Bagian kelima
dari 6
Partai
Nasional Indonesia
Kami punya asas tentang “Kemerdekaan
Indonesia”
Tempat yang harus dilalui? Manakah
tempat-tempat yang harus dilalui? Partai Nasional Indonesia dengan
sepenuh-penuhnya keyakinan menjawab: tempat-tempat yang berjajar-berjajar
menuju ke arah Indonesia Merdeka! Sebab di belakang Indonesia Merdeka itulah
tampak kepada mata PNI keindahan Samudra Keselamatan dan samudra Kebesaran itu,
di belakang Indonesia Merdeka itulah tampak kepada mata PNI sinar hari kemudian
yang melambai-lambai! Inilah pokok keyakinan PNI, sebagai yang tertulis di
dalam buku keterangan asasnya:
“Partai Nasional Indonesia berkeyakinan,
bahwa syarat yang amat penting untuk pembaikan kembali semua susunan pergaulan
hidup Indonesia itu, ialah kemerdekaan nasional. Oleh karena itu, maka semua
bangsa Indonesia terutama haruslah ditujukan ke arah kemerdekaan nasional itu.”
Dengan bahasa Belanda: de nationale
vrijhed als zeer belangrijkevoorwaarde tot de nationale reconstructie! Berlainan
dengan banyak partai-partai politik lain, yang mengatakan “perbaikilah dulu
rumah tangga, nanti kemerdekaan datang sendiri”; –berlainan dengan
partai-partai lain, yang menganggap kemerdekaan itu sebagai buahnya pembaikan
rumah tangga, —maka PNI berkata: “Kemerdekaan nasional usahakanlah, sebab dengan
kemerdekaan nasional itulah rakyat akan bisa memperbaiki rumah tangganya dengan
tidak terganggu, yakni dengan sesempurna-sempurnanya”, –PNI berkata, “De-volkomen nationalereconstructie allen
mogelijk na wederkomst der nationaleonafhankelijkkheid”. Tuan-tuan Hakim,
sepanjang keyakinan kami, asas PNI yang demikian ini dalam hakikatnya tidak
beda dengan asas perjuangan kaum buruh di Eropa dan Amerika, tidak beda dengan
asas yang mengatakan bahwa untuk melaksanakan sosialisme, kaum buruh itu harus
lebih dulu mencapai kekuasaan pemerintahan.“Kaum proletar hanya bisa mematahkan perlawanan kaum modal terhadap usaha
membikin alat-alat perusahaan partikelir menjadi milik umum, dengan mengambil
kekuasaan politik. Untuk maksud ini, kaum buruh seluruh dunia, yang telah
menjadi insaf akan kewajibannya dalam perjuangan kelas, menyusun diri,” begitulah
bunyi paragraf 11 dari keterangan asas Sociaal
Democratische Arbeiders Partij. Nah, buat suatu rakyat jajahan, buat suatu
rakyat yang di bawah imperialisme bangsa lain, hakikat perkara sepanjang
keyakinan kami, tidaklah lain. Buat suatu rakyat yang dibencanai oleh
imperialisme, buat usaha rakyat itu melawan bencana imperialisme itu, perlu
sekalipula “kekuasaan politik” dicapainya. Buat rakyat yang demikian itu, kalimat
tadi mendapat variasi:
“Rakyat yang dijajah hanya bisa
mematahkan perlawanan kaum imperialisme terhadap pekerjaan memperbaiki kembali
semua susunan pergaulan hidup nasionalnya, dengan mengambil kekuasaan
pemerintahan, yakni dengan mengambil kekuasaan politik.”
Dan apakah artinya “kekuasaan politik”
bagi suatu rakyat jajahan? Apakah artinya “kekuasaan pemerintahan”, apakah
artinya “mengambil kekuasaan pemerintahan” bagi suatu rakyat jajahan? Mencapai
Kekuasaan politik bagi suatu rakyat jajahan adalah berarti mencapai
pemerintahan nasional, mencapai kemerdekaan nasional, —mencapai hak untuk
mengadakan undang-undang sendiri, mengadakan aturan-aturan sendiri, mengadakan
pemerintahan sendiri! Nah, Partai Nasional Indonesia ingin melihat rakyat
Indonesia bisa mencapai kekuasaan politik itu, Partai Nasional Indonesia tidak
tedeng aling-aling mengambil kemerdekaan
nasional itu sebagai maksudnya yang tertentu. Partai Nasional Indonesia
mengerti, —atau lebih benar: kami mengerti, –bahwa mengejar kekuasaan politik,
jadi, mengejar kemerdekaan nasional itu, adalah konsekuensi dan voorwaarde, buntut dan syarat, bagi
suatu perjuangan kontra imperialisme itu adanya. Sebagai di negeri barat kaum
kapitalis mengusahakan kekuasaan politiknya mempengaruhi rumah tangga negara
menurut mereka punya kepentingan, sebagaimana kaum kapitalis itu mengusahakan
kekuasaan politiknya untuk mengadakan aturan-aturan rumah tangga negara yang
menguntungkan mereka punya kepentingan dan meniadakan aturan-aturan yang merugikan
mereka punya kepentingan,–sebagaimana kaum kapitalis itu mengusahakan mereka punya
kekuasaan politik untuk menjaga dan memelihara kapitalisme–, maka di suatu
negeri jajahan, kaum imperialisme mengusahakan kekuasaan politiknya pula untuk
mempengaruhi rumah tangga negara menurut mereka punya kepentingan, yakni menurut
kepentingan sistem imperialisme! Olah karena pengaruh itu, maka hampir tiap
aturan yang penting di dalam suatu negeri jajahan bersifat menguntungkan
kepentingan kaum imperialisme itu, sesuai dengan kepentingan kaum imperialisme
itu. Hampir tiap-tiap aturan yang penting di dalam suatu negeri jajahan adalah
bersifat untuk penjajahan itu, untuk imperialisme itu. Oleh sebab itu, maka,
selama suatu negeri masih bersifat jajahan, ya, lebih jauh lagi: selama suatu
negeri masih bersifat “protektorat” ataupun “daerah mandat”, —pendek kata
selama suatu negeri masih belum sama sekali leluasa mengadakan aturan-aturan
rumah tangga sendiri, — maka sebagian atau semua aturan-aturan rumah tangganya,
mempunyai “cap” yang imperialistis adanya. Artinya: selama rakyat belum
mencapai kekuasaan politik atas negeri sendiri, maka sebagian atau semua
syarat-syarat hidupnya, baik ekonomi maupun sosial maupun politik,
diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan yang bukan kepentingannya, bahkan bertentangan
dengan kepentingannya. Ia adalah seolah-olah terikat kaki dan tangannya, tak
bisa leluasa berjuang melawan daya-daya imperialisme yang membencanainya, tak
bisa leluasa berjuang mengalang-alangi syarat-syarat hidupnya diperuntukkan
bagi kepentingan pihak lain, tak bisa leluasa berusaha memperuntukkan syarat-syarat
hidupnya itu bagi perikehidupan ekonominya sendiri, perikehidupan
kebudayaannya. Ia pendek kata, tak bisa leluasa berusaha melawan dan
memberhentikan imperialisme, tak bisa pula leluasa menyubur-nyuburkan badan
sendiri. Rakyat jajahan adalah rakyat yang tak bisa “menemukan diri sendiri”,
suatu rakyat yang tak bisa “zichzelf”
(berpribadi sendiri), suatu rakyat yang hampir semua apa-apanya kena “cap” yang
imperialistis itu, — “cap” yang terjadinya ialah oleh pengaruh besar dari kaum
imperialisme adanya. Tidak ada persamaan kepentingan antara kaum imperialisme
dan kaum yang di bawah imperialisme; tidak ada belangengetneenschap antara kedua pihak itu. Antara kedua pihak itu
ada pertentangan kepentingan, ada pertentangan kebutuhan, —ada tegenstelling van belangen ada conflict van behoeften. Semua
kepentingan kaum imperialisme, baik ekonomi, maupun sosial, baik politik maupun
yang berhubungan dengan kebudayaan umumnya, semua kepentingan kaum imperialisme
itu, adalah bertentangan, tegengesteld
dengan kepentingan Bumiputra. Kaum imperialisme sebisa-bisanya mau meneruskan
adanya penjajahan, —orang Bumiputra sebisa-bisanya mau memberhentikan
penjajahan itu. Aturan-aturan yang diadakan di bawah pengaruh kaum
imperialisme, adalah karena itu bertentangan dengan kepentingan Bumiputra itu
adanya. Meskipun demikian, Bumiputra menerima saja aturan-aturan itu? Meskipun
demikian Bumiputra menghormati aturan-aturan itu? O, memang, Bumiputra menerima
saja aturan-aturan itu, Bumiputra menghormati aturan-aturan itu. Tetapi mereka
menerimanya dan menghormatinya itu, ialah hanya oleh karena Bumiputra kalah, hanya
oleh karena Bumiputra terpaksa menerimanya dan terpaksa menghormatinya! Bukankah
justru kekalahan ini sebabnya maka mereka dijajah? Bukankah justru kekalahan
yang memaksa mereka menjadi rakyat, jajahan? Jules Harmand, Ambassadeur Honoraire dan ahli jajahan bangsa
Prancis, dalam bukunya yang termashur “Domination
et Colonisation”, menulis dengan terang-terangan:
“Tentu saja bisa kejadian, bahwa
kepentingan orang Bumiputra kebetulan sama dengan kepentingan si penjajah; tapi
ini jarang sekali kejadian. Biasanya…. kepentingan-kepentingan itu bertentangan
satu sama lain.” Kedua pikiran “penjajahan” dan “kekerasan” atau
sekurang-kurangnya “paksaan”, adalah bergandengan satu sama lain, atau
isi-mengisi. Tergantung kepada tempat, keadaan dan tingkah laku, kekerasan itu
boleh nyata atau kurang nyata, atau sedang saja, terang-terangan atau
sembunyi-sembunyi, —tapi penggunaannya tidak pernah bisa dihilangkan. Pada hari
paksaan hilang, berakhirlah pula penjajahan.”
Adakah pengakuan yang lebih
terang-terangan, adakah ketulusan hati yang lebih tulus? Sesungguhnya kita
tidaklah berdiri sendiri, kalau kita mengatakan bahwa oleh adanya pertentangan
kepentinganitu, tiap-tiap sistem atau aturan jajahan, adanya diterima dan dihormati
rakyat jajahan itu, hanya karena mereka terpaksa menerima dan terpaksa
menghormatinya belaka,–terpaksa, yakni tidak dengan senang hati, tidak dengan
rela hati, tidak dengan kemufakatan yang sebenar-benanrnya, tidak dengan
persetujuan yang sepenuh-penuhnya!
Tiap-tiap
rakyat jajahan ingin merdeka
Oleh karena itulah, Tuan-tuan Hakim,
maka tidka ada satu rakyat negeri jajahan yang tindak ingin merdeka, tidak ada
satu rakyat jajahan yang tak mengharap-harapkan datangnya hari kebebasan.
Jikalau Partai Nasional Indonesia mendengung-dengungkan semboyan “mencapai
kekuasaan politik” itu, jikalau Partai Nasional Indonesia mengobar-ngobarkan
semangat ingin merdeka itu, maka ia hanyalah mengemukakan cita-cita umum
belaka. Kemerdekaan adalah syarat yang amat penting baginya untuk bisa melawan
dan memberhentikan imperialisme itu dengan seluas-luasnya. Kemerdekaan adalah
pula syarat yang amat penting bagi pembaikan kembali segala susunan pergaulan
hidup suatu negeri bekas jajahan, suatu syarat yang amat penting bagi
rekonstruksi nasionalnya. Ya, kemerdekaan adalah syarat yang amat penting bagi kesempurnaan
rumah tangga tiap-tiap negeri, tiap-tiap bangsa, baik bangsa timur maupun
bangsa Barat, baik bangsa kulit berwarna maupun bangsa kulit putih. Tiada satu
bangsa bisa mencapai kebesaran zonder kemerdekaan nasional, tidak ada satu
negeri bisa menjadi teguh dan kuasa, umpama ia tidak merdeka. Sebaliknya, tiada
satu negeri jajahan yang bisa mencapai keluhuran, tiada satu negeri jajahan
yang bisa mencapai kebesaran itu. Oleh karena itu, maka tiap-tiap bangsa
jajahan ingin akan kemerdekaan itu, ingin supaya bisa mencapai kebesaran itu. Tiap-tiap
rakyat yang tak merdeka, tiap-tiap rakyat yang karena itu, tak bisa dan tak
boleh mengatur rumah tangga sendiri secara kepentingan dan kebahagiaan sendiri,
adalah hidup di dalam suasana yang rusuh, yakni hidup di dalam suasana yang
kami sebutkan tadi, hidup di dalam suatu “permanente onrust”, kerusuhan yang
terus-menerus, yang tersebabkan oleh tabrakan daya-daya yang saling
bertentangan itu, — suatu keadaan yang tidak boleh tidak menimbulkan pula
keinginan keras akan hilangnya pertentangan-pertentangan itu, yakni keinginan
keras akan berhentinya ketidak-merdekaan itu tadi. Dari Maroko sampai Filipina,
dari Korea sampai Indonesia melancar-lancar kemana-mana melalui gunung dan samudra,
terdengarlah suara yang memanggil-manggil kemerdekaan itu,– bukan saja dari
mulut rakyat-rakyat yang baru saja merasakan pengaruh imperialisme, tetapi
juga, ya, malahan terutama, dari mulut bangsa-bangsa yang sudah berabad-abad
tak menerima cahaya matahari kebesaran.“Sekalipun sudah berabad-abad mereka
menjajah…… begitulah Jules Harmand menulis lagi:
“Sekalipun sudah berabad-abad mereka
menjajah….. adalah suatu kebodohan apabila si penjajah itu sudah menyangka
bahwa ia dicintai, —butalah ia apabila menyangka bahwa masyarakat yang dijajah
itu merasa senang mengalami penjajahannya”….. ”Bagaimanapun juga lemahnya atau
merosotnya, bagaimanapun juga biadabnya disangka orang bangsa yang terjajah itu,
— bagaimanapun juga jahatnya kaum ningratnya, atau sebaliknya, bagaimanapun
juga beradabnya mereka itu dalam tingkah lakunya dan bagaimanapun juga tajam
otaknya dianggap orang…… mereka itu akan memandang kepergian atau hilangnya penjajahan
asing selalu sebagai suatu pembebasan”.
Mengertikah orang sekarang, apa sebabnya
Prabu Jayabaya yang menujumkan kemerdekaan itu, terus hidup saja berabad-abad
dalam hati rakyat? Mengertikah orang sekarang, apa sebabnya di dalam tiap-tiap
surat kabar Indonesia, di dalam tiap-tiap rapat bangsa Indonesia,– juga kalau
kami yang disebut “penghasut” tidak menghadirinya! –, sebentar-sebentar terbaca
atau terdengar perkataan “merdeka”? mengertikah orang sekarang, apa sebabnya sampai
partai-partai politik yang paling sabar atau sedangpun, misalnya Budi Utomo dan
Pasundan, yang toh terang sekali bukan perkumpulan kaum “penghasut”, juga sama
mengambil cita-cita Indonesia Merdeka, sebagaimana disyaratkan bagi penerimaan menjadi
anggota PPPKI? Partai Nasional Indonesia hanyalah lebih terang mengemukakan
cita-cita itu; Partai Nasional Indonesia hanyalah lebih tentu mengutamakan
kemerdekaan nasional itu, menjunjung kemerdekaan nasional itu sebagai syarat
yang amat penting bagi pembaikan kembali semua susunan pergaulan hidup
Indonesia yang sekarang kocar-kacir ini, dan bagi bisa berhasilnya perjuangan
menghentikan imperialisme itu! Sebab, sebagai yang kami terangkan tadi, Partai
Nasional Indonesia mengambil soal jajahan itu di dalam hakikat yang
sedalam-dalamnya, mengambil soal jajahan itu terus ke dalam pokok-pokoknya, —mengambil
soal jajahan itu di dalam filsafatnya yang sebenar-benarnya, yakni filsafat,–
kami ulangi lagi–, bahwa di dalam tiap-tiap sistem jajahan adalah pertentangan
kepentingan antara kaum imperialisme dan kaum Bumiputra; bahwa di dalam
tiap-tiap sistem jajahan umumnya, keadaan-keadaan adalah dipengaruhi,
di-“cap”-kan, diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan imperialistis; —bahwa
karena itu, didalam sistem jajahan mana pun juga, kepentingan Bumiputra tak bisa
terpelihara sesempurna-sempurnanya.
Dalil-dalil
pemimpin-pemimpin negeri lain
Dan juga dalam keyakinan ini, Partai
nasional Indonesia tidak berdiri sendiri. Juga di dalam keyakinan ini, Partai
Nasional Indonesia mendapat pembenaran di dalam ujaran-ujaran pemimpin besar di
negeri-negeri lain. Jikalau Mustafa Kamil dari Mesir menulis, bahwa “suatu
bangsa yang tak merdeka sebenarnya adalah suatu bangsa yang tak hidup”, jikalau
Manuel Quezon dari Filipina berkata bahwa “lebih baik zonder Amerika ke neraka daripada dengan Amerika ke surga”, jikalau
Patrick Hendry dari Amerika dulu berteriak: “Berikanlah padaku kemerdekaan,
atau berikanlah padaku maut saja” –maka itu bukanlah jerit budi pekerti yang “panas”
belaka, tetapi di dalam hakikatnya mereka tidak lain daripada mengutamakan
kemerdekaan nasional itu. Jikalau kita membaca pemimpin Irlandia, Michael
Davitt, menulis: “Baik keselamatan, baik bujukan maupun undang-undang yang
menguntungkan, tidak akan memuaskan bangsa Ir, jika kami tidak mendapat hak
untuk memerintah negeri kami sendiri”. Ya, jikalau kita membaca bahwa seoarang
pemimpin Irlandia lain Erskine Childers, menolak tingkat free-state dan menuntut kemerdekaan sepenuh-penuhnya dengan
perkataan:
“Kemerdekaan bukanlah soal
tawar-menawar, kemerdekaan adalah sebagai maut: dia ada atau dia tidak ada.
Kalau orang menguranginya, maka itu bukan kemerdekaan lagi”, –tidakkah itu
dalam hakikatnya suatu pembenaran pula dari kami punya pendirian itu? Tetapi,
perhatikanlah perkataan-perkataan Jozef Mazzini, Bapak Rakyat Italia, yang
lebih terang lagi:
“Membangunkan tanah air ini, malahan
adalah suatu kemustian. Penguatan hati dan jalan-jalan yang saya bicarakan tadi
itu, hanya bisa datang dari suatu tanah air yang bersatu padu dan merdeka. Keadaan
masyarakat kamu hanya bisa menjadi baik, apabila kamu ikut serta dalam
kehidupan politik bangsa-bangsa.” Janganlah tertipu oleh pikiran, bahwa keadaan
kebendaanmu akan menjadi baik, dengan tidak menyelesaikan lebih dulu soal
nasional; kamu tidak akan berhasil dalam hal itu.” dan perhatikanlah pula
perkataan-perkataan Sister Nivedita, yang mengutamakan kemerdekaan nasional itu
buat suburnya hidup kebatinan dan hidup kesenian, di dalam buku Okakura: “Die Idealedes Ostens”:
“Seni hanyalah bisa berkembang pada
bangsa-bangsa yang hidup merdeka. Dia, sebenarnya adalah alat yang hebat dan
buah Rasa-Suci dari kemerdekaan, yang kita sebut keinsafan kebangsaan”.
Ini adalah ucapan-ucapan belaka.
Prakteknya? Marilah kita misalnya mendengarkan pidato Dr. Sun Yat Sen tentang San Min Chu I, di mana Bapak Rakyat
Tiongkok ini, sudah menunjukkan bahwa Tiongkok sebenarnya tidak mempunyai kemerdekaan
nasional yang sejati, melainkan malahan adalah suatu “hypo-colony” menggambarkan terganggunya rumah tangga Tiongkok itu
dengan kata-kata:
“Tatkala Tiongkok berdiri atas dasar
politik yang sama dengan lain-lain bangsa, ia bisa bersaingan dengan merdeka di
lapangan ekonomi dan sanggup dengan tidak membuat kesalahan mempertahankan
dirinya sendiri. Tetapi baru saja bangsa-bangsa asing mempergunakan kekuasaan
politik sebagai tameng bagi maksud-maksud ekonomi, maka tiongkok pun kehilangan
kemampuannya untuk mempertahankan diri atau bersaingan dengan mereka dengan
berhasil.”
Dan sekarang, sesudah kemerdekaan
nasional negeri Tiongkok itu makin lama makin teguh, maka ahli pikir Inggris
H.C. Wells, menulis:
“Pada zaman sekarang ini bisa jadi,
bahwa lebih banyak tenaga otak yang baik dan lebih banyak orang yang sungguh
hati bekerja untuk membikin modern dan menyusun kembali peradaban Tiongkok, daripada
yang demikian itu kita jumpai di bawah pimpinan bangsa Eropa mana pun juga”.
Dan prakteknya di Indonesia? Adakah
prakteknya di sini membenarkan keyakinan PNI, bahwa negeri yang tak merdeka itu
memang segala atau sebagian daripada aturan-aturan dan syarat-syarat hidupnya
dipengaruhi, di-capkan, diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan
imperialistis, yang bertentangan dengan Bumiputra itu? Prakteknya di sini
membenarkan dengan sepenuh-penuhnya! Kita lihat, bahwa untuk sempurnanya usaha imperialisme-perindustrian
di sini, masyarakat kita diproletarkan, kita dijadikan “rakyat kaum buruh”;
kita mengetahui, bahwa kaum imperialisme yang butuh akan tanah murah dan kaum
buruh murah itu, sebagai diterangkan oleh Prof. Van Gelderen, mempunyai kepentingan
di dalam rendahnya tenaga produksi kita punya pergaulan hidup, jadi, dengan
sengaja pula merendahkan tenaga produksi itu dan melawan keras tiap-tiap usaha
bangsa Bumiputra yang mau menaikkan tenaga produksi itu. Lihatlah, –jikalau
kita mau memajukan perusahaan kita, kebun teh dan pabrik teh, jikalau kita mendirikan
Bank Nasional di Surabaya, jikalau kita mau mendirikan suatu maskapai
perkapalan Indonesia, maka kaum imperialisme itu menjadi geger perkara “gerakan
elit” itu, geger perkara niat pemerintah mau memberikan hak hubungan kredit
pada Bank Nasional itu, geger memaki-maki di dalam pers dan dikalangan
pelayaran atas maksud mendirikan maskapai perkapalan itu. Dan kita lihat kaum
imperialisme itu, sebagai yang kami telah kemukakan di dalam pemeriksaan,
menjalankan pengaruhnya, invioed-nya,
ya tiraninya atas pemerintahan, sebagai yang dimarahkan oleh Prof. Snouck
Hurgronje, dengan kata-kata:
“…..perlulah, bahwa kekuasaan yang
tertinggi itu dihormati oleh mereka (oleh
kaum majikan), sama dihormati mereka seperti pangreh praja Bumiputra
menghormatinya, yang menurut kata Colijn, senantiasa mengarahkan satu mata ke
Bogor. Memang, dalam waktu yang akhir-akhir ini kebanyakan mereka mengarahkan kedua-dua
matanya ke sana, akan tetapi bukan untuk menuruti petunjuk-petunjuk, tapi untuk
mengemukakan mereka punya tuntutan-tuntutan, yakni supaya susunan dan kerjanya
mesin pemerintahan sesuai dengan mereka punya kemauan. Ini juga suatu macam
revolusi.”
Kita lihat kaum imperialisme itu
mempengaruhi pemerintah mengadakan politik tarip yang menguntungkan baginya,
sebagai tertulis dalam AID de
Preangerbode beberapa bulan yang lalu dibawah kepala: “Vrijhandelbinnen het rijk is instrijd met het belong van Nederland en
van Indie”; kita lihat bagaimana di sini ada suatu aturan pajak, yang
sebagai ditunjukkan oleh komisi Meyer-Ranneft-Huender, enteng sekali bagi kaum
Eropa dan berat sekali bagi kaum Indonesia; kita lihat bagaimana di sini ada
bea karet, yang mengenai karet Bumiputra saja, sehingga suburnya mendapat
rintangan besar; kita lihat bagaimana di sini ada itu aturan kuli kontrakan
beserta poenale sanctienya, yang sama
sekali hanya menguntungkan kaum modal belaka! Kita lihat adanya suatu undang-undang
pelindung kaum buruh dan adanya pasal 161 bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
yang juga melulu berarti untungnya kaum kapital, celakanya kaum buruh; kita
lihat adanya macam-macam aturan yang mengalangi pergerakan rakyat apa saja,
yang memusuhi imperialisme itu; kita lihat suatu politik pengajaran yang
membunuh rasa kebangsaan dan mendidik pemuda-pemuda kami menjadi pennelikkers dan tidak menjadi
manusia-manusia yang tabiat semangatnya merdeka; kita melihat suatu keadaan,
sebagai De Stuw mengatakannya, bahwa rakyat “makin lama makin jadi tergantung
kepada pihak asing dan dengan demikian juga makin lama makin jauh dari
cita-cita Hindia buat bangsa Hindia”;
Kita melihat…….. tetapi cukup, Tuan-tuan
Hakim, cukup untuk membuktikan kebenaran keyakinan PNI itu! PNI memang adalah suatu
partai yang tidak mau ngelamun, suatu partai yang tidak mau terapung-apung di
atas awan angan-angan; PNI adalah suatu partai yang dengan kedua-dua kakinya
berdiri di atas keadaan-keadaan yang sebenarnya, dengan kedua-dua kakinya
berdiri di atas realiteit. Ia melihat, bahwa imperialisme adalah bertentangan
keyakinan dengan kita, ia melihat bahwa kaum imperialisme itu mengusahakan kekuasaan
politiknya untuk menjaga dan memelihara kepentingannya, —jadi, ia mengatakan
bahwa kita barulah bisa melawan dan memberhentikan imperialisme itu
seluas-luasnya, kalau kekuasaan politik itu sudah di dalam tangan kita, bahwa
kita barulah bisa mengusahakan pembaikan kembali kita punya pergaulan hidup
dengan sesempurna-sempurnanya, kalau kita sudah merdeka, —jadi, ia memujikan
rakyat Indonesia mengejar kemerdekaan itu! “Terang benderang sebagai kaca”, — “zoo helder als glas”, begitulah orang
Belanda berkata!
Percaya
pada usaha sendiri
Dan mendatangkan Indonesia merdeka itu?
Juga di dalam menjawab soal ini, maka PNI dengan kedua-dua kakinya berdiri di
atas realiteit. Ia menjawab soal itu dengan yakin: “dengan usaha rakyat
Indonesia sendiri!” la. tak mau mengikuti pengelamunan setengah orang yang mengira,
bahwa adanya sistem imperialisme di sini itu ialah untuk mendidik kita dibikin
“matang” atau “rijp” dan bahwa jikalau nanti kita sudah cukup “matang”, jikalau
kita nanti sudah cukup “rijp”, sistem imperialisme itu lantas akan “berhenti
sendiri”, —“memberikan” kemerdekaan kepada kita sebagai suatu “anugerah yang
berharga”, sebagai suatu “kostbaar
geschenk”! Amboi, alangkah baiknya imperialisme kalau memang begitu; alangkah
benarnya kalau begitu perkataan perjanjian Volkenbond
Pasal 22, bahwa politik jajahan itu ialah suatu “mission sacree”, suatu “misi yang suci” dari bangsa-bangsa kulit putih
untuk bangsa-bangsa kulit berwarna! Tidak, Tuan-tuan Hakim yang terhormat,
pengelamunan yang demikian itu adalah pengelamunan yang kosong sama sekali! Pengelamunan
yang demikian itu adalah pengelamunan yang sama sekali terapung-apung di atas
awan, pengelamunan yang tidak berdiri di atas kenyataan sedikit jua pun adanya!
Tidak, sistem imperialisme tidak akan mendidik kita menjadi “matang”; sistem imperialisme
tidak akan membikin kita menjadi “rijp”;
sistem imperialisme tidak akan meng-“anugerahi” kita dengan kemerdekaan, tetapi
malahan sebaliknya akan bertambah-tambah mengokohkan penjajahan dengan pelbagai
tali-tali wadag dan tali-tali yang halus. Sebab kenyataan yang sebenarnya
ialah, bahwa imperialisme itu tidaklah buat “misi yang suci”, tidaklah buat
sesuatu “mission sacree.” Kenyataan
yang sebenarnya ialah, bahwa imperialisme itu adalah untuk
kepentingan-kepentingan imperialisme sendiri! Imperialisme adalah bertentangan
kepentingan dengan kita: bukan kepentingan imperialismelah me-“matang”-kan kita
atau me”rijp”-kan kita; bukan
kepentingan imperialismelah “menganugerahkan” kemerdekaan kepada kita.
Kepentingan imperialisme adalah meneruskan, mengekalkan, mengokohkan penjajahan
itu buat selama-lamanya!
O.. memang, imperialisme datangnya ialah
dari bangsa-bangsa yang lebih pandai dari kita; imperialisme datangnya ialah
dari negeri-negeri yang mempunyai kebudayaan lebih modern dari kita; imperialisme
datangnya ialah dari dunia yang lebih tinggi teknik dan ilmu pikirannya dari
kita, imperialisme datangnya ialah dari kalangan yang lebih pandai menjalankan
“struggle for life” dari kita. Kita
mengakui hal ini semua. Tetapi kita tidak mau mengakui, bahwa sistem
imperialisme itu, karena itu, mendidik kita ke arah ke”matang”-an! Karl
Kautsky, ahli teori Demokrasi Sosial yang termashur itu, di dalam bukunya “Sozialismus und Kolonial-politik” bab
III, menulis:
“Tetapi pemerasan kapitalisme itu bukan
saja berdasar kepada kekerasan terang-terangan, kepada hak siapa yang lebih
kuat, juga bukan kepada perbedaan golongan-golongan, tapi kepada kemerdekaan
dalam pergaulan hidup dari individu, yang menjadi tidak-merdeka, oleh karena
pihak yang satu tidak mempunyai apa-apa sedang pihak yang lain memiliki semua
alat-alat produksi untuknya sendiri. Tetapi orang yang tidak punya apa-apa
dengan sendirinya kekurangan pula alat-alat peradaban, jadi juga kekurangan
peradaban. Maka peradaban ini kelihatannya hanya terbatas kepada kelas yang
berkuasa saja. Demikianlah kelihatannya seolah-olah buat yang kemudian ini,
kekuasaannya atas proletariat, adalah kekuasaan peradaban atas kebiadaban,
kekuasaan kaum intelektual yang terpilih atas rakyat banyak yang tidak
terpelajar, the great unwashed sebagai
orang Inggris menyebutnya. Dari kaum pemilik memegang keras pandangan yang
salah ini….. Bukan untuk keuntungan mereka, bukan untuk mendapat laba mereka
itu, menurut pandangan yang salah ini, memeras kaum proletar itu, mereka hanya memerintahi kaum proletar untuk kepentingan umum dari masyarakat. Di dalam
lingkungan bangsa sendiri kesusilaan seperti ini berarti membenarkan hak yang
lebih tinggi dari orang yang punya terhadap orang yang tidak punya. Terhadap bangsa-bangsa
lain kesusilaan ini….. dalam prakteknya menyatakan tidak lain dari paham, bahwa
bangsa-bangsa kapitalistis berhak menguasai seluruh dunia manusia!”
Tuan-tuan Hakim yang terhormat, itulah
dasar semua omongan tentang “semboyan perwalian” dari sistem imperialisme atas
kami, bangsa yang “sekarang bodoh”, dasar semua omongan tentang pendidikan dari
“tidak matang” dijadikan “matang”. Tidak, tidak, —perwalian itu tidak ada,
didikan itu omong kosong belaka, –didikan itu “mere phrase”. Kalau bangsa Indonesia ingin mencapai “kekuasaan
politik, yakni ingin merdeka, kalau bangsa kami itu ingin menjadi tuan di dalam
rumah sendiri, maka ia harus mendidik diri sendiri, menjalankan perwalian atas
diri sendiri berusaha dengan kebisaan dan tenaga sendiri! Dari sistem imperialisme
ia tidak mendapat pertolongan; dari sistem imperialisme ia malahan hanya akan
mendapat rintangan! Sudah semestinya kaum imperialisme itu merintangi-rintangi
tiap-tiap usaha kami ke arah kedewasaan. Sudah semestinya kami dialang-alanginya
di dalam kami punya perwalian atas diri sendiri, dimaki-maki, dimintakan
hukuman, dimintakan pembuangan, dimintakan tiang penggantungan sebagai dulu Nieuws van den Dag memintakannya. Oleh
karena itulah, Tuan-tuan hampir saban minggu, saban hari membaca cacian dan
makian dari pihak AID de Preangerbode,
atau Java Bode atau De Locomotief, atau Soerabajaasch Handelsblad kepada alamat kami, membaca hasutan-hasutan
yang sampai mencoba mempengaruhi keadilan putusan Tuan-tuan di dalam proses
ini!
Ah, Tuan-tuan Hakim, itu begitu logis,
itu begitu vanzelf-sprekend, itu
memang semustinya: Tuan-tuan mengetahui, bahwa AID de Preangerbode adalah surat kabar kaum karet, kaum kina, kaum
teh di seluruh Priangan; Tuan-tuan mengetahui, bahwa Soerabajaasch Handelsblad adalah surat kabar kaum gula; Tuan-tuan mengetahui
bahwa Nieuws van den Dag adalah surat
kabar kaum gula; Tuan-tuan mengetahui bahwa Nieuws
van den Dag adalah surat kabar kaum dagang di Kali Besar; Tuan-tuan
mengetahui bahwa semua surat kabar yang reaksioner itu adalah surat kabar kaum
imperialisme yang kami musuhi itu, bahwa jeritan-jeritan yang mencaci maki kaum
pergerakan itu ialah jeritan orang-orang yang takut akan kebakaran gedung
hartanya, takut terancam dividennya, takut
terancam keselamatan perusahaannya yang menghasilkan kekayaan berjuta-juta itu!
Tuan-tuan mengetahui hal itu semuanya! Dan oleh karenanya, tidak khawatirlah
kami akan apa yang dituliskan oleh Mr. Hitter dalam buku “Drukpersvrijheid” serie pro
en contra, tentang:
“Kemungkinan, bahwa kekuasaan hakim kena
pengaruh oleh pendapat umum, adalah suatu kemungkinan yang berbahaya”, dan
percayalah kami, bahwa Tuan-tuan akan menjalankan keadilan dengan tidak kena
pengaruh hasutan-hasutan surat-surat kabar yang benci kepada pergerakan itu
tadi.
Ah, Tuan-tuan Hakim, kami sudah biasa
lagi akan makian-makian yang memang sudah logis itu. Kami tak heran lagi
tentang itu; –kepentingan mereka terancam oleh usaha kami, mereka tentunya menjadi
geger!
Prof. Snouck Hurgronje menulis:
“Kaum majikan telah mengadakan
organisasi yang kuat dan mendapatkan jaminan bantuan dari orang-orang yang
licin lidahnya dan tajam penanya, untuk dengan jalan propaganda yang luas, bukan
saja menghilangkan segala keragu-raguan terhadap berkah-berkah (yakni berkah-berkah kapital partikelir),
tapi juga untuk memerangi dengan hebatnya orang-orang yang ragu-ragu itu. Sekalian
surat kabar Eropa di Hindia sekarang berdiri di belakang mereka, juga
koran-koran yang dulu dengan senang hati membuka kolom-kolomnya untuk ratapan
hati dari dunia Bumiputra. Tidak, keberanian adalah…. perlu, untuk melawan
pasukan-pasukan yang diperlengkapi dengan segala macam alat peperangan itu”.
Dan Tuan Lievegoed, bekas redaktur De Locomotief, seorang liberal yang
tulus hati, yang karena itu dikeluarkan dari De Locomotief, sudah dalam tahun 1925 menulis bahwa kegegeran kaum
imperialisme itu, adalah:
“suatu ekstremisme-kanan zonder cita-cita, yang menjalankan
politik duit secara membuta-tuli, dengan semboyan-semboyan yang memekakkan
telinga,” dan bahwa: “tidak ada golongan yang lebih merugikan kekuasaan
Hindia-Belanda di Indonesia dari golongan yang gembar-gembor ini, yang dengan
pura-pura menyokong pemerintah, memukul kanan-kiri untuk merebahkan segala yang
mengancam kepentingannya yang sempit”. (Locomotief,
5 November 1925).
Benar! Benar sekali. Tuan-tuan Hakim:
“pura-pura menyokong pemerintah”, “onder
het voorwendsel vangezagsschraging”, mereka minta kami dihukum, dibuang,
atau digantung, tetapi sebenarnya ialah oleh karena kantongnya dan dividennya terancam! Untuk keselamatan
kantong dan untuk keselamatan dividen
ini juga, mereka kalau perlu, tak segan pula melanggar kekuasaan pemerintah itu,
sebagai misalnya AID de Preangerbode
tak segan sebentar-sebentar melanggar kekuasaan itu, atau sebagai misalnya Nieuwsvan den Dag, yang dulu pernah
menghina Gubernur Jenderal de Graeff dengan penghinaan: “Pergilah, enyahlah,
Hindia butuh kepada orang-orang yang lebih keras!”
Kantongnya terancam! Tuan-tuan Hakim,
kantongnya terancam! —Untuk melindungi kantong ini, maka mereka mengabui mata
umum, —untuk menjaga kepentingan ini maka mereka mengadakan pers yang tiada
moral melainkan moral duit, tiada kesusilaan melainkan kesusilaan fulus! “Juga
negeri Belanda,” – begitulah Tuan Vleming, bekas kepala dinas akuntan pajak di
sini, berpidato,
‘Juga negeri Belanda masih tetap suatu
negeri yang diperintah secara kapitalistis, di mana kapital besar yang disusun
dalam organisasi yang kuat itu, dan tidak kurang-kurang pula kapital besar yang
mempunyai kepentingan-kepentingan di Indonesia, bukan saja mempunyai kekuasaan
ekonomi yang besar sekali, tetapi juga bisa menjalankan pengaruh yang hebat
atas pemerintah dengan segala alat-alat yang ada padanya. Dan alat-alat ini
bukan sedikit. Kapital besar ini berhubungan rapat dengan kapitalis-kapitalis
besar Inggris, Amerika, Belgia, Jerman, Prancis, dan lain-lain yang oleh adanya
apa yang disebut politik pintu terbuka, juga mempunyai kepentingan-kepentingannya
di Indonesia dan yang tergabung dengan kapitalis-kapitalis besar Belanda dalam
organisasi “Dewan Majikan untuk Hindia-Belanda, yang didirikan dalam tahun
1921. Dengan langsung atau tidak langsung dewan majikan ini mempunyai pers dan
dinas penerangan pers yang luas, sedang anggota-anggotanya yang berkepentingan
mempunyai pula hubungan dengan dua surat kabar yang terbit di luar negeri,
yakni “The New World” dan “Le Monde Nouveau”. Dengan kebohongan, penipuan,
perampasan makanan orang,– dan di mana perlu untuk kepentingannya dan jika bisa
mencapai maksudnya mereka bersedia berlaku lebih kejam lagi —maka kapital besar
yang tersusun dalam organisasi itu, melakukan perjuangan untuk kepentingannya
di tiap negeri, jadi juga di Indonesia, sekali-sekali mengubah haluan dimana
perlu.”
Lebih terang dari tuan Vleming itu tak
bisalah digambarkan asal-usul moral duit dan kesusilaan duit dari pers
imperialisme di Indonesia itu. Oleh karena itu, tak haruslah kita heran atau
marah atas kegegeran surat-surat kabar ala AID
de Preangerbode atau ala Soerabajaasch
Handelsblad itu. Biar mereka gembar-gembor, biar mereka berpikir ke kanan
dan ke kiri, biar mereka jengkelitan berdiri di atas kepalanya, —kami tak akan
ambil pusing, kami tak akan ambil mumet, kami akan bekerja terus! Tuan-tuan
Hakim yang terhormat, marilah kami mengulangi lagi: kekuasaan politik,
kemerdekaan, hanyalah bisa didatangkan oleh usaha rakyat Indonesia sendiri!
Kaum imperialisme sudah semestinya mengalang-alangi kami; dari sistem
imperialisme, yang hidupnya daripada penjajahan itu, kami tak harus mengharap sokongan
memberhentikan penjajahan itu. Nasib kami adalah didalam genggaman kami
sendiri; keselamatan kami adalah di dalam kemauan kami sendiri, di dalam tekad
kami sendiri, di dalam kebisaan kami sendiri, di dalam usaha kami sendiri.
Semboyan kami tidaklah “minta-minta”,
tidaklah “mengemis”, tidaklah “mendicancy”
sebagai Tilak mengatakannya, –tetapi semboyan kami haruslah “noncooperation”, lebih benar: “selfhelp”, “zelfver-werkelijking”, “selfreliance”!,
sebagai yang kami lambangkan dengan perlambang kepala banteng!
Siapa yang masih mengharap-harap
pertolongan dari sistem imperialisme, siapa yang masih percaya akan “anugerah”
yang nantiakan di-“anugerah”-kan olehnya, siapa yang masih menggugu akan
omongan “mission sacree”, siapa yang
masih mengarahkan muka ke Barat, ia adalah sama sekali buta akan kenyataan yang
sebenarnya, buta akan realiteit. Sebab
kenyataan yang sebenarnya ialah, sebagai tertulis di dalam keterangan asas
kami, bahwa negeri Belanda peri kehidupannya sangat tergantung kepada
penjajahan Indonesia. Kenyataan yang sebenarnya menyebabkan Mr. Dijkstra di
dalam “Indische Gids” 1914 menulis:
“Penduduk di dalam seratus dua ratus tahun ini tidak bisa mengharapkan dari
imperialisme kebudayaan kita, bahwa kekuasaan dan pengetahuan kita akan kita
pergunakan untuk memajukan peradaban dan kesehatan mereka.”
Kenyataan yang sebenarnya menyebabkan
Tuan Vleming berpidato:
“bagi kesejahteraan umum penduduk yang
hampir 7½ juta dari negeri kita yang kecil………. besar sekali faedahnya, bahwa
saban tahun mengalir ke negeri Belanda suatu saldo ekspor yang besar jumlahnya,
artinya suatu jumlah harga barang ekspor Hindia yang jauh lebih besar dari
jumlah harga impor, berupa dividen,
bunga, tantieme, gaji-gaji, pensiun,
gaji-perlop, dan lain-lain.
Kenyataan yang sebenarnya ialah, bahwa,
sebagai Prof. Moon menuliskan, kebesaran negeri Belanda sekarang ini adalah
oleh karena negeri Belanda itu mempunyai negeri jajahan Indonesia yang luas dan
banyak penduduk itu. Kenyataan yang sebenarnyalah menjadi sebab Dr. Sandberg
tempo hari geger membikin buku yang istimewa bernama: “Indie verloren, rampspoed geboren”, Indonesia merdeka, Belanda pun
bangkrut”, menjadi sebab Komisi untuk Pertahanan Hindia-Belanda menulis: “Juga
dipandang dari sudut ekonomi, lepasnya Hindia akan berarti bencana nasional
yang sehebat-hebatnya bagi negeri Belanda.”
Kenyataan yang sebenarnya adalah, bahwa
sudah zaman dulu pun menteri Baud sudah pernah berkata, “Indie is de kurk waarop Nederlanddrijft,” “Hindia adalah gabus di
atas mana negeri Belanda terapung-apung,” bahwa de Kat Angelino di dalam
bukunya “Staatkundingbeleid en
bestuurrszorg in Ned.-Indie (buku standar yang penerbitannya mendapat
sokongan dari Kementerian Daerah Jajahan, Tuan-tuan Hakim), dengan terus terang
menulis:
“Dunia Barat yang penuh industri itu,
tidak bisa hidup dengan tiada hasil-hasil daerah-daerah pertanian beriklim
panas dan setengah panas, yakni daerah-daerah yang terutama menjadikan dunia
jajahan. Masyarakatnya terikat teguh oleh banyak tali-temali ekonomi kepada
daerah-daerah itu dan masa depannya.”
Tidakkah ini berarti, bahwa dunia Barat
itu seperti bunuh diri, kalau dengan kemauan sendiri memberi kemerdekaan kepada
dunia Timur? Bahwa sesungguhnya: siapa yang dengan keadaan yang semacam itu
masih berani mengharapkan pertolongan dari dunia Barat di dalam usahanya
memerdekakan negeri dan bangsanya, –ia adalah menutupkan mata. PNI tidak mau
menutupkan mata, PNI tidak mau mimpi, PNI tidak mau ngelamun, —PNI bangun sebangun-bangunnya!
Banyak orang yang mengatakan, bahwa politik PNI yang bersendi kepada “percaya
diri sendiri itu”, adalah disebabkan karena pemerintah tidak memenuhi ia punya
“janji-janji bulan November” tahun 1918, yang menyanggupkan perluasan hak-hak
bagi rakyat Indonesia. Sangkaan yang demikian ini adalah salah: Asas PNI “percaya
pada diri sendiri” bukanlah disebabkan karena tidak dipenuhi janji-janji
November itu; asas PNI itu, sebagai tadi kami terangkan, adalah keluar dari
analisa keadaan jajahan di dalam hakikatnya, –yakni dari analisa hakikat
imperialisme sendiri. Asas “percaya pada diri sendiri” itu, tidaklah buat
Indonesia saja, tetapi sebenarnya dipakai untuk perjuangan tiap-tiap rakyat
jajahan yang mengejar kemerdekaan. Ia boleh dipakai oleh bangsa India, bangsa Indocina,
bangsa Filipina, bangsa Korea, bangsa Mesir, –pendek kata oleh tiap-tiap bangsa
yang berkeluh kesah memikul beban imperialisme asing. Asas kami tidaklah
terikat kepada batas-batas negeri kami sendiri saja, –asas kami adalah “supranational”, oleh karena hakikatnya
imperialisme adalah supranasional pula.
Imperialisme di dalam hakikatnya di
mana-mana adalah sama; dimana-mana imperialisme adalah: nafsu menguasai dan mempengaruhi
negeri orang lain untuk keuntungan sendiri; dimana-mana imperialisme adalah
bertentangan kepentingan dengan rakyat yang didudukinya! Di mana-mana sistem imperialisme
tidak akan me-“matang”-kan dan memerdekakan jajahannya dengan kemauan sendiri!
Tidak dipenuhinya janji-janji November
itu tidaklah membikin keingkaran kami. Politik Gubernur Jenderal Fock yang
mencederai kata kehormatan yang oleh pemerintah van Limburg Stirum disanggupi
itu. Politik Gubernur Jenderal Fock yang malahan memberatkan nasib kami dengan
penghematan, dengan istilah kebanyakan pegawai, dengan cabutan tunjangan
kemahalan, dengan tambahan pajak, dengan surat edaran pembungkeman, dengan larangan
berapat, dengan pasal 161 bis dan sebagainya; politik Gubernur Jenderal Fock
yang sama sekali suatu penghinaan atas semangat janji-janji bulan November itu,
politik yang demikian itu tidak menjadi asal kami punya asas, tetapi hanya
menambah teguhnya kami punya kepercayaan di dalam kebenaran kami punya asas itu
saja, menambah teguhnya kami punya kepercayaan terhadap kebenaran kami punya
analisa: yakni analisa, bahwa kaum imperialisme yang sesudah perang besar itu
malahan makin butuh akan Kekayaan Indonesia, harus menjalankan pengaruhnya atas
pemerintahan! Janji-janji bulan November yang toh diberikan juga, tidak karena
sekonyong-konyong kami dipandang lebih “matang” sedikit, tetapi hanya karena
keadaan politik sangat mengkhawatirkan, yakni karena pada masa itu perhubungan Belanda-Indonesia
menjadi sangat tipis sekali, pergerakan rakyat makin membanjir, sedang keadaan
di negeri Belanda sendiri sangat berbahaya, –janji-janji bulan November yang
oleh karenanya, toh sudah mempunyai sifat “janji-janji karena takut” alias “angstbeloften” itu, janji-janji November
itu, sesudah bahaya hilang, oleh kaum imperialisme tidak boleh tidak harus
dipaksakan mencederainya!
“Ketika itu adalah memuncaknya
kejadian-kejadian internasional, tatkala pecahan-pecahan singgasana-singgasana
yang dihancurkan mendesing-desing melintasi kuping-kuping rakyat Belanda dan guntur
revolusi-revolusi di luar negeri menggemuruh di atas padang-padangnya,”
-begitulah Troelstra menggambarkan keadaan tatkala janji-janji November itu
perlu diucapkan, tetapi, sesudah bahaya hilang, tatkala janji-janji November
itu perlu dicabut lagi, maka segeralah kita mengetahui “rahasia” sebabnya,
yakni “rahasia” yang dibukakan oleh Prof, Treub di dalam rapat Dewan Majikan
tanggal 21 Juni 1923, –yang bunyinya:
“Salah satu kesan yang sudah ada pada
saya, lama sebelum saya datang ke Hindia, bertambah keras waktu saya berada di
sana, yakni bahwa disebabkan karena peperangan, Hindia menjadi jauh lebih
penting lagi buat negeri Belanda dari dulu!”
“Rahasia!”… tetapi! “rahasia” yang buat
kami kaum PNI bukan “rahasia” lagi, – “rahasia” yang gemerincing dengan
ringgit, “rahasia” yang berbau gula, “rahasia” yang berbau karet, “rahasia”, yang
berbau minyak, berbau teh berbau tembakau dan lain-lain. Sedang di zaman
perang, kelebihan ekspor “hanya” kurang lebih f 300.000.000 setahun, sedang di
zaman perang itu persentase kelebihan ekspor “hanya” rata-rata 40% dari ekspor
seluruhnya, maka di dalam tahun 1919 menjadilah ia lebih dari f 1.400.000.000, menjadilah
ia lebih dari 70% dari jumlah ekspor! Oleh sebab itu, ini “rahasia” adalah
“rahasia” yang tidak mengherankan kami lagi, janji-janji bulan November harus dicederainya,
harus digantinya dengan politik yang sangat reaksioner! Di dalam buku peringatan
lima belas tahun berdirinya Indonesische
Vereeniging, halaman 25-26, kami baca:
“Dan tatkala sesudah damai, oleh kerja
pembinasaan besar-besaran itu, keadaan ekonomi menjadi kacau-balau… maka Eropa
menjadi berlipat ganda memerlukan ‘daerah-daerah terbuka’ di Timur, dimana
ibunda alam dengan sabarnya yang tak terhingga memberikan kekayaan-kekayaannya.
Maka perlulah suatu politik negara yang tujuannya ialah pelaksanaan kekuasaan
yang seluas-luasnya, sebab jika tiada demikian, tidak dapat dilakukan pengedukan
sebanyak-banyaknya. Politik Inggris yang reaksioner segera sesudah perang
selesai terhadap India; adalah suatu akibat yang tidak bisa dielakkan dari hal
ini. Tapi juga, Amerika, yang terutama masih bisa hidup dari kekayaan sendiri,
melepas politik isolemen-nya yang terpuji itu dan bertindak sebagai kekuasaan imperialis
di Timur. Jika tidak, apakah sebabnya keterangan-keterangan pemerintah berbeda
satu sama lain…. yakni bahwa Filipina mula-mula dianggap ‘matang’, kemudian
pula tidak ‘matang’ untuk kemerdekaan, yang dijanjikan dalam jones act tahun1916? Negeri Belanda,
yang karena sikap netralnya di masa perang, terpelihara dari
kerusakan-kerusakan harta benda, tetapi mengalami juga sedikit-banyaknya krisis
di benua Eropa, berusahalah sekuat-kuatnya untuk menggerakkan kembali tali-tali
ekonomi dengan Hinda-Belanda yang oleh peperangan telah menjadi longgar”……………..
Dan Gubernur Jenderal Fock dikirimlah
kemari, janji-janji November musnahlah menjadi kabut atau halimun di dalam
ingatan belaka, –lebih teguh lagilah oleh karenanya keyakinan kami akan azas “selfhelp” dan “Selfreliance” itu, lebih insyaf lagilah kami, bahwa kemerdekaan
adalah hasil perjuangan kami sendiri.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar