Sel Nomor 5 Penjara Banceuy, Bandung. |
Merupakan bagian
kedua dari 6
Balapan
cari jajahan di zaman imperialisme-modern
Dan tatkala kapitalisme-modern beranak
imperialisme-modern, maka kita menjadi saksi atas “balapan cari jajahan” yang
seolah-olah tiada berhingga! Kini orang Inggris sudah bisa mengusir bangsa
Prancis dan Portugis dan Belanda dari India. Tiada musuh besar-besar lagi yang
menghalang-halangi menjalarnya imperialismenya, tiada hingganya lagi bendera
Inggris ditanam di mana-mana, tidak puas-puasnya kehausan kapitalisme Inggris mencari
dan meminum sumber-sumber kekayaan di luar pagar dari “the Empire” sendiri, tiada
suatu benua yang tak mendengar dengungnya pekik perjuangan imperialisme
Inggris:
“Tatkala Inggris demi sabda Gusti, Menjelma
dari samudera biru, Itu memanglah haknya negeri, Dan bidadari menyanyikan lagu:
Perintahlah, Inggris, Perintahlah ombak! Bangsa Inggris tak kan menjadi budak!”
India takluk, Singapur dan Malaka
diduduki, Tiongkok direbut haknya menetapkan beya dan hak-hak exterritorial,
dan dibikin “daerah pengaruh” dengan jalan keras dan jalan “halus”, Mesir
“dilindungi”, Mesopotamia “dimandati”, –Hongkong, kepulauan Fiji, India Barat,
kepulauan Falkland, Gibraltar, Malta, Cyprus, Afrika. . . Imperialisme Inggris
seolah-olah tidak puas-puasnya! Dan negeri-negeri lain? Negeri-negeri lain pun
ikut dalam balapan ini: Prancis menjejakkan kakinya di Afrika Utara, di
Indo-China, di Martinique, di Guadeloupe, di Reunion, di Guyana, di Somali, di Nieuw
Caledonia, –Amerika merebut Cuba, Portoriko, Filipina, Hawaii, dll., –Jerman
melancar-lancarkan tangan imperialisme ke pulau Marshall, ke Afrika
Barat-Timur, ke Togo, ke Kamerun, kepulau-pulau Karolina, ke Kiautsjau, ke
kepulauan Mariana, geerperkara
Marokko dll., –Italia sibuk memperusahakan daerah pendudukannya Assab dekat
selat Bab El Mandeb, mengatur kekuasaannya di Afrika Utara, mengambil Kossala,
mencoba menaklukkan Abessinia, mengaut-ngaut di Tripoli dll. pula. Bahwasanya,
balapan mencari jajahan yang ktia alami dalam zaman kapitalisme-modern itu,
yang mengaut-ngaut ke kiri dan ke kanan dan memasang mulut serta
mengulur-ngulur kukunya sebagai Maha-Kala yang angkara murka,–balapan mencari
jajahan ini tidak ada bandingannya di seluruh riwayat manusia.
Jepang
Dan di Asia sendiripun,
imperialisme-modern itu membuktikan asal-turunannya: asal-turunan dari
kehausan-kehausan ekonomi, anak dari kapitalisme, yang di dalam lingkungan
rumah tangga sendiri kekurangan lapang usaha. Di atas sudah kami katakan, bahwa
imperialisme itu bukan tabeat bangsa kulit putih saja, bukan “kejahatan hati”
kulit putih saja: –Bukan saja imperialisme-modern, tapi juga imperialisme-tua
kita dapati pada bangsa manapun juga. Kita ingat akan imperialisme bangsa
Tartar yang di dalam abad ke-13 dan ke-14 sebagai “angin simun” menaklukkan
sebagian besar benua Asia; kita ingat akan imperialisme bangsa-bangsa Aria,
Machmud Gazni dan Barber yang memasuki negeri India; kita ingat akan imperialisme
Sriwijaya yang menaklukkan pulau-pulau sekelilingnya; kita ingat akan
imperialisme Majapahit, yang menguasai hampir semua kepulauan Indonesia beserta
Malaka. Tetapi imperialisme-modern Asia baru kita lihat pada negeri Jepang tempo
akhir-akhir ini; imperialisme-modern di Asia adalah suatu “barang baru”, suatu
unicum, suatu nieuwigheid; memang hanya negeri Jepang saja dari negeri-negeri
Asia yang sudah masuk kedalam kapitalisme-modern itu. Kapitalisme-modern Jepang
yang butuh akan minyak tanah dan arang batu, kapitalisme-modern Jepang yang
juga membangkitkan tambahnya penduduk yang deras sekali sehingga melahirkan
nafsu mencari negeri-negeri emigrasi, –kapitalisme-modern Jepang itu membikin
rakyat Jepang lupa akan kesatriaannya dan menanamkan kuku-kuku cengkramannya di
semenanjung Sachlin dan Korea dan Mancuria. Nama “kampiunnya bangsa-bangsa Asia
yang diperbudak”, nama itu adalah suatu barang bohong, suatu barang dusta,
suatu impian kosong bagi nasionalis-nasionalis kolot, yang mengira bahwa
Jepanglah yang akan membentak imperialisme Barat dengan dengungan suara:
“Berhenti!”—Bukan membentak “Berhenti!”, tetapi dia sendirilah ikut menjadi
belorong imperialisme yang angkara murka! Dia sendirilah yang ikut menjadi
hantu yang mengancam keselamatan negeri Tiongkok, dia sendirilah yang nanti di
dalam pergaulan mahahebat dengan belorong-belorong imperialisme Amerika dan Inggris
ikut membahayakan keamanan dan keselamatan negeri-negeri sekeliling Lautan
Teduh, dia sendirilah salah satu belorong yang nanti akan perang tanding di
dalam perang Pasifik!
Wujud
balapan sekarang
“Wujud cari jajahan” di dalam bagian
kedua dari abad ke-19, mula-mula adalah suatu balapan antara negeri-negeri
Eropa saja. Tetapi sesudah di dalam balapan ini negeri Inggris menjadi yang
paling depan, susudah kapitaisme Inggris di dalam imperialismenya bisa membelakangkan
sekalian musuh-musuhnya, sesudah John Bull boleh berjanji “Perintahlah,
Inggris, perintahlah ombak”, sesudah itu masuklah dua kampiun baru di dalam
gelanggang imperialisme dan menjadilah balapan ini di dalam abad ke-20 suatu
balapan baru antara Inggris, Amerika dan Jepang, suatu balapan baru untuk mengejar
kekuasaan di atas negeri mahakaya yang sampai sekarang belum bisa “terbuka”
seluas-luasnya itu, yakni negeri Tiongkok! Perebutan kekuasaan di Tiongkok
inilah kini menjadi nyawa persaingan antara belorong-belorong imperialisme yang
tiga itu, perebutan kekuasaan di Tiongkok kini menjadi pokok politik luar negeri
Jepang, Amerika dan Inggris. Siapa kuasa di Tiongkok, dialah akan kuasa pula
seluruh daerah Pasifik. Siapa yang menggenggam rumah tangga Tiongkok, dialah
yang akan menggenggam pula segala urusan rumah tangga seluruh dunia Timur, baik
tentang ekonomi maupun tentang militer. Oleh karena itu, Tuan-tuan Hakim,
negeri Tiongkok itu akan diperebutkan mati-matian oleh belorong-belorong tadi,
diperjuangkan mati-matian di peperangan Lautan Teduh! Tentang propaganda kami
berhubung dengan bahaya perang Lautan Teduh itu, akan kami uraikan lebih lebar
di lain tempat.
Imperialisme-tua
dalam hakekatnya tak beda
Begitulah artinya imperialisme-modern.
Dan artinya imperialisme-tua?
Imperialisme-tua, sebagai yang kita
alami dalam abad-abad sebelum bagian kedua abad ke-19, imperialisme-tua dalam
hakekatnya adalah sama dengan imperialisme-modern: nafsu, keinginan,
cita-usaha, kecenderungan, sistem untuk menguasai atau mempengaruhi rumah
tangga negeri lain atau bangsa lain, nafsu untuk melancarkan tangan keluar
pagar negeri sendiri. Sifatnya lain, azas-azasnya lain, penglahirannya lain, –tapi
hakekatnya sama! Di dalam abad-abad yang pertama atau di dalam abad ke-19,
didalam abad ke-16 atau ke-20,–kedua-duanya adalah imperialisme! Imperialisme,
–begitulah kami katakan tadi–, terdapat pada semua zaman! Ya, sebagai Prof.
Jos. Schumpeter katakan:
“sama tuanya dengan dunia,–nafsu yang
tiada berhingga dari suatu negara untuk meluaskan daerahnya dengan kekerasan keluar
batas-batasnya menurut alam”.
Imperialisme mana juga yang kita ambil,
imperialisme-tua atau imperialisme-modern,–bagaimana juga kita bulak-balikkan,
darimana juga kita pandang,–imperialisme tetap suatu faham, suatu nafsu,
sesuatu sistem,–dan bukan amtenar
B.B., bukan pemerintahan, bukan gezag,
bukan bangsa Belanda, bukan bangsa asing manapun juga,–pendek kata bukan badan,
bukan manusia, bukan benda atau materi!
Azas
imperialisme itu urusan rezeki
Nafsu, kecenderungan, keinginan atau
sistem ini sejak zaman purbakala sudah menimbulkan politik luar negeri,
menimbulkan perseteruan dengan negeri lain, menimbulkan perlengkapan senjata darat
dan senjata armada, menimbulkan perampasan-perampasan negeri asing, menimbulkan
jajahan-jajahan yang mengambil rezekinya,–dalam di dalam zaman modern ia
menimbulkan “Bezugländer”, yakni
tempat mengambil bekal industri, menimbulkan daerah-daerah pasaran bagi
hasil-hasil industri itu, menimbulkan lapangan bergerak bagi modal yang
tertimbun-timbun…, menimbulkan “daerah pengaruh”, menimbulkan “protektorat-protektorat”, menimbulkan
“negeri-negeri mandat” dan “tanah jajahan” dan bermacam-macam “lapangan usaha”
yang lain, sehingga imperialisme adalah juga bahaya bagi negeri-negeri yang
merdeka. Baik “daerah-daerah pengaruh”, maupun “negeri-negeri mandat”, baik
“protektorat” maupun “tanah jajahan”,–semua terjadinya begitu, sebagai ternyata
pula dari dalil-dalil kami tadi, untuk mencari rezeki atau untuk menjaga penarikan
rezeki, semuanya ialah hasil keharusan-keharusan ekonomi. Partai Nasional
Indonesia menolak semua teori yang mengatakan bahwa asal-asal penjajahan dalam
hakekatnya bukan pencarian rezeki, menolak semua teori yang mengajarkan, bahwa sebab-sebab
rakyat Eropa dan Amerika mengembara di seluruh dunia dan mengadakan tanah-tanah
jajahan di mana-mana itu, ialah oleh keinginan mencari kemashuran, atau oleh
keinginan kepada segala yang asing, atau oleh keinginan menyebarkan kemajuan
dan kesopanan. Teori Gustav Klemm yang mengajarkan, bahwa menyebarnya “bangsa
menang” ke mana-mana itu selain oleh nafsumencari kekayaan ialah didorong pula
oleh “nafsu mencarikemashuran”, “nafsu mencari keakuran”, “nafsu melihat negeri
asing”, “nafsu mengembara merdeka”, atau teori Prof. Thomas Moon yang
mengatakan, bahwa imperialisme itu selain berazas ekonomi juga adalah berazas
nasionalisme dll., sebagai diutarakan dalam bukunya “Imperialism and World-politics”,–teori-teori itu buat sebagian
besar kami tolak sama sekali. Tidak! Bagi Partai Nasional Indonesia penjajahan
itu asal-asalnya yang dalam dan azasi, ialah nafsu mencari benda, nafsu mencari
rezeki belaka.
“Asal penjajahan yang pertama-tama
hampir selalu ialah tambah sempitnya keadaan penghidupan di negeri sendiri”, begitu
Prof. Dietrich Schäfer menulis, dan Dernburg, Kolonial Direktor negeri Jerman
sebelum perang, dengan terus terang mengakui pula:
“Penjajahan ialah usaha mengolah tanah,
mengolah harta-harta di dalam tanah, mengolah tanam-tanaman, mengolah
hewan-hewan dan terutama mengolah penduduk, untuk keuntungan keperluan ekonomi dari
bangsa yang menjajah”…..
O… memang, Tuan-tuan Hakim, penjajahan
membawa pengetahuan, penjajahan membawa kemajuan, penjajahan mebawa kesopanan. Tetapi
yang sedalam-dalamnya ialah urusan rezeki, atau sebagai Dr. Abraham Kuyper
menulis dalam bukunya “Antirevolutionaire
staatkunde”:–“suatu urusan perdagangan”, “een mercantiele betrekking”!
“Jajahan-jajahan dengan tiada
pembentukan keluarga sendiri yang menetap, memberi kesempatan menyuburkan
penghasilan negeri bumi putera, menggali tambang-tambang, menjualkan barang
kita di situ dan sebaliknya mencarikan pasar di negeri-negeri kita buat
barang-barang dari tanah jajahan itu, tapi perhubungan adalah tetap perhubungan
ekonomi. Yang dipentingkan ialah pembukaan tambang-tambang, pembikinan barang-barang,
perhubungan pasar dan perdagangan seberang lautan, tapi bahkan dalam hal bahasa
dan adat istiadat, dan terutama dalam hal agama, bangsa yang menjajah itu bisa
mengasingkan diri sama sekali dari rakyat yang dijajahnya. Perhubungan adalah
perhubungan perdagangan dan tetap demikian sifatnya, yang mengayakan negeri
yang menjajah dan tidak jarang membikin miskin negeri yang dijajah”.
Dan Brailsford di dalam bukunya yang
paling baru berkata:
“Imperialisme itu telah memahatkan
sejarahnya yang indah tentang keberanian dan kehebatannya dalam hal organisasi
di dalam kulit bumi sendiri, dari Siberia yang ditutupi es sampai ke
gurun-gurun pasir di Afrika-Selatan.
Tapi hadiah-hadiah pendidikan,
rangsang-rangsang kecendikiaan dan pemerintahan yang lebih berperikemanusiaan
yang turut dibawanya, senantiasa hanyalah barang-barang sisa dari kegiatannya yang
angkara murka. Menganugerahkan hadian-hadiah ini, jarang-jarang, barangkali
juga tidak pernah, menjadi alasan pioner-pionernya yang kuat-kuat itu. Kalaupun
mereka itu mempunyai sesuatu alasan, yang agak luhur dari keuntungan kebendaan,
maka alasan itu ialah untuk kemuliaan dan kebesaran negeri induk. Tapi nafsu
yang mendorong mereka pergi ke “tempat-tempat yang bermandikan cahaya matahari”
itu, biasanya ialah keinginan untuk memonopoli suatu pasar bahan-bahan mentah,
atau perhitungan yang lebih rendah lagi, bahwa di situ banyak terdapat tenaga
buruh yang murah dan tidak tersusun dalam organisasi, sedia untuk dipergunakan.
Kalau bukan semua ini yang menjadi alasan, maka yang menjadi alasan ialah
perhitungan yang bersumber kepada saling pengaruh antara kepentingan kebendaan
dan keadaan-keadaan ilmu bumi. . . . Kesopanan menghasilkan suatu keenakan, yang
jelas sekali mengabdi kepada maksud-maksud kita sendiri”. Tidakkah karena itu,
benar sekali kalau Prof. Anton Menger menulis:
“Tujuan penjajahan yang sesungguhnya
iala memeras keuntungan dari suatu bangsa, yang lebih rendah tingkat
kemajuannya; di masa orang rajin beramal ibadat tujuan ini dibungkus dengan
perkataan untuk “Agama Kristen” dan di zaman kemajuan dengan perkataan untuk
“kesopanan” orang Inlander”, atau kalau Friedrich Engels bersenda gurau: “Bangsa
Inggris selamanya mengatakan Agama Kristen, tapi maksudnya ialah kapas”?
Nafsu akan rezeki. Tuan-tuan Hakim,
nafsu akan rezekilah yang menjadi pendorong Colombus menempuh samudera Atlantik
yang luas itu; nafsu akan rezekilah yang menyuruh Bartholomeus Diaz dan Vasco
da Gama menentang hebatnya gelombang samudera Hindia; pencarian rezekilah yang
menjadi “noordster” dan “kompas”nya
Admiraal Drake, Magelhaens, Heemskerck atau Cornelis de Houtman. Nafsu akan
rezekilah yang menjadi nyawanya kompeni di dalam abad ke-17 dan ke-18; nafsu akan
rezekilah pula yang menjadi sendi-sendinya balapan cari jajahan dalam abad
ke-19, yakni sesudah kapitalisme-modern menjelma di Eropa dan Amerika.
Lapangan
imperialisme-tua
Sebelum zaman kapitalisme-modern itu,
bahasa Inggris sudah menguasai sebagian dari Amerika, sebagian dari India,
sebagian dari Australia dan lain-lain, yakni sudah menaruh sendi-sendi “British Empire” nantinya, –sudahlah
bangsa Prancis menguasai sebagian pula dari Amerika dan sebagian juga dari
India,–sudahlah bangsa Portugis mengibarkan benderanya di Amerika Selatan dan
dibeberapa tempat di seluruh Asia,–sudahlah bangsa Spanyol menguasai Amerika
Tengah dan kepulauan Filipina,–sudahlah bangsa Belanda menduduki Afrika
Selatan, beberapa bagian kepulauan Indonesia, terutama Maluku, Jawa, Sulawesi
Selatan dan Sumatera. Sudahlah di zaman itu kita melihat hebatnya tenaga berusaha
dari nafsu mencari rezeki tadi, yakni tenaga berbuat yang kuat dari
imperialisme-tua!
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar