RAYON LPTK 136
Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG)
ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Siliwangi Tasikmalaya
2011
PENGEMBANGAN
PROFESIONALITAS GURU
Oleh:
Prof.
Dr. H. Dedi Heryadi, M. Pd.
Prof.
Dr. H. Yus Darusman, M. Si.
I.
TINJAUAN
BAHAN AJAR
Guru
sebagai tenaga pendidik merupakan ujung tombak dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa dalam mewujudkan cita-cita pembangunan nasional yaitu masyarakat adil
dan makmur. Untuk dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dengan baik,
guru dipersyaratkan memiliki profesionalitas tinggi yang ditandai dengan
karakter citra diri positif; etika; etos kerja; komitmen; dan empati yang baik.
Agar
memiliki profesionalitas yang diharapkan, guru perlu memahami konsep
profesionalitas guru; ciri-ciri guru profesional; upaya yang perlu dilakukan
guru dalam meningkatkan profesionalitasnya; dan contoh model kinerja guru
profesional. Sekaitan dengan keperluan tersebut, bahan ajar yang diuraikan
berikut bertujuan dapat menambah wawasan guru/peserta PLPG tentang konsep guru
profesional dan meningkatkan kesadaran guru untuk berupaya meningkatkan
keprofesionalannya.
Supaya
tujuan yang diharapkan tercapai, guru/peserta PLPG harus membaca hingga
memahaminya kemudian mendiskusikannya dengan instruktur dan guru/peserta PLPG
lainnya.
II.
URAIAN
BAHAN AJAR
A.
Memahami
Konsep Profesionalitas Guru
Upaya
peningkatan kualitas pendidikan sedang terus dilakukan oleh pemerintah, baik
melalui penyempurnaan kurikulum; melengkapi sarana dan prasarana pendidikan;
mencari dan mengkaji secara terus menerus sistem manajemen pendidikan yang
efektif dan efisien; serta peningkatan kualitas tenaga pendidik (guru) dan tenaga
kependidikan lainnya. Kita pasti mengetahui bahwa dari banyaknya upaya yang
dilakukan pemerintah saat ini, salah satu upaya yang cukup berat baik dari segi
moril maupun material adalah upaya peningkatan kualitas tenaga pendidik (guru).
Perlu kita ketahui pula bahwa pemerintah saat ini sangat menyadari;
bagaimanapun baiknya kurikulum; lengkapnya sarana dan prasarana pendidikan
serta bagusnya manajemen pendidikan yang dianut, tanpa disertai dengan
tenaga-tenaga pendidik atau guru yang berkualitas tidak mungkin kualitas
pendidikan dapat meningkat.
Berbicara
masalah kualitas guru di Indonesia, kita perlu menyikapi hasil-hasil pengamatan
orang secara arif; simpatik; dan menjadi bahan introspeksi untuk perbaikan. Di
antaranya ada pendapat yang berisi bahwa : (1) hampir separuh dari guru yang
ada di Indonesia tidak memiliki kompetensi yang layak mengajar; dengan
perincian sebanyak 605.217 orang guru SD; 167.643 orang guru SMP; 75.684 orang
guru SMA; dan 63.962 orang guru SMK; (2) tercatat lima belas persen guru yang
mengajar tidak sesuai dengan keahlian dan bidang yang dimilikinya (Kompas,
9/12/2005). Pendapat serupa ini tentu sangat mengejutkan bagi komunitas
pendidikan. Namun janganlah kita berkecil hati dengan pendapat seperti itu.
Mari kita berintrospeksi dan mengevaluasi diri, apa sesungguhnya kekurangan dan
kelemahan yang masih kita miliki kemudian segeralah kita atasi dan lengkapi
dengan baik kekurangan dan kelemahan itu.
Guru
sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa
dalam menyandang profesi guru, kita memiliki tanggung jawab moral yang cukup
berat. Dalam mengemban tugas profesi guru, kita tidak bisa melakukannya dengan
asal-asalan melainkan perlu memiliki komitmen disertai dengan kepandaian khusus
dalam menyelenggarakan pendidikan. Kepandaian-kepandaian khusus yang dituntut
(sesuai dengan isi ayat 2 pasal 39 Undang-undang RI Nomor 20) yaitu : (1)
kepandaian dalam menyususn perencanaan pembelajaran; (2) kepandaian dalam
melaksanakan proses pembelajaran; (3) kepandaian dalam menilai hasil
pembelajaran; serta (4) komitmen dan kepandaian dalam upaya melaksanakan
perbaikan pembelajaran. Kalau membaca ayat 2 pasal 40 Undang-undang RI Nomor
20, kita dapat mengetahui bahwa guru atau tenaga pendidik memiliki kewajiban
yang cukup kompleks, yaitu : (1) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna;
menyenangkan; kreatif; dinamis; dan dialogis, (2) mempunyai komitmen secara
profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan (3) memberi keteladanan dan
menjaga nama baik lembaga; profesi; dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan
yang diembankan kepadanya. Oleh karena itu, terkait dengan konsep profesi
guru seperti dikemukakan di atas, orang yang pantas menyandang profesi guru
adalah orang-orang yang berkualifikasi pendidikan keguruan dan kependidikan S1
dan bersertifikat pendidik.
Profesionalisme
guru adalah mutu; kualitas; dan tindak-tanduk yang
merupakan ciri guru professional. Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, berisi bahwa pendidik harus memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi pendidik, sehat jasmani dan
rohani serta berkemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Isi
pasal 8 ini kita jadikan dasar untuk menggali ciri profesionalisme guru.
Kualifikasi
akademik berkaitan dengan tingkat dan bidang
pendidikan yang telah ditempuh. Kualifikasi akademik yang dipersyaratkan untuk
menjadi guru profesional adalah lulus jenjang S1 atau D4 bidang kependidikan
sesuai dengan mata pelajaran atau guru kelas yang diampu. Untuk guru kelas TK
sebaiknya lulusan jenjang S1 PGTK; guru kelas SD sebaiknya lulusan jenjang S1
PGSD, guru bahasa Indonesia di SMP/MTs; SMA/MA; dan SMK/MAK sebaiknya lulusan
jenjang S1 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, demikian pula
guru mata-mata pelajaran lainnya.
Kompetensi
adalah seperangkat pengetahuan; keterampilan; dan perilaku yang harus dimiliki,
dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan profesi guru. Dalam pasal
10 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 dinyatakan bahwa
kompetensi guru meliputi empat macam, yaitu : kompetensi pedagogik;
kompetensi profesional; kompetensi kepribadian; dan kompetensi sosial. Ciri
dan kualitas keprofesionalan seorang guru dapat diukur dari empat kompetensi
tersebut. Agar memahami maksud dari masing-masing empat kompetensi tersebut,
mari kita bahas satu persatu.
Kompetensi
pedagogik adalah kemampuan guru dalam mengelola
pembelajaran peserta didik. Dalam pengelolaan pembelajaran, guru harus : (1) memahami
kandungan isi kurikulum sebagai dasar dalam mengembangkan program pembelajaran;
(2) mampu mengembangkan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran; (3)
menguasai pelbagai model pembelajaran yang inovatif sehingga tercipta
pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM); (4) mampu
mengembangkan dan melaksanakan teknik evaluasai hasil pembelajaran; dan (5)
mampu melakukan tindak lanjut dari hasil evaluasi pembelajaran, misalnya
melaksanakan pembelajaran remedial. Selain lima kemampuan utama yang dituntut
dalam pengelolaan pembelajaran, ada beberapa kemampuan penunjang yang mesti
dimiliki pula oleh guru, diantaranya adalah memahami psikologi pendidikan;
administrasi pendidikan; dan penelitian pendidikan. Kemampuan penunjang
tersebut sangat berguna dan membantu guru dalam dalam upaya lebih meningkatkan
kualitas pembelajaran yang sedang dan akan dilakukannya.
Kompetensi
profesional adalah kemampuan menguasai materi
pelajaran secara luas dan mendalam. Dalam upaya mengarahkan siswa untuk
mencapai kompetensi yang telah ditetapkan dalam kurikulum, guru perlu
menentukan materi pelajaran yang tepat. Materi pelajaran yang hendak disajikan
harus dikuasai dengan sungguh-sungguh keluasan dan kedalamannya oleh guru,
sehingga guru dapat mengorganisasikannya dengan baik dari segi kompleksitasnya
(dari yang mudah kepada yang sulit, dari yang konkret kepada yang kompleks),
maupun dari segi keterkaitannya (dari yang harus lebih awal muncul sebagai
dasar bagi bagian berikutnya). Bahan pelajaran yang diorganisasikan dengan
tepat selain memudahkan guru dalam menyajikannya, juga dapat memudahkan siswa
untuk memilikinya. Guru yang kurang menguasai bahan pelajaran yang diajarkan
dapat berakibat fatal, baik terhadap rasa percaya dirinya; kewibawaannya;
kepercayaan siswa; dan tentunya terhadap hasil pembelajaran.
Kompetensi
kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang
mantap; berakhlak mulia; arif; dan berwibawa serta menjadi teladan peserta
didik. Kompetensi kepribadian terkait dengan moral guru yang tercermin dalam
sikap dan perilakunya. Landasan utama moral seorang guru sehingga ia dapat
bersikap dan berperilaku yang terpuji, menjadi panutan bagi siswa dan masyarakat
pada umumnya adalah keimanan dan ketakwaan sesuai dengan agama yang dianutnya.
Dengan landasan keimanan dan ketakwaan yang kuat, seorang guru dapat mengenali
dan menguasai dirinya sehingga dia tidak akan bersikap angkuh, sombong, dan
tidak berperilaku yang tidak sesuai dengan perannya sebagai sosok pendidik.
Selain keimanan dan ketakwaan, guru harus patuh terhadap kode etik profesi
guru. Jika memahami dan sadar terhadap tuntutan kode etik profesi guru, ia
dapat bersikap arif, objektif, demokratis, dan jujur selalu menyertai tugas
keprofesionalan dirinya. Kemudian dalam berperilaku, ia dapat berpenampilan
yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru dan terhadap
keseluruhan situasi pendidikan; juga menjadikan dirinya sebagai panutan dan
teladan bagi siswanya. Perlu diingat bahwa guru harus dapat memberi keteladanan
yang terbaik bagi siswanya. Kita masih ingat dengan peribahasa klasik : “Guru
kencing berdiri, murid kencing berlari”. Peribahasa ini mengandung makna jika
guru memberi contoh perilaku yang kurang baik, maka murid akan berperilaku yang
lebih kurang baik lagi. Seandainya informasi benar bahwa saat ini banyak guru
ketika Ujian Nasional suka membocorkan jawaban kepada siswanya, maka contoh
perilaku guru tersebut menggambarkan contoh kebejatan moral guru yang dapat
merusak sikap dan perilaku anak didiknya.
Kompetensi
sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan
berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru,
kepala sekolah, orang tua/wali siswa, dan masyarakat sekitar. Kompetensi sosial
menuntut guru untuk mampu bergaul secara proporsional dan profesional. Mampu
bergaul secara proporsional artinya ia dapat memosisikan dirinya siapa yang
sedang dihadapinya. Jika berkomunikasi dengan teman sejawat (misalnya dengan
guru lain) tentunya bahasa, sikap, dan perilaku berbeda ketika berkomunikasi
dengan atasan (misalnya kepala sekolah) atau dengan siswa. Kita sebagai guru
harus bisa menempatkan diri di tengah-tengah orang lain. Janganlah menjadi
orang yang mengucilkan diri atau bahkan dikucilkan oleh orang lain. Tentunya kompetensi
sosial yang dimiliki guru sangat erat dengan kompetensi kepribadiannya.
Manakala guru memiliki kompetensi kepribadian yang baik, dapat dipastikan ia
mudah dan mampu berkomunikasi dengan orang lain.
Dari
uraian di atas, kita dapat mengenali 10 ciri-ciri guru professional yang
meliputi :
1.
Selalu
punya energi untuk siswanya
Seorang
guru yang baik, menaruh perhatian pada siswanya pada setiap percakapan atau
diskusi dengan mereka. Ia juga punya kemampuan menyimak keinginan siswanya.
2.
Memiliki
tujuan pelajaran yang jelas
Seorang
guru yang baik mesti memiliki tujuan setiap melaksanakan pembelajaran, sehingga
aktivitas di kelas diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut.
3.
Memiliki
keterampilan mendisiplinkan yang efektif
Seorang
guru yang baik memiliki keterampilan disiplin yang efektif, sehingga bisa
mempromosikan perubahan perilaku para siswanya di dalam kelas.
4.
Memiliki
keterampilan manajemen kelas yang baik
Seorang
guru yang baik memiliki keterampilan manajemen kelas yang baik, sehingga dapat
menumbuhkan perilaku siswa yang baik, seperti cara belajar yang baik; cara
bekerja sama yang efektif; dan tertanamkan rasa hormat yang baik terhadap
seluruh komponen kelas.
5.
Dapat
berkomunikasi dengan baik
Seorang
guru yang baik dapat berkomunikasi secara terbuka dengan orang orang tua siswa,
dengan apa yang terjadi di kelas, tentang perubahan kurikulum dan isu-isu
lainnya. Mereka selalu terbuka untuk menerima telefon; panggilan rapat; dan
membuka e-mail.
6.
Punya
harapan yang tinggi pada siswanya
Seorang
guru yang baik selalu memiliki harapan agar siswanya dapat bekerja dan
mengarahkan potensinya, sehingga menjadi orang-orang yang sukses.
7.
Memahami
kurikulum
Seorang
guru yang baik memiliki pengetahuan yang mendalam tentang kurikulum yang
menjadi program pembelajarannya, sehingga mereka bekerja diarahkan untuk
mencapai program itu.
8.
Memahami
subjek yang diajarkan
Seorang
guru yang baik memahami secara luar biasa materi yang diajarkan. Ia siap
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan siswanya dan dapat
mengkolaborasikan dengan bidang studi lainnya.
9.
Selalu
memberikan yang terbaik untuk anak didiknya
Seorang
guru yang baik bergairah mengajar anak didiknya. Mereka gembira bisa
mempengaruhi anak didiknya dalam kehidupan saat itu dan untuk masa depannya.
10. Memiliki hubungan yang berkualitas dengan anak
didiknya
Seorang
guru yang baik mengembangkan hubungan yang kuat, saling menghormati, dan
membangun kepercayaan.
B.
Upaya
Guru dalam Meningkatkan Profesionalitas
Peningkatan
kualitas pendidikan pada suatu negara yang ingin bermartabat merupakan suatu
keharusan karena sangat disadari bahwa kualitas pendidikan merupakan dasar
utama penentu kemajuan suatu negara/bangsa. Yang menjadi kunci utama
meningkatnya kualitas pendidikan adalah kualitas keprofesionalan guru. Oleh
karena itu, tidak salah jika ada orang yang berpendapat bahwa kemajuan suatu
bangsa sangat ditentukan oleh kualitas guru yang ada pada bangsa itu.
Upaya
meningkatkan kualitas keprofesionalan guru merupakan tanggung jawab bersama
elemen bangsa, baik pemerintah (pusat dan daerah); masyarakat; maupun guru itu
sendiri. Upaya pemerintah saat ini sudah cukup tampak memberi perhatian yang
cukup baik dalam meningkatkan kualitas guru. Penghargaan dan dukungan
masyarakat terhadap profesi guru sudah semakin meningkat. Buktinya saat ini masyarakat
menempatkan profesi guru sebagai peringkat kedua setelah profesi dokter
dibandingkan dengan profesi-profesi bergengsi lainnya. Dukungan masyarakat
secara moril seperti itu secara langsung akan mendongkrak lebih cepatnya
peningkatan kualitas guru untuk masa kini dan masa yang akan datang. Namun di
samping upaya pemerintah dan dukungan masyarakat yang sangat berharga itu,
elemen yang paling utama harus meningkatkan kualitas guru adalah guru itu
sendiri.
Ada
beberapa hal yang tampaknya perlu menyertai guru dalam upaya meningkatkan
keprofesionalannya. Hal-hal yang dimaksud di antaranya adalah perlunya
meningkatkan komitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikan; perlunya
membudayakan prinsip belajar seumur hidup; dan suka melakukan evaluasi diri.
1. Meningkatkan Komitmen
Komitmen
adalah perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu (Dikbud, 1999:515).
Komitmen bukan pengetahuan dan keterampilan melainkan merupakan sikap moral
berupa tekad yang utuh untuk melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya sehingga dapat
memperoleh hasil yang berkualitas. Komitmen bagi guru merupakan dukungan moral
untuk berbuat dengan sebaik-baiknya dalam melaksanakan tugas keprofesian
sebagai guru. Sejak kita dipercaya oleh pemerintah mengemban tugas profesi guru
maka sejak itulah atau bahkan sebelumnya, komitmen untuk melaksanakan kewajiban
keprofesian guru dengan sebaik-baiknya telah muncul dalam hati nurani kita.
Komitmen
yang harus dibangun oleh setiap guru dalam menjalankan keprofesiannya di
antaranya adalah : (1) untuk menjadikan peserta didik menjadi manusia (warga
negara) yang beriman dan takwa kepada Tuhan Yang Mahaesa; cerdas; terampil; dan
memiliki sikap mulia; jujur; demokratis; dan bertanggung jawab, (2) untuk
selalu meningkatkan kualitas pembelajaran bagi peserta didik, dan (3) untuk
selalu meningkatkan kompetensi keprofesionalan dan menjunjung tinggi kode etik
profesi guru. Ketiga komitmen tersebut harus selalu menjadi landasan kehidupan
dalam menjalani tugas sebagai guru. Apabila setiap guru sudah memiliki komitmen
yang kuat dan merealisasikannya dengan konsisten dalam pelaksanaan tugas
sehari-harinya, insya Alloh kualitas pendidikan di Indonesia dapat cepat
meningkat.
Landasan
yang kuat untuk munculnya komitmen adalah adanya kecintaan/kesenangan terhadap
profesi yang dimilikinya. Untuk memiliki komitmen yang baik terhadap profesi
guru, perlu dilandasi oleh kecintaan atau kesenangan terhadap
profesi tersebut. Jika seseorang menjadi guru karena terpaksa daripada
menganggur, maka dipastikan ia tidak akan memiliki komitmen yang baik. Ia
melaksanakan tugas hanya asal-asalan. Rasa tanggung jawab memegang amanah untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang sudah ditetapkan oleh pemerintah,
tidak akan muncul dalam hati nuraninya. Oleh karena itu, kita harus jujur
menjawab pertanyaan ini : “Menyenangi atau tidak, tentang profesi yang diemban
saat ini ?” jika jawabannya : “tidak”, maka kita lebih baik mundur dari
profesi guru. Janganlah memaksakan diri karena dapat berdampak merugikan orang
banyak. Jika jawabannya : “menyenangi profesi guru”, maka buatlah
komitmen dengan sejujurnya seperti contoh komitmen di atas. Kita jadikan
komitmen itu sebagai acuan yang mengiringi kita dalam melaksanakan tugas
harian. Kemudian, kita harus merasa berdosa manakala dalam melaksanakan tugas
profesi guru, mengingkari komitmen atau janji tersebut. Memang orang lain tidak
mengetahui komitmen kita, tapi hati nurani kita yang tahu dan kita harus
mempertanggung jawabkannya dihadapan Yang Maha Kuasa.
Melaksanakan
tugas profesi guru jangan dijadikan tugas sampingan, karena profesi guru
menuntut keuletan dan konsentrasi yang terfokus. Manajemen dalam melaksanakan
tugas keguruan meliputi : perencanaan; pelaksanaan; evaluasi; dan tindak
lanjut. Melaksanakan tugas profesi guru seperti itu mesti dilakukan rutinitas
dan kesungguhan. Manakala seorang guru memiliki pekerjaan lain, tentu pekerjaan
rutinitas profesi guru akan terbengkalai. Jika demikian, apa dan bagaimana
komitmen kita sebagai guru ? saat ini masih ada guru yang memiliki pekerjaan
pokok lainnya di samping profesi guru. Mereka selalu beralasan bahwa
penghasilan dari profesi guru tidak mencukupi kebutuhan hidup. Alasan seperti
itu sesungguhnya relatif. Jika seorang guru memiliki kompetensi kepribadian
yang baik, maka ia dapat mengelola kehidupannya secara teratur. Perlu disadari
bahwa besarnya penghasilan tidak menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup. Sebesar
bagaimanapun penghasilan, jika keinginan yang menjadi kebutuhannya lebih
banyak, penghasilan itu tidak ada apa-apanya. Oleh karena itu, sebaiknya
keinginan atau harapan yang dibuat sebagai kebutuhan hidup itu disesuaikan
dengan jumlah besarnya penghasilan yang kita dapat. Insya Alloh, kita dapat
berkecukupan.
2. Budayakan Prinsip Belajar Seumur Hidup
Guru
jangan merasa puas dan merasa cukup dengan kemampuan yang sudah dimiliki. Ada
peribahasa bahwa guru harus haus dengan ilmu. Yang berprofesi guru
dipersyaratkan harus mengikuti perkembangan jaman sehingga mengetahui apa yang
saat ini sedang menjadi isu dalam bidang ilmu dan khususnya dalam bidang ilmu
pendidikan. Oleh karena itu, guru harus belajar. Semboyan : “Live long
education”; “Carilah ilmu, mulai lahir hingga ke liang lahat” harus diimplementasikan
dalam kehidupan guru.
Kita
sangat menyadari bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan ilmu pendidikan dari
waktu ke waktu terus terjadi. Misalnya dalam kaitan dengan kedalaman dan
keluasan materi ajar, terus digali dan dikembangkan. Demikian pula kurikulum;
rancangan pembelajaran; strategi dan model-model pembelajaran yang inovatif,
terus diperbaharui dan disempurnakan. Kenyataan tersebut tentu sangat berkaitan
dengan peran dan tugas para guru. Jika guru tidak mengikuti perkembangan dalam
bidang keilmuan; khususnya bidang ilmu kependidikan, pasti ia akan tertinggal
bahkan tergilas oleh tuntutan jaman. Oleh karena itu, saya ajak guru untuk
belajar terus dalam menambah wawasan sehingga dapat mewujudkan komitmen yang
sudah dibangun.
Model
menambah wawasan yang dapat dilakukan oleh guru, banyak macamnya; di antaranya
adalah : (1) melalui studi lanjutan pada jenjang yang lebih tinggi; (2)
mengikuti diklat-diklat bidang pendidikan atau pembelajaran; (3) mengikuti
kegiatan ilmiah, seperti : seminar; lokakarya; dan lain-lain yang terkait
dengan bidang pendidikan/pembelajaran; (4) rajin menyimak berita dan membaca
buku-buku, majalah, dan lain-lain yang berkaitan dengan bidang pendidikan dan
pembelajaran.
3. Biasakan Melakukan Evaluasi Diri (Self Evaluation)
Orang
yang baik adalah orang yang mengetahui keadaan dirinya. Kekurangan dan
kelemahan serta keunggulan yang ada pada dirinya akan terasa lebih enak jika
diukur sendiri daripada diukur dan dinilai oleh orang lain. Keuntungan
mengetahui keadaan diri sendiri yaitu kita dapat membuat keputusan dengan tepat
jika menghadapi suatu pilihan, dan kita bisa menyadari dan suka berusaha
memperbaiki kelemahan yang ada pada diri kita.
Banyak
hal pada diri kita yang terkait dengan profesi guru yang perlu dievaluasi, di
antaranya yaitu :
(1) Mutu pelaksanaan komitmen yang telah kita bangun;
(2) Kompetensi profesional yang kita miliki;
(3) Kompetensi pedagogik yang kita miliki;
(4) Kompetensi kepribadian yang kita miliki;
(5) Kompetensi sosial yang kita miliki.
Melalui
evaluasi diri, diharuskan kita secara jujur mengakui keunggulan dan kelemahan
diri kita. Keunggulan yang kita miliki perlu terus dipertahankan dan dapat
dijadikan modal untuk pengembangan kualitas karier kita. Kelemahan yang kita
miliki perlu segera diatasi melalui tahapan mengenali yang menjadi akar
permasalahan kekurangan itu terjadi, kemudian segera atasi dengan mengambil
solusi sesuai dengan kapasitas diri yang kita miliki. Dengan cara seringnya
melakukan evaluasi diri atau introspeksi seperti ini, insya Alloh
profesionalitas kita dalam mengemban tugas profesi guru, akan terus berkembang
secara positif. Kita jangan punya perasaan dan tekad bahwa setelah lulus
sertifikasi dan memiliki sertifikat pendidik keprofesionalan, kita sudah sampai
puncaknya atau berakhir. Namun dengan mendapatkannya sertifikat pendidik dari
uji sertifikasi ini, harus menjadi pendorong meningkatnya tanggungjawab untuk
mewujudkan komitmen kita sebagai guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran;
kualitas pendidikan; dan kualitas bangsa Indonesia.
C.
Model
Kinerja Mengajar Guru Profesional
Seorang
guru yang memiliki profesionalisme yang baik, dapat mengimplementasikan
kompetensinya saat melaksanakan pembelajaran kepada peserta didiknya. Ia
menunjukkan kinerja mengajar yang dapat memenuhi kebutuhan peserta didiknya,
serta dapat mewujudkan harapan pemerintah yang dituangkan melalui program
kurikulum pada setiap satuan pendidikan. Model aktivitas pembelajaran yang
diselenggarakan oleh guru profesional, harus bersifat dinamis dan dialogis
sehingga bermakna dan menyenangkan bagi peserta didiknya. Sesuai dengan
ketentuan pemerintah saat ini bahwa setiap guru harus dapat menyelenggarakan
pembelajaran yang memenuhi standar PAKEM (Pembelajaran Aktif; Kreatif;
Efektif; dan Menyenangkan).
Terwujudnya
suatu pembelajaran yang memenuhi harapan peserta didik, ditunjang oleh
keprofesionalan guru dalam melakukan sistem pengelolaan pembelajaran. Kalau
kita kembali mengingat tentang kompetensi pedagogik yang merupakan salah satu
unsur dari profesionalisme guru, kita mengetahui bahwa guru profesional adalah
guru yang mampu mengelola pembelajaran. Di dalam sistem proses pengelolaan
pembelajaran yang mesti dilakukan oleh guru profesional, adalah
1. Membuat perencanaan pembelajaran yang dapat
dijadikan pedoman atau acuan dalam pelaksanaan pembelajaran;
Perencanaan
pembelajaran merupakan komponen yang mesti dibuat oleh guru. Kita harus
menyadari bahwa pelaksanaan pembelajaran yang tidak berdasar pada perencanaan
yang baik, berpeluang besar untuk terjadinya pembelajaran yang tidak karuan
karena tujuan yang hendak dicapai tidak jelas; materi pelajaran tidak
terorganisasi dengan baik; metode dan teknik pembelajaran asal jalan; dan
hasilnya sulit diketahui. Oleh karena itu, sebagai guru profesional,
rajin-rajinlah membuat perencanaan pembelajaran. Model perencanaan pembelajaran
yang saat ini harus dikembangkan oleh guru profesional adalah RPP.
2. Menguasai materi pelajaran yang diajarkan;
Penguasaan
materi pelajaran merupakan syarat penting terjadinya proses pembelajaran yang
diharapkan oleh siswa. Guru yang menguasai kedalaman dan keluasan materi yang
diajarkan, dapat menimbulkan kepuasan kepada peserta didik. Mereka sangat
mempercayai apa yang diucapkan dan dilakukan oleh gurunya. Kewibawaan bagi anak
didiknya dan rasa percaya diri, mesti dapat terjadi manakala guru menguasai
materi pelajaran yang akan diajarkannya.
3. Menggunakan metode dan teknik pembelajaran yang
memudahkan peserta didik belajar dan guru mengajar;
Metode
merupakan prosedur mengajar, sedangkan teknik merupakan cara yang dilakukan
guru dalam membelajarkan anak didiknya. Metode dan teknik pembelajaran yang
digunakan, harus dipertimbangkan kesesuaiannya dengan kompetensi yang harus
dicapai oleh peserta didik; karakter peserta didik; dan sarana pembelajaran
yang tersedia. Saat ini banyak metode dan teknik pembelajaran inovatif yang
mesti dipilih dan dipertimbangkan keefektipannya oleh guru.
4. Memanfaatkan multimedia;
Dewasa
ini perkembangan hasil teknologi semakin maju, keadaan demikian sangat
mempengaruhi pola kehidupan umat manusia, termasuk dalam dunia pendidikan.
Pembelajaran berbasis ICT (Information and Communication Technology)
sudah cukup populer saat ini. Model pembelajaran tersebut ternyata selain
menarik bagi peserta didik, juga diketahui dapat menumbuhkan kemandirian mereka
dalam belajar. Dengan media ICT, guru sangat terbantu dalam mengefisienkan
tenaga dan memanfaatkan waktu. Oleh karena itu, para guru profesional sudah
saatnya mengenal dan memanfaatkan multimedia dalam setiap menyelenggarakan
pembelajaran.
5. Melaksanakan evaluasi untuk mengukur keberhasilan
pembelajaran.
Menyelenggarakan
evaluasi, penting dilakukan setiap akhir pembelajaran dengan fungsi untuk
mengetahui keberhasilan siswa mencapai kompetensi yang telah direncanakan.
Selain itu, evaluasi dapat pula berfungsi untuk mengetahui kesulitan yang
dihadapi oleh peserta didik. Dengan mengetahui adanya siswa yang menghadapi
kesulitan belajar, maka guru dapat melakukan upaya tindak lanjut dengan
menyelenggarakan program “remedial teaching”. Ada beberapa prinsip yang harus
dijadikan landasan dalam melakukan evaluasi, di antaranya adalah : prinsip
objektivitas; komprehensif; dan kontinuitas; serta menggunakan instrumen yang
valid dan reliabel.
Itulah
diantaranya komponen-komponen sistem pembelajaran yang mesti dilakukan oleh
para guru profesional. Sudah barang tentu, untuk dapat terus mewujudkan
pembelajaran yang lebih baik, sangat menuntut kerja keras para guru yang
disertai dengan komitmen yang tinggi; terus belajar; dan sadar akan kekurangan
dan kelemahan yang mesti diatasi.
Daftar
Pustaka
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (1999), Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai
Pustaka.
Ikatan
Mahasiswa Pecinta Alam, Seni, dan Budaya (2009), Guru Yang Profesional.
Tersedia pada http://www.ipased.wordpress.com
Santosa,
I Wayan (2009), Dimensi-Dimensi Teoritis Peningkatan Profesionalisme Guru.
Tersedia pada http://www/blogspot.wayan.com
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta : BP Restindo Mediatama.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Tersedia pada http://www.depdiknas.go.id/inlink-php?to=guru-dosen
PERENCANAAN,
MEDIA, DAN EVALUASI PEMBELAJARAN IPS
Oleh :
Dr. Siti
Fadjarajani, MT
Nedi Sunaedi,
M.Si
A. PERENCANAAN PEMBELAJARAN IPS
1. Peran Guru dalam Perencanaan Pembelajaran
Dalam
perencanaan pembelajaran, perlu dibuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
RPP merupakan komponen penting dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
yang harus dilakukan secara professional (Mulyasa, 2007:212). Dalam perencanaan
pembelajaran, perlu memperhatikan tiga hal penting. Pertama, persiapan
meruapakan suatu proses yang diarahkan pada tindakan mendatang; Kedua,
persiapan diarahkan pada tindakan di masa mendatang; Ketiga,
rencana pelaksanaan pembelajaran sebagai bentuk kegiatan perencanaan
serat hubungannya dengan bagaimana sesuatu dapat dikerjakan secara optimal.
Guru profesional harus mampu mengembangkan RPP yang baik, logis, dan
sistematis, karena disamping untuk melaksanakan pembelajaran, RPP mengemban “professional
accountability” sehingga guru dapat mempertanggungjawabkan apa yang
dilakukannya. Dengan RPP yang optimal, guru dapat mengkoordinasikan kompetensi
dasar yang akan dicapai dalam pembelajaran secara terarah. RPP berisi garis
besar (outline) apa yang akan dikerjakan oleh guru dan peserta didik
selama proses pembelajaran.
2. Prinsip Pengembangan RPP
Harus
memperhatikan karakteristik peserta didik terhadap materi standar yang
dijadikan bahan kajian, agar guru jangan hanya berperan sebagai transformator,
tetapi berperan sebagai motivator. Untuk kepentingan tersebut, pengembangan RPP
memiliki berbagai prinsip :
a. Kompetensi
yang dirumuskan dalam RPP harus jelas;
b. RPP
harus sederhana dan fleksibel;
c. Kegiatan
yang disusun dan dikembangkan dalam RPP harus menunjang kompetensi dasar yang
akan diwujudkan;
d. RPP
yang dikembangkan harus utuh dan menyeluruh serta jelas pencapaiannya;
e. Harus
ada koordinasi antar komponen pelaksanaan program di sekolah.
3.
Cara
Mengembangkan RPP
Cara
pengembangan RPP dalam garis besarnya dapat mengikuti langkah-langkah sebagai
berikut :
a. Mengisi
kolom identitas;
b. Menentukan
alokasi waktu yang dibutuhkan untuk pertemuan yang telah ditetapkan;
c. Menentukan
standar kompetensi dan kompetensi dasar serta indikator yang akan digunakan
yang terdapat pada silabus yang telah disusun;
d. Merumuskan
tujuan pembelajaran berdasarkan SK dan KD, serta Indikator yang telah
ditentukan;
e. Mengidentifikasi
materi standar berdasarkan materi pokok/materi pembelajaran yang terdapat dalam
silabus. Materi standar merupakan uraian dari materi pokok/materi pembelajaran;
f. Menentukan
metode pembelajaran yang akan digunakan;
g. Merumuskan
langkah-langkah pembelajaran yang terdiri dari : kegiatan awal, inti, dan
akhir;
h. Menentukan
sumber belajar yang digunakan;
i. Menyusun
kriteria penilaian, lembar pengamatan, contoh soal, dan teknik penskoran.
4. Format RPP Berbasis KTSP
Format
RPP KTSP sekurang-kurangnya memuat : tujuan pembelajaran, materi ajar, metode
pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar.
Contoh
Format RPP
RENCANA
PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Mata Pelajaran : …………………………….
Satuan
Pendidikan : …………………………….
Kelas / Semester : …………………………….
Pertemuan Ke : …………………………….
Alokasi Waktu : ……….. Jam Pelajaran
(isi sesuai
dengan silabus)
A. Standar
Kompetensi
1.
……………………………………..
2.
……………………………………..
B. Kompetensi
Dasar
1.
…………………………………….
2.
…………………………………….
C. Indikator
1.
…………………………………….
2.
…………………………………….
(SK – KD –
Indikator ditulis lengkap sesuai dengan silabus)
D. Tujuan
Pembelajaran
1.
…………………………………….
2.
…………………………………….
(rumuskan
dengan lengkap mengacu pada indikator)
E.
Materi Standar
1.
…………………………………….
2.
…………………………………….
(tulis garis
besar atau pokok-pokoknya saja yang langsung berkaitan dengan indikator dan
tujuan pembelajaran)
F.
Metoda Pembelajaran
1.
…………………………………….
2.
…………………………………….
(tulis cara
yang akan ditempuh untuk mencapai tujuan pembelajaran, misalnya : ceramah;
diskusi; karyawisata; dan cara lainnya)
G. Kegiatan
Pembelajaran
1.
Kegiatan Awal (pembukaan) :
a.
Apersepsi ………………………………
b.
Motivasi ………………………………
2.
Kegiatan Inti (pembentukan
kompetensi) :
a.
Eksplorasi : …………………………
b.
Elaborasi :
…………………………
c.
Konfirmasi : …………………………
3.
Kegiatan Akhir (penutup) :
a.
……………………………………….
b.
……………………………………….
(tulis
kegiatan apa yang harus dilakukan dari awal sampai akhir untuk mencapai tujuan
dan pembentukan kompetensi)
H. Sumber
Belajar
1.
………………………………………
2.
………………………………………
(tulis sumber
belajar yang akan digunakan, termasuk : alat peraga; media; dan bahan
pembelajaran/buku sumber)
I.
Penilaian
1.
Tes Tulis : ……………….
2.
Kinerja (Performansi) : ……………..
3.
Produk : ………………..
4.
Penugasan / Proyek : ……………...
5.
Portofolio : ………………
(tulis
penilaian apa yang akan dilakukan untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan
pembelajaran dan kompetensi dasar, pilih jenis penilaian yang paling tepat)
5.
Langkah-langkah
Penyusunan RPP
a.
Mencantumkan Identitas
b.
Mencantumkan SK – KD
c.
Merumuskan Indikator Pencapaian
Kompetensi
d.
Mencantumkan Tujuan Pembelajaran
e.
Mencantumkan Materi Pembelajaran
f.
Mencantumkan Metode Pembelajaran
g.
Mencantumkan Langkah-langkah
Kegiatan Pembelajaran
h.
Mencantumkan Sumber Belajar
i.
Mencantumkan Penilaian
Catatan :
Ć
RPP disusun untuk satu KD;
Ć
SK – KD – Indikator dikutip dari
silabus yang disusun oleh satuan pendidikan;
Ć
Alokasi waktu diperhitungkan
untuk pencapaian satu KD yang bersangkutan, yang dinyatakan dalam Jam Pelajaran
dan banyaknya pertemuan. Oleh karena itu, waktu untuk mencapai suatu KD dapat
diperhitungkan dalam satu atau beberapa kali pertemuan, tergantung pada
karakteristik KD nya.
B. MEDIA PEMBELAJARAN IPS
1. Pendahuluan
Secara
harfiah berasal dari kata Media (bhs. Latin) yang berarti perantara
atau pengantar. AECT mengartikan media sebagai segala bentuk dan saluran
yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan/informasi. Dari definisi di atas
dapat disimpulkan bahwa : Media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan
untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang
pikiran, perasaan, minat, dan perhatian siswa sehingga PBM dapat berlangsung.
Tujuan
utama pembelajaran adalah adanya perubahan tingkah laku pada peserta didik
setelah mengikuti proses pembelajaran. Perubahan tingkah laku ini dapat berupa
: penambahan pengetahuan (aspek kognitif); sikap (aspek afektif); dan perilaku
(aspek psikomotorik). Tentunya perubahan tingkah laku ini yang bersifat positif
dan menuju ke arah perbaikan. Siswa menjadi lebih pintar, berbudi luhur, dan
bertingkah laku yang baik.
Banyak
cara penyampaian materi pelajaran ini agar dapat diserap dan diingat dengan
baik oleh siswa, salah satunya yang sangat efektif adalah pemakaian alat bantu
(media) pembelajaran. Pertanyaannya : mengapa harus menggunakan media
pembelajaran ? menurut penelitian, daya serap panca indera manusia tidaklah
sama. Masing-masing panca indera manusia memiliki karakteristik tersendiri
dalam daya serap pembelajaran. Proses belajar seseorang, dengan menggunakan
indera penglihatan mencapai 82%; pendengaran 11%; peraba 3,5%; perasa 2,5%; dan
penciuman 1% (Piran Wiroatmojo dan Sasonohardjo, 2002). Dari situ dapat ditarik
kesimpulan bahwa apabila penyampaian materi pelajaran lebih banyak memanfaatkan
indera penglihatan, akan memperoleh hasil yang paling tinggi. Apabila
digabungkan antara pemanfaatan indera penglihatan dan pendengaran secara
bersama-sama, maka hasilnya akan lebih maksimal lagi.
Media
dirancang agar pemakai bisa mengontrol dan merekayasa tampilannya setiap saat
atau kapan saja sesuai dengan kebutuhan. Media-media itu adalah gambar atau
video; suara atau audio; grafis; animasi dan teks/tulisan. Media-media tersebut
merupakan alternatif dalam menyampaikan materi pelajaran yang dibarengi dengan
uraian lisan, yang akhirnya akan dicatat secara cermat untuk mencernakan fakta
dan imajinasi agar mudah diingat. Pengetahuan dan kemampuan menggunakan media
pembelajaran, sangat menunjang kelancaran penyampaian ilmu pengetahuan;
teknologi; dan seni (IPTEKS). Oleh karenanya, perlu dikuasai oleh seorang
pendidik atau guru.
2. Proses Belajar Mengajar sebagai Proses Komunikasi
Seorang
guru memberikan kesempatan kepada seorang siswa untuk menyampaikan instruksi
kepada siswa yang lain untuk membuat gambar sederhana yang dipegangnya. Siswa
tersebut mendeskripsikan gambar yang dipegang guru dengan menggunakan kata-kata
oral (yang diucapkan) tanpa memperlihatkan gambar tersebut pada siswa lainnya.
Penyampaian
instruksi tersebut memakan waktu yang lama dan meskipun berulang-ulang
instruksinya, tetap menimbulkan banyak pertanyaan dan kadang-kadang dapat
menimbulkan emosi. Setelah diperiksa dari keseluruhan hasil kerja siswa
tersebut, tidak ada satupun yang membuat dengan benar; yang mirip pun hanya
separuh, sedangkan sisanya salah sama sekali. Jika si pemberi instruksi (guru)
itu hanya mempertanyakan siapa yang bodoh, masih lebih baik dari pada telah
memutuskan bahwa siswalah sebagai orang-orang bodoh.
Proses
belajar mengajar pada hakekatnya adalah proses komunikasi, yaitu proses
penyampaian pesan dari sumber pesan melalui saluran (media) tertentu ke
penerima pesan. Pesan; sumber pesan; saluran (media); ke penerima pesan adalah
komponen-komponen proses komunikasi. Pesan yang dikomunikasikan adalah isi
ajaran atau didikan yang ada dalam kurikulum, sumber pesannya bisa guru;
peserta didik; orang lain; ataupun penulis buku dan produser media. Salurannya,
media pembelajaran. Penerima pesannya adalah siswa dan/atau guru.
Pesan
berupa isi ajaran atau didikan yang ada dalam kurikulum dituangkan oleh guru ke
dalam simbol-simbol komunikasi, baik verbal (kata-kata; lisan atau tulisan)
maupun simbol non-verbal atau visual. Proses penuangan pesan ke dalam
symbol-simbol komunikasi itu disebut encoding. Selanjutnya penerima
pesan (peserta didik atau guru) menafsirkan simbol-simbol komunikasi tersebut
sehingga diperoleh pesan. Proses penafsiran simbol-simbol komunikasi yang
mengandung pesan-pesan tersebut disebut decoding.
3. Manfaat Media Pembelajaran
Banyak
manfaat yang dapat dipetik dari penggunaan media dalam pembelajaran. Menurut
Piran Wiroatmodjo dan Sasonohardjo (2002), beberapa keguanaan media adalah
sebagai berikut :
a. Penggunaan
media pembelajaran dapat memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu
verbalistik.
b. Dengan
menggunakan media pembelajaran secara tepat dan bervariasi, dapat diatasi sikap
pasif siswa. Dalam hal ini, media pembelajaran berguna untuk : (1) menimbulkan
motivasi dan gairah belajar; (2) memungkinkan interaksi yang lebih langsung
antara siswa dengan lingkungan dan kenyataan; dan (3) memungkinkan peserta
didik belajar sendiri menurut kemampuan dan minatnya. Mengatasi keterbatasan
ruang; waktu; dan daya indera, misalnya : objek terlalu besar; objek yang
terlalu kecil; gerak yang terlalu lambat atau terlalu cepat; kejadian atau
peristiwa yang terjadi di masa lalu dapat ditampilkan lagi lewat rekaman
film/video/film slide/foto ataupun secara verbal. Objek yang terlalu kompleks
(misalnya, mesin-mesin) dapat disajikan dengan model diagram. Konsep yang
terlalu luas (gunung api; gempa bumi; iklim) dapat divisualkan dengan bentuk
film/video/film slide/gambar.
c. Dengan
sifat yang unik pada setiap siswa ditambahlagi dengan lingkungan dan pengalaman
yang berbeda, sedangkan kurikulum dan materi ditentukan sama untuk setiap
siswa, maka guru akan banyak mengalami kesulitan bilamana semuanya diatasi
sendiri. Masalah ini dapat diatasi dengan media pembelajaran, yakni dengan
kemampuan dalam memberikan perangsang yang sama; mempersamakan pengalaman; dan
menimbulkan persepsi yang sama.
4. Jenis-jenis Media Pembelajaran
Dalam
pengertian teknologi pendidikan, media atau bahan sebagai sumber belajar
merupakan komponen-komponen dari system instruksional di samping pesan; orang;
teknik latar dan peralatan. Pengertian media ini sering dikacaukan dengan
peralatan. Media atau bahan adalah perangkat lunak (software) berisi
pesan atau informasi pembelajaran yang biasanya tersajikan dengan menggunakan
alat, sedangkan peralatan atau perangkat keras (hardware) sendiri
merupakan sarana untuk dapat menampilkan pesan yang terkandung dalam media
tersebut (AECT, 1977). Dengan masuknya berbagai pengaruh ke dalam khasanah
pendidikan, seperti ilmu cetak-mencetak; tingkah laku (behaviourism);
komunikasi; dan laju perkembangan teknologi elektronika; media dalam
perkembangannya tampil dalam berbagai jenis format (modul cetak; film;
televisi; video; program radio;dan komputer) masing-masing mempunyai ciri dan
kemampuannya sendiri. Untuk tujuan praktis, berikut ini akan dibahas
karakteristik beberapa jenis media yang biasa digunakan dalam kegiatan belajar
mengajar.
Klasifikasi
media dan jenisnya : Media Grafis : (1) gambar/foto; (2) sketsa; (3) diagram;
(4) grafik; (5) bagan; (6) kartun; (7) poster; (8) peta dan globe; (9) papan
flannel; (10) papan bulletin. Media Audio : (1) radio; (2) tape/ audio CD.
Media Proyeksi Diam : (1) film bingkai (slide film); (2) media
transparansi (OHT). Media Proyeksi Gerak (Audio Visual) : (1) film; (2) program
siaran TV; (3) video (cassette/laser disc/CD). Multimedia : file program
komputer multimedia. Benda atau Model : (1) benda nyata/asli; (2) benda
tiruan/model (Piran Wiroatmojo dan Sasonohardjo, 2002, h.20-21).
5. Karakteristik Media Pembelajaran
a. Media Grafis
Media
grafis termasuk media visual sebagaimana halnya media lainnya, berfungsi untuk
menyalurkan pesan dari sumber ke penerima pesan. Saluran yang dipakai,
menyangkut indera penglihatan. Pesan yang akan disampaikan dituangkan ke dalam
simbol-simbol komunikasi visual. Simbol-simbol tersebut perlu dipahami benar
artinya agar proses penyampaian pesan dan berhasil dan efisien. Selain fungsi
umum tersebut, secara khusus grafis berfungsi pula untuk menarik perhatian;
memperjelas sajian ide; menggambarkan atau menghiasi fakta yang mungkin akan
cepat dilupakan atau diabaikan bila tidak digrafiskan. Selain sederhana dan
mudah pembuatannya, media grafis termasuk media yang relatif murah ditinjau
dari segi biayanya.
b. Media Audio
Berbeda
dengan grafis, media audio berkaitan dengan indera pendengaran. Pesan yang akan
disampaikan dituangkan ke dalam lambing-lambang auditif, baik verbal (ke dalam
kata-kata/bahasa lisan) maupun nonverbal. Ada beberapa jenis media yang dapat
kita kelompokkan ke dalam media audio, antara lain : radio; alat perekam pita magnetik;
kaset audio; piringan hitam; compact disc audio; dan laboratorium
bahasa.
c. Media Proyeksi Diam
Media
proyeksi diam mempunyai persamaan dengan media grafis dalam arti menyajikan
rangsangan-rangsangan visual. Kecuali itu, bahan-bahan grafis banyak dipakai
dalam media proyeksi diam. Perbedaan yang jelas diantara mereka adalah : bila
media grafis dapat secara langsung berinteraksi dengan pesan media yang
bersangkutan, pada media proyeksi pesan tersebut harus diproyeksikan dengan
peralatan proyektor terlebih dahulu agar dapat dilihat oleh peserta didik.
Adakalanya jenis media ini disertai rekaman audio, tetapi kebanyakan hanya
visual saja.
1) Film
Bingkai
Beberapa
keuntungan menggunakan film bingkai sebagai media pembelajaran, yaitu :
2) Film
Rangkai
Seperti
halnya film bingkai, kecepatan penyajian film rangkai bisa diatur; dapat
ditambah narasi dengan kontrol oleh pengajar. Semua kelebihan non projected
still picture, dimiliki oleh film rangkai. Film rangkai dapat mempersatukan
berbagai media pembelajaran yang berbeda dan dalam satu rangkai (foto; bagan;
dukumen; gambar; tabel; simbol; dan kartun), cocok untuk mengajarkan
keterampilan, urutan gambar sudah pasti karena film rangkai adalah satu
kesatuan. Penyimpanannya mudah, cukup digulung dan dimasukkan ke tempat khusus.
Reproduksinya dalam jumlah besar, relatif mudah pergambarnya dibandingkan
dengan film bingkai, dan dapat untuk belajar kelompok maupun individual.
3) Media
Transparansi
Media
transparansi atau overhead transparency (OHT) dan nama perangkat
kerasnya yaitu overhead projector (OHP). Berbagai obyek atau pesan yang
dituliskan atau digambarkan pada transparansi dapat diproyeksikan lewat OHP,
misalnya : diagram; peta; grafik; dan karikatur. Sebagai media pembelajaran,
media transparansi mempunyai beberapa kelebihan dan keterbatasan.
4) Proyektor
Tak Tembus Pandang (opaque projector)
Kelebihan
proyektor tak tembus pandang sebagai media pembelajaran ialah bahwa bahan cetak
pada buku; majalah; fotografis; bagan; diagram; atau peta dapat diproyeksikan
secara langsung tanpa dipindahkan ke permukaan transparansi terlebih dahulu.
Kelebihan lainnya yaitu : dapat digunakan untuk hampir semua bidang studi yang
ada dikurikulum; dapat memperbesar benda kecil menjadi sebesar papan sehingga
bahan yang semula hanya untuk individu jadi untuk seluruh kelas. Namun selain
itu, memiliki kelemahan yaitu bahwa proyektor tak tembus pandang tidak seperti
OHP harus digunakan di ruangan yang digelapkan.
5) Mikrofis
Adalah
lembaran film transparan yang terdiri dari lambing-lambang visual (grafis
maupun verbal) yang diperkecil sedemikian rupa sehingga tak dapat dibaca dengan
mata telanjang. Ukurannya ada beberapa macam, bisa 3 x 5 inchi; 6 x 8 inchi;
atau 4 x 6 inchi. Microcard, misalnya sebagai salah satu variasi
mikrofis dapat meringkas 50 halaman buku biasa ke dalam satu lembar kartu
ukuran 3 inchi x 5 inchi. Dengan microcard yang khusus, kartu tersebut dapat
dibaca dengan jelas.
d. Media Audio Gerak (Audio Visual)
Media
ini mampu menayangkan gambar-gambar diam, bergerak, dan bersuara, baik melalui
proyektor maupun melalui pesawat televisi. Berikut ini jenis media audio gerak
:
1) Film
Gerak
Sebagai
suatu media, keunggulan-keunggulan film gerak antara lain : merupakan suatu
denominator belajar yang umum; film gerak sangat bagus untuk menerangkan suatu
proses; gerakan-gerakan lambat dan pengulangan-pengulangan akan memperjelas
uraian dan ilustrasi; film gerak dapat menampilkan kembali masa lalu dan
menyajikan kembali kejadian-kejadian sejarah yang lampau; film gerak dapat
mengembara dengan lincahnya dari satu negara ke negara yang lain; horizon
menjadi amat lebar; dunia luar dapat dibawa masuk kelas; film gerak dapat
menyajikan, baik teori maupun praktik dari yang bersifat umum ke khusus atau
sebaliknya; film gerak dapat mendatangkan seorang ahli dan memperdengarkan
suaranya di kelas; film gerak dapat menggunakan teknik-teknik seperti : warna,
gerak lambat, dan animasi untuk menampilkan butir-butir tertentu; film gerak
dapat memikat perhatian setiap orang; lebih realistis; dapat diulang-ulang; dan
dihentikan sesuai kebutuhan; hal-hal yang abstrak menjadi jelas; dapat
mengatasi keterbatasan daya indera kita (penglihatan); dan film gerak dapat
merangsang atau memotivasi kegiatan para peserta.
2) Film
Gelang
Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan media film gelang,
diantaranya : ruangan tak perlu digelapkan; dapat berputar berulang-ulang
sehingga pengertian yang kabur menjadi jelas; baik sekali untuk menunjukkan
suatu periode yang pendek yang berisi gerakan-gerakan tertentu dari obyek yang
dipelajari. Obyek yang dipelajari hanya akan dimengerti bila dipertunjukkan
gerakan, misalnya : perpecahan; dan perkembangbiakkan protozoa. Film gelang
mudah sekali diintegrasikan ke pelajaran dan dipakai bersama media lain. Karena
sederhana, peserta didikpun bisa memakainya sendiri dan film dapat dihentikan
setiap saat untuk diselingi penjelasan atau diskusi.
3) Program
Siaran Televisi (TV)
Sebagai
media pembelajaran, televisi mempunyai kelebihan-kelebihan diantaranya : TV
dapat menerima, menggunakan, mengubah, atau membatasi semua bentuk media yang
lain, menyesuaikannya dengan tujuan-tujuan yang akan dicapai; TV merupakan
media yang menarik, modern, dan selalu siap diterima oleh semua usia karena
sudah merupakan kebutuhan kehidupan; TV menyajikan informasi visual dan lisan
secara simultan; TV merupakan realitas dari film tapi juga mempunyai kelebihan
yang lain yaitu immediacy (obyek yang baru saja ditangkap kamera, karena
dapat segera dipertontonkan); sifatnya langsung atau nyata.
4) Video
Sebagai
media pembelajaran, video mempunyai kelebihan-kelebihan diantaranya : dapat
menarik perhatian untuk periode-periode yang singkat dari rangsangan luar
lainnya; dengan alat perekam pita video, sejumlah besar penonton dapat
memperoleh informasi dari ahli-ahli atau spesialis; demonstrasi yang sulit
dapat dipersiapkan dan direkam sebelumnya sehingga pada waktu mengajar,
pengajar dapat memusatkan perhatian pada penyajiannya; menghemat waktu dan
rekaman dapat diputar berulang-ulang; kamera TV dapat mengamati lebih dekat
obyek yang lagi bergerak atau obyek yang berbahaya seperti harimau; keras-lemah
suara yang ada, dapat diatur dan disesuaikan, bila akan disisipi komentar,
gambar proyeksi biasa di-“beku’-kan untuk diamati dengan seksama. Pengajar
dapat mengatur di mana ia akan menghentikan gerakan gambar tersebut dan ruangan
tak perlu digelapkan pada waktu penyajiannya.
e. Komputer Multimedia
Memanfaatkan
program komputer dengan file multimedia sebagai media pembelajaran, mampu
menampilkan gambar-gambar maupun tulisan yang diam dan bergerak serta bersuara.
Mutu tampilan gambar dan suara, sangat bagus. Sudah stereo surround dan
efek tiga dimensi. Apabila ada perubahan tampilan, prosesnya dapat dilakukan
pada saat itu juga dalam waktu yang sangat singkat di depan peserta didik,
sehingga lebih menarik dan lebih informatif. Dalam kenyataannya, media ini
mampu menggantikan hampir semua peranan media yang ada sebelumnya. Sejauh tetap
berfungsi normal, dibantu penayangannya dengan LCD projector (infocus)
serta selama power listrik tidak padam.
f. Benda Nyata dan Model
Memanfaatkan
benda nyata (asli) dalam proses pembelajaran terutama bila metode yang dipakai
adalah demonstrasi atau praktik di lapangan, membuat siswa lebih mantap dan
yakin atas kegiatan tersebut. Untuk mengatasi keterbatasan, baik objek serta
situasi maka perlu diadakan benda tiruan (model atau miniatur) sehingga proses
pembelajaran berjalan dengan baik.
C. EVALUASI PEMBELAJARAN IPS
1. Tujuan
Tujuan
Umum
Agar para peserta Diklat memahami
dasar-dasar atau prinsip-prinsip pengukuran dan penilaian pendidikan, serta
dapat melaksanakan usaha pengukuran dan penilaian pendidikan menurut
prinsip-prinsip tersebut dalam rangka pelaksanaan tugas dan kewajibannya
sebagai guru yang profesional.
Tujuan
Khusus
Agar peserta Diklat mampu merumuskan
kisi-kisi perencanaan ujian atau tes; dapat mengolah angka (score) mentah
dengan statistik yang sederhana; dapat menerapkan pendekatan-pendekatan dalam
memberikan nilai akhir; dapat menganalisis soal-soal objektif (misalnya:
Benar-Salah dan Pilihan Ganda) secara empiris; serta dapat mengemukakan
unsur-unsur validitas, reliabilitas, dan kepraktisan ujian/tes.
2. Terminologi
Pengukuran
adalah suatu usaha untuk mengetahui keadaan sesuatu sebagaimana adanya.
Pengukuran dapat berupa pengumpulan data. Usaha untuk mengetahui luas lapangan
sepak bola disebut pengukuran luas lapangan sepak bola. Contoh lain, usaha
untuk mengetahui jumlah nama kota di Jawa Barat yang diingat oleh anak usia 5
tahun, disebut : pengukuran jumlah nama kota di Jawa Barat oleh anak usia 5
tahun. Hasil pengukuran dapat berupa angka atau uraian yang menggambarkan
derajat kualitas atau kuantitas serta eksistensi objek yang diukur tersebut.
Penilaian
adalah semua usaha membandingkan hasil pengukuran terhadap sesuatu bahan
pembanding (patokan). Si Polan memiliki angka mata pelajaran Geografi 130,
sedangkan angka rata-rata kelasnya 85. Sehingga dapat dikatakan : Polan
memperoleh angka tinggi dibandingkan dengan angka rata-rata kelasnya. Jika batas
lulus ditetapkan 80, maka angka Polan jauh melampaui angka batas lulus.
Evaluasi merupakan kegiatan yang meliputi pengukuran dan penilaian. Pengukuran
dalam bahasa asing measurement, sedangkan penilaian adalah evaluation.
Dari kata evaluation inilah diperoleh kata evaluasi yang berarti
menilai, tetapi dilakukan dengan mengukur terlebih dahulu. Untuk melakukan
pengukuran dalam pendidikan, biasanya dilakukan melalui alat yang disebut tes
atau ujian. Dalam penilaian hasil ujian misalnya, digunakan patokan-patokan
pembanding yang berbeda-beda, diantaranya : (1) angka yang diperoleh
kawan-kawan sekelasnya; (2) batas penguasaan kompetensi terendah yang harus
dicapai untuk dianggap lulus; (3) prestasi siswa yang bersangkutan di waktu
lampau; dan (4) kemampuan dasar dari anak itu sendiri. Dalam keseluruhan
strategi dan proses pembelajaran, maka tujuan pengukuran dan penilaian adalah
untuk mengetahui taraf pencapaian tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan
terlebih dahulu.
3. Pendekatan dan Kompetensi yang Diukur
Hasil
pengukuran dibandingkan dengan patokan atau pembanding yang berbeda-beda, ada
dua pendekatan yang digunakan dalam penilaian yaitu : pendekatan acuan norma
dan pendekatan penilaian acuan patokan. Hasil pengukuran seorang siswa yang
dibandingkan dengan hasil pengukuran yang diperoleh siswa lain dalam
kelompoknya, pendekatan ini disebut Penilaian Acuan Norma (PAN) atau Norm-Referenced
Evaluation (NRE). Hasil pengukuran seorang siswa yang dibandingkan dengan
patokan batas lulus atau tingkat penguasaan minimum (passing grade) yang
telah ditetapkan terlebih dahulu, pendekatan ini disebut Penilaian Acuan
Patokan (PAP) atau Criterion-Referenced Evaluation (CRE).
Kompetensi
yang diukur berdasarkan taksonomi yang meliputi : kognitif; afektif; dan
psikomotorik. Khusus mengenai ranah kognitif, perlu diperhatikan pada pokok
bahasan atau tema materi yang dibahas harus terkandung aspek-aspek : (1)
pengetahuan atau fakta; (2) pemahaman; (3) penerapan; (4) analisis; (5)
sintesis; dan (6) evaluasi.
4. Bentuk-bentuk Pengukuran
a. Soal atau Tes
Tes
(dalam bhs. Inggris test) dapat dianggap mempunyai arti yang paling
sempit diantara pengertian lain seperti evaluasi atau pengukuran. Tes diartikan
sebagai seperangkat tugas yang telah dibakukan, diberikan kepada satu orang
atau lebih untuk menyelesaikannya. Untuk menguji setiap pokok bahasan atau
indikator pembelajaran, dapat digunakan beberapa bentuk soal sebagai berikut :
bentuk soal uraian (essay); ujian objektif (objective test);
bentuk soal benar-salah (true-false); bentuk soal pilihan ganda (multiple
choise); bentuk soal menjodohkan (matching); bentuk soal melengkapi
atau isian. Jenis kompetensi dan bentuk soal, harus ditentukan proporsinya bagi
setiap pokok bahasan atau materi dalam suatu kisi-kisi perencanaan ujian.
b. Bukan Tes : (1) Wawancara; (2)
Kuesioner; dan (3) Skala Sikap.
5. Persyaratan Alat Ukur (Instrumen) dan Prosedur
Pengukuran
Alat
atau instrumen pengukuran, paling tidak harus memenuhi tiga syarat pokok yaitu
: validitas; reliabilitas; dan kepraktisan.
a. Validitas
Merupakan
suatu alat ukur dapat dikatakan valid (sahih) apabila alat tersebut benar-benar
cocok untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Untuk mengukur panjang dipakai
alat ukur meteran, untuk mengukur berat digunakan alat pengukur timbangan.
Suatu ujian atau tes untuk mata pelajaran Geografi misalnya, dikatakan valid
jika tes tersebut benar-benar cocok dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
melalui penyajian materi pembelajaran tersebut.
Taraf
validitas suatu tes dinyatakan oleh dua pertimbangan : (1) rasional; dan (2)
empiris-statistis. Pertimbangan rasional adalah suatu analisis terhadap topik
dan bidang yang diujikan, yaitu isi ujian, sehingga diperoleh validitas isi (content
validity). Analisis dilakukan pula terhadap kegiatan-kegiatan dan proses-proses
yang sesuai dengan konsep-konsep tertentu yang menjadi isi ujian, sehingga
diperoleh apa yang disebut dengan validitas konsep atau konstruksi (concept
or construct validity). Pertimbangan empiris-statistis diperoleh dengan
menghubungkan alat ukur (tes) yang sedang dipelajari dengan kenyataan-kenyataan
lain, misalnya dengan hasil pengukuran yang telah ada yang setara. Tiga jenis
validitas empiris yaitu : (1) validitas pengukuran setara (congruent
validity); (2) validitas pengukuran serentak (concurrent validity);
dan (3) validitas ramalan (predictive validity).
b. Reliabilitas
Suatu
alat ukur harus dipertanyakan, sampai dimanakah ketelitian atau keterandalannya
mengukur apa yang seharusnya diukur itu. Alat ukur adalah reliabel (handal)
apabila pengukuran dilakukan berulang-ulang dengan memakai alat yang sama
terhadap objek yang sama pula, maka hasilnya akan tetap atau relatif sama pula.
Ada tiga cara untuk mempertimbangkan bahwa alat ukur itu reliabel, yaitu : (1)
pengulangan alat ukur yang sama; (2) pengujian alat yang setara (equivalen);
dan (3) membagi alat ukur kedalam dua atau lebih alat ukur yang seimbang.
Reliabilitas
Pengukuran Ulang. Untuk pengujian alat ukur yang dapat diandalkan maka
pengukuran dapat dilakukan dua kali, yaitu : pengukuran pertama dan ulangan.
Pengujian dapat dilakukan oleh orang yang sama atau berbeda. Pengukuran pertama
hendaknya tidak mewarnai hasil pengukuran yang kedua, dan keadaan yang diukur
ulang itu harus benar-benar dalam keadaan tetap sama. Kedua hasil pengukuran
kemudian dikorelasikan dan hasilnya akan menunjukkan kenyataan reliabilitas.
Reliabilitas
Pengukuran Setara. Dua bentuk pengukuran yang setara diberikan kepada siswa,
dapat dalam satu rangkaian atau dengan selang waktu. Korelasi antara kedua
hasil ujian akan memberikan kenyataan reliabilitas.
Reliabilitas
Belah Dua. Dalam suatu ujian, hasil ujian dibagi dua dengan cara memilah nomor
soal. Pilihan pertama nomor-nomor gasal dan pilihan kedua nomor-nomor genap.
Kedua hasil ujian yang telah dipilah tersebut dikorelasikan, hasilnya akan
menunjukkan kenyataan reliabilitas ujian.
c. Kepraktisan
Penghematan
dan kemudahan dapat dicapai dengan : suatu ujian (tes) dapat digunakan
berulang-ulang; panjang pendeknya ujian (dengan ujian lebih panjang, cenderung
memiliki reliabilitas yang tinggi). Lembar jawaban hendaknya terpisah dari
lembar soal; kunci jawaban berlobang atau sejenisnya sangat mempercepat
pemeriksaan. Petunjuk dalam penyelesaian soal hendaknya jelas dan mudah untuk
dimengerti, waktu ujian harus cukup sesuai dengan volume ujian. Suatu alat ukur
yang valid tentu reliabel, tetapi alat ukur yang reliabel belum tentu valid.
6. Pengolahan Hasil Ujian
Hasil
ujian, umumnya berupa angka mentah (raw score). Supaya hasil ujian lebih
bermakna, maka angka mentah perlu mengalami pengolahan, misalnya penghalusan;
urut jenjang (ranking); angka rata-rata; dan klasifikasi. Untuk semua
itu, digunakan teknik statistik sederhana. Selanjutnya, angka terolah itu
digunakan untuk dasar membuat keputusan, baik melalui pendekatan acuan norma atau
acuan patokan.
a. Pemeriksaan Lembar Jawaban
Penulis
soal, terlebih dahulu menentukan cara-cara untuk memeriksa pekerjaan siswa yang
diuji, misalnya : model jawaban untuk ujian uraian; dan kunci jawaban untuk
ujian objektif. Dipersiapkan pula untuk menghadapi faktor terkaan untuk
soal-soal objektif, yaitu persiapan suatu rumus koreksi. Faktor ini hendaknya
diberitahukan kepada siswa agar tidak menerka-nerka secara membabi buta.
Rumus
Koreksi :
∑S
AHU = ∑B -
P – 1
AHU : Angka
Hasil Ujian
∑B : Jumlah soal yang dijawab Benar
∑S : Jumlah soal yang dijawab Salah
P : Kemungkinan jawaban untuk
masing-masing soal (Benar-Salah, P=2.
Pilihan Ganda, P=4 atau 5 option)
b. Penghalusan Angka Mentah
Penghalusan
angka mentah biasanya dikaitkan dengan rentang nilai tertentu yang biasa
dipakai di lembaga pendidikan, misalnya : 1 – 10; 1 – 100; atau 1 – 4.
Rumus
Penghalusan :
AMH = AHU
x Na
AM
AMH : Angka
Mentah yang Dihaluskan
AHU : Angka Hasil Ujian (angka mentah)
AM : Angka Mentah Tertinggi, bila semua soal
dijawab benar
Na : Rentang Nilai Akhir Tertinggi
c. Penerapan Pendekatan dalam Penilaian
Dua
hal pokok yang mendasari Penilaian Acuan Norma, yaitu : (1) penetapan pengikut
ujian yang akan diluluskan; dan (2) penetapan batas lulus. Biasanya para
pengajar cenderung untuk meluluskan siswanya 80%. Bagaimanapun corak penyebaran
angka mentah yang diperoleh pengikut ujian yang diluluskan, tetap akan
berjumlah 80%. Dengan ditetapkannya jumlah yang diluluskan, secara otomatis
adanya batas lulus. Angka mentah yang disusun berdasarkan penyebaran frekuensi,
maka akan segera dapat diketahui sampai batas angka mentah berapakah sehingga
jumlah 80% yang diluluskan itu dapat dicapai ? Angka mentah inilah yang
kemudian menjadi batas lulus. Pendekatan lain bertitik tolak dari batas lulus
yang telah ditetapkan lebih dahulu, batas lulus ini dikaitkan dengan data
statistik yaitu angka rata-rata dan angka simpangan baku yang diperoleh dari
penyebaran angka mentah. Nilai akhir diberikan atas dasar penyimpangan angka
mentah terhadap angka rata-rata. Misalnya dengan pedoman seperti ini :
Batas Daerah
Kurve
|
Nilai
|
Banyaknya
(dalam %)
|
X + 1,50 S atau lebih
|
10
|
|
Antara X + 1,25 S dan X + 1,50 S
|
9
|
|
Antara X + 1,00 S dan X + 1,25 S
|
8
|
|
Antara X + 0,75 S dan X + 1,00 S
|
7
|
|
Antara X + 0,50 S dan X + 0,75 S
|
6
|
|
Antara X + 0,25 S dan X + 0,50 S
|
5
|
|
Antara X + 0,00 S dan X + 0,25 S
|
4
|
d. Penentuan Nilai Akhir
1) Penilaian Acuan Norma
Atas
dasar angka rata-rata dan simpangan baku.
Faktor-faktor
statistik :
N : banyaknya pengikut ujian
∑X : jumlah seluruh angka mentah
X : angka rata-rata
∑X2 : jumlah kuadrat dari setiap angka mentah
JK = ∑X2 - ∑X2
N
S (simpang baku) = JK
X
2) Penilaian Acuan Patokan
Penentuan
batas lulus merupakan hal yang pokok, harus dimulai dengan menentukan batas
kompetensi minimum yang diperlukan. Adanya hubungan yang benar-benar antara
derajat penguasaan kompetensi yang dimaksud di atas dengan nilai akhir yang
akan diberikan kepada setiap pengikut ujian.
PENELITIAN
TINDAKAN KELAS DAN
KARYA TULIS
ILMIAH
Oleh :
Prof. Dr. H.
Dedi Herawan, M.Pd
Dr. Hj. Sri
Wardani, M.Pd
Dr. H. Yat
Rospia Brata, M.Si
I. Pendahuluan
Dalam
rangka meningkatkan kualitas pendidikan, maka isu utamanya adalah pembangunan
pendidikan dalam segala aspek. Salah satu isu krusial peningkatan kualitas
pendidikan adalah efektivitas pembelajaran oleh guru profesional. Guru sebagai
pendidik profesional dengan tugas utama mendidik; mengajar; membimbing;
mengarahkan; melatih; menilai; dan mengevaluasi peserta didik, membutuhkan
peningkatan profesional secara berkesinambungan dan terus menerus.
Di
era kurikulum yang senantiasa mengalami pergeseran atau perubahan ini,
penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran membutuhkan guru yang juga
berfungsi sebagai peneliti secara most powerfull; yakni guru yang mampu
melaksanakan tugas dan mengadopsi strategi baru. Jika guru diinginkan
mengadopsi sesuatu yang baru, maka harus diberi waktu untuk merefleksi teori
tentang bagaimana peserta didik belajar atau memperoleh informasi.
Profesionalitas
guru sejak awal herus dikemas dalam rangka pembentukkan ilmu pengetahuan,
dimana : meneliti; menulis; dan pertemuan ilmiah adalah tiga serangkai kegiatan
yang memberikan kemampuan pembentukan pengetahuan (knowledge construction)
tersebut. Melalui PTK, seorang guru memperoleh pemahaman tentang apa yang harus
dilakukan; merefleksi diri untuk memahami dan menghayati nilai pendidikan dan
pembelajarannya sendiri; dapat bekerja secara kontekstual; dan mengerti sejarah
tentang pendidikan dan persekolahannya, demikian Stephen Kemmis dan Robbin Mc
Taggart (dalam Aswandi, 2006).
Terkait
hal di atas, maka Penelitian Tindakan Kelas (PTK) memiliki potensi yang cukup
besar dalam meningkatkan kualitas pembelajaran ketika diimplementasikan dengan
baik dan benar. Terminologi implementasi dengan baik, berarti guru mencoba
dengan sadar untuk mengembangkan kemampuan dalam mendeteksi dan memecahkan
masalah-masalah pendidikan dan pembelajaran melalui tindakan bermakna yang
diperhitungkan dapat memecahkan masalah atau memperbaiki situasi dan kemudian
secara cermat mengamati pelaksanaannya untuk mengukur tingkat keberhasilannya.
Diimplementasikan dengan benar, berarti sesuai dengan kaidah-kaidah penelitian
tindakan.
Sesungguhnya
apabila guru merasa bahwa proses pembelajaran dalam kelas tidak bermasalah,
maka PTK tidak perlu dilakukan. Namun yang menjadi masalah biasanya adalah guru
tidak bisa obyektif dalam menilai diri sendiri. Guru telah terjebak dalam
kekeliruan rutinitas tahunan yang tidak disadari. Jika guru pada satu titik
fase telah menyadari adanya problema dalam proses belajar mengajar, maka pada
saat yang sama harus lahir kesadaran untuk mencari akar persoalannya untuk
dipecahkan secara profesional. Upaya atas kesadaran untuk memecahkan problema
dalam proses pembelajaran itulah yang menjadi justifikasi akademik untuk
melakukan penelitian tindakan kelas.
Pada
prinsipnya, aktivitas penelitian telah banyak dilakukan. Namun sayangnya
berbagai kegiatan penelitian tersebut kurang dirasakan dampaknya bagi
peningkatan mutu pembelajaran. Menurut Raka Joni dkk (1998) penyebabnya ada dua
hal, yaitu :
1. Penelitian
bidang pendidikan umumnya dilakukan oleh pakar atau peneliti, baik yang bekerja
di berbagai perguruan tinggi, termasuk LPTK maupun diberbagai lembaga
penelitian yang mandiri. Meskipun penelitian oleh pakar, sering dilakukan di
sekolah dan di kelas, namun penelitian semacam ini kurang melibatkan guru dalam
pembentukan ilmu pengetahuan;
2. Penyebarluasan
(dissemination) hasil penelitian melalui publikasi ilmiah ke kalangan
guru di lapangan memakan waktu sangat panjang, yakni sekitar tiga tahun. Selain
itu, menurut penulis ini juga disebabkan karena kurangnya kesempatan guru
mengakses hasil penelitian untuk perbaikan mutu pembelajaran. Sedangkan
penyebarluasan hasil program penelitian dan pengembangan memakan waktu yang
jauh lebih panjang.
Karena
itu, mari kita bicarakan penelitian tindakan (PTK). Kalau anda pernah
mempelajarinya, pembicaraan ini berfungsi untuk menyegarkan kembali atau
memperkaya apa yang telah diketahui. Kalau belum tahu banyak, lewat pembicaraan
ini akan dikenal; dipahami; dan akhirnya dilaksanakan dengan tujuan untuk
meningkatkan keberhasilan dalam mendidik; mengajar; dan melatih siswa-siswa
yang akan memberikan sumbangan yang signifikan pada peningkatan kualitas
pendidikan nasional.
Sebagaimana
ditegaskan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal
3: pendidikan nasional berfungsi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
merupakan salah satu tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia, seperti dinyatakan
pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Oleh sebab itu, upaya untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas, merupakan amalan mulia karena
memberikan kontribusi dalam mengisi kemerdekaan yang telah direbut lewat pengorbanan
yang besar dari pejuang bangsa.
II. Kegiatan Belajar 1
Pengertian
PTK
Penelitian
Tindakan Kelas (PTK) atau classroom action research adalah action
research yang dilaksanakan oleh guru di dalam kelas. Action research pada
hakikatnya merupakan rangkaian “riset – tindakan – riset – tindakan” yang
dilakukan secara siklis dalam rangka memecahkan masalah, sampai masalah itu
terpecahkan. Ada beberapa jenis action research, dua diantaranya adalah individual
action research dan collaborative action research (CAR). Jadi, CAR
bisa berarti dua hal yaitu : classroom action research dan collaborative
action research, dua-duanya merujuk pada hal yang sama.
Arikunto
dkk (2006) menartikan penelitian tindakan kelas sebagai suatu pencermatan
terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan
terjadi dalam sebuah kelas secara bersama. Karena itu penelitian tindakan yang
dilakukan oleh guru ditujukan untuk meningkatkan situasi pembelajaran yang menjadi
tanggung jawabnya. Hal tersebut sejalan dengan Burns (1999); Kemmis & Mc
Taggart (1982); Reason & Bradbury (2001) dalam Madya (2007) yang
menjelaskan bahwa penelitian tindakan merupakan intervensi praktik dunia nyata
yang ditujukan untuk meningkatkan situasi praktis.
Karena
itu, penelitian tindakan yang dilakukan oleh guru ditujukan untuk meningkatkan
situasi pembelajaran yang menjadi tanggung jawabnya dan ia disebut “penelitian
tindakan kelas” atau PTK. Sehubungan dengan itu, maka pertanyaan yang muncul
adalah : “Kapan seorang guru secara tepat dapat melakukan PTK ?”. jawabnya :
Ketika guru ingin meningkatkan kualitas pembelajaran yang menjadi tanggung
jawabnya dan sekaligus ia ingin melibatkan peserta didiknya dalam proses
pembelajaran. Karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan utama PTK adalah untuk
mengubah perilaku pengajaran guru; perilaku siswa di kelas; dan/atau mengubah
kerangka kerja pelaksanaan pembelajaran di kelas oleh guru (Madya, 2006).
Kemmis (1992) : Action
research as a form of self-reflective inquiry undertaken by participants in a
social (including educational) situation in order to improve the rationality
and justice of (a) their on social or educational practices, (b) their
understanding of these practices, and (c) the situations in which practices are
carried out
Berdasarkan
penjelasan Kemmis tersebut, dapat dicermati pengertian PTK secara lebih rinci
dan lengkap. PTK didefinisikan sebagai suatu bentuk kajian yang bersifat
reflektif oleh pelaku tindakan. Tindakan tersebut dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan rasional dari tindakan-tindakan mereka dalam melaksanakan tugas
sehari-hari, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan,
serta memperbaiki kondisi di mana praktik-praktik pembelajaran tersebut dilakukan.
Untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut, PTK dilaksanakan dalam proses berdaur
(cyclical) yang terdiri dari empat tahapan : planning; action;
observation/evaluation, dan reflection.
Prinsip-prinsip
PTK
Hopkins
(dalam Aqib, 2007) mengemukakan ada enam prinsip yang harus diperhatikan dalam
PTK, yaitu : (1) metode PTK yang ditarapkan seyogyanya tidak mengganggu
komitmen sebagai pengajar; (2) metode pengumpulan data yang digunakan tidak
menuntut waktu yang berlebihan karena justru ia dilakukan dalam proses
pembelajaran yang alami di kelas sesuai dengan jadwal; (3) metodologi yang
digunakan harus reliable; (4) masalah program yang diusahakan adalah
masalah yang merisaukan dan didasarkan pada tanggung jawab profesional; (5)
dalam menyelenggarakan PTK, guru harus selalu bersikap konsisten dan memiliki
kepedulian tinggi terhadap proses dan prosedur yang berkaitan dengan
pekerjaannya; (6) PTK tidak dilakukan sebatas dalam konteks kelas atau mata
pelajaran tertentu melainkan dengan perspektif misi sekolah secara keseluruhan.
Sehubungan
dengan itu, maka Madya (2007) mengemukakan bahwa PTK : (1) bersifat
situasional; kontekstual; berskala kecil; terlokalisasi; dan relevan dengan
situasi nyata dalam dunia kerja; (2) subyek dalam PTK termasuk murid-murid; (3)
dapat dilakukan dengan bekerjasama (kolaborasi) dengan guru lain yang mengajar
bidang pelajaran yang sama; (4) guru dituntut untuk adaptif dan fleksibel agar
kegiatan PTK selaras dengan situasi yang ada, tetapi tetap mampu menjaga agar
proses mengarah pada tercapainya perbaikan; (5) guru diharapkan mampu melakukan
evaluasi diri secara kontinyu sehingga perbaikan demi perbaikan betapapun
kecilnya, dapat diraih; (6) diperlukan kerangka kerja agar semua tindakan
dilaksanakan secara terencana, hasilnya direkam dan dianalisis dari waktu ke
waktu untuk dijadikan landasan dalam melakukan modifikasi.
Tujuan
dan Manfaat PTK
Tujuan
PTK, yaitu : (1) meningkatkan mutu isi; masukan; proses; serta hasil pendidikan
dan pembelajaran di sekolah, (2) membantu guru dan tenaga kependidikan lainnya
mengatasi masalah pembelajaran dan pendidikan di dalam dan di luar kelas; (3)
meningkatkan sikap profesional pendidik dan tenaga kependidikan; (4)
menumbuhkembangkan budaya akademik di lingkungan sekolah sehingga tercipta
sikap proaktif didalam melakukan perbaikan mutu pendidikan dan pembelajaran
secara berkelanjutan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka manfaat yang dapat
diperoleh jika guru mau dan mampu melaksanakan PTK antara lain : (1) inovasi
pembelajaran; (2) pengembangan kurikulum di tingkat sekolah dan di tingkat
kelas; serta (3) peningkatan profesionalisme guru (Aqib, 2007).
Sejalan
dengan itu, Rustam dan Mundilarto (2004) mengemukakan manfaat PTK bagi guru,
yaitu : (1) membantu guru memperbaiki mutu pembelajaran; (2) meningkatkan
profesionalitas guru; (3) meningkatkan rasa percaya diri guru; (4) memungkinkan
guru secara aktif mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya.
Ada
beberapa model PTK yang sampai saat ini sering digunakan didalam dunia
pendidikan, di antaranya :
1) Model
Kurt Lewin; PTK pertama kali diperkenalkan oleh Kurt Lewin pada tahun 1946.
Konsep inti PTK yang diperkenalkan oleh Kurt Lewin ialah bahwa dalam satu
siklus, terdiri dari empat langkah yaitu : (1) perencanaan (planning);
(2) aksi atau tindakan (acting); (3) observasi (observing); dan
(4) refleksi (reflecting) (Lewin, 1990). Sementara itu, empat langkah
dalam satu siklus yang dikemukakan oleh Kurt Lewin tersebut, oleh Ernest T.
Stringer dielaborasi lagi menjadi : (1) perencanaan (planning); (2)
pelaksanaan (implementing); (3) penilaian (evaluating) (Ernest,
1996).
2) Model
John Elliot; apabila dibandingkan dua model yang sudah diutarakan di atas,
yaitu model Kurt Lewin dan Kemmis-Mc Taggart, PTK model John Elliot ini tampak
lebih detail dan rinci. Dikatakan demikian, oleh karena didalam setiap siklus
dimungkinkan terdiri dari beberapa aksi yaitu antara 3 – 5 aksi (tindakan).
Sementara itu, setiap aksi kemungkinan terdiri dari beberapa langkah yang terealisi
dalam bentuk kegiatan belajar mengajar. Maksud disusunnya secara rinci pada PTK
model John Elliot ini, supaya terdapat kelancaran yang lebih tinggi antara
taraf-taraf didalam pelaksanaan aksi atau proses belajar mengajar. Selanjutnya
dijelaskan pula olehnya bahwa terincinya setiap aksi atau tindakan sehingga menjadi
beberapa langkah oleh karena suatu pelajaran terdiri dari beberapa subpokok
bahasan atau materi pelajaran. Di dalam kenyataan praktik di lapangan, setiap
pokok bahasan biasanya tidak akan dapat diselesaikan dalam satu langkah tetapi
akan diselesaikan dalam beberapa rupa. Itulah yang menyebabkan John Elliot
menyusun model PTK yang berbeda secara skematis dengan kedua model sebelumnya.
Secara garis besar ada empat tahapan yang lazim dilalui, yaitu tahap : (1)
perencanaan; (2) pelaksanaan; (3) pengamatan; dan (4) refleksi. Namun perlu
diketahui bahwa tahapan pelaksanaan dan pengamatan sesungguhnya dilakukan
secara bersamaan. Adapun model dan penjelasan untuk masing-masing tahap adalah
sebagai berikut :
Gambar
: Riset Aksi Model
Tahap
1 :
Perencanaan Tindakan
Dalam
tahap ini, peneliti menjelaskan tentang : apa; mengapa; kapan; dimana; oleh siapa;
dan bagaimana tindakan tersebut dilakukan. Penelitian tindakan yang ideal,
sebetulnya dilakukan secara berpasangan antara pihak yang melakukan tindakan
dan pihak yang mengamati proses jalannya tindakan (secara kolaboratif). Cara
ini dikatakan ideal, karena adanya upaya untuk mengurangi unsur subyektivitas
pengamat serta mutu kecermatan amatan yang dilakukan. Dalam pelaksanaan
pembelajaran, rencana tindakan dalam rangka penelitian, dituangkan dalam bentuk
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Tahap
2 : Pelaksanaan Tindakan
Tahap
ke-2 dari penelitian tindakan adalah pelaksanaan, yaitu : implementasi atau
penerapan isi rencana tindakan di kelas yang diteliti. Hal yang perlu diingat
adalah bahwa dalam tahap 2 pelaksanaan ini, guru harus ingat dan berusaha
mentaati apa yang sudah dirumuskan dalam rencana tindakan, tetapi harus pula
berlaku wajar; tidak kaku; dan tidak dibuat-buat. Dalam refleksi, keterkaitan
antara pelaksanaan dengan perencanaan perlu diperhatikan.
Tahap
3 : Pengamatan Terhadap Tindakan
Tahap
ke-3 yaitu kegiatan pengamatan yang dilakukan oleh pengamat, baik oleh orang
lain maupun guru sendiri. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kegiatan
pengamatan ini tidak terpisah dengan pelaksanaan tindakan karena pengamatan
dilakukan pada waktu tindakan sedang dilakukan. Jadi, keduanya berlangsung
dalam waktu yang sama.
Karena
itu, kepada guru pelaksana yang berstatus sebagai pengamat ini, untuk melakukan
“pengamatan balik” terhadap apa yang terjadi ketika tindakan berlangsung.
Sambil melakukan pengamatan balik ini, guru pelaksana mencatat sedikit demi
sedikit apa yang terjadi.
Tahap
4 : Refleksi Terhadap Tindakan
Tahap
ke-4 ini merupakan kegiatan untuk mengemukakan kembali apa yang sudah
dilakukan. Istilah “refleksi” dari kata bahasa Inggris reflection yang
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia pemantulan. Kegiatan refleksi ini
sebetulnya lebih tepat dikenakan ketika guru pelaksana sudah selesai melakukan
tindakan, kemudian berhadapan dengan peneliti untuk mendiskusikan implementasi
rancangan tindakan. Inilah inti dari penelitian tindakan, yaitu ketika guru
pelaku tindakan mengatakan kepada peneliti pengamat tentang hal-hal yang
dirasakan sudah berjalan baik dan bagian mana yang belum. Apabila guru
pelaksana juga berstatus sebagai pengamat, maka refleksi dilakukan terhadap
diri sendiri. Guru tersebut melihat dirinya kembali untuk menemukan hal-hal
yang sudah dirasakan memuaskan hati karena sudah sesuai dengan rancangan dan
mengenali hal-hal yang masih perlu diperbaiki. Dalam hal seperti ini, maka guru
melakukan self evaluation yang diharapkan dilakukan secara obyektif.
Untuk menjaga obyektivitas tersebut, seringkali refleksi ini diperiksa ulang
atau divalidasi oleh orang lain, misalnya guru/teman sejawat yang diminta
mengamati; kepala sekolah atau nara sumber yang menguasai bidang tersebut. Jadi
pada intinya, kegiatan refleksi adalah kegiatan evaluasi; analisis; pemaknaan;
penjelasan; penyimpulan; dan identifikasi tindak lanjut dalam perencanaan
siklus selanjutnya. Keempat tahap dalam penelitian tindakan tersebut adalah
unsur untuk membentuk sebuah siklus, yaitu satu putaran kegiatan beruntun dari
tahap penyusunan rancangan sampai dengan refleksi yang tidak lain adalah
evaluasi. Apabila dikaitkan dengan “bentuk tindakan” sebagaimana disebutkan
dalam uraian ini, maka yang dimaksud dengan bentuk tindakan adalah siklus
tersebut. Jadi, bentuk penelitian tindakan tidak pernah merupakan kegiatan
tunggal tetapi selalu berupa rangkaian kegiatan yang akan kembali ke asal,
yaitu dalam bentuk siklus.
Rangkuman
PTK
adalah satu model penelitian tindakan. PTK memiliki prinsip-prinsip
pembelajaran yang berbeda dengan pembelajaran biasa (konvensional).
Pembelajaran berbasis PTK umumnya mengikuti siklus, yaitu : (i) perencanaan;
(ii) pelaksanaan tindakan; (iii) pengamatan; dan (iv) refleksi. Pelaksanaan PTK
yang benar akan sangat membantu guru dalam peningkatan kualitas pembelajarannya
yang pada akhirnya juga akan meningkatkan kualitas belajar siswa.
Latihan
Bu
Ana seorang guru SD yang memiliki pengalaman mengajar 20 tahun. Ia hampir
setiap 2 tahun berpindah dari kelas 1 hingga kelas 6 menjadi wali kelas. Dari
pengamatannya menjadi wali kelas, ia menemukan banyak permasalahan di kelas.
Suatu waktu, ia mengikuti seminar tentang PTK. Dari mengikuti seminar itu, ia
berniat melakukan PTK hingga akhirnya ia betul-betul melaksanakannya. Langkah
yang ia lakukan : pertama adalah meminta jadwal khusus kepada kepala sekolah,
lalu ia kumpulkan seluruh siswa kelas 6 dan menyampaikannya bahwa ia mau
melakukan PTK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar