Meski Sukarno malah
dijatuhi hukuman empat tahun penjara, dua kali lebih berat
dari rekan-rekannya –Soekarno mendapat remisi jadi dua
tahun penjara. Bukan soal gagalnya pledoi itu membebaskan Soekarno dan
rekan-rekannya dari interniran, melainkan bagaimana pledoi itu sendiri menjadi
naskah klasik yang paling gemilang yang dilahirkan manusia republik di masa
pergerakan. Bahkan, pidato pembelaannya Bung Karno ini menjadi sangat terkenal
di seluruh dunia dengan judul “Indonesie
klaagt aan” –Indonesia Menggugat.
Reaksi dari ide yang digelontorkan Sukarno di gedung Landraad ini, menyebar
hingga ke Eropa dan Asia. Di Belanda, Partai Buruh bergolak, mendukung
pledoi Sukarno Indonesie klaagt
aan, sekaligus mendukung Indonesia Merdeka. Di Asia,
pidato ini menjadi salah satu inspirasi para tokoh negara-negara Asia untuk ikut
menggelorakan semangat kemerdekaan di negara mereka.
Penangkapan
Tokoh PNI
Pada bulan Mei tahun 1929, keputusan
diambil Hoofd-Bestuur dan cabang-cabang PNI untuk mengadakan daadwerkelijke
actie –aksi kekerasan. Bunyi
keputusan Mei PNI tersebut, adalah: “untuk mencapai kemerdekaan, kita harus
bersatu, membinasakan imperialisme dan kapitalisme atau merubuhkannya”. Hal
ini, membuat berang pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada 24 Desember 1929,
pemerintah Hindia Belanda perintahkan Procureur
General bij het Hoog Gerechtshof. Tugas Procureur: geledah dan tangkap
pemimpin-pemimpin pergerakan di seluruh “Nederlandsch Indie”. Rumah-rumah dan
kantor pemimpin PNI digeledah, dokumen-dokumen dibeslah –disita. Tuduhannya tunggal: “melakukan perbuatan pelanggaran
keamanan umum”.
Pada 28 Desember 1929, diselenggarakan
rapat umum PNI di Jogja. Tampil bicara: Sukarno, Gatot Mangkupradja, Maskun Sumadiredja,
dan Ki Hajar. Rombongan bermalam di rumah Dr. Sujudi, Jl Tugu Kidul. Saat menjelang
Subuh –29 Desember 1930, terjadi
kegaduhan. Pintu digedor keras oleh Komisaris Polisi Belanda, sambil menyuruh
Sukarno dkk keluar dari kamar –di bawah
todongan pistol. Sukarno dkk hanya dibolehkan tukar pakaian tidur dengan
pakaian sehari-hari –itu pun dilakukan di
halaman, tidak boleh lagi balik ke kamar. Sukarno dkk digiring ke penjara
Mergangsan –Wirogunan, depan gedung
Taman Siswa. Hanya sehari, Sukarno dan interniran
PNI lainnya diinapkan di Wirogunan. Subuh, sipir penjara membangunkan. Kemudian,
muncul Komisaris Polisi dan intel berbaju kain carik dengan memakai ikat kepala
dan baju tutup –wedana bernama Salamun
yang digunakan Belanda untuk mengawasi aktivis pergerakan. Sang wedana memberikan
perintah dalam bahasa Belanda: “De heren
worden nu naar Bandung getransporteerd, ga nu maar vlug aankleden”
(Tuan-tuan sekarang diangkut ke Bandung, lekas kenakan pakaian). Dari stasion
Tugu, Sukarno diangkut dengan kereta. Jendela-jendela ditutup rapat, serta dikawal
ketat oleh polisi-polisi bersenjata. Di peron stasion Cicalengka, Sukarno dkk
disambut oleh Edjeh Kartahadimedja (patih) dan Rahmat (camat) serta pasukan
bersenjata lengkap. Perjalanan dilanjutkan ke Bandung dengan mobil, Sukarno dkk
kemudian digiring ke penjara Banceuy di Bantjeujweg –Jalan Banceuy.
Pledoi
Sukarno
Sejak ditangkap di Jogja 29 Desember
1929, Sukarno dkk resmi jadi tahanan penjara Banceuy pada 30 Desember 1929 –dijaga satu regu tentara KNIL. Selama
kurang lebih 8 bulan menjadi tahanan penjara Banceuy inilah, Sukarno menyusun
pledoi yang sangat terkenal yang kemudian diberi nama Indonesia Menggugat
tersebut. Dua bulan, Sukarno –sebagai
pendiri dan Voorzitter Bestuur PNI, Gatot Mangkupradja –sebagai Sekretaris II Hoofdbestuur PNI,
Maskun Sumadiredja –sebagai Sekretaris II
Bestuur cabang Bandung, dan Supriadinata –sebagai kandidat propagandis PNI cabang Bandung, diinterogasi
Parket Pokrol Djendral. Strafproses atas keempat pemimpin PNI tersebut, dimulai
pada 18 Agustus 1930 hingga 22 Desember 1930 di Landraad Bandung. Selama 27
hari (18 Agustus – 29 September 1930), proses verbaal Sukarno berlangsung di
Landraad Bandung –ada 32 saksi dihadirkan.
Setelah proses verbaal, sidang kemudian ditambah dengan mendengarkan pembacaan
pledoi –pembelaan Sukarno yang
dipersiapkannya di penjara Banceuy dan diberi judul: “Indonesia Menggugat”.
Sukarno membaca “Indonesia Menggugat” pada 1 Desember 1930.
Jika naskah itu diindeks dengan jeli,
maka kita akan dapatkan sekitar 66 nama tokoh yang dikutip Sukarno. Sebut saja:
Albarda, Anton Menger, August de Wit, Bauer, Boeke, Brailsford, Brooshooft,
Clive Day, Colenbrander, Daan van der Zee, de Kat Angelino, Dietrich Schafer,
Dijkstra, Duys, Engels, Erskin Childres, Federik Peter Godfried, FG Waller,
Gonggijp, Henriette Roland Holsts, Herbert Spencer, HG Wells, Houshofer,
Huender, Jaures, John Robert Seeley, dan Jozef Mazzini. Ada juga: Jules
Harmand, Karl Kautsky, Karl Marx, Karl Renner, Kilestra, Koch, Kraemer,
Lievegoed, Mac Swiney, Manuel Quezon, Michael Davitt, Multatuli, Mustafa Kamil,
Parvus, Peter Maszlow, Pieter Veth, Raffles, Reinhard, Rouffaer, Rudolf
Hilferding, Sandberg, Sarojini Naidu, Schrieke, Scmalhausen, Sister Nivedita,
Sneevliet, Snouck Hugronje, Stokvis, Sun Yat Sen, Treub, Troelstra, van den
Bergh van Eysinga, van Gelderen, van Heldingen, van Kol, van Lith, dan Vleming.
Tokoh-tokoh itu menempati posisi dari pelbagai penjuru aliran pemikiran; dari kaum
agamawan, sosialis liberal, komunis, hingga penganjur kapitalis modern.
Bung Karno dan Inggit Garnasih |
Bagaimana bisa Sukarno mendapatkan
begitu banyak pasokan buku? Padahal, naskah itu ditulisnya saat ia disekap
dalam penjara Banceuy yang kotor dan jorok selama 330 hari. Bahkan dalam kamar
sel nomor 5 yang berukuran 1.5 x 2.5 meter itu, Sukarno dijaga ketat dan
berlapis karena dianggap sebagai musuh pemerintah kolonial kelas wahid.
Inggit Garnasih |
Adalah Inggit Garnasih –istri Sukarno, yang mengambil peran itu.
Inggit Garnasih
tahu, Sukarno itu hantu buku. Ia pelahap buku yang sangat rakus –bahkan, ketika rekannya yang membeli buku
belum sempat membacanya, sudah direbut Sukarno duluan dan setelah selesai
barulah buku itu dikembalikan. Sukarno boleh jadi hantu buku yang lahap,
tapi penjara Banceuy tetap mengharamkannya bertemu dengan buku. Penjara dan
pengucilan di Banceuy, memutus hobi Sukarno pada buku dan diskusi. Inggit
Garnasih yang membuka jalan bagaimana Sukarno kembali bergulat dengan buku,
terutama sekali saat Sukarno sedang mempersiapkan pleidoi panjang atas tuduhan
subversif yang dituduhkan pengadilan kepadanya. Cara Inggit Garnasih sangat sederhana,
untuk mempertemukan Sukarno dengan buku. Inggit menempuh jalan klandestin. Mula-mula,
Inggit mengutus kurir ke Jakarta untuk mengambil buku-buku milik Sartono –kawan sepergerakan dan jaksa pembela Sukarno.
Inggit memesan kurir untuk berpindah-pindah kendaraan agar tak diketahui
spion-spion pemerintah kolonial yang berkeliaran menginternir aktivis-aktivis
pergerakan. Untuk bisa lolos ke dalam penjara, buku-buku dililitkan Inggit
Garnasih distagennya dengan didahului puasa tiga hari –supaya perutnya bisa kempis betul. Lolos dari pintu depan, tak
berarti mata para spion Banceuy lepas. Namun Inggit Garnasih selalu berhasil
memperdaya penjagaan berlapis spion itu, hingga Sukarno mendapatkan pasokan
buku yang cukup dalam selnya yang pengap. Buku-buku pasokan Inggit itulah yang
dinukil Sukarno secara diam-diam, nyaris setiap malam.
Inggit Garnasih |
Mereka diadili dengan Hakim Ketua: Mr.
Siegenbeek van Heukelom dengan Jaksa Penuntut: R. Soemadisoerja. Belanda, yang
diwakili oleh Jaksa R. Soemadisoerja, menggunakan dakwaan ‘penyebaran kebencian
terhadap penguasa’ sesuai Pasal 169 bis dan Pasal 153 bis Wetboek van
Strafrecht, yang dikenal dengan haatzai artikelen –pasal-pasal ‘karet’, untuk menjerat Sukarno
dan rekan-rekannya. Mereka juga dituduh oleh pemerintah kolonial Belanda telah
melakukan makar, serta dianggap telah menghasut masyarakat melalui pemberitaan
dan propaganda di Fikiran Ra’jat, untuk melakukan pemberontakan terhadap
pemerintah kolonial. Pengadilan Landraad pun, memberikan kesempatan kepada
Sukarno untuk menyampaikan pidato pembelaannya. Sukarno membacakan pledoi ini
dengan didampingi kwartet pembela: Meester
in de rechten (Mr) Sartono; Mr. Sastromuljono; Dr. Sujudi; dan R. Ipih
Prawiradiputra (Paguyuban Pasundan);
serta didukung pula oleh Iskaq Tjokrohadisurjo (PNI). Tapi, Landraad tetap tak
bergeming dengan keputusannya. Sukarno tetap dihukum 4 tahun penjara –dengan tuduhan melanggar pasal 169 dan 153
bis Wetboek van Strafrecht/KUHP-nya jaman kolonial, sementara tiga rekan
Sukarno di PNI: Gatot Mangkupradja (dihukum 2 tahun); Maskun Sumadiredja (1
tahun 8 bulan); dan Supriadinata (1 tahun 3 bulan).
Setelah diadili di pengadilan Landraad, para
tokoh ini kemudian dimasukkan dalam sel penjara Sukamiskin Bandung –tidak lagi di penjara Banceuy. Penjara
Sukamiskin, sebuah penjara yang ironisnya dirancang oleh Bung Karno sendiri
ketika ia masih bekerja di biro arsitek milik gurunya yaitu Prof. C.P. Wolff
Schoemaker, yang kini justru mengurungnya. Sukarno merasa, penjara Sukamiskin
lebih parah ketimbang penjara Banceuy –tempat
dia ditahan saat masih menjalani persidangan di pengadilan. Di penjara
Banceuy, dia masih bisa mempelajari sejarah, lewat buku dan surat kabar yang
diselundupkan istrinya. Namun di penjara Sukamiskin, semua itu tidak bisa
dilakukannya lagi.
Pledoi itu sendiri terdiri dari 6
bagian, yakni: Pendahuluan; Imperialisme dan Kapitalisme; Imperialisme di Indonesia; Pergerakan di Indonesia; Partai Nasional Indonesia; dan Pelanggaran Pasal-pasal 169 dan 153 bis.
Risalah
Diambil
dari Risalah “Indonesia Menggugat”, yaitu Pidato Pembelaan Bung Karno di depan
pengadilan kolonial (Landraad) Bandung, 1930.
Imperialisme Tua
dan Modern
Oleh: Sukarno
Dan bukan saja di dalam dua macam itu
imperialisme bisa kita bagikan, –imperialisme juga bisa kita bagikan dalam
imperialisme-tua dan imperialisme-modern. Bukankah besar bedanya
imperialisme-tua bangsa Portugis dan Spanyol atau East India Company Inggris atau Oost
Indische Compagnie Belanda dalam abad ke-16, 17 dan 18— dengan
imperialisme-modern yang kita lihat dalam abad ke-19 atau 20,
imperialisme-modern yang mulai menjalar ke mana-mana sesudah kapitalisme-modern
bertakhta kerajaan di benua Eropa dan di benua Amerika Utara? Imperialisme-modern,
–imperialisme-modern yang kini merajalela di seluruh benua dan kepulauan Asia
dan yang kini kami musuhi itu– imperialisme-modern itu adalah anak
kapitalisme-modern. Imperialisme-modern pun sudah mempunyai perpustakaan, –tetapi
belum begitu terkenal di dalam arti-artinya dan rahasia-rahasianya sebagai soal
kapitalisme. Imperialisme-modern itu, oleh karenanya, Tuan-tuan Hakim, mau kami
dalilkan artinya agak lebar sedikit dari buku-buku satu dua. Kami tidak akan
mendalilkan buku Sternberg “Der-Imperialismus”
yang walau sangat menarik hati dan tinggi ilmu toh roda “kering” untuk
mendengarkannya, –kami mendalilkan Mr. Pieter Jalles Troelstra, pemimpin
Belanda yang baru wafat, yang menulis:
“Yang saya artikan dengan imperialisme
ialah kejadian, bahwa kapital besar sesuatu negeri yang sebagian besar dikuasai
bank-bank, mempergunakan politik luar negeri dari negeri itu untuk kepentingannya
sendiri. Perkembangan ekonomi yang cepat dalam abad kesembilan belas itu, menimbulkan
suatu persaingan hebat di lapangan pertanian dan industri. Salah satu akibat
persaingan ini, ialah bahwa pada penghabisan abad itu, politik proteksi (melindungi negara sendiri)
dengan cepat menjadi pegangan. Lahirlah industri besar yang modern, tenaga
produksi industri besar itu sangat diperbesar, tapi kemungkinan-kemungkinan
untuk menjualkan di negeri sendiri terbatas dan timbullah kemustian mencari
pasar di luar batas negeri sendiri. Caranya industri besar mengatur kesukaran
ini dengan tidak mengurangi untungnya ialah: meninggikan harga di pasar dalam negeri
yang dilindungi dan menjalankan taktik dumping
di luar negeri (yakni menjual barang-barang dengan harga yang lebih murah dari
harga biasa di situ). Politik “perlindungan yang agresif” ini saja sudah
membikin tambah panasnya perhubungan internasional. Di samping itu dengan cepat
bertambah subur bank-bank yang besar, kapitalnya tambah besar dan industri dan
perdagangan dalam negeri tidak cukup lagi untuk menanamkan kapital itu. Akibatnya
mengalirlah kapital itu keluar, istimewa ke negeri-negeri yang belum maju ekonominya
dan miskin akan modal (misalnya aliran kapital Prancis dan Inggris ke Rusia dan
kapital Belanda ke Timur). Aliran kapital keluar ini tidak hanya berupa uang
saja. Negeri-negeri yang mengeluarkan kapital itu juga mengirimkan mesin-mesin,
mendirikan pabrik-pabrik, membikinkan jalan-jalan kereta-api dan pelabuhan-pelabuhan,
dll. Dalam banyak hal bagi penanam modal lebih menguntungkan memasukkan uangnya
dalam onderneming-onderneming di negeri-negeri yang terkebelakang ekonominya,
di mana tenaga buruh murah dan keuntungan tidak dibatasi oleh undang perburuhan
dsb. ”
Begitulah keterangan Mr. Pieter Jalles
Troelstra. Marilah kita sekarang mendengarkan seorang sosialis lain, yakni H.N.
Brailsford, pengarang Inggris yang termashur itu.
“Di dalam zaman sekarang, yang dinamakan
kekayaan itu ialah pertama-tama kesempatan menanamkan modal dengan untung
luarbiasa. Penaklukan dalam pengertian yang lama sudah tidak berlaku lagi…
Memburu konsesi-konsesi di luar negeri dan membuka kekayaan-kekayaan terpendam
dari negara-negara yang lemah dan kerajaan-kerajaan yang setengah mati, makin
menjadi suatu pekerjaan resmi, suatu peristiwa nasional. Dalam fase ini bagi
kaum berkuasa jadi lebih penting dan menarik hati mengalirkan modal keluar
negeri dari mengekspor barang-barang. Imperialisme adalah semata-mata
penglahiran politik dari kecenderungan yang bertambah besar dari modal, yang
bertimbun-timbun di negeri-negeri yang lebih maju industrinya, untuk diperusahakan
ke negeri-negeri yang kurang maju dan kurang penduduk”.
Bukankah dengan dua contoh ini nyata
dengan sejelas-jelasnya, bahwa sangkaan imperialisme itu kaum amtenar, atau
bangsa kulit putih, atau pemerintah, atau “gezag”
pada umumnya, adalah salah sama sekali? Tapi marilah kita mendengarkan satu
kali lagi uraian seorang sosialis lain, yakni Otto Bauer yang termashur itu,
yang melihat di dalam imperialisme-modern itu, suatu politik meluaskan daerah,
suatu expansie politiek yang “Senantiasa
mengusahakan tercapainya maksud menjamin supaya kapital mendapat lapangan menanaman
dan pasar-pasar penjualan. Di dalam perekonomian negeri kapitalis setiap waktu
sebagian dari modal uang perusahaan ditarik dari peredaran kapital pabrik…
Jadinya, setiap waktu sebagian dari modal perusahaan dibekukan, setiap waktu
menjadi “bero” (Jawa, maksudnya tanah
kosong yang tidak dimanfaatkan). Apabila banyak modal uang dibekukan,
apabila pecahan-pecahan kapital yang lepas ini hanya lambat mengalirnya kembali
keperusahaan-perusahaan produksi, maka yang pertama-tama berkurang ialah
permintaan kepada alat-alat produksi dan tenaga-tenaga kerja. Ini berarti
segera merosotnya harga-harga dan keuntungan-keuntungan dalam industri
alat-alat produksi, bertambah beratnya perjuangan serikat sekerja, turunnya
upah-upah kaum buruh. Tapi kedua peristiwa itu berpengaruh pula atas industri-industri,
yang membikin barang-barang keperluan sehari-hari. Permintaan kepada
barang-barang yang langsung dibutuhkan untuk memenuhi keperluan orang,
berkurang, pertama oleh karena kaum kapitalis yang mendapat penghasilannya dari
industri-industri alat produksi, lebih sedikit mendapat untung, dan kedua
karena bertambah besarnya pengangguran dan turunnya upah-upah, mengurangi
tenaga pembeli golongan buruh. Oleh karena itu, juga dalam
perusahaan-perusahaan barang-barang keperluan hidup, harga-harga,
keuntungan-keutungan, upah-upah buruh merosot pula; demikianlah penarikan
sebagian besar dari modal uang dari peredaran kapital dalam industri umum,
berakibat merosotnya harga-harga, keuntungan-keuntungan, upah-upah, serta
bertambah banyaknya pengangguran. Maka pengetahuan ini buat maksud kita penting
sekali, sebab sekaranglah baru bisa kita mengerti maksud-maksud politik
kapitalis untuk menguasai (negeri lain). Politik ini bergiat mencari lapangan
untuk menanaman kapital dan pasar-pasar buat penjualan barang-barang. Sekarang
mengertilah kita bahwa ini bukan soal-soal yang berdiri sendiri-sendiri, tapi,
pada hakekatnya adalah satu soal saja”.
Apabila banyak modal uang dibekukan,
apabila pecahan-pecahan kapital yang lepas ini hanya lambat mengalirnya kembali
keperusahaan-perusahaan produksi, maka yang pertama-tama berkurang ialah
permintaan kepada alat-alat produksi dan tenaga-tenaga kerja. Ini berarti
segera merosotnya harga-harga dan keuntungan-keuntungan dalam industri
alat-alat produksi, bertambah beratnya perjuangan serikat sekerja, turunnya
upah-upah kaum buruh. Tapi kedua peristiwa itu berpengaruh pula atas industri-industri,
yang membikin barang-barang keperluan sehari-hari. Permintaan kepada
barang-barang yang langsung dibutuhkan untuk memenuhi keperluan orang,
berkurang, pertama oleh karena kaum kapitalis yang mendapat penghasilannya dari
industri-industri alat produksi, lebih sedikit mendapat untung, dan kedua
karena bertambah besarnya pengangguran dan turunnya upah-upah, mengurangi
tenaga pembeli golongan buruh. Oleh karena itu, jugadalam perusahaan-perusahaan
barang-barang keperluan hidup, harga-harga, keuntungan-keutungan, upah-upah
buruh merosot pula; demikianlah penarikan sebagian besar dari modal uang dari peredaran
kapital dalam industri umum, berakibat merosotnya harga-harga,
keuntungan-keuntungan, upah-upah, serta bertambah banyaknya pengangguran. Maka
pengetahuan ini buat maksud kita penting sekali, sebab sekaranglah baru bisa
kita mengerti maksud-maksud politik kapitalis untuk menguasai (negeri lain).
Politik ini bergiat mencari lapangan untuk menanaman kapital dan pasar-pasar buat
penjualan barang-barang. Sekarang mengertilah kita bahwa ini bukan soal-soal
yang berdiri sendiri-sendiri, tapi, pada hakekatnya adalah satu soal saja”.
Sekianlah dalil-dalil kami tentang arti
kata imperialisme, dari pena orang-orang sosialis. Marilah kita sekarang
mendengarkan keterangan orang yang bukan sosialis, yakni keterangan Dr.J.S. Bartstra
di dalam bukunya “Geschiedenis van het
moderne imperialisme”, dimana nanti akan tampak juga kebenaran perkataan
kami, bahwa imperialisme itu bukan pemerintahan, bukan sesuatu anggota
pemerintah, bukan sesuatu bangsa asing, –tetapi suatu kehausan, suatu nafsu,
suatu sistem menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri lain.
Berkata Dr.Bartstra:
“Perkataan “imperialisme” pertama sekali
dipakai di Inggris kira-kira tahun 1880. Yang dimaksud orang dengan perkataan
itu, ialah usaha untuk mengeratkan kembali perhubungan dengan Inggris dari
daerah-daerah jajahan yang memerintah sendiri dan pertaliannya dengan negeri
induknya sudah agak kendur dalam “masa liberal” yang lampau. Yang menarik hati
ialah bahwa perkataan itu sudah hilang sama sekali maknanya yang mula-mula itu”.……..
lama-kelamaan perkataan itu mendapat isi-pengertian yang lain: maknanya
sekarang ialah usaha bangsa Inggris, yang hendak memberi kepada “kerajaan”
pengluasan daerah jajahan yang lebih besar, baik dengan jalan menaklukkan
negeri-negeri yang oleh karena letaknya dalam ilmu bumi mungkin membahayakan
jika berada dalam tangan saingan, manapun dengan jalan merampas daerah-daerah,
yang bisa dijadikan pasar penjualan yang baik atau tepat-tempat orang bisa
mendapakan bahan-bahan pokok untuk pertukangan dalam negeri, yang justru waktu
itu mulai makin menderita oleh saingan luar negeri”. “Dalam arti pengluasan
daerah jajahan dengan tidak berbatas, pengertian itu segera juga menjadi
umum….”
Maka sesudah itu, Dr. Bartstra lalu
memberi keterangan lebih lanjut tentang penglihatan kaum sosialis terhadap
imperialisme itu, demikian:
“Sebabnya perkataan itu menjadi sangat
populer, ialah karena propaganda kaum sosial-demokrat, yang menganggap
peristiwa itu sebagai konsekuensi dari sistem produksi kapitalis. Memang yang memberikan
perkataan itu pengertian yang lebih dalam dan luas ialah pengarang-pengarang
Marxis, seperti Rudolf Hilferding, Karl Renner dan juga H.N. Brailsford yang
terkenal itu. Menurut mereka, imperialisme itu adalah politik luar negeri yang
tidak bisa dielakkan dari negara-negara yang mempunyai “kapitalisme keliwat matang”.
Yang dimaksud mereka ialah suatu kapitalisme yang pemusatan
perusahaan-perusahaan dari bank-bank yang dijalankan sampai sejauh-jauhnya.
Oleh karena itu, dan tidak sedikit pula oleh karena fungsi proteksionisme yang
sudah berubah —dulu suatu cara untuk mempertahankan diri terhadap luar negeri,
sekarang menjadi “sistem dumping” —maka imperialisme itu tidak puas lagi dengan
pikiran-pikiran liberal yang tradisionil mengenai tidak ikut campurnya negara
(dengan urusan partikulir), persaingan bebas dan pasifisme.
Paham-paham kemudian ini seolah-olah
sudah terbalik menjadi yang sebaliknya, yakni menjadi usaha mempergunakan
alat-alat kekuasaan negara yang melulu bersifat politik untuk maksud-maksud
ekonomi, yakni: mempengaruhi dan merampas daerah-daerah pasaran dan
daerah-daerah bahan pokok, pun juga menjamin pembayaran rente kapital-kapital yang ditanam di negeri-negeri terkebelakang
ekonominya. Mengenai soal belakangan ini, yakni yang disebut “ekspor kapital”, oleh
pengarang-pengarang tersebut istimewa-istimewa sekali ditunjukkan betapa
pentingnya. Disebabkan karena usaha kerajinan lebih sungguh-sungguh dikerjakan,
oleh pemusatan-pemusatan bank-bank dan oleh “sistem dumping”, maka —demikian kata mereka—bukan main banyaknya
kapital tertimbun-timbun, yang seringkali di dalam negeri tidak cukup bisa
dipergunakan. Itulah sebabnya maka makin lama makin terasa perlunya untuk
menanam kapital besar-besar di negeri-negeri yang terkebelakang ekonominya, tentu
saja dengan bunga yang setinggi-tingginya. Lagi pula dengan demikian didapatlah
pesanan-pesanan besar jalan kereta-api, mesin-mesin, dll. pada industri
sendiri. Akibat segalanya itu pula: perhubungan dengan luar negeri menjadi
runcing, bahaya perang, ekspedisi-ekspedisi militer, “daerah-daerah pengaruh”
di daerah-daerah seberang lautan, pengawasan atas uang masuk dan uang keluar
dari negeri-negeri asing oleh perkumpulan-perkumpulan bankir Eropa, pemburuan
mencari jajahan. Itulah imperialisme! Akhirnya Dr. Bartstra sekali lagi
mengatakan dengan saksama apa yang disebutnya imperialisme-modern, katanya:
“Yang disebut imperialisme-modern ialah
usaha meluaskan milik jajahan dengan tidak berbatas, seperti cita-cita demikian
itu menjadi pendorong dalam masa ± 1880 sampai sekarang bagi politik luar negeri
hampir semua negeri-negeri kebudayaan yang besar, terutama untuk keuntungan
industri dan kapital bank mereka sendiri. Imperialisme bukan sekali-kali
satu-satunya tenaga penggerak, bahkan tidak setiap saat yang paling kena dari
tenaga-tenaga penggerak yang sangat beragam-ragam dari jangka waktu itu, tapi dalam
akibat-akibatnya itulah salah satu yang menjadi sangat penting, oleh karena
panggung sejarah bertambah luas karenanya, buat pertamakali dan buat
selama-lamanya, di seluruh muka bumi”.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar