Bagian ketiga
dari 6
Imperialisme
di Indonesia
Zaman Kompeni
Tuan-tuan Hakim yang terhormat,
begitulah gambar imperialisme di Asia di luar Indonesia. Dan keadaan di
Indonesia? Ah, Tuan-tuan Hakim, kita mengetahuinya semua. Kita mengetahui
bagaimana di dalam abad-abad ke-17 dan ke-18 Oos-Indische Compagnie (VOC), terdorong oleh persaingan hebat
dengan bangsa-bangsa Inggris, Portugis dan Spanyol, menanam sistem monopolinya.
Kita mengetahui, bagaimana di Kepulauan Maluku ribuan jiwa manusia dibinasakan,
kerajaan-kerajaan dihancurkan, jutaan tanaman-tanaman cengkeh dan pala saban
tahun dibasmi (hongi tochten). Kita
mengetahui, bagaimana, untuk menjaga monopoli di kepulauan Maluku itu, kerajaan
Makassar ditaklukkan, perdagangannya dipadamkan, sehingga penduduk Makassar itu
ratusan, ribuan yang kehilangan pencarian-rezekinya dan terpaksa menjadi bajak
laut yang merampok kemana-mana. Kita mengetahui, bagaimana di tanah Jawa dengan
politik “devide et empera”, yakni
dengan politik “memecah belah”, seperti dikatakan Prof. Veth atau Clive Day
atau Raffles, kerajaan-kerajaannya satu persatu diperhamba, ekonomi rakyat oleh
sistem monopoli, contingenten dan leverantien sama sekali disempitkan, ya
sama sekali didesak dan dipadamkan. Kita mengetahui…. tetapi cukup Tuan-tuan
Hakim yang terhormat!
Caranya Oost-Indische Compagnie menanamkan monopolinya, caranya Oost-Indische Compagnie mengekal
monopolinya, caranya Oost-Indische
Compagnie memperteguh monopolinya, tidak asing lagi bagi siapa yang suka
membaca.
Tetapi, maafkanlah Tuan-tuan Hakim,
bahwa kami di sini mau bercerita sedikit lebar tentang zaman Oost-Indische Compagnie itu dan juga
tentang zaman cultuurstelsel, yakni
oleh karena bekas-bekas VOC dan cultuurstelsel
itu sampai kini hari masih tampak didalam susunan pergaulan hidup Indonesia,
sehingga sifat-sifat PNI terpengaruh pula oleh karenanya.
Maafkanlah jika terhubung dengan itu
kami sependapat dengan Prof. Snouck Hurgronje yang menulis:
“Orang bisa berkata, bahwa tidak ada
gunanya membongkar-bongkar dosa lama yang bukan salahnya keturunannya sekarang,
tapi….. akibat dua abad pemerintahan yang jelek itu atas sikap jiwa rakyat
bumiputra terhadap dunia barat, sama sekali tidak boleh diabaikan dalam menyelidiki
soal-soal itu”.
Oleh karena itu, sekali lagi, maafkanlah
berhubung dengan cultuurstelsel itu,
kami mengulangi pendapat-pendapat satu dua kaum intelektual Eropa yang ternama:
“Kompeni itu mengusai raja-raja dan kaum
bangsawan dan membebaninya dengan kewajiban-kewajiban, yang oleh mereka itu
dijatuhkannya lagi di atas pundak rakyat. Kompeni itu lebih rendah serakah
daripada kejam, tetapi akibatnya adalah sama: Penindasan!”, begitulah Prof.
Colenbrander menulis, dan Prof. Veth berkata: “Kekejaman tidak menjadi sifat
jeleknya yang biasa tetapi…… keserakahannya yang picik barangkali lebih banyak merusak
daripada kekejamannya. Bahkan kebuasan Nero hanya mencelakakan sedikit orang
yang berdekatan dengan dia, kesejahteraan propinsi-propinsi tidak
diganggu-gugatnya; tapi suatu pemerintahan yang jelek peraturannya, adalah
suatu bencana umum.
Jadi, tidak selamanya “kejam”, tidak
selamanya “wreed”? Tetapi toh sering
kejam dan buas. Marilah kita bacakan lagi Colenbrander tentang penaman monopoli
di Ambon dan Banda:
“Coen (Jan Pieterszoon Coen) didalam seluruh perkara ini, yang menodai
namanya, telah bertindak dengan kelemahan yang meluarbatas kemanusiaan,
kekejaman yang kelewatan bahkan dalam mata hamba-hamba Kompeni sendiri…….
Sampai-sampai Kuasa-kuasa Kompeni pun
sama terkejut membaca cerita-cerita hukuman mati yang diceritakan dengan tenang
oleh Coen di dalam surat-suratnya…. ”Itu benar membikin takut, tapi tidak menerbitkan
kasih”……. demikianlah kata mereka sendiri, yang untuk keperluan labanya, suatu
bangsa yang makmur……. hampir tumpas sama sekali.
Dan Prof. Kielstra menceritakan:
“Monopoli dagang itu harus diperjuangkan
oleh orang-orang kita dan apabila sudah didapat, maka dengan tidak pikir
panjang, dipergunakan tiap cara untuk mempertahankannya.
Kepentingan-kepentingan penduduk sama sekali tidak diperdulikan oleh kuasa-kuasa
kita; kaum Islam dan kaum heiden dalam
mata orang Kristen kurang harganya; menurut faham-faham zaman itu, mereka –orang
gemar memakai istilah Injil– adalah keturunan yang palsu dan sesat” yang
apabila berani melawan kompeni, jika perlu boleh dibinasakan”.
Lagi satu dalil dari seorang Jerman,
Prof. Dietrich Schafer, yang berbunyi:
“Percobaan-percobaan mereka, memasukkan
juga pulau-pulau Australia yang dekat-dekat ke dalam lingkungan kegiatannya, sudah
kami ceritakan. Tatkala ternyata, bahwa di sini tidak ada hasil apa-apa untuk
perusahaan mereka waktu yang sudah dikenal lebih dulu. Caranya hal ini terjadi,
bukan tidak beralasan orang menyebutnya yang paling kejam dalam riwayat
penjajah. Sebagai penutup, pemandangan Prof. Snouck Hurgronje, yang berkata:
“Bagian pertama dari dukacita
Hindia-Belanda, namanya Kompeni dan mulai hampir sama dengan abad ke-17.
Pelakon-pelakon utamanya berhak atas rasa hormat kita, karena energinya yang
hebat, tapi maksud yang mereka kejar dan cara-cara yang mereka pergunakan,
demikian rupa, sehingga seringkali kita sukar menahan-nahan rasa jijik kita,
meskipun kita mengingat sepenuhnya akan kaidah, harus mengukur laku perbuatan
mereka dengan ukuran zaman mereka. ‘Percobaan’ itu mulai dengan perkenalan
penduduk Hindia dengan kotoran dari bangsa Belanda, yang memperlakukan penduduk
asli itu dengan penghinaan yang sangat besar, yang mungkin mereka tanggungkan;
kewajiban mereka ialah berusaha sekuat tenaga untuk memperkaya suatu golongan
pemegang andil di negeri Belanda.
Ambetenaar-ambetenaar Kompeni ini,
yang oleh majikan-majikannya digaji sangat sedikit, tapi tidak kurang dari majikannya
juga suka sekali beroleh laba, memperlihatkan suatu masyarakat penuh korupsi,
yang melebihi kejelekan sejelek-jeleknya yang dituduhkan kepada bangsa-bangsa
Timur.
Zaman
Cultuurstelsel
Begitulah gambaran imperialisme-tua dari
Oost-Indische Compagnie. Sesudah Oost-Indische Compagnie pada kira-kira
tahun 1800 mati, maka tidak ikut mati sistem monopoli, tidak ikut mati sistem mengaut
untung bersendi pada paksaan. Malahan……. sesudah habis zaman komisi-komisi dan
pemerintahan Inggris, yang mengisi tahun-tahun 1800-1830; sesudah habis zaman
“tergoyang-goyang” antara ideologi-tua dan ideologi-baru, sebagai yang
disebar-sebarkan oleh revolusi Prancis; sesudah habis “tijdvak van den twijfel” ini, maka datanglah sistem kerja paksa
yang lebih kejam lagi, lebih mengungkung lagi, lebih memutuskan nafas lagi,
–yakni sistem kerja paksa dari cultuurstelsel,
yang sebagai cambuk jatuh di atas pundak dan belakangnya rakyat kami! Juga cultuurstelsel ini, Tuan-tuan Hakim,
tidak usah kami beberkan panjang lebar kekejamannya; juga cultuurstelsel ini sudah diakui jahatnya oleh hampir setiap kaum yang
mengalaminya dan oleh kaum terpelajar yang mempelajarinya riwayatnya. Tetapi,
juga tentang cultuurstelsel ini, yang
bekas-bekasnya sampai hari ini belum juga hilang dan mempengaruhi susunan PNI
itu (sebagai nanti akan kami uraikan), marilah kami ulangi satu dua pendapat
ahli-ahli itu.
“Pemerasan penduduk, yang tiada batasnya
lagi selain tahan tidaknya badannya, berjalan dengan tiada alangan apa-apa,”
begitu kata Prof. Gonggrijp.
Dan dilain tempat pujangga ini menulis
pula:
“Jadi sistem ini tidak hanya bersendikan
paksaan; paksaan itu, didalam dua puluh tahun pertama yang gelap dari jangka
waktu yang dibicarakan di sini, lebih berat dari beban contingenten yang penagihannya terutama diserahkan kepada
Kepala-kepala Bumiputra. Cultuurstelsel
menjadi lebih berat oleh kegiatan Ambtenaar
Eropa: ini berarti bertambah beratnya tekanan sistem itu dan berarti pula
perbaikan teknis dan keuntungan besar.”
“Tidak ada tanaman yang begitu menjadi
gangguan seperti nila. Tatkala nila ini akan dalam tahun 1830 dengan cara yang sembrono
dimasukkan di tanah Priangan, maka tanaman itu sungguh-sungguh menjadi bencana
bagi penduduk. Di dalam distrik Simpur di daerah itu, orang laki-laki dari
beberapa desa dipaksa mengerjakan kebun-kebun nila, 7 bulan lamanya dengan tidak
putus-putusnya, jauh dari rumahnya; dan selama itu mereka harus mencari
makanannya sendiri. Tatkala mereka kembali kerumahnya, didapatinya tanaman
padinya sudah rusak. Selama lima bulan yang pertama dari tahun 1831, 5000 orang
laki-laki dan 3000 kerbau dari distrik itu juga, dipaksa mengerjakan tanah
untuk suatu pabrik yang telah didirikan. Sesudah pekerjaan itu selesai,
batang-batang nila tidak ada. Dua bulan kemudian, sesudah alang-alang, rumput
yang ditakuti itu, tumbuh di atas lapangan yang telah dikerjakan itu, baru
diterima untuk mengolah sekali lagi ladang-ladang itu. Kerap kali terjadi bahwa
perempuan-perempuan yang hamil melahirkan anak waktu bekerja keras”………
Dan Stokvis menceritakan:
“Sampai-sampai tahun 1886 masih ada
daerah-daerah, dimana sipenanam kopi mendapat 4-5 sen sehari, sedang ia
memerlukan 30 sen buat hidup. Di dalam perkebunan nila kerap kali dibayarkan f
8 setahun…….. Di dalam perkebunan kopi ada pembayaran f 4,50 setahun buat satu
keluarga, jadi 90 sen buat satu orang…..”
Penulis (Vitalis) itu juga melihat di tanah Priangan orang-orang tersebut kelaparan
seperti kerangka kurusnya terhuyung-huyung sepanjang jalan. Beberapa orang
begitu letih, sehingga mereka tidak bisa makan makanan yang diberikan kepada
mereka sebagai persekot; mereka meninggal….” ……….”pengungsian penduduk banyak
juga kejadian diperkebunan-perkebunan itu dan dengan cara besar-besaran. Inilah
jalan satu-satunya untuk keluar dari kesengsaraan. “Pukulan dengan pentungan
dan labrakan dengan cambuk terjadi sehari-hari dan di banyak ladang nila biasa
saja orang melihat tiang-tiang untuk menyiksa orang.” “Di sini kita melihat
suatu bangsa yang tidak secara undang-undang hidup dalam perbudakan tapi secara
kenyataan. Ketakutan kepada para bangsawannya telah merasuk ke dalam jiwa
mereka; para bangsawan itu belajar pula takut kepada kaum penjajah. Segala
keberanian dan semangat merdeka yang tadinya masih hidup dalam hati sanubari
bangsa Jawa, kini hilang lenyap oleh laku Kompeni yang kasar dan kesalahan yang
fatal dari Van den Bosch ialah, bahwa ia menghisap lagi rakyat yang sudah rusak
itu, penghisapan yang pada hakikatnya sama betul dengan sistem Kompeni. Malahan
lebih jahat dan lebih salah lagi! Kompeni tidak harus memikul tanggungjawab dan
tidak pernah mau memikul tanggungjawab itu, Kompeni berdagang dengan cara-cara orang
dagang yang keras. Van den Bosch mewakili negara sendiri, negara induk, yang
begitu banyak masih yang harus diperbaikinya. Segala cara yang membikin
perhubungan jajahan lebih memuakkan lagi dari yang sudah menjadi sifatnya,
telah dipergunakan olehnya dan oleh penggantinya-penggantinya. Memaksakan suatu
cara produksi Barat, jadi suatu cara produksi yang lebih banyak
syarat-syaratnya, kepada suatu masyarakat negeri panas yang hidup bertani,
sudah merupakan suatu tekanan, tapi lebih berat lagi dukacita yang dibawa oleh
nafsu kuasa si bangsa asing”…….
Dua dalil lagi, Tuan-tuan Hakim, lantas
kami tutup kami punya dalil-dalil berhubung dengan cultuurstelsel ini: dua dalil lagi dari Prof. Kielstra dan Prof.
Veth:
“Di negeri Belanda orang tidak tahu,
atau pura-pura tidak tahu, bahwa di Hindia semua pengeluaran buat pengajaran,
pekerjaan umum, polisi dan sebagainya itu, selalu dikecilkan sampai-minimum
yang paling kecil, supaya “keuntungan bersih” bisa bertambah besar; dan, yang
lebih jahat lagi, oleh paksaan yang dibebankan kepada mereka, penduduk begitu
terhalang-alangi dalam memelihara sawah dan ladangnya sendiri, sehingga dalam beberapa
daerah timbul kemiskinan dan kesengsaraan, bahaya kelaparan dan pengungsian. Dan
“bahkan buat mereka yang melihat dalam cultuurstelsel
itu suatu kebaikan buat Jawa dan juga buat negeri Belanda;–buat Jawa oleh
karena mengajar orang Jawa bekerja, buat negeri Belanda oleh karena kas negeri
jadi berisi–, bahkan buat mereka saya kira kemunafikan yang menjadi alasan untuk
memasukkannya, mestinya menjijikkan, begitulah kedua profesor itu menulis.
Tuan-tuan Hakim yang terhormat! Oost-Indische Compagnie mengocar-ngacirkan
rumah tangga Indonesia, cultuurstelsel
mengocar-ngacirkan rumah tangga Indonesia. Tuan-tuan barangkali bisa juga lantas
mempunyai pikiran: “Benar VOC dan cultuurstelsel
jahat, benar VOC dan cultuurstelsel memasukkan
rakyat Indonesia ke dalam kesengsaraan dan kehinaan, tetapi buat apa
membongkar-bongkar hal-hal yang sudah kuno?”
Betul Tuan-tuan Hakim, kejahatan VOC dan
kejahatan cultuurstelsel adalah kejahatan
kuno, tetapi hati-nasional tak gampang melupakannya.
‘Ingatan orang kepada kelaliman yang
dideritanya lama hilangnya; kelaliman yang orang lakukan, lekas lupa olehnya,” begitulah
Sanders berkata. Lagi pula, sebagai tadi telah kami katakan, sebagai pula telah
dikatakan oleh Prof. Snouck Hurgronje yang kami kutip tadi, –akibat-akibat VOC
dan cultuurstelsel itu, naweeen VOC dan cultuurstelsel itu, yang keduanya bersistem monopoli, sampai ini hari
belum hilang, sampai ini hari masih terbayang dalam wujud susunan pergaulan
hidup Indonesia, sehingga politik dan gerakan Partai Nasional Indonesia,
sebagai nanti akan kami terangkan, terpengaruh oleh karenanya! Pada pertengahan
abad ke-19 “kapitalisme-modern” yang bersendi kepada “bisnis liberal” dan
“persaingan liberal”, di negeri Belanda mulai timbul. Toh…… cultuurstelsel yang bersendi kepada
“kerja paksa” dan yang terutama memberi untung kepada negara Belanda itu, yang
telah begitu menggemukkan kantong kapitalis Belanda partikelir itu, cultuurstelsel itu tidak lekas-lekas
dihapuskan. Bukan oleh karena negara Belanda tak mempedulikan kepentingan kaum pemodal
partikelirnya, bukan oleh karena kepentingan negara itu lebih ditinggikan dari
kepentingan borjuis, tetapi tak lain
tak bukan ialah karena borjuis Belanda
pada masa itu butuh pada cultuurstelsel
itu sebagai pembayar segala yang perlu diadakan lebih dulu bagi suburnya
kapitalisme di negeri Belanda sendiri! Henriette Roland Holst di dalam bukunya
“Kapital en Arbeid in Nederland”
menuliskan seperti berikut:
“Perbuatan kaum borjuis disekitar tahun lima puluh adalah praktis dan menunjukkan
kesadaran kelas yang sehat, yakni perbuatan mereka tidak melemparkan cultuurstelsel ke sudut, sebelum mereka
mengambil daripadanya segala yang bisa diambilnya….. Ada bahaya, bahwa
orang-orang yang tidak sabar dan lekas mau maju, terlalau lekas mau memberikan
orang Jawa berkah-berkah pekerjaan liberal dan menggantikan cultuurstelsel, warisan otokrasi itu, dengan inisiatif partikelir.
Tetapi mungkin beberapa orang berpendapat demikian, –borjuis pada umumnya mengetahui. Sebagai golongan, mereka itu
terutama merasa berkepentingan dalam hal, pertama, pelunasan utang. Kedua, liberalisasi
perdagangan dan perusahaan dengan mengurangi bea-bea dan pajak-pajak, yang
hanya bisa terlaksana oleh yang tersebut dibawah! Ketiga, pembikinan
jalan-jalan kereta-api dan jalan-jalan air dengan tidak membebani rakyat dengan
ongkos-ongkos yang besar, suatu hal yang tentu akan mengobarkan semangat konsevatisme
pada orang-orang Belanda yang selalu hemat itu. Semua ini perlu, sebelum bisa
dimulai eksploitasi partikelir di Hindia, sebab kredit nasional, jalan-jalan
kereta-api dan pelabuhan-pelabuhan di negeri Belanda, harus menjadi tumpuan
eksploitasi itu. Semua hal yang baik-baik itu didapat dari
keuntungan-keuntungan Hindia, jadi keuntungan-keuntungan Hindia buat sementara
harus tetap ada.”
Imperialisme-modern
di Indonesia
Tetapi, sesudah syarat-syarat
kapitalisme-modern semua selesai terurus, sesudah kredit nasional kokoh dan
sesudah jalan-jalan kereta api, terusan-terusan, pelabuhan-pelabuhan telah
rampung, sesudah kapitalisme modern menjadi subur, maka kapital surplusnya,
mulai ingin orang hendak memasukkannya ke Indonesia, imperialisme modern lahirlah.
Tak berhenti-hentinya kapitalisme modern itu lantas memukul-mukul di atas pintu
gerbang Indonesia yang kurang lekas dibukakan, tak berhenti-hentinya kampiun-kampiun imperialisme-modern itu
dengan tak sabar lagi menghantam-hantam di atas pintu gerbang itu, tak
berhenti-hentinya penjaga-penjaga pintu itu saban-saban sama gemetar mendengar
dengungnya pekik “naar vrijheid!” (ke
arah liberalisasi), “naar vrijl arbeid”
(ke arah bisnis liberal) dari kaum kapitalisme liberal, yang ingin lekas-lekas dimasukkan.
Dan akhirnya, kira-kira tahun 1870, dibukalah pintu gerbang itu! Sebagai angin
yang makin lama makin keras bertiup, sebagai aliran sungai yang makin lama
makin membanjir, sebagai gemuruh tentara menang yang masuk ke dalam kota yang
kalah,–maka sesudah Undang-Undang Agraris dan Undang-Undang Tanaman Tebu de Waal di dalam tahun 1870 diterima
baik oleh Staten-Generaal di negeri
Belanda, masuklah modal partikelir itu di Indonesia, mengadakan pabrik-pabrik
gula di mana-mana, kebun-kebun teh, onderneming-onderneming
tembakau dan sebagainya ditambah lagi modal partikelir yang membuka macam-macam
perusahaan tambang, macam-macam perusahaan kereta-api, trem, kapal, atau pabrik-pabrik
yang lain. Imperialisme tua makin lama makin layu, imperialisme-modern
menggantikan tempatnya,– cara pengedukan harta yang menggali untung bagi negara
Belanda itu, makin lama makin berubah, terdesak oleh cara pengedukan baruyang
mengayakan modal partikelir.
Caranya pengeduk berubah,- tetapi
banyaklah perubahan bagi rakyat Indonesia? Tidak, tuan-tuan Hakim yang
terhormat,–banjir Jakarta yang keluar dari Indonesia malahan makin besar, “pengeringan”
Indonesia malahan makin menghebat!
“Di dalam perbantahan tentang jajahan
tahun 1848-1870 yang menjadi soal semata-mata ialah kerja paksa dan bisnis
liberal; kita lihat berulang dengan sengitnya perselisihan pendapat dari masa keraguan
sesudah jatuhnya Kompeni; juga kini nyata jelas pendirian kaum kolot dan
kesamaran pendirian oposis. Kaum konservatif tetap menganggap milik
jajahan sebagai sumber keuntungan negara, kaum oposisi jijik dengan eksploitasi
tanah jajahan itu sebagai “daerah sumber keuntungan”. Suci dan penuh
kemanusiaan cita-cita mereka hendak mencapai suatu negeri Hindia yang bekerja
merdeka dan diperintahi dengan hati yang bersih, penuh harapan berkembang; tapi
seperti juga pelopor-pelopor mereka yang terbaik, mereka mempunyai persangkaan
salah yang hampir-hampir simpatik, seolah-olah kapital liberal hanya cukup
dimasukkan saja ke negeri Hindia, niscaya lepaslah negeri ini dari keadaannya
menjadi daerah sumber keuntungan. Bukankah, buat rakyat yang sudah letih itu, hanya
ada peralihan pengeduk kekayaan negerinya? Memang berhentilah kejelekan
mencampurbaurkan kapitalisme negara dan pemerintahan negara, dalam keadaan
perhubungan di negeri Belanda, yang tak memberi hak kepada rakyat untuk ikut
bicara; tapi sejarah penjajahan yang lebih baru telah mengajarkan, bahwa
hilangnya cultuurstelsel hanya
berarti kemenangan pengeduk yang satu atas yang lain. Daerah sumber keuntungan
mendapat pemegang-pemegang andil yang baru. Kapital partikelir lebih besar pengaruhnya
kepada negara dan tentunya juga kepada daerah negara yang dijajah. Dan tidak
pernah begitu banyaknya “keuntungan bersih” mengalir justru seperti di bawah
pimpinan sipengeduk baru itu; hanya jalannya lebih tenang”…… begitulah gambaran
Stokvis. Dan tidaklah “kena” sekali perbandingan Multatuli yang membandingkan cultuurstelsel itu dengan:
“Suatu kumpulan pipa-pipa yang
bercabang-cabang tidak terhitung banyaknya dan terbagi-bagi menjadi jutaan
pembuluh-pembuluh kecil, semuanya bermuara dalam dada jutaan orang Jawa,
semuanya berhubungan dengan induk pipa yang dipompa oleh satu pompa kuat yang
digerakkan oleh uap; sedangkan dalam pengusahaan partikelir setiap pengejar
untung bisa berhubungan dengan semua pipa dan bisa mempergunakan mesin pompanya
sendiri untuk mengeduk sumber.”
Tidakkah kena sekali perbandingan itu? Tuan-tuan
Hakim yang terhormat, dengan dua kutipan ini, maka sifat umum
imperialisme-modern di Indonesia itu sudah cukup tergambar. Memang, bagi rakyat
Indonesia perubahan sejak tahun 1870 itu hanya perubahan cara pengedukan
rezeki; bagi rakyat Indonesia, imperialisme-tua dan imperialisme-modern
kedua-duanya tinggal imperialisme belaka, kedua-duanya tinggal pengangkutan
rezeki Indonesia keluar, kedua-duanya tinggal drainage! “Peradaban”; keamanan, tambah penduduk, alat-alat lalu
lintas, dan sebagainya. O… memang, zaman imperialisme modern mendatangkan “peradaban”,
zaman imperialisme modern mendatangkan peri-kehidupan damai dan “tenteram”,
yakni mendatangkan keamanan. Zaman imperialisme-modern mendatangkan tambahnya
jumlah rakyat yang deras. Zaman imperialisme-modern mendatangkan jalan-jalan
yang menggampangkan perhubungan antara tempat-tempat di Indonesia, mendatangkan
jalan-jalan kereta-api, mendatangkan pelabuhan-pelabuhan dan
perhubungan-perhubungan kapal yang sempurna.
Tetapi, adakah itu semua dalam
hakikatnya, ditinjau dari pergaulan hidup nasional, suatu kemajuan yang
setimbang dengan bencana yang disebarkan oleh usaha-usaha partikelir itu?
Ah, Tuan-tuan Hakim, berapakah tidak
banyaknya orang yang menjadi silau matanya oleh banyaknya modal dan hasil-hasil
peradaban barat yang masuk di negeri kami dan lantas mengira bahwa
imperialisme-modern itu mendatangkan kemajuan belaka. Berapakah tidak banyaknya
orang yang terbeliak matanya oleh bayangan belaka, terbeliak matanya oleh
sariat keadaan, yang didatangkan oleh imperialisme-modern itu dan lantas
memanggut-manggutkan kepala sambil berkata: “Memang, memang sekarang sudah lain
sekali dengan zaman Kompeni atau Cultuurstelsel!
O… memang, sariatnya memang memperdayakan. Bayangannya memang membeliakkan
mata! Imperialisme-modern itu, menurut kata Kautsky, adalah: “berlainan dengan
politik tua terhadap jajahan- jajahan perasan, yang hanya melihat dalamnya
barang-barang untuk dirampok, kekayaan untuk dikumpulkan dan diangkut ke negeri
induk sebagai kapital. Sebaliknya imperialisme-modern adalah suatu politik,
yang justru memasukkan kapital-kapital ke tanah jajahan, mendirikan
bangunan-bangunan budaya di negeri-negeri ini. Jadi, nampaknya tidak lagi
membinasakan, tapi justru memajukan budaya”. Tetapi hakikatnya, bagaimanakah
hakikatnya! “budaya” atau“cultuur”
yang didatangkan imperialisme-modern itu! Berkata J.E. Stokvis menutup
pemandangannya atas Oost-Indische
Compagnie:
“tapi keamanan dan kedamaian itu berarti
suatu perjuangan yang sia-sia, kadang-kadang suatu perjuangan satria……… untuk
merebut kemerdekaan nasional; tambahnya jumlah jiwa yang pesat ialah berkembang
biaknya rakyat katulistiwa yang korat-karit dan diperlakukan tidak
semena-mena”, dan tiap-tiap perkataan dalam kalimat ini boleh kita pakaikan
untuk zaman imperialisme-modern itu. Lagi pula, tambahnya penduduk tidak selamanya
berarti kemakmuran, tambahnya penduduk tidak selamanya berarti kesejahteraan
umum, sebagai diuraikan oleh Peter Maszlow di dalam bukunya “Die Agrarfrage in Ruszland”. Di dalam
kalangan kaum proletar di Eropa,
tambahnya jumlah manusia lebih besar dan lebih cepat dari di dalam kalangan
kaum pertengahan dan kaum atasan,– adakah ini berarti bahwa kaum proletar itu lebih nyaman hidupnya dari
kaum borjuis? Bahwasanya, tambahnya
penduduk di Indonesia itu tak lain daripada “voortplanting van ontwrichte en misbruikte tropenvolken”, yakni “berkembangbiaknya
rakyat khatulistiwa yang korat-karit dan diperlakukan tidak semena-mena”,
sebagai Stokvis mengatakan tadi! Dan itu jalan-jalan lorong, itu jalan-jalan
kereta-api, itu perhubungan-perhubungan kapal, itu pelabukan-pelabuhan,-
tidakkah itu bagus sekali bagi rakyat Indonesia? O… memang, kami mengakui
faedahnya alat-alat pengangkutan, yakni faedahnya alat-alat lalu-lintas modern
itu, mengakui pengaruhnya yang baik atas perhubungan dan kemajuan rakyat, kami
mengakui bahwa, jikalau umpamanya rakyat Indonesia itu sekarang kehilangan semua
itu, niscaya ia merasa rugi,– tetapi tak dapat disangkal bahwa alat-alat lalu
lintas modern itu, menggampangkan geraknya modal partikelir. Tak dapat
disangkal, bahwa alat-alat lalu lintas itu menggampangkan modal itu jengkelitan
di atas padang perusahaannya, membesarkan diri dan beranak di mana-mana, sehingga
rezeki rakyat menjadi kocar-kacir oleh karenanya! Karl Kautsky di dalam bukunya
“Sozialismus und Kolonial-politik”
menulis: perbaikan alat-alat perhubungan dan alat-alat produksi itu sesungguhnya
bisa memperbesar tenaga produksi negeri-negeri yang terbelakang ekonominya,
jikalau tidak sejalan dengan itu terus-menerus bertambah besar pula bea-bea
kemiliteran dan utang-utang luar negeri. Oleh adanya faktor-faktor ini
perbaikan itu hanya menjadi jalan untuk memeras lebih banyak dari biasa
hasil-hasil dari negeri-negeri yang miskin, begitu banyaknya sehingga bukan
saja produksi lebih—jika ada—yang lahir dari perbaikan-perbaikan teknis, oleh
karenanya terisap habis, tapi juga begitu banyaknya, sehingga banyaknya
hasil-hasil yang tinggal di dalam negeri untuk keperluan kaum produsen,
berkurang. Dalam keadaan yang demikian itu, kemajuan teknis menjadi suatu jalan
untuk pertanian besar-besaran yang sembrono dan kemiskinan.
Begitulah pendapat “kaum merah”. Tetapi
juga Kolonial-Direktor Dernburg, pemimpin imperialisme Jerman sebelum perang
besar, seorang yang karena itu bukan kaum “penghasut”,—Kolonial-Direktor
Dernburg yang di muka sudah kami dalilkan kalimatnya yang begitu terus terang
tentang asas-asas penjajahan yang sebenarnya,– Kolonial-Director Dernburg itu
dengan terus terang lagi berkata:
“Tapi semua bangsa yang mempunyai tanah
jajahan, telah mengalami, bahwa daerah-daerah jajahan yang luas dengan tiada
jalan-jalan kereta api, tetap menjadi harta milik tertutup yang tidak memberikan
jaminan keuntungan ekonomi”.
Dan keadaan di negeri kami? Bukti-bukti
di negeri kami? Bekas Assisten-Residen Schmalhansen yang terkenal itu menulis:
“Tanah Jawa mempunyai jalan-jalan kereta
api dan trem, banyak sekali tanah-tanah erfpacht telah dibuka dan diusahakan,
banyak pabrik-pabrik gula dan nila sudah berdiri,…… tapi apakah semua ini bisa
mencegah keadaan bahwa kesejahteraan bukannya maju, malah menjadi mundur?”.
Dan Prof. Gonggripj menulis:
“Pelengkapan Hindia dengan alat-alat
lalu lintas yang modern ini adalah suatu keperluan yang mutlak dalam
perkembangan perusahaan partikelir, yang hasil-hasilnya yang besar-besaran
harus didagangkan di pasar-pasar dunia…. Pengaruh besar dan nyata kelihatan
atas kesejahteraan orang banyak dari penduduk bumiputra, disebabkan oleh
alat-alat lalu lintas yang modern itu…. belum lagi ada.”
“Keperluan-keperluan
mutlak” yang lain
“Keperluan mutlak dalam perkembangan
perusahaan partikelir!” Dan berapakah “keperluan mutlak” yang tidak ditemukan.
Ada aturan erfpacht yang bersendi
atas “gewetenstopper”, domeinverklaring buat onderneming-onderneming di pegunungan,
ada aturan menyewa tanah bagi onderneming
tanah datar yang banyak penduduk; ada aturan kontrak buruh dengan poenale sanctie bagi onderneming-onderneming yang kekurangan
kuli; dan “ketertiban dan keamanan” dan lapangan usaha di mana-mana dengan “staatsafronding” yang memusnahkan
kemerdekaan negeri-negeri Aceh, Jambi, Kurinci, Lombok, Bali, Bone dan
lain-lain; ada sistem pengajaran yang menghasilkan kaum buruh “halusan”; ada
pasal 161 bis Undang-Undang Hukum Pidana yang meniadakan hak mogok, sedang undang-undang
pelindung buruh tidak ada sama sekali, sehingga nasib kaum buruh boleh
dipermainkan semau-maunya,- sungguh benar kapital partikelir tak kekurangan
“keperluan mutlak”, kaum imperialisme-modern berada di surga!
Empat
sifat imperialisme-modern
Hebatlah melarnya perusahaan
imperialisme itu menjadi raksasa yang makin lama makin bertambah tangan dan
kepala! Imperialisme-tua yang dulunya terutama hanya sistem mengangkuti
bekal-bekal hidup saja, kini sudah melar jadi raksasa imperialisme-modern yang empat
macam “shakti”nya:
Pertama: Indonesia
tetap menjadi negeri pengambilan bekal hidup, Kedua: Indonesia menjadi negeri pengambilan bekal-bekal untuk pabrik-pabrik
di Eropa, Ketiga: Indonesia menjadi
negeri pasar penjualan barang-barang hasil dari macam-macam industri asing, Keempat: Indonesia menjadi lapang usaha
bagi modal yang ratusan, ribuan-jutaan jumlahnya. –bukan saja modal Belanda,
tetapi sejak adanya “Opendeur-politiek”
juga modal Inggris, juga modal Amerika, juga modal Jepang, juga modal
lain-lain, sehingga imperialisme di Indonesia kini jadi internasional
karenanya.
Terutama “shakti” yang keempat inilah, yakni “prinsip” yang membikin Indonesia
menjadi daerah eksploitasi dari kapital-lebih asing, menjadi lapang usaha bagi
modal-modal kelebihan dari negeri-negeri asing, adalah yang paling hebat dan
makin lama makin bertambah hebatnya! Dalam tahun 1870 jumlah tanah erfpacht ada 35.000 bahu, dalam tahun 1901
sudah 622.000 bahu, dalam tahun 1928 sudah 2.707.000 bahu, –kalau dijumlahkan
juga dengan konsesi-konsesi pertanian, jumlah ini buat tahun 1928 menjadi
4.592.000 bahu! Jumlah tanah yang ditanami karet kini tak kurang dari ± 488.000
bahu, hasil ± 141.000 ton jumlah kebun teh± 132.000 bahu, hasilnya ± 73.000
ton: jumlah kebun kopi ± 127.000 bahu, hasilnya ± 55.000 ton; jumlah kebun
tembakau ± 79.000 bahu, hasilnya ±65.000 ton; jumlah kebun tebu ± 275.000 bahu,
hasilnya 2.937.000 ton.
Tuan-tuan Hakim yang terhormat, jutaan,
tidak terbilang milyar rupiah kapital imperialis yang kini mengeduk kekayaan
Indonesia! Dr. F.G. Waller, di muka rapat anggota dari Verbond van Nederlandsche Wetgevers, antara lain berpidato
demikian:
“Menurut taksiran majelis majikan,
keuntungan bersih dari perusahaan-perusahaan Hindia: gula, karet, termbakau,
teh, kopi, kina, minyak tanah, hasil tambang, bank-bank, dan beberapa perusahaan
kecil yang lain, dalam tahun 1924, 490 juta rupiah, tahun 1925, 540 juta rupiah.
Menurut taksiran bolehlah ditentukan, bahwa 70% dari jumlah ini jatuh di tangan
pihak Belanda, jadi kira-kira 370 juta rupiah. Kalau kita perhitungkan jumlah
ini dengan bunga yang tinggi 9 atau 10%, maka harga perusahaan-perusahaan itu
sekarang mencapai angka luar biasa, yakni 3700 hingga 4100 juta rupiah. Angka
ini tentu saja bukan angka yang teliti, tapi cukup memberikan gambaran berapa
harga milik Belanda di Hindia-Belanda dan kepada saya terbukti, bahwa
perhitungan yang dilakukan dengan jalan lain sampai kepada angka yang demikian
juga. Kekayaan yang di negeri Belanda terkena pajak kekayaan ialah 12 milyar,
sehingga milik kita yang ada di Hindia tidak kurang dari 1/3 kekayaan rakyat
kita semua.”
Lebih dari 4000 juta rupiah kapital
Belanda saja, Tuan-tuan Hakim yang terhormat, tetapi jumlah semua modal asing
yang berusaha di Indonesia adalah lebih besar lagi,– yakni jikalau kita hitung
dengan memakai asas perhitungan Dr. Waller itu juga: – kurang lebih 6000 juta
rupiah!
Enam milyar rupiah dengan untung setahun
rata-rata sepuluh persen! Tetapi berapa perusahaan asingkah yang untungnya
tidak berlipat-lipat ganda lagi. Berapa perusahaan asingkah yang dividennya sering kali lebih dari 30,
40, ya kadang-kadang sampai lebih dari 100%! Kita mengetahui dividen tembakau Sumatra yang besarnya
35% dalam tahun 1924, kita mengetahui dividen
kina yang berlipat-lipat lagi, kita kenal akan dividen-dividen yang sampai 170%! Kami, oleh karenanya, tidaklah
heran kalau seorang sebagai Colijn mengatakan, bahwa modal asing harus terus
mengerumuni Indonesia itu sebagai semut mengerumuni wadah-gula, sebagai “demieren den suikerpot”!
Ekspor,
impor, kelebihan ekspor
Memang milyunan rupiah harganya
hasil-hasil perusahaan kapital asing itu yang saban tahun diangkut dari Indonesia,
milyunan rupiah besarnya harga pengeluaran hasil-hasil itu saban tahun. Di
dalam tahun 1927 pengeluaran kopi adalah seharga f 74.000.000; pengeluaran teh
f 90.000.000; pengeluaran tembakau f 107.000.000; pengeluaran minyak f
155.000.000; pengeluaran gula f 360.000.000,- (malahan sebelum hebatnya
persaingan dari Kuba, kadang-kadang lebih dari f 400.000.000); pengeluaran
karet f 417.000.000, jumlah semua barang keluar tak kurang dari f
1.600.000.000. Pendek kata, saban tahun kekayaan yang diangkut dari Indonesia, sedikit-dikitnya
f 1.500.000.000!
Dan harga impor? Harga barang-barang
yang masuk Indonesia? Tuan-tuan Hakim yang terhormat, Indonesia adalah suatu
tanah jajahan, dimana, sebagai tadi telah kami katakan, prinsip imperialisme
yang nomor empatlah yang paling hebat. Semua tanah jajahan yang terutama ialah
jadi lapangan usaha modal asing yang kelebihan, suatu daerah pengusahaan
surplus kapital di luar negeri. Suatu jajahan yang demikian itu, ekspornya
selamanya melebihi impor, kekayaannya yang diangkut ke luar selamanya lebih
banyak dari harga barang yang dimasukkan. Inilah yang menjadi sifat rumah
tangga kami yang miring itu, kelebihan ekspor, dan bukan kelebihan impor,–
lebih banyak kekayaan yang keluar dan bukan lebih banyak barang yang masuk, bahkan
bukan pula “les produits se changent
contre les produits”, yakni bukan pula barang yang keluar sama dengan
barang yang masuk.
Kelebihan ekspor di Indonesia makin lama
makin besar. Di dalam tahun delapan puluhan kelebihan ekspor itu = f 25.000.000;
di dalam tahun sembilan puluhan sudah menjadi ± f 36.000.000; di dalam
tahun-tahun penghabisan abad ke-19 sudah bertambah menjadi ± f 45.000.000;
didalam tahun sekitar 1910 sudah menjadi f 145.000.000; di dalam tahun akhir-akhir
ini sudah menjadi f 700.000.000. Ya, di dalam tahun 1919 mencapai rekor f
1.426.000.000. Bahwasanya,– Indonesia bagi kaum imperialisme adalah suatu
surga, suatu surga yang di seluruh dunia tidak ada lawannya, tidak ada bandingan
kenikmatannya:
“Kalau kita bandingkan dengan
angka-angka internasional… nyatalah bahwa tidak satu negeri lain persentase
kelebihan ekspornya begitu tinggi seperti Hindia-Belanda,” begitu Prof, Van
Gelderen, kepala Centraal Kantoor voor de
statistiek di sini, berkata.
Nasib
Rakyat dan Bangsa Indonesia
Bagaimanakah nasib bangsa Indonesia?
Menjawab Mr. Brooshooft, seorang yang bukan
sosialis, di dalam bukunya “De Ethisce
Koers in de koloniale Politiek”: “Jawabnya singkat aja, kita jerumuskan dia
ke dalam jurang!” “Kita jerumuskan dia ke dalam lumpur kesengsaraan, yang di
dalam pergaulan hidup Barat menenggelamkan jutaan manusia sampai kebatang
lehernya: pemerasan orang yang tidak punya apa-apa selain tenaga kerjanya, oleh
orang yang memegang kapital, yakni menggenggam kekuasaan.”
Ah… Tuan-tuan Hakim, begitu banyak orang
bangsa Belanda yang tidak mengetahui kesengsaraan rakyat Indonesia. Begitu
banyak bangsa Belanda yang mengira, bahwa rakyat Indonesia itu senang kehidupannya.
Meskipun demikian…. tidak kurang pula orang-orang pandai bangsa Belanda yang
menunjukkan kesengsaraan ini dalam buku-buku, karangan-karangan atau
pidato-pidato, –tidak kurang kaum terpelajar bangsa kulit putih yang
mengakuinya! Kesengsaraan rakyat Indonesia harus diakui oleh siapa saja yang
mau menyelidikinya dengan hati yang bersih; kesengsaraan rakyat itu bukan
“omong-kosong” atau “hasutan kaum penghasut”. Kesengsaraan itu adalah suatu
kenyataan atau realiteit yang gampang dibuktikan dengan angka-angka. Lagi pula,
Tuan-tuan Hakim, adanya kelebihan-kelebihan ekspor itu saja, –yang juga bukan “omong-kosong”,
melainkan suatu barang yang nyata oleh adanya angka-angka statistik— adanya hal
bahwa negeri Indonesia itu lebih banyak diangkuti kekayaan keluar daripada
dimasukkan. Adanya hal itu saja, sudah cukup bagi siapa yang mempunyai sedikit pengetahuan
tentang ekonomi, bahwa di sini keadaan adalah “miring”, –bahwa di sini tidak
ada “keseimbangan”. Dan bukan saja keadaan itu “miring”, bukan saja ada “tidak
seimbang” —tetapi (oleh sebab kelebihan-kelebihan ekspor itu makin lama makin
besar), keadaan “miring” itu makin lama juga makin “miring”, “tidak seimbang”
itu makin lama juga makin tidak seimbang!
Tatkala membicarakan kelebihan-kelebihan
ekspor ini, berkata D.M.G.Koch:
“Tentu saja pengambilan yang teratur dan
saban tahun bertambah besar dari jumlah-jumlah uang dari negeri Hindia, berarti
hilangnya kekayaan-kekayaan yang mungkin bisa dipergunakan untuk perkembangan
ekonominya.”
Lagi pula Tuan-tuan Hakim, tidakkah
pemerintah sendiri mengakui adanya “kekurangan kesejahteraan” itu, tidakkah
pemerintah sendiri mengakui adanya “mindere
welvaart” itu, tatkala pemerintah beberapa tahun yang lalu mengadakan “mindere welvaartscommissie” (komisi untuk
menyelidiki kekurangan kesejahteraan). Tidakkah Menteri Idenburg sendiri dua
puluh lima tahun yang lalu telah menyebutkan chronischen nood, suatu “kesengsaraan yang terus-menerus”, “yang
sekarang berjangkit di sebagian besar tanah Jawa”, tidakkah menteri itu
mengakui pula adanya suatu “kemelaratan yang sudah mendalam”, suatu “ingevreten armoede”, sehingga “keadaan ekonomi
dari sebagian besar penduduk, sangat jeleknya”? Tidakkah menteri jajahan itu
juga mengakui pula adanya “penyerotan rezeki keluar”, yakni adanya “drainage”, walaupun ia berpendapat
bahwa: “menunjukkan penyakit ini lebih gampang dari mendapatkan obat untuk
menyembuhkannya”?
Dan tidak kurang pula orang-orang
Belanda lain yang mengakui keadaan ini pada zaman itu; Tuan Pruys v.d. Hoeven,
bekas Anggota Dewan Hindia, di dalam bukunya “Veertig Jaren Indische Dienst”, menulis:
“Nasib orang Jawa dalam empat-puluh
tahun yang akhir ini, tidak banyak diperbaiki. Di luar golongan kaum ningrat
dan beberapa hamba negeri, masih tetap hanya ada satu kelas saja yang hidupnya sekarang
makan besok tidak. Suatu kaum yang agak berada, belum lagi bisa terbentuk,
sebaliknya dalam tahun-tahun belakangan ini kita lihat terakhir suatu kelas proletar, yang terdahulu hanya terdapat
di ibukota-ibukota.”
H.E.B. Schmalhausen, bekas asisten
residen, di dalam bukunya, Over Java en
de Javanen, bercerita:
“Saya sudah melihat dengan mata sendiri,
bagaimana orang-orang perempuan, –sesudah berjalan beberapa jam lamanya, sampai
ditempat yang dituju dan mengalami peristiwa, bahwa mereka tidak bisa ikut
mengetam padi, karena kebanyakan pekerja. Maka ada yang menangis tersedu-sedu
lalu duduk di tepi jalan, putus asa. Keadaan-keadaan yang demikian itu baru
bisa kita mengerti, sesudah hidup lama di pedalaman, itupun kalau kita cukup
punya perhatian kepada negeri dan penduduk dan senantiasa membuka mata!” “Kami
membikin …… perhitungan….. menurut keterangan-keterangan yang benar dan
hasilnya ialah, bahwa harga padi yang mereka terima (sebagai upah)
sebanyak-banyaknya f 0.09 sehari.”
Untuk mencari upah 9 sen yang
menyedihkan ini dengan kerja berat di panas matahari yang terik, seperti kita
katakan tadi, perempuan-perempuan kadang-kadang harus berjam-jam lamanya
berjalan kaki dan kadang-kadang ditolak pula. Kenyataan-kenyataan seperti itu lebih
membukakan mata bagi keadaan-keadaan yang sebenarnya dari banyak perslah-perslah dan pidato-pidato yang
mengenai luarnya saja.” (hal. 14). Dan Mr. Brooshooft menulis kalimatnya yang
termashur: “Kita jerumuskan dia ke dalam jurang”, Wij duwen hem ini den afgrand, sedang di dalam Staten-Generraall perkara inzinking
(kejatuhan) ini ramai dibicarakan. Terutama van Kol tidak berhenti-hentinya membongkar
keadaan-keadaan ini, tidak berhenti-hentinya membicarakan: “negeri yang tiada
sumsum lagi” atau uitgemergeldegewesten
itu, tidak berhenti-hentinya menggambarkan nasib “jajahan sengsara” atau noodlijdende kolonie ini, tidak
berhenti-hentinya menangiskan “kemunduran manusia dan ternak” itu. Yakni “physieke achteruitgang van menschen en vee”.
Begitulah keadaan beberapa tahun yang lalu,
Adakah keadaan sekarang berbeda? Adakah
keadaan hari ini lebih baik?
Tuan-tuan Hakim yang terhormat, tadi
sudah kami buktikan dengan angka-angka, bahwa drainage Indonesia tidak makin surut, tidak makin kecil, melainkan
makin besar, makin membanjir, mendahsatkan, bahwa kelebihan-kelebihan ekspor
makin tak berhingga, –bahwa ketidakseimbangan makin menjadi tidak seimbang! Bagi
siapa yang mau mengerti, maka tidak boleh tidak, drainage yang makin membanjir itu pasti berarti rakyat makin sengsara,
pasti berarti rakyat itu, dengan perkataan Mr. Brooshooft, makin terjerumus ke
dalam “jurang”! Jikalau di zaman Pruys v.d. Hoeven kita sudah melihat “suatu
kelas proletar, yang dahulu hanya terdapat
di ibukota-ibukota”, kalau di zaman Mr. Brooshooft kita sudah melihat
“pemerasan orang yang tidak punya apa-apa selain tenaga kerjanya, oleh orang
yang memegang kapital”. Jikalau kita di zaman itu sudah melihat daya yang
“memproletarkan”, yakni proletariseeringstendens
dengan senyata-nyatanya,– bagaimanakah kerasnya proletariseeringstendens itu di zaman kita sekarang ini, di mana
pengedukan kekayaan secara imperialistis itu makin lama makin mengaut, kapital
asing makin lama makin bertambah banyak dan bertambah besar “shaktinya”! Di dalam buku Dr. Huender “Overzicht van den Econ. Toestand der Inheemsche Bevolking van Java
en Madoera”, kita membaca:
“Sedang di tahun 1905 jumlah penduduk
dewasa yang bekerja tani, ada 71%, menurut maklumat-maklumat yang akhir di
Dewan Rakyat…… sekarang ini hanya 52% saja yang semata-mata mempunyai penghasilan
dari pertanian”….
Dan Prof. van Gelderen dari Centraal Kantoor Voor de Statistiek menulis:
“Perkembangan perusahaan asing dengan
sendirinya cenderung kepada usaha untuk senantiasa dan berangsur-angsur secara lebihh
besar-besaran melaksanakan perbandingan pokok ini: majikan dan kapital, jadi
juga keuntungan, bagi bangsa asing; dan kaum buruh, jadi juga upah, bagi bangsa
bumiputra. Memang dengan demikian bertambah besar permintaan kepada tenaga
buruhdan bertambah besar jumlah penduduk yang mendapat penghasilan berupa upah.
Tapi hal ini terjadi secara sangat berat sebelah seperti berikut. Penduduk
bumiputra menjadi suatu bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka dan Hindia
menjadi buruh antara bangsa-bangsa.”
“Bangsa yang terdiri dari kaum buruh
belaka” dan “menjadi buruh antara bangsa-bangsa”, Tuan-tuan Hakim, —itu bukan
nyaman! Itubukan memberi harapan besar bagi hari kemudian! Itu bukan memberi
perspektif pada hari kemudian itu, jikalau terus-terusan begitu! Tidakkah oleh
karenanya, wajib tiap-tiap nasionalis mencegah keadaan itu dengan sekuat-kuatnya?
Tidakkah hal ini saja sudah cukup buat membenarkan kami punya pergerakan? “Bangsa
yang terdiri dari kaum buruh belaka” –amboi, dan berapa besarkah upah yang
biasanya diterima oleh Kang Kromo atau Kang Marhaen itu! Berapakah, umpamanya,
besarnya upah di dalam perusahaan yang terpenting, yakni perusahaan gula,—
perusahaan gula yang terdiri di tengah-tengah pusat pergaulan hidup Bumiputra, di
tengah-tengah ulu hati pergaulan hidup itu? Menurut Statistisch Jaaroverzicht: rata-rata hanya f 0,45 sehari bagi orang
laki-laki dan f 0,35 sehari bagi perempuan!
Sesungguhnya, Dr. Huender tak salah
kalau ia menulis:
“Perusahaan gula buat orang Indonesia
yang berhak atas tanah, adalah merugikan: upah-upah yang dibayarkan kepada
orang-orang Indonesia yang bekerja padanya, jika tidak terlalu rendah untuk menolak
maut, setidak-tidaknya adalah upah minimum, yakni upah yang paling rendah”
Dan bukan di dalam perusahaan gula saja
kita dapatkan “Upah yang paling rendah” atau minimumloonen itu! Upah minimum di Indonesia kita dapat
dimana-mana. Selama rumah tangga rakyat Bumiputra masih suatu rumah tangga yang
kocar-kacir, selama rakyat Bumiputra masih “minimumlijdstef”,
sebagai dikatakan Dr. Huender selama itu pula upah-upah dimana-mana tentulah berwujud
upah-upah minimum, –selama itu maka rakyat yang kelaparan itu tentu terpaksa
menerima saja upah-upah yang bagaimanapun juga rendahnya, “buat menolak maut”, om er hetleven bij te houden. Prof, van
Gelderen di dalam bukunya dengan seterang-terangnya menunjukkan perhubungan
sebab akibat antara rumah tangga kami yang kocar-kacir ini dengan rendahnya
upah-upah di dalam pergaulan hidup kami, —upah-upah di dalam pergaulan hidup
kami yang menurut pendapatnya, bukan “Ertragslohn”
tetapi “Erhaltungslohn” yakni upah
yang “sekedar supaya jangan sampai mati kelaparan”,— upah yang “sekedar sama
dengan ongkos-ongkos hidup yang paling rendah”!
Dan hidupnya, bestaan nya rakyat umum? Bagaimanakah hidupnya rakyat umum? Di atas
sudah kami katakan, bahwa Dr. Huender menyebut rakyat Bumiputra itu “minimumlijdster” (penderita minimum). “Yang
paling sukar dan paling mengkhawatirkan berhubung dengan keadaan ekonomi di
Jawa dan Madura, ialah bahwa penduduk yang telah dibebani sampai batas
kesanggupannya itu rupanya adalah “penderita minimum” dan bagi mereka ternyata beberapa
peraturan yang diadakan pemerintah untuk memperbaiki kehidupan mereka, tidak
mempan…………….., begitulah kesimpulan Dr. Huender.
Dan Prof. Boeke di dalam bukunya “Het zakelijke en persoonlijke element in de
koloniale welvaartspolitiek”, berkata: “Si tani kecil, pak tani Jawa yang
miskin itu …. bukan saja melarat hidupnya, tapi tidak bisa pula mempengaruhi
apa-apa kesejahteraan sekelilingnya; sisa-sisa yang sedikit dari perusahaannya,
tidak memungkinkan dia, di luar keperluan-keperluannya yang paling penting
sehari-hari, memenuhi keperluan-keperluan lain yang agak berarti juga, yakni
keperluan-keperluan yang bisa diadakan oleh lain-lain golongan masyarakat, yang
menunggu-nunggu apa yang akan diminta dan ditawarkannya. Yang terutama bisa
dikerjakannya dalam masyarakat, ialah menekan tingkat upah.”
“Hidup yang melarat”, een Ellendig bestaan Tuan-tuan! Hakim, begitulah
pendapat Prof. Boeke, seorang yang toh bukan bolsyewik atau “penghasut”, —melainkan seorang ahli ekonomi yang
ternama!
Angka-angka, Tuan-tuan Hakim? Menurut
perhitungan Dr. Huender, penghasilan seorang kepala rumah tangga marhaen
setahun ialah rata-rata f 161, jumlah beban rata-rata/22.50,- jadi bersih
penghasilan setahun adalah f 161, —f 22.50 = f 138.50, (seratus tiga puluh
delapan rupiah lima puluh sen!), Tuan-tuan Hakim, di dalam dua belas bulan! Yakni,
belum sampai f 12. – sebulan; yakni belum sampai f 0.40 sehari yakni, kalau
dimakan lima orang (besarnya sama rata), belum sampai f 0.08 sehari seorang! Sesungguhnya,
sejak kalimatnya Pruys v.d. Hoeven yang berbunyi bahwa kebanyakan rakyat
hidupnya “sekarang makan besok tidak” sejak perkataannya Mr. Brooshooft bahwa
rakyat terjerumus ke dalam “jurang”, sejak dengungnya suara van Kol yang mendakwa
atas adanya “negeri-negeri yang tiada sumsum lagi”, atau “jajahan yang
sengsara” atau “ kemuduran manusia dan ternak”, —sejak zaman itu tetaplah
bangsa kami hidup “sekarang makan besok tidak”, tetaplah bangsa kami hidup
dalam “jurang”, tetaplah bangsa kami hidup dalam “jajahan yang sengsara”!
Bahwasanya,–drainage yang kami derita
dengan tiada berhentinya itu, tak luput menunjukkan pengaruhnya,– imperialisme-modern
tak luput menunjukkan kejahatan shakti-shaktinya!
Orang bisa berkata: “Adakah imperialisme
modern itu berkejahatan?
Gula “memasukkan” uang ke dalam
pergaulan hidup Indonesia dengan upah-upah dan penyewaan tanah; karet, teh,
kopi, kina, hanya membuka tanah-tanah hutan yang jauh dari rakyat; minyak tanah
keluarnya dari sedalam-dalamnya tanah, —semua memberi “berkah” pada rakyat dan
kesempatan berburuh! O, memang, —memang gula “memasukkan” uang; memang onderneming erfpacht tidak begitu
“mengenai” rakyat; memang minyak dibor dari sedalam-dalamnya tanah; —memang
semua memberi kesempatan berburuh. Tetapi marilah kita membaca pemandangan
Prof. Snouck Hurgronje, bagaimana macamnya “berhak” (kalau ada “berhak”), yang
modal asing itu berikan kepada kami dan sebagaimana macamnya kaum modal asing
itu “memelihara” kesejahteraan kami:
“Manfaat-manfaat yang diterima oleh
penduduk Bumiputra dari modal Eropa itu, hanya sisa-sisa hasil pekerjaan kaum
majikan, bukan dimaksud dan sekali-kali tidak dimaksud terutama untuk mereka.
Tujuan mereka ialah….. cari duit…..
Seandainya “wadah gula’ tadi –untuk
memakai perbandingan Colijn –mulai kosong, oleh karena satu atau lebih
hasil-hasil bumi mengalami krisis harga, maka segeralah semut-semut itu
menyusup lagi ke dalam tanah, dengan tidak memperdulikan sedikit juga nasib
rakyat yang 35 atau 50 juta, yang tadinya senantiasa mengisi wadah gula itu.
Selama, seperti sekarang ini, semut-semut itu berdesak-desak mengerumuni wadah
gula itu, artinya, selama onderneming-onderneming Eropa itu beroleh untung,
maka kepentingan-kepentingan orang Bumiputra terhadap usaha mereka yang
sewajarnya untuk mencapai untung yang lebih besar lagi, tidak aman, jika tidak
ada alat penjagaan yang kuat…. Orang tidak usah seorang antikapitalis untuk
mengerti betapa berbahayanya kapital Barat mengancam penduduk Bumiputra dari
suatu tanah jajahan.”
Marilah kita juga ingat akan kenyataan,
sebagai yang diterangkan oleh Prof. Van Gelderen di dalam bukunya tadi, bahwa
tinggi-rendahnya upah itu adalah ditetapkan oleh “tenaga produksi” pergaulan
hidup umum, —bahwa jikalau pergaulan hidup itu kocar-kacir, upah pasti kocar-kacir
dan serendah-rendahnya pula: —bahwa jikalau pergaulan hidup umum itu suatu “Ernahrungswirtschaft” upah pasti hanya “Erhaltungslohn” saja! Marilah kita
ingat, bahwa keadaan rakyat Indonesia yang sebenarnya, memang membenarkan
kenyataan ini, —yakni, bahwa, di mana rakyat Bumiputra itu umumnya adalah “minimumlijdster”, upah yang biasa
diterimanya juga memang hanya “minimumloonen”,
“Erhaltungslohnen” belaka! Marilah
kita ingat, bahwa industri imperialisme yang cita-citanya membikin untung
setinggi-tingginya itu, dan yang karena itu, mempunyai kepentingan atas adanya upah-upah
yang serendah-rendahnya (yakni mempunyai kepentingan atas adanya loonen yang “minimumloonen”) –oleh karenanya, mempunyai kepentingan pula atas
tetapnya pergaulan hidup kami ini dalam keadaan yang kocar-kacir, mempunyai
belang atas tetapnya kami punya rumah tangga atau Wirtschaft itu bersifat “Ernahrungswirtschaft”
adanya!
Prof. Van Gelderen menulis:
“Apabila tenaga produksi dari penghasil
Bumiputra bertambah besar dan oleh karenanya harga sewa tanahnya jadi lebih
tinggi, maka dalam suatu cara perkebunan tertentu dari pengusaha-pengusaha
Eropa, bertambah kurang keuntungan perusahaannya. Ini suatu pertentangan
kepentingan yang tidak bisa dimungkiri, dan sekali-sekali terasa benar”.
“Perbedaan hasil pekerjaan dalam hal dipergunakan pekerjaan orang Bumiputra dan
dalam hal dipergunakan pekerjaan orang asing, buat sebagian besar menguntungkan
pengusaha asing. Makin kecil perbedaan ini, disebabkan karena tenaga produksi
pekerja Bumiputra dalam lingkungan sendiri bertambah besar (ini pada hakekatnya
berarti tenaga produksi dalam pertanian Bumiputra), maka makin kecil pula
sumber keuntungan yang lain dari perusahaan besar asing ini.”
Dan di dalam buku Prof. Schrieke “The effect of Western Influence onnative civilizations
in the Malay Archipelago”, kita membaca kalimat Tuan Meyer-Ranneft yang
sekarang menjadi Ketua Dewan Rakyat:
“Jumlah yang diterima oleh kaum modal
dan perusahaan industri, menjadi sebanding lebih besar dengan bertambah jeleknya
tingkat kehidupan Bumiputra,”
Sedang Prof. Boeke dengan lebih
terus-terang lagi berpidato:
“Mereka,– (kaum modal asing), terutama menjalankan rolekonomi yang diharapkan
oleh dunia dari tanah jajahan, mereka pandai mengeduk kekayaan dari Hindia pada
umumnya dan dari bumi Hindia pada khususnya dan membikin negeri itu memberikan keuntungan-keuntungan
ekonomi yang sebesar-besarnya, mereka itu terutama menghasilkan barang-barang
yang diperlukan di pasar dunia dan mereka mengharap dan menuntut dari Hindia
tidak lebih dari tanah yang baik dan tenaga buruh yang murah; penduduk bagi mereka
tidak lebih dari suatu alat (ini yang mengenai penduduk tanah Jawa) atau
penyakit yang perlu (ini yang mengenai penduduk di tanah seberang). Buat mereka
yang penting hanya… penawaran tenaga buruh dan harga tanah; apa yang menambah banyak
penawaran dan menurunkan harga, menguntungkan bagi mereka. Mereka itu adalah,
mereka harus jadi, apa yang disebut oleh orang Jerman dengan tepatnya “Real-politiker”, harus mendahulukan kenyataan
dan kesoalan, anasir cita-cita dan perseorangan buat mereka itu tidak sehat
atau lebih lagi.”
Dengan lain perkataan: Kaum modal
partikelir mempunyai kepentingan atas rendahnya tenaga produksi dan rendahnya
tingkat pergaulan hidup kami, imperialisme-modern karena itu, mengalang-alangi
kemajuan sistem sosial kami itu, imperialisme-modern karena itu suatu rem bagi
kami punya kemajuan ekonomi sosial!
Benar sekali, —imperialisme-modern
“membikin rakyat Bumiputra menjadi bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka dan
membikin Hindia menjadi si buruh di dalam pergaulan bangsa-bangsa”!
Dan si buruh yang bagaimana, Tuan-tuan
Hakim!, —si buruh yang loonen-nya minimumloonen, si buruh yang Wirtschaft-nya Minimumwirtschaft !, siburuh yang upahnya upah Kokro! Hati nasional
tentu berontak atas kejahatan imperialisme-modern yang demikian itu!!
Lagi pula, —siapakah nanti yang bisa
mengembalikan lagi kekayaan-kekayaan Indonesia yang diambil oleh mijnberdrijven
partikelir, yakni perusahaan-perusahaan tambang partikelir, sebagai timah,
arang batu, minyak! Siapakah nanti yang bisa mengembalikan lagi kekayaan-kekayaan
tambang itu? Musnah, musnahlah kekayaan-kekayaan itu buat selama-lamanya bagi
kami, musnahlah buat selama-lamanya bagi pergaulan hidup Indonesia, masuk ke
dalam kantong beberapa pemegang andil belaka!
“…….Perusahaan hasil tambang, yang lama-kelamaan
menghabiskan kekayaan-kekayaan tambang itu,” begitulah Prof.Van Gelderen
menulis. “Juga di dalam hal ini, yang tinggal di dalam negeri hanya
ongkos-ongkos produksi saja. Hasil bersihnya jatuh ke tangan pemilik modal
asing. Di dalam hasil bersih ini termasuk bukan saja bunga dan keuntungan pengusaha,
tapi juga apa yang dinamakan “bunga pertambangan”, yakni pembayaran bagian
monopoli yang tidak bisa diganti, bagianyang ada dalam penghasilan segala
perusahaan tambang, yang mempunyai tenaga produksi yang lebih dari ‘batas
tenaga produksi’.
Dengan jalan penghapusan dan pencadangan
itulah kapital yang ditanam dalam pertambangan bisa tetap dalam tangan si
pemilik. Tapi barang yang dikerjakan ini, yakni batu arang, minyak tanah,
timah, musnah buat selama-lamanya”!
“Musnah buat selama-lamanya!” “Onkerroepelijk verloren!” Bahwasanya,
“bangsa kaum buruh”, “minimumloonen”,
minimumlijdster”, kemajuan ekonomi
sosial direm”, “kekayaan tambang musnah buat selama-lamanya”, semua
perkataan-perkataan itu tidak menggembirakan! Dan toh….. apakah hak-hak bangsa
kami, yang kiranya boleh jadi “imbangan” dari keadaan ekonomi yang menyedihkan
itu? Apakah hak-hak bangsa kami yang boleh dipakai sebagai obat di atas luka
hati nasional yang perih itu?
Pengajaran? Oh, di dalam “abad
kesopanan” ini di dalam “eeuw van
beschaving” ini, menurut angka-angka Centraal
Kantoor voor dee Statistiek, orang laki-laki yang bisa membaca dan menulis
belum ada 7%, orang perempuan belum ada….1/2%. Dan toh, Hollandsch-Inlandsch-Onderwijscommissieee memajukan usul
memberhentikan penambahan Hollandsch-Inlandsch-Onderwijs!
Pajak-pajak enteng? Laporan
Meyer-Ranneft-Huender menunjukkan, bahwa Kang Marhaen yang pendapatnya setahun
rata-ratanya f 160 —itu, harus membayar pajak sampai kurang lebih 10% dari pendapatannya;
bahwa bagi bangsa Eropa pajak yang setinggi itu baru dikenakan kalau
pendapatannya tak kurang dari f 8.000 sampai dengan f 9.000 setahun!; bahwa
pajak yang istimewa mengenai kang Marhaen, yang pada tahun 1919 sudah mencapai
jumlah f 86.900.000 itu, di bawah pemerintahan Gubernur-Jenderal Fock dinaikkan
lagi menjadi f 173.400.000 setahun!; bahwa teristimewa beban-beban desa sering
berat sekali adanya!
Kesehatan rakyat atau hygiene? Di seluruh Indonesia hanya ada
343 rumah sakit gubernemen, kematian
bangsa Bumiputra setahun tak kurang dari ± 20%, ya, di dalam kota-kota besar
sampai kadang-kadang 30, 40, 50%, seperti di Betawi, di Pasuruan, di Makassar!
Kesempatan bekerja di pulau-pulau luar
tanah jawa? Soal kontrak dan poenale
sanctie, perbudakan zaman baru atau moderne
slavernij itu, seolah-olah takkan habis-habisnya di-“pertimbangkan” dan
sekali lagi dipertimbangkan”.
Perlindungan kepentingan kaum buruh?
Peraturan yang melindungi kaum buruh tak ada sama sekali, arbeidsinspectie tinggal namanya saja, hak mogok, yang di dalam
negeri-negeri yang sopan sudah bukan soal lagi itu, dengan adanya pasal 161
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, musnah sama sekali dari realiteit, terhalimunkan sama sekali menjadi impian belaka!
Kemerdekaan cetak-mencetak dan hak berserikat
dan berkumpul?… Tuan-tuan Hakim, marilah kita dengan hati yang tenang dan tulus
bertanya lagi: Adakah di sini bagi kami bangsa Indonesia kemerdekaan cetak,
adalah disini hak, yang dengan sebenarnya boleh kita namakan hak berserikat dan
berkumpul? Amboi ,–adakah di sini hak-hak itu, di mana Kitab Undang-undang
Hukum Pidana masih saja berisi itu pasal-pasal mengenai penyebaran rasa
kebencian (haatzaaiartikelen) yang
bisa diulur-ulur sebagai karet, itu haatzaaiartikelen
yang hampir zonder perubahan diambil
dari “gewrocht der duisternis”
sebagai Thorbecke menyebut peraturan cetak-mencetak, di mana “horribel starfwetartikel” 153 bis-ter
yang lebih-lebih elastis lagi mengancam keselamatan tiap-tiap pemimpin sebagai
kami ini hari, dimana hak pen-Digul-an memberi kekuasaan yang hampir tak
terhingga kepada pemerintah terhadap tiap-tiap pergerakan dan tiap-tiap manusia
yang ia tak sukai? Adakah di sini hak-hak itu, dimana kritik di muka umum gampang
sekali mendapat teguran atau sopan, di mana tiap-tiap rapat penuh dengan spion-spion polisi, di mana hampir
tiap-tiap pemimpin dibuntuti reserse
di dalam gerak-geriknya ke mana-mana, di mana gampang sekali diadakan “larangan
berapat”, di mana rahasia surat seringkali dilanggar diam-diam sebagai kami
lihat dengan mata sendiri? Adakah di sini hak-hak itu, di mana laporan spion-spion itu saja atau tiap-tiap
surat kaleng sudah bisa dianggap cukup buat membikin penggerebekan di
mana-mana, mengunci berpuluh-puluh pemimpin di dalam tahanan, yang
menjerumuskan pemimpin-pemimpin itu ke dunia pembuangan?
Tuan-tuan Hakim, marilah sekali lagi
kita bertanya dengan hati yang tenang dan tulus: adakah di sini bagi bangsaku
kemerdekaan cetak-mencetak dan hak berserikat dan berkumpul, dimana menjalankan
“kemerdekaan” dan “hak” itu dialang-alangi oleh macam-macam alangan, diranjaui
oleh macam-macam ranjau yang demikian itu??? Tidak! Di sini tidak ada hak-hak
itu! Dengan macam-macam alangan dan macam-macam ranjau demikian itu, maka
“kemerdekaan” itu tinggal namanya saja “kemerdekaan” “hak” itu tinggal namanya
saja,“hak”, dengan macam-macam serimpatan yang demikian, maka “kemerdekaan
cetak-mencetak” dan “hak berserikat dan berkumpul” itu lantas menjadi suatu
omong-kosong, suatu paskwil! Hampir
tiap-tiap jurnalis sudah pernah
merasakan tangan besinya hukum, hampir tiap-tiap pemimpin Indonesia sudah
pernah merasakan bui, hampir tiap bangsa Indonesia yang mengadakan perlawanan
radikal lantas saja dipandang “berbahaya bagi keamanan umum”! Sesungguhnya:
Tidak ada hak-hak yang orang berikan pada rakyat Indonesia untuk jadi
“imbangan” kepada bencana pergaulan hidup dan bencana kerezekian yang
ditebar-tebarkan oleh imperialisme-modern itu; tidak ada hak-hak yang orang
berikan pada rakyat kami yang cukup nikmat dan menggembirakan untuk dijadikan
pelipur hati nasional yang mengeluh melihat kerusakan sosial dan ekonomi yang
disebabkan oleh imperialisme-modern itu; tidak ada hak-hak yang orang berikan
pada rakyatku yang boleh dijadikannya sebagai pegangan sebagai penguat, sebagai
sterking untuk memberhentikan kerja
imperialisme yang mengobrak-abrik kerezekian dan pergaulan hidup kami itu!
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar