Sel Nomor 5 Penjara Banceuy, Bandung - Jawa Barat. |
Merupakan bagian
pertama dari 6
Pendahuluan
Imperialisme
Tua dan Modern
Dan bukan saja di dalam dua macam itu
imperialisme bisa kita bagikan, –imperialisme juga bisa kita bagikan dalam
imperialisme-tua dan imperialisme-modern. Bukankah besar bedanya
imperialisme-tua bangsa Portugis dan Spanyol atau East India Company Inggris atau Oost
Indische Compagnie Belanda dalam abad ke-16, 17 dan 18— dengan
imperialisme-modern yang kita lihat dalam abad ke-19 atau 20,
imperialisme-modern yang mulai menjalar ke mana-mana sesudah kapitalisme-modern
bertakhta kerajaan di benua Eropa dan di benua Amerika Utara? Imperialisme-modern,
–imperialisme-modern yang kini merajalela di seluruh benua dan kepulauan Asia
dan yang kini kami musuhi itu– imperialisme-modern itu adalah anak
kapitalisme-modern. Imperialisme-modern pun sudah mempunyai perpustakaan, –tetapi
belum begitu terkenal di dalam arti-artinya dan rahasia-rahasianya sebagai soal
kapitalisme. Imperialisme-modern itu, oleh karenanya, Tuan-tuan Hakim, mau kami
dalilkan artinya agak lebar sedikit dari buku-buku satu dua. Kami tidak akan
mendalilkan buku Sternberg “Der-Imperialismus”
yang walau sangat menarik hati dan tinggi ilmu toh roda “kering” untuk
mendengarkannya, –kami mendalilkan Mr.Pieter Jalles Troelstra, pemimpin Belanda
yang baru wafat, yang menulis:
“Yang saya artikan dengan imperialisme
ialah kejadian, bahwa kapital besar sesuatu negeri yang sebagian besar dikuasai
bank-bank, mempergunakan politik luar negeri dari negeri itu untuk kepentingannya
sendiri. Perkembangan ekonomi yang cepat dalam abad kesembilan belas itu, menimbulkan
suatu persaingan hebat di lapangan pertanian dan industri. Salah satu akibat
persaingan ini, ialah bahwa pada penghabisan abad itu, politik proteksi (melindungi
negara sendiri) dengan cepat menjadi pegangan. Lahirlah industri besar yang
medern, tenaga produksi industri besar itu sangat diperbesar, tapi
kemungkinan-kemungkinan untuk menjualkan di negeri sendiri terbatas dan
timbullah kemustian mencari pasar di luar batas negeri sendiri. Caranya
industri besar mengatur kesukaran ini dengan tidak mengurangi untungnya ialah:
meninggikan harga di pasar dalam negeri yang dilindungi dan menjalankan taktik
dumping di luar negeri (yakni menjual barang-barang dengan harga yang lebih
murah dari harga biasa di situ). Politik “perlindungan yang agresif” ini saja
sudah membikin tambah panasnya perhubungan internasional. Di samping itu dengan
cepat bertambah subur bank-bank yang besar, kapitalnya tambah besar dan industri
dan perdagangan dalam negeri tidak cukup lagi untuk menanamkan kapital itu. Akibatnya
mengalirlah kapital itu keluar, istimewa ke negeri-negeri yang belum maju
ekonominya dan miskin akan modal. (Misalnya aliran kapital Prancis dan Inggris
ke Rusia dan kapital Belanda ke Timur). Aliran kapital keluar ini tidak hanya
berupa uang saja. Negeri-negeri yang mengeluarkan kapital itu juga mengirimkan
mesin-mesin, mendirikan pabrik-pabrik, membikinkan jalan-jalan kereta-api dan pelabuhan-pelabuhan,
dll. Dalam banyak hal bagi penanam modal lebih menguntungkan memasukkan uangnya
dalam onderneming-onderneming di negeri-negeri yang terkebelakang ekonominya,
di mana tenaga buruh murah dan keuntungan tidak dibatasi oleh undang perburuhan
dsb. ”
Begitulah keterangan Mr. Pieter Jalles
Troelstra. Marilah kita sekarang mendengarkan seorang sosialis lain, yakni H.
N. Brailsford, pengarang Inggris yang termashur itu.
“Di dalam zaman sekarang, yang dinamakan
kekayaan itu ialah pertama-tama kesempatan menanamkan modal dengan untung luarbiasa.
Penaklukan dalam pengertian yang lama sudah tidak berlaku lagi… Memburu
konsesi-konsesi di luar negeri dan membuka kekayaan-kekayaan terpendam dari
negara-negara yang lemah dan kerajaan-kerajaan yang setengah mati, makin
menjadi suatu pekerjaan resmi, suatu peristiwa nasional. Dalam fase ini bagi
kaum berkuasa jadi lebih penting dan menarik hati mengalirkan modal keluar
negeri dari mengekspor barang-barang. Imperialisme adalah semata-mata
penglahiran politik dari kecenderungan yang bertambah besar dari modal, yang
bertimbun-timbun di negeri-negeri yang lebih maju industrinya, untuk diperusahakan
ke negeri-negeri yang kurang maju dan kurang penduduk”.
Bukankah dengan dua contoh ini nyata
dengan sejelas-jelasnya, bahwa sangkaan imperialisme itu kaum amtenar, atau
bangsa kulit putih, atau pemerintah, atau “gezag”
pada umumnya, adalah salah sama sekali? Tapi marilah kita mendengarkan satu
kali lagi uraian seorang sosialis lain, yakni Otto Bauer yang termashur itu,
yang melihat di dalam imperialisme-modern itu, suatu politik meluaskan daerah,
suatu expansie politiek yang “Senantiasa
mengusahakan tercapainya maksud menjamin supaya kapital mendapat lapangan
menanaman dan pasar-pasar penjualan. Di dalam perekonomian negeri kapitalis
setiap waktu sebagian dari modal uang perusahaan ditarik dari peredaran kapital
pabrik… Jadinya, setiap waktu sebagian dari modal perusahaan dibekukan, setiap
waktu menjadi “bero” (Jawa, maksudnya
tanah kosong yang tidak dimanfaatkan). Apabila banyak modal uang dibekukan,
apabila pecahan-pecahan kapital yang lepas ini hanya lambat mengalirnya kembali
keperusahaan-perusahaan produksi, maka yang pertama-tama berkurang ialah
permintaan kepada alat-alat produksi dan tenaga-tenaga kerja. Ini berarti
segera merosotnya harga-harga dan keuntungan-keuntungan dalam industri
alat-alat produksi, bertambah beratnya perjuangan serikat sekerja, turunnya
upah-upah kaum buruh. Tapi kedua peristiwa itu berpengaruh pula atas industri-industri,
yang membikin barang-barang keperluan sehari-hari. Permintaan kepada
barang-barang yang langsung dibutuhkan untuk memenuhi keperluan orang,
berkurang, pertama oleh karena kaum kapitalis yang mendapat penghasilannya dari
industri-industri alat produksi, lebih sedikit mendapat untung, dan kedua
karena bertambah besarnya pengangguran dan turunnya upah-upah, mengurangi
tenaga pembeli golongan buruh. Oleh karena itu, juga dalam
perusahaan-perusahaan barang-barang keperluan hidup, harga-harga,
keuntungan-keutungan, upah-upah buruh merosot pula; demikianlah penarikan sebagian
besar dari modal uang dari peredaran kapital dalam industri umum, berakibat
merosotnya harga-harga, keuntungan-keuntungan, upah-upah, serta bertambah banyaknya
pengangguran. Maka pengetahuan ini buat maksud kita penting sekali, sebab
sekaranglah baru bisa kita mengerti maksud-maksud politik kapitalis untuk
menguasai (negeri lain). Politik ini bergiat mencari lapangan untuk menanaman
kapital dan pasar-pasar buat penjualan barang-barang. Sekarang mengertilah kita
bahwa ini bukan soal-soal yang berdiri sendiri-sendiri, tapi, pada hakekatnya adalah
satu soal saja”.
Apabila banyak modal uang dibekukan,
apabila pecahan-pecahan kapital yang lepas ini hanya lambat mengalirnya kembali
keperusahaan-perusahaan produksi, maka yang pertama-tama berkurang ialah permintaan
kepada alat-alat produksi dan tenaga-tenaga kerja. Ini berarti segera
merosotnya harga-harga dan keuntungan-keuntungan dalam industri alat-alat
produksi, bertambah beratnya perjuangan serikat sekerja, turunnya upah-upah kaum
buruh. Tapi kedua peristiwa itu berpengaruh pula atas industri-industri, yang
membikin barang-barang keperluan sehari-hari. Permintaan kepada barang-barang
yang langsung dibutuhkan untuk memenuhi keperluan orang, berkurang, pertama
oleh karena kaum kapitalis yang mendapat penghasilannya dari industri-industri alat
produksi, lebih sedikit mendapat untung, dan kedua karena bertambah besarnya
pengangguran dan turunnya upah-upah, mengurangi tenaga pembeli golongan buruh.
Oleh karena itu, jugadalam perusahaan-perusahaan barang-barang keperluan hidup,
harga-harga, keuntungan-keutungan, upah-upah buruh merosot pula; demikianlah
penarikan sebagian besar dari modal uang dari peredaran kapital dalam industri
umum, berakibat merosotnya harga-harga, keuntungan-keuntungan, upah-upah, serta
bertambah banyaknya pengangguran. Maka pengetahuan ini buat maksud kita penting
sekali, sebab sekaranglah baru bisa kita mengerti maksud-maksud politik
kapitalis untuk menguasai (negeri lain). Politik ini bergiat mencari lapangan
untuk menanaman kapital dan pasar-pasar buat penjualan barang-barang. Sekarang
mengertilah kita bahwa ini bukan soal-soal yang berdiri sendiri-sendiri, tapi,
pada hakekatnya adalah satu soal saja”.
Sekianlah dalil-dalil kami tentang arti
kata imperialisme, dari pena orang-orang sosialis. Marilah kita sekarang
mendengarkan keterangan orang yang bukan sosialis, yakni keterangan Dr.J.S.
Bartstra di dalam bukunya “Geschiedenis
van het moderne imperialisme”, dimana nanti akan tampak juga kebenaran perkataan
kami, bahwa imperialisme itu bukan pemerintahan, bukan sesuatu anggota
pemerintah, bukan sesuatu bangsa asing, –tetapi suatu kehausan, suatu nafsu,
suatu sistem menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri lain.
Berkata Dr.Bartstra:
“Perkataan “imperialisme” pertama sekali
dipakai di Inggris kira-kira tahun 1880. Yang dimaksud orang dengan perkataan
itu, ialah usaha untuk mengeratkan kembali perhubungan dengan Inggris dari
daerah-daerah jajahan yang memerintah sendiri dan pertaliannya dengan negeri
induknya sudah agak kendur dalam “masa liberal” yang lampau. Yang menarik hati
ialah bahwa perkataan itu sudah hilang sama sekali maknanya yang mula-mula itu”.……..
lama-kelamaan perkataan itu mendapat isi-pengertian yang lain: maknanya
sekarang ialah usaha bangsa Inggris, yang hendak memberi kepada “kerajaan”
pengluasan daerah jajahan yang lebih besar, baik dengan jalan menaklukkan
negeri-negeri yang oleh karena letaknya dalam ilmu bumi mungkin membahayakan
jika berada dalam tangan saingan, manapun dengan jalan merampas daerah-daerah,
yang bisa dijadikan pasar penjualan yang baik atau tepat-tempat orang bisa
mendapakan bahan-bahan pokok untuk pertukangan dalam negeri, yang justru waktu
itu mulai makin menderita oleh saingan luar negeri”. “Dalam arti pengluasan
daerah jajahan dengan tidak berbatas, pengertian itu segera juga menjadi
umum….”
Maka sesudah itu, Dr. Bartstra lalu
memberi keterangan lebih lanjut tentang penglihatan kaum sosialis terhadap
imperialisme itu, demikian:
“Sebabnya perkataan itu menjadi sangat
populer, ialah karena propaganda kaum sosial-demokrat, yang menganggap
peristiwa itu sebagai konsekuensi dari sistem produksi kapitalis. Memang yang memberikan
perkataan itu pengertian yang lebih dalam dan luas ialah pengarang-pengarang
Marxis, seperti Rudolf Hilferding, Karl Renner dan juga H. N. Brailsford yang
terkenal itu. Menurut mereka, imperialisme itu adalah politik luar negeri yang
tidak bisa dielakkan dari negara-negara yang mempunyai “kapitalisme keliwat matang”.
Yang dimaksud mereka ialah suatu kapitalisme yang pemusatan
perusahaan-perusahaan dari bank-bank yang dijalankan sampai sejauh-jauhnya.
Oleh karena itu, dan tidak sedikit pula oleh karena fungsi proteksionisme yang
sudah berubah —dulu suatu cara untuk mempertahankan diri terhadap luar negeri,
sekarang menjadi “sistem dumping”— maka imperialisme itu tidak puas lagi dengan
pikiran-pikiran liberal yang tradisionil mengenai tidak ikut campurnya negara
(dengan urusan partikulir), persaingan bebas dan pasifisme.
Paham-paham kemudian ini seolah-olah
sudah terbalik menjadi yang sebaliknya, yakni menjadi usaha mempergunakan
alat-alat kekuasaan negara yang melulu bersifat politik untuk maksud-maksud
ekonomi, yakni: mempengaruhi dan merampas daerah-daerah pasaran dan
daerah-daerah bahan pokok, pun juga menjamin pembayaran rente kapital-kapital
yang ditanam di negeri-negeri terkebelakang ekonominya. Mengenai soal
belakangan ini, yakni yang disebut “ekspor kapital”, oleh pengarang-pengarang
tersebut istimewa istimewa sekali ditunjukkan betapa pentingnya. Disebabkan karena
usaha kerajinan lebih sungguh-sungguh dikerjakan, oleh pemusatan-pemusatan bank-bank
dan oleh “sistem dumping”, maka —demikian kata mereka—bukan main banyaknya
kapital tertimbun-timbun, yang seringkali di dalam negeri tidak cukup bisa
dipergunakan. Itulah sebabnya maka makin lama makin terasa perlunya untuk
menanam kapital besar-besar di negeri-negeri yang terkebelakang ekonominya, tentu
saja dengan bunga yang setinggi-tingginya. Lagi pula dengan demikian didapatlah
pesanan-pesanan besar jalan kereta-api, mesin-mesin, dll. pada industri
sendiri. Akibat segalanya itu pula: perhubungan dengan luar negeri menjadi
runcing, bahaya perang, ekspedisi-ekspedisi militer, “daerah-daerah pengaruh”
di daerah-daerah seberang lautan, pengawasan atas uang masuk dan uang keluar
dari negeri-negeri asing oleh perkumpulan-perkumpulan bankir Eropa, pemburuan
mencari jajahan. Itulah imperialisme! Akhirnya Dr. Bartstra sekali lagi
mengatakan dengan saksama apa yang disebutnya imperialisme-modern, katanya:
“Yang disebut imperialisme-modern ialah
usaha meluaskan milik jajahan dengan tidak berbatas, seperti cita-cita demikian
itu menjadi pendorong dalam masa ± 1880 sampai sekarang bagi politik luar negeri
hampir semua negeri-negeri kebudayaan yang besar, terutama untuk keuntungan
industri dan kapital bank mereka sendiri. Imperialisme bukan sekali-kali
satu-satunya tenaga penggerak, bahkan tidak setiap saat yang paling kena dari
tenaga-tenaga penggerak yang sangat beragam-ragam dari jangka waktu itu, tapi dalam
akibat-akibatnya itulah salah satu yang menjadi sangat penting, oleh karena
panggung sejarah bertambah luas karenanya, buat pertamakali dan buat
selama-lamanya, di seluruh muka bumi”.
Bung Karno cs beserta Tim Pembela, di Pengadilan Landraad Bandung. |
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar