NAWAKSARA
(Pidato Presiden Sukarno, 22 Djuni 1966)
Saudara-saudara sekalian
Assalamu’alaikum wr.wb.
I.
Retro-Speksi
Dengan mengutjap sjukur Alhamdulillah, maka
pagi ini saja berada di muka Sidang Umum M.P.R.S. jang ke-IV. Sesuai dengan
ketetapan M.P.R.S. No. 1/1960 jang memberikan kepada diri saja, Bung Karno,
gelar Pemimpin Besar Revolusi dan kekuasaan penuh untuk melaksanakan
Ketetapan-Ketetapan tersebut, maka dalam Amanat saja hari ini saja ingin
mengulangi lebih dulu apa jang pernah saja kemukakan dalam Amanat saja di muka
Sidang Umum Ke-II M.P.R.S. pada tanggal 15 Mei 1963 jang berdjudul “Ambeg
Parama-Arta” tentang hal ini.
1.
Pengertian Pemimpin Besar Revolusi
Dalam pidato saja, “Ambeg Parama-Arta” itu,
saja berkata, saja ulangi, saja berkata, “M.P.R.S. telah memberikan KEKUASAAN
PENUH kepada saja untuk melaksanakannja, dan dalam memberi kekuasaan penuh
kepada saja itu, M.P.R.S. menamakan diri saja bukan sadja Presiden, bukan sadja
Panglima Tertinggi Angkatan Perang, tetapi mengangkat saja djuga mendjadi
“PEMIMPIN BESAR REVOLUSI INDONESIA”. Demikian saja katakan. Saja menerima
pengangkatan itu dengan sungguh rasa terharu, karena M.P.R.S. sebagai
Perwakilan Rakjat jang tertinggi di dalam republik Indonesia, menjatakan dengan
tegas dan djelas bahwa saja adalah “Pemimpin Besar Revolusi Indonesia”, jaitu :
“PEMIMPIN BESAR REVOLUSI RAKJAT INDONESIA”.
Dalam pada itu, saja sadar, bahwa hal ini bagi
saja membawa konsekwensi jang amat berat, oleh karena seperti Saudara-saudara
djuga mengetahui, PIMPINAN membawa pertanggung-djawab jang amat berat sekali.
“Memimpin” adalah lebih berat daripada sekedar “Melaksanakan”, “Memimpin”
adalah lebih berat daripada sekedar “Menjuruh melaksanakan”.
Saja sadar, lebih daripada jang sudah-sudah,
setelah M.P.R.S. mengangkat saja mendjadi “Pemimpin Besar Revolusi, bahwa
kewadjiban saja adalah amat berat sekali, tetapi Insja Allah SWT saja terima
pengangkatan sebagai “Pemimpin Besar Revolusi” itu dengan rasa tanggung-djawab
yang setinggi-tingginja.
Saja, Insja Allah akan memberi pimpinan kepada
Indonesia, kepada Rakjat Indonesia, kepada Saudara-saudara sekalian, setjara
maksimal di bidang pertanggungan-djawab dan kemampuan saja. Moga-moga Tuhan
Jang Maha Esa, Jang Maha Pemurah, Jang Maha Asih, selalu memberikan bantuan
kepada saja setjukup-tjukupnja.
Sebaliknja, kepada M.P.R.S. dan kepada Rakjat
Indonesia sendiri, hal ini pun membawa konsekwensi. Tempo hari saja berkata,
saja ulangi, tempo hari saja berkata : “Djikalau benar dan djikalau demikianlah
Keputusan M.P.R.S. jang saja diangkat mendjadi Pemimpin Besar Revolusi
Indonesia, Revolusi Rakjat Indonesia, maka saja mengharap daripada seluruh
Rakjat, termasuk djuga segenap Anggota M.P.R.S. untuk selalu mengikuti
melaksanakan, menampilkan segala apa jang saja berikan dalam pimpinan itu.
Pertanggungan-djawab jang M.P.R.S. sebagai
Lembaga Tertinggi Republik Indonesia letakkan di atas pundak saja, adalah suatu
pertanggungan-djawab jang berat sekali, tetapi dengan ridho Allah SWT dan
dengan bantuan seluruh Rakjat Indonesia, termasuk di dalamnja djuga
Saudara-saudara para anggota M.P.R.S. sendiri, saja pertjaja, bahwa Insja
Allah, apa jang digariskan oleh Pola Pembangunan itu dalam 8 tahun akan
terlaksana.
Demikianlah Saudara-saudara sekalian beberapa
kutipan daripada Amanat saja “Ambeg Parama-Arta”. Dari Amanat “Ambeg
Parama-Arta” tersebut, dapatlah Saudara ketahui, bagaimana visi serta
interpretasi saja tentang predikat Pemimpin Besar Revolusi jang Saudara-saudara
sendiri berikan kepada saja.
Saja menginsjafi, bahwa predikat itu adalah
sekedar gelar, tetapi saja pun –dan dengan semua kekuatan-kekuatan progresif
revolusioner di dalam masjarakat kita jang tak pernah absen dalam kantjahnja
Revolusi kita ini- saja pun jakin sejakin-jakinnja, bahwa tiap, sekali lagi
tiap, sekali lagi tiap Revolusi mensjarat-mutlak-kan adanja Pemimpin Nasional
kita jang multi-kompleks sekarang ini, dan jang berhari depan Sosialisme
Pantja-Sila.
Revolusi demikian tidak mungkin tanpa adanja
pimpinan. Saja ulangi, Revolusi jang demikian tidak mungkin tanpa adanja
pimpinan. Dan pimpinan itu djelas tertjermin dalam tri-kesatuannja RESO-PIM,
jaitu Revolusi, Sosialisme, Pimpinan Nasional.
2.
Pengertian Mandataris M.P.R.S.
Karena itulah, maka pimpinan jang saja berikan
itu adalah pimpinan di segala bidang. Dan sesuai dengan pertanggungan-djawab
terhadap M.P.R.S., pimpinan itu terutama menjangkut garis-garis besarnja.
Inipun adalah sesuai dan sedjalan dengan kemurnian bunji aksara dan djiwa
Undang-Undang Dasar ’45, jang menugaskan kepada M.P.R.S. untuk menetapkan garis
besar haluan negara. Saja tekankan, garis-garis besarnja sadja dari haluan
negara.
Adalah tidak sesuai dengan djiwa dan aksara
kemurnian Undang-Undang Dasar ’45, apabila M.P.R.S. djatuh terpelanting kembali
ke dalam alam demokrasi liberal, dengan beradu debat bertele-tele tentang
garis-garis kecil, dimana masing-masing golongan beradu untuk memenangkan
kepentingan golongan dan mengalahkan kepentingan nasional, kepentingan rakjat
banjak, kepentingan Revolusi kita. Pimpinan itupun saja dasarkan kepada djiwa
Pantja-Sila jang telah kita pantjarkan bersama dalam Manipol-Usdek sebagai
garis-garis besar haluan negara.
Dan lebih-lebih mendalam lagi, maka saja telah
mendasarkan pimpinan itu kepada Sabda Rasulullah SAW : “Kamu sekalian adalah
Pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungan-djawabnja tentang
kepemimpinannja itu di hari kemudian”.
Saudara-saudara sekalian,
Itulah djiwa daripada pimpinan saja, seperti
jang telah saja njatakan dalam Amanat “Ambeg Parama-Arta”. Dan Saudara-saudara
telah membenarkan Amanat itu, terbukti dengan Ketetapan M.P.R.S. No. IV/1963,
jang mendjadikan Resopim dan “Ambeg Parama-Arta” masing-masing sebagai pedoman
pelaksanaan garis-garis besar haluan negara, dan sebagai landasan-kerdja dalam
Konsepsi Pembangunan, seperti terkandung dalam Ketetapan M.P.R.S. No. I dan II
tahun 1960.
3.
Pengertian Presiden se-umur hidup
Malahan dalam Sidang Umum M.P.R.S. ke-II pada
bulan Mei tahun 1963 itu, Saudara-saudara sekalian telah menetapkan saja
mendjadi Presiden Seumur Hidup. Dan pada waktu itupun saja telah mendjawab
keputusan Saudara-saudara itu dengan kata-kata “Alangkah baiknja djikalau nanti
MPR, bukan sekedar M.P.R.S., djikalau nanti MPR, jaitu MPR hasil pemilihan
umum, masih menindjau kembali”. Dan sekarang inipun, sekarang inipun saja masih
tetap berpendapat demikian.
II.
Landasan Kerdja Melandjutkan Pembangunan
Kembali sekarang sebentar kepada Amanat “Ambeg
Parama-Arta” tersebut tadi itu, Amanat itu kemudian disusul dengan amanat saja
“Berdikari” pada pembukaan Sidang Umum M.P.R.S. ke-II pada tanggal 11 April
1965, dimana dengan tegas saja tekankan tiga hal :
1.
Trisakti
Pertama: bahwa Revolusi kita mengedjar suatu
idea besar, jakni melaksanakan Amanat Penderitaan Rakjat seluruhnja, Amanat
Penderitaan Rakjat seluruh Rakjat sebulat-bulatnja.
Kedua: bahwa Revolusi kita berdjoang mengemban
Amanat Penderitaan Rakjat itu dalam persatuan dan kesatuannja jang bulat
menjeluruh, dan hendaknja djangan sampai watak Agung Revolusi kita
diselewengkan sehingga mengalami dekadensi jang hanja mementingkan golongan
sendiri sadja, atau hanja sebagian daripada Ampera sadja.
Ketiga: bahwa kita dalam melaksanakan Amanat
Penderitaan Rakjat itu tetap tegap berpidjak dengan kokoh-kuat pada landasan
Trisakti, jaitu berdaulat dan bebas dalam politik; berkepribadian dalam
kebudajaan; berdikari dalam ekonomi, sekali lagi berdikari dalam ekonomi.
Saja sangat gembira sekali, bahwa Amanat-amanat
saja itu dulu, baik “Ambeg Parama-Arta” maupun “Berdikari” telah
Saudara-saudara tetapkan sebagai landasan kerdja dan pedoman pelaksanaan
Pembangunan Nasional Semesta Berentjana untuk masa 3 tahun jang akan datang,
jaitu sisa djangka waktu tahapan pertama mulai tahun 1966 s/d 1968 dengan
landasan “Berdiri di atas Kaki Sendiri” dalam ekonomi.
Ini berarti bahwa Lembaga Tertinggi dalam
negara kita ini, Lembaga Tertinggi daripada Revolusi kita ini, Lembaga Negara
Tertinggi jang menurut kemurnian djiwa dan aksaranja UUD Proklamasi Kita adalah
pendjelmaan kedaulatan Rakjat membenarkan Amanat-amanat saja itu. Dan tidak
hanja membenarkan sadja, melainkan djuga mendjadikannja sebagai landasan kerdja
serta pedoman bagi kita semua, ja bagi Presiden/Mandataris M.P.R.S./Perdana
Menteri, ja bagi M.P.R.S. sendiri, ja bagi DPA, ja bagi DPR, ja bagi Kabinet,
ja bagi parpol-parpol dan ormas-ormas, ja bagi ABRI, dan bagi seluruh Rakjat
kita dari Sabang sampai Merauke, dalam mengemban bersama Amanat Penderitaan
Rakjat.
Memang, di dalam situasi nasional dan
internasional dewasa ini, maka Trisakti kita, jaitu : berdaulat dan bebas dalam
politik; berkepribadian dalam kebudajaan; berdikari di bidang ekonomi, adalah
sendjata jang paling ampuh di tangan seluruh rakjat kita, di tangan
pradjurit-pradjurit Revolusi kita, untuk menjelesaikan Revolusi Nasional kita
jang maha dahsjat sekarang ini.
2.
Rentjana Ekonomi Perdjoangan
Saja tadi katakan, terutama prinsip Berdikari
di bidang ekonomi. Sebab dalam keadaan perekonomian bagaimanapun sulitnja, saja
ulangi, bagaimanapun sulitnja, saja minta djangan dilepaskan djiwa “self
reliance” ini, djangan dilepaskan djiwa berdikari ini, djiwa pertjaja kepada
kekuatan diri sendiri, djiwa self help atau jang dinamakan djiwa berdikari.
Karenanja, maka dalam melaksanakan
Ketetapan-ketetapan M.P.R.S. No. V dan VI tahun 1965 jang lalu, saja telah
meminta Bappenas dengan bantuan dan kerdjasama dengan Muppenas, untuk
penjusunan garis-garis lebih landjut daripada Pola Ekonomi Perdjoangan seperti
jang telah saja tjanangkan dalam Amanat Berdikari tahun jang lalu itu.
Garis-garis Ekonomi Perdjoangan tersebut telah
selesai, dan saja lampirkan bersama ini Ichtisar Tahunan tentang pelaksanaan
Ketetapan M.P.R.S. No. 11/ M.P.R.S./1960. Di dalamnja Saudara-saudara akan
memperoleh gambaran tentang Strategi Umum Pembangunan 3 tahun : 1966-1968,
jaitu Prasjarat Pembangunan, dan pola Pembiajaan tahun 1966 s/d 1968 melalui
Rentjana Anggaran 3 tahun.
3.
Pengertian Berdikari
Chusus mengenai Prinsip Berdikari, ingin saja
tekankan apa jang telah saja njatakan dalam pidato Proklamasi 17 Agustus 1965,
jaitu pidato TAKARI, bahwa berdikari tidak berarti mengurangi, melainkan
memperluas kerdjasama internasional, terutama diantara semua negara jang baru
merdeka.
Jang ditolak, ditolak oleh Berdikari, adalah
ketergantungan kepada imperialisme, bukan kerdjasama, sama deradjat dan saling
menguntungkan.
Dan dalam Rentjana Ekonomi Perdjoangan jang
saja sampaikan bersama ini, maka Saudara-saudara dapat membatja “Berdikari
bukan sadja tudjuan, tetapi jang tidak kurang pentingnja harus merupakan
prinsip daripada tjara kita mentjapai tudjuan itu, prinsip untuk melaksanakan
pembangunan dengan tidak menjandarkan diri kita kepada bantuan Negara atau
bangsa lain.
Ingat utjapan saja berulang-ulang : “The crown
of independence is the ability to stand on own feet”. Adalah djelas, “bahwa
tidak menjandarkan diri tidak berarti bahwa kita tidak mau kerdjasama
berdasarkan sama-deradjat dan saling menguntungkan”.
Dalam rangka pengertian politik Berdikari
demikian inilah, kita harus menanggulangi kesulitan-kesulitan di bidang Ekubang
kita dewasa ini, baik jang hubungan dengan inflasi maupun jang hubungan dengan
pembajaran hutang-hutang luar negeri kita.
III.
Hubungan Politik dan Ekonomi
Masalah Ekubang tidak dapat dilepaskan dari
masalah politik, malahan harus didasarkan atas Manifesto Politik, Manifesto
Politik kita.
Berulang-ulang saja pun telah berkata, Dekon,
Dekon kita adalah Manipol di bidang ekonomi, dengan lain perkataan “political
economy”-nja pembangunan kita. Dekon merupakan strategi umum, dan strategi umum
di bidang pembangunan 3 tahun di depan kita, jaitu tahun 1966-1968, didasarkan
atas pemeliharaan hubungan jang tepat antara keperluan untuk melaksanakan tugas
politik dan tugas ekonomi.
Demikianlah tugas politik-keamanan kita,
politik-pertahanan kita, politik dalam negeri kita, politik luar negeri kita dan
sebagainja.
IV.
Detail ke DPR
Detail, detail daripada tugas-tugas ini kiranja
tidak perlu diperbintjangkan dalam Sidang Umum M.P.R.S., karena tugas M.P.R.S.
ialah menjangkut garis-garis besar sadja. Detailnja sejogjanja ditentukan oleh
Pemerintah bersama-sama dengan DPR dalam rangka pemurnian pelaksanaan
Undang-Undang Dasar 1945.
V.
Tetap Demokrasi Terpimpin
Sekalipun demikian, perlu saja peringatkan di
sini, bahwa Undang-Undang Dasar 1945 memungkinkan Mandataris M.P.R.S. bertindak
lekas dan tepat dalam keadaan darurat demi keselamatan Negara, Rakjat dan
Revolusi.
Dan sedjak Dekrit 5 Djuli 1959 dulu itu,
Revolusi kita terus meningkat, malahan terus bergerak tjepat sekali, jang mau
tidak mau mengharuskan semua Lemabaga-lembaga Demokrasi kita untuk bergerak
tjepat pula tanpa menjelewengkan Demokrasi Terpimpin ke arah Demokrasi Liberal.
VI.
Hal Melaksanakan UUD’45
Dalam rangka merintis djalan ke arah pemurnian
pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 itulah, saja dengan surat saja tertanggal
4 Mei 1966 kepada Pimpinan DPR-GR memadjukan :
a.
RUU penjusunan MPR, DPR dan DPRD.
b.
RUU Pemilihan Umum.
Saja ulangi, Saudara-saudara, saja jang
memadjukan RUU Pemilihan Umum itu, saja jang menghendaki lekas diadakan
pemilihan umum.
c.
Penetapan Presiden No. 3 tahun 1958 jo.
Penetapan Presiden No. 3 tahun 1966 untuk diubah mendjadi Undang-undang, agar
supaja DPA dapat ditetapkan menurut pasal 16 ajat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
VII.
Wewenang MPR dan DPR
Tidak lain harapan saja adalah hendaknja
M.P.R.S. dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 itu
menjadari apa tugas dan fungnja, djuga dalam hubungan persamaan dan
perbedaannja dengan MPR hasil pemilihan umum nanti.
Wewenang MPR selaku pelaksanaan kedaulatan
Rakjat adalah menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada
haluan negara (pasal 3 UUD), serta memilih Presiden dan Wakil Presiden (pasal 6
UUD ajat 2).
Undang-Undang Dasar serta garis-garis besar
haluan negara telah kita tentukan bersama, jaitu Undang-Undang Dasar Proklamasi
1945 dan Manipol/Usdek.
VIII.
Kedudukan Presiden dan Wakil Presiden
Undang-Undang Dasar 1945 itu menjebutkan
pemilihan djabatan Presiden dan Wakil Presiden, masa djabatannja serta isi
sumpahnja dalam satu nafas, jang tegas bertudjuan agar terdjamin
kesatuan-pandangan, kesatuan-pendapat, kesatuan-pikiran, kesatuan-tindak antara
Presiden dan Wakil Presiden jang membantu Presiden (pasal 4 ajat 2 UUD).
Dalam pada itu, Presiden memegang dan
mendjalankan tugas; wewenang; dan kekuasaan Negara serta Pemerintahan. Saja
ulangi, dalam pada itu Presiden memegang dan mendjalankan tugas; wewenang; dan
kekuasaan Negara serta Pemerintahan (pasal 4, 5, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17
ajat 2).
Djiwa kesatuan antara kedua pedjabat negara
ini, serta pembagian tugas dan wewenang seperti jang ditentukan dalam
Undang-Undang Dasar 1945 itu hendaknja kita sadari sepenuhnja.
IX.
Penutup
Nah, Saudara-saudara, demikian pula hendaknja
kita semua, di luar dan di dalam M.P.R.S. menjadari sepenuhnja perbedaan dan
persamaannja antara M.P.R.S. sekarang, dengan MPR hasil pemilihan umum jang
akan datang, agar supaja benar-benar kemurnian Undang-Undang Dasar 1945 dapat
kita rintis bersama, sambil membuka lembaran baru dalam sedjarah kelandjutan
Revolusi Pantja-Sila kita ini.
Demikianlah Saudara-saudara, teks laporan progres saja pada
M.P.R.S. izinkanlah saja sekarang mengutjapkan beberapa patah kata pribadi
kepada saudara-saudara, terutama sekali mengenai pribadi saja.
Lebih dahulu tentang laporan progres ini :
Laporan progres itu saja simpulkan dalam sembilan pasal; sembilan
golongan; sembilan punt. Saja ingin memberi djudul kepada amanat saja tadi itu,
sebagaimana biasa, saja memberi djudul kepada pidato-pidato saja. Ada jang saja
namakan pidato “Manipol”; ada jang bernama “Berdikari”; ada jang bernama
“Resopim”; ada jang bernama “Gesuri” dan lain-lain sebagainja.
Amanat saja ini, saja beri djudul apa ? Sembilan perkara; pokok,
saja tuliskan di dalam amanat ini. Karena itu, saja ingin memberi nama kepada
amanat ini; pidato ini; Pidato Sembilan Pokok. Sembilan, ja Sembilan apa ?
Nah kita ini biasa memakai bahasa Sanskrit kalau memberi nama
kepada amanat-amanat, bahkan sering kita memakai perkataan dwi; tri (Trisakti);
dua-duanja perkataan Sanskrit. Tjatur Prasatya; tjatur = empat, satya =
kesetiaan. Pantja Azimat; pantja adalah lima.
Lha ini, Sembilan pokok ini saja namakan apa ? Sembilan di dalam
bahasa Sanskrit adalah Nawa.
Eka; dwi; tri; tjatur; pantja. Enam = sad; tudjuh = sapta; delapan
= hasta; Sembilan = nawa; sepuluh = dasa.
Djadi saja mau beri nama terutama dengan perkataan “Nawa”. Nawa apa
?
Ja, karena saja tulis, saja mau beri nama “Aksara”, dus
“Nawa-Aksara”, atau disingkatkan “Nawaksara”.
Tadinja ada orang jang mengusulkan memberi nama : Sembilan Utjapan
Presiden; Nawa Sabda.
Nanti kalau saja kasih nama Nawa Sabda, ada sadja jang salah-salah
berkata “Hhhh, Presiden Bersabda”. Bersabda itu kan seperti radja, bersabda.
Tidak, saja tidak mau memakai perkataan sabda itu. Saja sekarang
memakai perkataan Aksara. Aksara dalam arti tulisan; aksara Djawa, aksara
Belanda, aksara Latin dan lain-lain. Aksara dalam arti tulisan.
Nawa Aksara atau Nawaksara, itu djudul jang saja berikan kepada
pidato ini.
Saja minta kepada wartawan-wartawan, mengumumkan hal ini, bahwa
pidato Presiden dinamakan oleh Presiden : Nawaksara.
Kemudian saja mau menjampaikan beberapa patah kata mengenai diri
saja sendiri.
Saudara-saudara semuanja mengetahui bahwa tatkala saja masih muda,
amat muda sekali, saja miskin, dan oleh karena saja miskin, maka demikianlah
sering kita utjapkan – saja tinggalkan “this, material world”.
Dunia djasmani saja ini laksana saja tinggalkan, karena dunia
djasmani ini tidak memberi hiburan dan kepuasan kepada saja, oleh karena saja
miskin.
Maka saja meninggalkan dunia djasmani ini dan saja masuk – kataku
sering dalam pidato-pidato dan keterangan-keteranganku – ke dalam “world of the
mind”.
Saja meninggalkan dunia jang “material” ini, saja masuk ke dalam
“world of the mind”, dunianja alam tjipta, dunia chajal, dunia fikiran.
Dan telah sering saja katakana bahwa, di dalam “world of the mind”
itu, di situ saja berdjumpa dengan orang-orang besar dari segala bangsa dan
segala negara. Di dalam “world of the mind” itu saja berdjumpa dengan ahli
falsafah-ahli falsafah jang besar, di dalam “world of the mind” itu saja
berdjumpa dengan pemimpin-pemimpin bangsa jang besar, dan di dalam “world of
the mind” itu saja berdjumpa dengan pedjoang-pedjoang kemerdekaan jang
berkaliber besar.
Nah, saja berdjumpa dengan orang-orang besar ini, tegasnja,
djelasnja, dari batja buku-buku. Salah satu pemimpin besar dan salah satu
bangsa jang berdjoang untuk kemerdekaan, mengutjapkan kalimat sebagai berikut :
“the cause of freedom is a deathless cause”.
“The cause of freedom is a deathless cause”, perdjoangan untuk
kemerdekaan adalah satu perdjoangan jang tidak mengenal mati, “the cause of
freedom is a deathless cause”.
Sesudah saja batja kalimat itu dan renungkan kalimat itu, bukan
sadja saja tertarik kepada “cause of freedom” daripada bangsa saja sendiri dan
bukan sadja saja tertarik kepada “cause of freedom” daripada seluruh umat
manusia di dunia ini, tetapi karena saja tertarik kepada “cause of freedom”
ini, saja ingin menjumbangkan diriku kepada “deathless cause” ini, “deathless
cause of my own people, deathless cause of all people on earth”.
Dan lantas saja mendapat kejakinan, bukan sadja “the cause of
freedom is a deathless cause”, tetapi djuga “the service of freedom is a
deathless service”, pengabdian kepada perdjoangan kemerdekaan itu pun tidak
mengenal maut, tidak mengenal habis, pengabdian jang sungguh-sungguh
pengabdian. Bukan “service” jang hanja “lip service”, tetapi “service” jang
betul-betul masuk ke dalam djiwa, “service” jang betul-betul pengabdian,
“service” jang demikian itu adalah satu “deathless service”.
Dan saja tertarik oleh saja punja pendapat sendiri itu, pendapat
pemimpin besar daripada bangsa jang saja sitir tadi berkata : “the cause of
freedom is a deathless cause, but also the service of freedom is a deathless
service”.
Dan saja, Saudara-saudara telah memberikan; menjumbangkan; atau
menawarkan diri saja sendiri dengan segala apa jang ada pada saja ini kepada
“service of freedom”.
Dan saja sadar sekarang ini, “the service of freedom is a deathless
service”, jang tidak mengenal habis; tidak mengenal achir; tidak mengenal maut.
Itu adalah urusan isi hati. Badan manusia bisa hantjur, badan manusia bisa
dimasukkan ke dalam kerangkeng, badan manusia bisa dimasukkan dalam pendjara,
badan manusia bisa ditembak mati, badan manusia bisa dibuang ke tanah
pengasingan jang djauh daripada tempat kelahirannja, tetapi ia punja “service
of freedom”, tidak bisa ditembak mati, tidak bisa dikerangkeng, tidak bisa
dibuang ke tempat pengasingan, tidak bisa ditembak mati.
Dan saja beritahu kepada Saudara-saudara, menurut perasaanku
sendiri, saja telah lebih daripada 35 tahun, hampir 40 tahun, “dedicate myself
to this service of freedom” dan saja menghendaki agar supaja seluruh, seluruh,
seluruh Rakjat Indonesia, masing-masing djuga “dedicate” djiwa-raganja kepada
“service of freedom” ini, oleh karena memang “service of freedom” ini “is a
deathless service”. Tetapi achirnja segala sesuatu adalah di dalam tangan-Nja
Tuhan. Apakah Tuhan memberi saja “dedicate myself, my all to this service of freedom”,
itu adalah Tuhan punja urusan.
Karena itu, maka saja terus, terus, terus, selalu memohon kepada
Allah SWT agar saja diberi kesempatan untuk membuktikan; mendjalankan aku-punja
:service of freedom” ini.
Tuhan jang menentukan, de mens wikt, God beslist : manusia bisa
berkehendak matjam-matjam, Tuhan jang menentukan.
Demikian saja, bersandaran kepada keputusan Tuhan itu,
Saudara-saudara.
Tjuma saja djuga di hadapan Tuhan berkata, ja Allah, ja Rabbi,
berilah saja kesempatan; kekuatan; taufik; hidajat; untuk “dedicate myself to
this great cause of freedom and to this great service of freedom”.
Inilah, Saudara-saudara, jang hendak saja katakan kepadamu di
waktu saja pada hari sekarang ini memberi laporan kepadamu sekalian.
Moga-moga Tuhan selalu memimpin saja, moga-moga Tuhan selalu
memimpin Saudara-saudara sekalian.
Sekian Saudara-Ketua.
Mugia aya manfaatna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar