddraaiers”, kaum “ophitsers” dan lain sebagainya dan yang oleh karenanya sama mengira
bahwa pergerakan itu bisa dibunuh kalau “penghasutnya” semua dimasukkan bui,
dibuang atau digantung? Puluhan, ratusan, ya, ribuan “penghasutnya” “opruiers” dan “ophitsers” sudah dibui atau dibuang, –tetapi adakah pergerakan itu berhenti,
adakah pergerakan itu mundur, tidakkah pergerakan yang umurnya baru ± 20 tahun
itu malahan semakin menjadi besar dan semakin menjadi umum? “Man totet den Geist nicht”, begitulah
Freiligrath menyairkannya ,– “orang tak bisa membunuh semangat”! Di dalam tahun
1900, yakni sebelum di sini ada “ophitsers”,
sebelum di sini ada “raddraaiers”,
Ir. Van Kol sudah mendengungkan peringatannya di dalam Tweede Kamer demikian:
“Teruslah…….. sampai sekali waktu tiba
akhirnya; sekali waktu, siapa tahu entah kapan, pasti meledak kekuatan rahasia”
Dan sesungguhnya, “kekuatan rahasia” itu
sudah meledak! Seluruh dunia sekarang melihat bangkit dan bergeraknya kekuatan
rahasiaitu! Seluruh dunia yang tidak sengaja membuta-tuli, mengertilah, bahwa kekuatan
rahasia itu bukan bikinan manusia, tetapi bikinan pergaulan hidup yang mau
mengobati diri sendiri. Seluruh dunia yang tulus hati mengertilah, bahwa
pergerakan ini ialah antitesa imperialisme yang terbikin oleh imperialisme
sendiri. Bukan bikinan “penghasut” bukan bikinan “opruiers”, bukan bikinan “raddraaiers”,
bukan bikinan “ophitsers” —pergerakan
ini ialah bikinan kesengsaraan dan kemelaratan rakyat! Ir. Albarda di dalam Tweede Kamer memperingatkan: “Diantara
mereka, yang berwajib atau merasa wajib membicarakan peristiwa-peristiwa zaman
di muka umum, ada yang senang menggambarkan pergerakan Bumiputra dan
perkembangannya sebagai hasil pikiran-pikiran revolusioner Barat dan yang
mengira bahwa pergerakan itu bisa ditindas dengan jalan menghadapinya dengan
kebijakan pemerintah yang keras dan dengan mengerahkan polisi dan justisi melawan
propagandis-propagandisnya. Pemandangan dan taktik yang demikian itu sangat
dangkal dan menunjukkan bahwa mereka tidak punya pengertian sejarah dan tidak
punya pengertian politik…. Pergerakan yang demikian itu terlahir dari
keadaan-keadaan masyarakat dan dari perubahan-perubahan yang dialaminya.
Pergerakan demikian itu juga akan lahir dan juga akan tumbuh, meskipun tidak
pernah seorang Eropa yang revolusioner menjejakkan kakinya di Hindia.
Pergerakan demikian itu, tumbuh terus, meskipun semua pemimpin dan
propagandisnya dibasmi. Seperti juga dalam abad ke-16 pergerakan kerkhervorming tidak terhenti dengan
memburu-buru kaum bid’ah, seperti juga dalam abad ke-19 demokrasi-sosial tidak
bisa dihancurkan oleh politik penindasan dengan kekerasan oleh Bismarck, begitu
juga dalam abad ke-20 pergerakan Bumiputra tidak bisa didorong ke belakang,
bahkan tidak bisa diberhentikan oleh kebijaksanaan pemerintah yang reaksioner.
Pergerakan itu tumbuh terus dan tidak usah diragu-ragukan, bahwa ia akan
mencapai cita-citanya, yakni memerdekakan penduduk Hindia dari penjajahan
asing!…. ”
Tuan-tuan Hakim barangkali berkata, “O..
itu pemandangan kaum sosialis!”. Jika demikian, marilah kita dengarkan Dr.
Kraemer, seorang yang bukan sosialis, menulis dalam Koloniale Studien:
“Di sinilah juga letaknya keterangan,
mengapa orang salah sangka sama sekali, apabila orang menyangka, bahwa apa yang
disebut kebangunan dunia Timur itu atau di dalam lingkungan kita sendiri: pergerakan
Bumiputra itu, hanya menjadi soal suatu lapisan Intelektuan yang tipis dan jumlahnya sangat kecil. Mau tidak mau
“rakyat Murba yang diam itu” juga ikut mendidih dalam kancah pergolakan itu”, dan
Prof. Snouck Hurgronje, yang juga bukan kaum dogma, yang toh juga bukan kaum
pembuta-tuli mengikuti sesuatu kepercayaan, tempo hari berkata:
“Sumbernya”…… dulu dan sekarang, bukan
pemupukan beberapa ribu kaum intelektual, yang terlampau banyak mendapat pendidikan
Barat dan tidak bisa ditampung oleh masyarakat Bumiputra, tapi rasa perlawanan
di mana-mana terhadap penjajahan oleh orang-orang dari bangsa lain, rasa
perlawanan yang kadang-kadang tampak keluar dan kadang-kadang tinggal terbenam……”
Bahwasanya, matahari bukan terbit karena
ayam jantan berkokok, ayam jantan berkokok karena matahari terbit!
Dan dengan sedikit perubahan, maka kami
dari sini, bagi kaum-kaum yang masih saja mengira bahwa pergerakan itu bikinan
“penghasut” mengobarkan lagi api pidato Jean Jaures, kampiun buruh Prancis yang termashur itu, di dalam dewan rakyat
Prancis terhadap wakil-wakil kaum modal:
“Ah, Tuan-tuan, alangkah anehnya
Tuan-tuan sampai tersilaukan mata, dan mengatakan bahwa evolusi universal ini terjadi karena perbuatan
beberapa orang saja! Tidakkah terkena hati Tuan-tuan oleh luasnya pergerakan
kebangsaan sehingga terdapat di seluruh muka bumi? Dimana-mana, di semua negeri
yang tidak merdeka, ia muncul pada waktu yang sama, semenjak sepuluh tahun yang
kemudian ini, tidak mungkin lagi menggambarkan sejarah Mesir, India, Tiongkok,
Filipina dan Indonesia dengan tidak juga menceritakan riwayat pergerakan
nasional!… Dan di hadapan pergerakan umum yang menghela rakyat-rakyat Asia ini,
rakyat-rakyat yang sangat berbeda satu sama lain, dalam iklim manapun mereka
itu hidup, termasuk bangsa apa pun mereka itu, –dihadapan pergerakan yang
demikian itulah Tuan-tuan bicara tentang beberapa orang Penghasut yang
bertindak sendiri-sendiri. Tapi dengan menuduh seperti itu Tuan-tuan terlalu
memberi penghormatan kepada orang-orang yang tuan tuduh, Tuan-tuan menganggap
terlalu berkuasa orang-orang yang Tuan-tuan sebut penghasut itu. Bukanlah
pekerjaan mereka sendiri meletuskan pergerakan yang demikian hebatnya; tarikan
nafas lemah dari beberapa mulut manusia tidak cukup untuk meletuskan tofan bangsa-bangsa
Asia ini!
Tidak, Tuan-tuan, yang sebenarnya ialah:
pergerakan ini timbul dari pusat kejadian-kejadian sendiri; ia timbul dari
penderitaan-penderitaan yang tidak terhitung banyaknya dan sampai sekarang tidak
menghubungkan diri satu sama lain, tapi mendapatkan kata semboyannya dalam
semboyan menyerukan merdeka. Yang sebenarnya ialah, bahwa juga di Indonesia
pergerakan nasional itu terlahir dari imperialisme yang di dewa-dewakan oleh
Tuan dan tidak kurang-kurangnya dari sistem drainage
ekonomi yang semenjak berabad-abad bekerja di negeri itu….. Imperialisme itulah
penghasut yang besar, imperialisme itulah penjahat besar yang menyuruh berontak:
karena itu bawalah imperialisme itu ke depan Polisi dan Hakim!”
Benar sekali! “Bawalah imperialisme itu
ke depan Polisi dan Hakim!”…… Toh…. bukan imperialisme, bukan anggota-anggota
imperialisme, bukan sahabat-sahabat imperialisme, bukan Treub, bukan Trib, bukan
Colijn, bukan Bruineman, bukan Fruin, bukan Ali Musa, bukan Wormser, yang kini
berada di muka mahkamah Tuan-tuan Hakim,– tetapi kami: Gatot Mangkoepradja, Maskoen,
Soepriadinata, Soekarno! Apa boleh buat, biarlah nasib pemimpin begitu! Kami tidak
merasa salah. Kami merasa bersih, kami tidak merasa melanggar hal-hal yang
dituduhkan, sebagai nanti akan lebih jelas kami terangkan. Kami oleh karena
itu, memang mengharap-harap dan menunggu-nunggu Tuan-tuan punya putusan bebas,
mengharap-harap moga-moga Tuan-tuan mengambil putusan vrijspraak adanya! Tetapi, tuan-tuan Hakim, marilah kami
melanjutkan kami punya pidato pembelaan.
“Ratu Adil”, “Heru Cakra”, dan lain
sebagainya Pergerakan Rakyat Indonesia bukanlah bikinan kaum “penghasut”. Juga
sebelum ada “penghasut” itu, juga zonder
ada “penghasut” itu, udara Indonesia sudah penuh dengan hawa kesedihan
merasakan kesengsaraan dan oleh karenanya, penuh pula dengan hawa keinginan
menghindarkan diri dari kesengsaraan itu. Sejak berpuluh-puluh tahun udara
Indonesia sudah penuh dengan hawa-hawa yang demikian itu. Sejak berpuluh-puluh
tahun rakyat Indonesia itu hatinya selalu mengeluh, hatinya selalu menangis
menunggu-nunggu datangnya wahyu yang akan menyalakan api pengharapan di
dalamnya, menunggu-nunggu datangnya mantarm
yang bisa menyanggupkan sesuap nasi dan sepotong ikan dan sepotong ikan kepadanya.
Haraplah pikirkan, Tuan-tuan hakim, apakah sebabnya rakyat senantiasa percaya
dan menunggu-nunggu datangnya “Ratu Adil”, apakah sebabnya sabda Prabu Jayabaya
sampai hari ini hari masih terus menyalakan harapan rakyat, –apakah sebabnya
seringkali kita mendengar bahwa di desa ini atau di desa itu telah muncul
seorang “Imam Mahdi”, atau “Heru Cakra”, atau turunan seorang dari Wali-Sanga.
Tak lain tak bukan ialah oleh karena hati rakyat yang menangis itu,” tak
berhenti-hentinya, tak habis-habisnya menungu-nunggu atau mengharap-harapkan
“datangnya pertolongan, sebagaimana orang yang berada dalam kegelapan tak berhenti-hentinya
pula saban jam, saban menit, saban detik, menunggu-nunggu dan mengharap-harap:
“kapan, kapankah matahari terbit?” O… siapa yang mengerti akan sebab-sebab yang
lebih dalam ini, siapa yang mengerti akan diepere
ondergrond dari kepercayaan rakyat ini, sebagaimana yang diterangkan pula
oleh Prof. Snouck Hurgronje di dalam brosurnya “Vergeten Jubiles”, tentu sedih dan ikut menangislah hatinya, kalau
ia saban kali mendengar suara rakyat meratap: “Kapan, kapankah Ratu Adil
datang?”—tentu sedih dan menangislah hatinya pula dan tidak tertawa, jikalau ia
saban kali melihat lekasnya dan setianya rakyat menyerahkan diri ke dalam tangan
seorang kyai atau dukun yang menyebutkan diri “Heru Cakra” atau “Ratu Adil”!
“Selama kaum intelek Bumiputra belum
bisa mengemukakan keberatan-keberatan bangsanya, maka “perbuatan-perbuatan yang
mendahsyatkan” itu (yakni pemberontakan)
adalah peledakan yang sewajarnya dari kemarahan yang disimpan-simpan dan perlawanan
yang ditekan-tekan terhadap usaha yang bodoh untuk memerintah rakyat dengan
tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh keinginan dan kepentingan-kepentingan
mereka dan membikinnya jadi pedoman. Sebagaimana sekarang golongan-golongan
besar dari bangsa Bumiputra senantiasa bersedia untuk dengan terus terang
memihak kepada salah seorang intelektual bangsanya sendiri, yang dirasanya
memperjuangkan kepentingannya, meskipun mereka itu “belum matang” untuk mengerti
semua teori-teorinya, demikianlah mereka seringkali suka mengikuti
pemimpin-pemimpin yang menjanjikan kepada mereka kemerdekaan yang bisa
diperoleh dengan jalan rahasia dan dengan cara-cara rahasia, atau yang dengan
cara sembunyi mengerahkan tentara untuk perang sabil dengan kaum kafir,
bilamana ada kesempatan baik. Bahwa percobaan-percobaan yang demikian itu sia-sia
saja, karena alat-alat untuk membuka jalan sama sekali tidak cukup, mereka
tidak mengerti, dan demikianlah mereka menganggap setiap orang yang menjanjikan
kepada mereka Ratu Adil, atau Mahdi atau pemerintahan yang adil, adalah Nabi.
Syarat- syarat hidup yang perlu, yang menurut perasaannya tidak diberikan
kepadanya oleh alam, oleh jalannya keadaan yang biasa, atau oleh penjajahan
asing, mereka coba mencapainya dengan jala gaib yang luar biasa… dengan
kepercayaan akan mendapat pertolongan tuhan,” begitulah kata Prof. Snouck
Hurgronje. Dan sebagaimana sang kiai atau sang dukun itu bukan pembikin dari kepercayaan
umum dan harapan umum atas kedatangan Ratu Adil atau Heru Cakra itu,
sebagaimana mereka mendapat pengaruh itu ialah, hanya oleh karena rakyat umum
hatinya memang menangis mendoa-doa dan menunggu-nunggu datangnya Ratu Adil atau
Heru Cakra itu, maka kami yang disebut “penghasut” bukanlah pula pembikin
pergerakan rakyat sekarang ini dan bukanlah pula pengaruh kami itu terjadinya
ialah oleh karena licinnya kami punya lidah atau tajamnya kami punya pena.
Pergerakan rakyat adalah bikinan
kesengsaraan rakyat, pengaruh kami diatas rakyat adalah pula bikinan
kesengsaraan rakyat! Kami hanyalah menunjukkan jalan; kami hanyalah mencarikan
bagian-bagian yang rata dan datar untuk aliran-aliran yang makin lama makin
membanjir itu;– kami hanyalah menunjukkan tempat-tempat yang harus dilalui oleh
banjit itu, agar supaya banjir itu bisa dengan sesempurna-sempurnanya mencapai
Lautan Keselamatan dan Lautan Kebesaran adanya…..
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar