Kampung Tenun
Pemukulan Lesung oleh Mari Elka Pangestu saat meresmikan Kampung Tenun Garut dan Pencanangan Zona Kreatif di Kampung Panawuan Garut |
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
RI –Mari Elka Pangestu, meresmikan Kampung Tenun Garut dan Pencanangan
Zona Kreatif di Kampung Panawuan Desa Sukajaya Kecamatan Tarogong Kidul
Kabupaten Garut. Rabu, 27 Juni 2012. “Tujuannya, untuk meningkatkan kesadaran
dan nilai tambah akan kerajinan tenun asal Garut. Selain bisa menikmati
keindahan alam di Garut, kita juga dapat melihat lebih dekat kain tenun sebagai
warisan budaya, pengembangan industri kreatif, dan meningkatkan pendapatan
masyarakat Garut," tutur Mari Elka Pangestu. Kampung Tenun ini,
didahului dengan Program Pelatihan dan Pengembangan Perajin Tenun Garut dan
Majalaya. Berdasarkan informasi yang diterimanya, awalnya masyarakat yang
mengikuti program pelatihan dan pengembangan usaha kain tenun ikat dari tahun
2011 hanya 25 orang. Namun, di pertengahan tahun ini, jumlahnya bertambah hingga
mencapai 65 orang. Antusiasme tersebut jelas menjadi potensi tersendiri
mengingat pasar kain tentun ikat memang sangat menjanjikan. Dengan program
tersebut, diharapkan para perajin bisa menentukan harga yang layak dan
mengetahui selera pasar.
Mari Elka Pangestu menyaksikan pembuatan kain sutera alam di Kampung Tenun Panawuan Garut |
Mari Elka Pangestu memperhatikan proses pembuatan kain sutera alam Panawuan dengan mempergunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Beliau juga mengagumi kain sutera alam Garut dari hasil perajin sutera. |
Mari Elka Pangestu menyaksikan proses pewarnaan kain sutera dengan menggunakan bahan alami di Kampung Tenun Panawuan Garut |
Saat ini pemerintah masih mempelajari agar bahan dasar benang sutera
alam Garut dapat kembali diproduksi. Komitmen ini, akan diwujudkan melalui
dukungan pemerintah dalam mewujudkan Garut sebagai Sentra Kreatif Kain Tenun
Ikat Sutera Alam. “Saya optimistis, produksi kain tenun ikat ini dapat
memberikan efek positif yang sangat banyak bagi kehidupan perekonomian
masyarakat khususnya masyarakat Garut," kata ibu Menteri.
Bahkan, dalam pengembangannya ke depan,
ia merencanakan melibatkan sejumlah desainer nasional untuk memperkenalkan kain
tenun ikat dari sutra alam Garut tersebut. "Jadi nanti, kain tenun ikat
ini bisa kita jadikan pakaian nasional selain batik yang sama-sama akan digunakan
setiap hari Jum’at.” Lebih jauh diungkapkan, “setelah proses produksi,
tahapan selanjutnya adalah pemasaran. Pasar mancanegara saat ini menjadi target
utama pemasaran kain tenun ikat berbahan dasar sutera alam produksi Garut ini, pemerintah
pun akan membantu mempromosikan dan memasarkan sutera alam tersebut. Karena
pada kenyataannya, memang banyak wisatawan mancanegara yang menyukai kain sutera
Garut.”. “Dengan peresmian Kampung Tenun ini juga diharapkan dapat
mengambil secara optimal warisan budaya bangsa Indonesia, sekaligus juga untuk
menghargai berbagai proses kreatif yang dilakukan dalam membuat kerajinan tenun
khas Garut. Kerajinan tenun khas Garut harus didorong untuk lebih inovatif,
baik dalam hal pemilihan tekstil maupun proses pembuatan dan pewarnaan.
Sehingga para perajin pun dapat juga mengembangkan kearifan lokal yang terdapat
di dalamnya. Kearifan lokal itu terindikasi dari banyaknya perajin yang melatih
keahlian dalam hal bertenun secara turun temurun. Mereka telah melakukan hal
tersebut hingga puluhan tahun,” katanya. Mari Elka Pangestu juga
menyampaikan apresiasinya atas sinergi yang telah dilakukan oleh Cita Tenun
Indonesia yang melatih para perajin dengan Perusahaan Gas Negara. BUMN ini
telah bertindak sebagai ‘bapak angkat’ atas Program Kampung Tenun
Garut. (sebagai catatan: PGN bersama-sama dengan CTI telah membina para
pengrajin tenun melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan. Dalam
kurun waktu enam bulan, PGN telah membantu merenovasi workshop; penyediaan
mesin dan ruang galeri guna memperlancar proses produksi; meningkatkan
kualitas; serta upaya menarik minat pengunjung dan wisatawan. Kegiatan ini
untuk membantu para perajin tenun, agar menjadi pengusaha yang tangguh dan
mandiri. Pengrajin tenun kain sutera tersebut, sekurangnya sejak dua tahun
terakhir mendapatkan pembinaan CTI termasuk difasilitasi bantuan sarana
prasarana produksi dari CSR PGN).
Mari Elka Pangestu mengunjungi Art Galery Tenun Sutera Panawuan serta berbincang dengan para wartawan |
Sementara itu, Ketua Cita Tenun
Indonesia (CTI) Okke Hatta Rajasa –yang turut mendampingi Mari Elka Pangestu,
mengatakan: “Untuk bisa lebih mengembangkan produksi kain tenun ikat sutera
Garut, pihaknya sangat mengharapkan keterlibatan pemerintah pusat dan daerah. Di
antaranya: perbaikan akses lintasan ruas jalan seputar Kelurahan Sukajaya di
Kecamatan Tarogong Kidul. Meski lokasinya cukup jauh, tetapi apabila kondisi ruas
jalannya berhotmix, dipastikan banyak pengunjung termasuk kalangan wisatawan. Kemudian
bahan baku, dipastikan bisa menjadi mahal jika produk lokalnya tak tersedia.”
Dengan majunya industri ini –lanjut Okke, perputaran roda ekonomi masyarakat
bisa semakin kencang "Saya yakin ke depan akan banyak lagi masyarakat
yang dapat mengembangkan perekonomian keluarganya dari usaha ini,". Di
sisi lain, potensi yang ada membuat Okke yakin, antusiasme untuk terjun dalam
industri kain tenun ikat akan semakin tinggi. Ia mencontohkan, dalam satu
tahun, para perajin sutera alam Garut dapat memproduksi kain tenun ikat sutera
sebanyak 3.600 meter atau senilai Rp 5,904 miliar. Untuk itu, pihak CTI akan
memberikan berbagai pelatihan, pembinaan, penguatan, dan pemasaran kain tenun
ikat sutera alam kepada masyarakat agar usaha ini bisa lebih berkembang.
Okke Hatta Rajasa mengemukakan, pihaknya
sejak 2008 hingga 2012, telah melakukan pembinaan tidak hanya di Garut dan
Majalaya. Namun, juga dilakukan di daerah lainnya seperti Bali; Sumatera
Selatan; Banten; Kalimantan Barat; dan Lombok (Nusa Tenggara Barat). “Kami
ingin membangun kesadaran kepada masyarakat, agar mereka juga dapat menghargai
budaya tenun dengan layak,” kata Okke.
Ia memaparkan, tenun Indonesia terbagi
menjadi tiga macam, yaitu tenun datar; tenun songket; dan tenun ikat. Dengan
pelatihan yang diberikan CTI, perajin tenun di Garut telah berhasil
menggabungkan ketiga jenis tenun tersebut dan dikombinasikan dengan proses
sulaman.
Dalam proses pergembangannya, Cita Tenun
Indonesia (CTI) yang diketuai oleh Okke Hatta Rajasa dan PT Perusahaan Gas
Negara (PGN) bekerja sama melakukan program pelatihan dan pengembangan perajin
tenun Garut sejak Desember 2010 hingga Januari 2012. Para perajin telah diajak
ke Tokyo dan Beijing, agar kualitas keterampilan dan wawasan mereka bertambah serta
diikutsertakan dalam pameran yang bertujuan untuk memperkenalkan tenun khas
Garut. Pada Mei 2012, kain tenun itu dibawa ke Tokyo dan Beijing untuk
mengikuti Spring Cultural Event dan Indonesian Cultural Night.
Setelah peresmian Kampung Tenun Garut,
acara pun ditutup oleh fashion show dari Sebastian Gunawan. Selanjutnya
Mari Elka Pangestu bersama komunitas “Cita Tenun Indonesia” (CTI) juga pemberi Corporate
Social Responsible (CSR), yakni Perusahaan Gas Negara (PGN). Diagendakan,
siangnya menyaksikan langsung proses produktivitas kelompok tenun sutera di
Kampung Panawuan Sukajaya, Tarogong Kidul, Garut. Juga
menyaksikan Fashion Show produk kain sutera di Vila Mawar Samarang, seusai
mereka berkunjung ke Kampung Panawuan.
Rumah Produksi Tenun Ikat Kain Sutera Alam Panawuan Garut; Berbagai Kain Sutera Alam Garut Yang Dihasilkannya; Serta Peragaan Busana Sutera Alam Garut Karya Perancang Sebastian Gunawan |
Motif Celana Balon dan Terusan untuk anak, karya Sebastian Gunawan. Nyunyu, banget ! |
Motif Geometris dan Ballgrown juga, ngga kalah nyunyu ! |
Motif Tribal dan Bunga-bunga Besar, berlenggak-lenggok di Kebun Mawar Samarang Garut |
Motif Lengan Balon dan Tanpa Lengan, tetap saja membuat tampilan menjadi menarik. |
Para Peraga Busana Tenun Sutera Alam berkesempatan Photo Bareng dengan Mari Elka Pangestu, saat Fashion Show Sutera Alam Garut di Vila Mawar Samarang Garut. |
Kain tenun merupakan salah satu produk warisan nenek moyang dan produk
budaya Indonesia yang bernilai tinggi. Produk ini harus selalu dijaga dan
dilestarikan keberadaannya, agar tidak punah dilanda perkembangan zaman atau
“hilang” diklaim negara lain. Untuk melestarikan tenun Nusantara tersebut
dibutuhkan berbagai pihak yang peduli akan eksistensi kain tenun tersebut.
Pelestarian kain tenun tidak hanya membutuhkan “tangan” para pengrajin itu
saja, tetapi juga perlu dukungan dari segenap insan di Indonesia. Inilah yang
menjadi visi dan misi Cita Tenun Indonesia (CTI), sebuah perkumpulan para
pecinta kain tenun yang diresmikan oleh Ibu Negara, Hj. Ani Bambang Yudhoyono
pada 28 Agustus 2008 lalu. “Pada usianya yang relatif muda, kami berusaha
keras untuk menjalankan tiga program kerja yang dirumuskan pada awal pembentukan
perkumpulan kami, yaitu : Program Pelestarian, Program Pelatihan dan Pengembangan Pengrajin serta Program
Pemasaran,” ujar Okke Hatta Rajasa, ketua Pengurus CTI. Saat ini,
CTI telah menjadi fasilitator bagi pengembangan kemampuan pengrajin maupun
kualitas tenun di empat daerah binaan, antara lain di Bali, Sumatera Selatan,
Sulawesi Tenggara dan Baduy. Sebagai rencana program tahun ini, CTI sudah
berhasil untuk membina pengrajin di Garut, Jawa Barat; Pekalongan, Jawa Tengah;
Kalimantan Barat; Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Timur, sebagai daerah
binaan selanjutnya. “Pembinaan yang kami lakukan dinilai berhasil, terbukti
dari bertambah banyaknya pesanan tenun pada pengrajin,” jelas Okke. Dengan demikian diharapkan agar tenun para
pengrajin sanggup bersaing dengan pasar dan standar internasional.
CTI juga bekerjasama dengan Museum Tekstil Indonesia dan berbagai
museum internasional dalam menyelenggarakan pameran kain tenun langka seperti
penyelenggaraan Pameran Tekstil Indonesia dan Jepang sampai dengan meminjamkan
koleksi tenun songket Limar kepada Museum Tekstil di Washington DC, Amerika
Serikat. Selain itu, CTI berupaya agar produk budaya kain tenun Indonesia
mendapatkan pengakuan dari UNESCO sebagai “pemilik asli” tenun Nusantara. Dalam rangka ulang tahunnya yang ke-2, CTI
mempersembahkan sebuah pergelaran akbar bertajuk Pesta Tenun yang digelar di
Ballroom The Ritz Carlton, Pacifik Place, Jakarta di bulan Agustus lalu. CTI
berinovasi dengan memasukan kain tenun ke dalam dunia desain interior dan
menyemarakan desain fashion dalam acara ini. Pesta Tenun juga makin semarak
dengan diluncurkannya buku tentang tenun Indonesia yang berjudul Tenun Handwoven Textiles of Indonesia. Rangkaian kegiatan ini makin mengukuhkan keberadaan dan kontribusi CTI
bagi bangsa dan negara.
A.
Program CTI
1.
Program Desa Tenun Kreatif
Mandiri Terpadu.
2.
Program Pemberdayaan Perajin
Tenun.
3.
Tailor made program sesuai
permintaan pasar.
4.
Penerbitan buku hasil program
pengembangan dari berbagai daerah.
B.
Alur Kerja
Program Pengembangan Perajin Tenun
FGD Persiapan
Tim Kerja → Studi Kelayakan (Survey) → FGD Hasil studi dan perencanaan
pengembangan desain → Pelatihan (pengembangan struktur tenun, ragam hias, dan
teknik pewarnaan) → Produksi mock up → Evaluasi → Presentasi Uji Coba Pasar Promosi.
C.
Daerah Binaan
CTI Sampai dengan Akhir tahun 2011
1.
Daerah Klungkung, Karangasem,
Seraya, dan Jinengdalem, Provinsi Bali. Kerjasama dengan PT. Garuda Indonesia
2.
Desa Muara Panembung, Kec.
Indralaya, Kab. Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Kerjasama dengan PT. Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk.
3.
Seluruh Kab. di Sulawesi
Tenggara. Kerjasama dengan Pemda Sultra.
4.
Daerah Baduy, Provinsi Banten.
Kerjasama dengan Pemda Banten.
5.
Kab. Sambas, Provinsi Kalimantan
Barat. Kerjasama dengan PT. Garuda Indonesia.
6.
Kab. Garut, dan Kab. Majalaya.
Kerjasama dengan PT. Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk.
7.
Lombok Utara dan Lombok tengah,
Mataram, Nusa Tenggara Barat bekerjasama dengan PT Garuda Indonesia (persero).
Exotisme Sutera Garut
Kain tenun sutra ala Garut memang cantik
dan menawan. Namun, keeksotisannya tidak mudah diciptakan, dibutuhkan keahlian
khusus untuk mengembangkan teknik motif ikat. Mulai dari proses pemidangan,
pencelupan, pencoletan, hingga berhasil menjadi satu meter kain tenun. Di Kabupaten Garut ini masih tersimpan banyak sekali
produk-produk yang sudah puluhan tahun diproduksi, salah satunya adalah kain
sutera alam. Potensi di sektor ini cukup menjanjikan, mengingat, Kabupaten
Garut merupakan salah satu daerah dengan potensi agro-bisnis terbesar di Jawa
Barat. Potensi bisnis inilah yang harus dimanfaatkan. Bayongbong dan Cikajang, merupakan
daerah yang cocok untuk memelihara ulat sutera. Pasalnya ulat sutera perlu daun
murbey (babasaran) untuk makanan utamanya dan kedua daerah itu sangat cocok
ditanami murbey karena berhawa dingin.
Dari
segi kualitas, sutera alam Garut tak kalah dengan kain sutera alam buatan
daerah lainnya. Bahkan lebih unggul dari segi motif yang khas Garutan dan
ketebalan kain. Tak hanya pasar lokal seperti Jakarta, Cirebon, Pekalongan, Yogyakarta
Dan Solo, akan tetapi permintaan pasar global pun cukup tinggi. Bahkan, kain
sutera alam Garut telah memasuki pasar Jepang, Kanada dan Amerika. Meski
permintaan masih tinggi, namun para perajin kesulitan memenuhi permintaan
tersebut. Kendalanya ada pada bahan baku yang langka dan sangat mahal.
Akibatnya, hanya bisa memenuhi sekitar 50% dari permintaan yang datang. Padahal,
industri persuteraan merupakan salah satu subsektor agro-industri yang sangat
potensial untuk dikembangkan, karena memiliki berbagai keunggulan. Yakni bahan
baku seluruhnya tersedia dan berasal dari sumber daya alam lokal.
Usaha tenun sutera datang ke Garut
bersama eksodus tentara Jepang ke Nusantara awal tahun 1940-an. Tahun 1954 Naito
yang kemudian mengganti nama menjadi Muhamad Kurdi –prajurit Jepang yang tak
mau pulang ke tanah airnya, mencoba peruntungan dengan membuat benang ajaib
kain sutera di Wanaraja Garut. Salah satu warga pribumi yang belajar pembuatan
kain sutera itu adalah Aman Sahuri -ia perintis tenun sutera di Garut. Usaha
ini kemudian diikuti oleh S.M. Kosasih, H. Machdar (Bandung), Ackub
Wangsadimiarta (Sukabumi), Ummi Salamah (Banda Aceh), Mohamad
Daud (Ujung Pandang). Sahuri mengajak warga lain, memelihara ulat sutera
kertau (Bombyx mori) serta membuat pemintalan benang dan tenun sutera.
Puncaknya, saat Sahuri mendapatkan Penghargaan Upakarti tahun 1990 atas
kiprah kreatifnya itu. Namun masa keemasan itu mendapat ujian yang tak kunjung
usai, dimulai dari kebangkrutan PT Indo Jago Sutera Pratama tahun 2003.
Satu persatu usaha kebun murbei dan ternak ulat sutera lokal, berjatuhan. PT
Indo Jago adalah perusahaan produsen benang sutera tercanggih di Indonesia,
tanpa PT Indo Jago proses pemintalan benang hanya dilakukan secara tradisional.
Akibatnya, kualitas benang tidak terjaga dan mulai ditinggalkan konsumen. Kini,
perusahaan penenunan sutera lebih banyak memakai benang impor yang standar
panjang dan ketebalannya seragam
The
Silk Road –Jalur Sutera.
Sutera ditemukan dan
digunakan pertama kali di Cina dibawah Kekaisaran Huang Ti (Yellow
Emperor) sekitar tahun 2697 s/d 2597 Sebelum Masehi. Tulisan-tulisan
Konfusius dan tradisi Cina menceritakan bahwa pada abad ke-27 SM sebuah
kepompong ulat sutera tak sengaja jatuh ke dalam cangkir teh milik seorang
permaisuri bernama Lei-Tzu (Leizu). Mengharapkan khasiat karena meminumnya,
gadis muda berusia empat belas tahun ini mulai membuka gulungan benang
kepompong. Sang permaisuri baru menyadari bahwa
kepompong tersebut kemudian menjadi berbentuk helaian benang yang halus dan
panjang –inilah awal pertamakali benang sutera ditemukan. Si gadis
kemudian memiliki ide untuk menenun gulungan benang tersebut, maka terciptalah
sebuah kain kemilau yang menakjubkan –kain sutera. Di Cina, permaisuri tersebut sampai sekarang dikenal
sebagai Si Ling-Chi atau Lady of the Silkworm. Sang Kaisar
Kuning merekomendasikannya untuk membudidayakan ulat sutera atas permintaan
permaisurinya itu, inilah awal mula sang permaisuri dipuja sebagai Dewi Sutera
dalam mitologi Cina. Semenjak itu Cina dikenal
sebagai penghasil kain sutera yang terkenal di seluruh dunia. Banyak pedagang
datang ke Cina untuk membeli kain sutera Cina yang terkenal. Rupa sutera
yang kemilau disebabkan karena strukturnya yang menyerupai prisma segitiga di
dalam serat sehingga memungkinkan kain sutera membiaskan cahaya ke berbagai
sudut. Jalur perdagang tersebut kemudian dikenal
sebagai The Silk Road atau Jalur Sutera. Hingga seribu tahun
kedepan, monopoli atas sutera masih dikuasai Cina. Pada saat itu kegunaan sutera
tidak hanya terbatas pada pakaian, namun telah digunakan untuk sejumlah
aplikasi lain –antara lain: tulisan.
Pada awalnya, sutera merupakan produk
eksklusif kekaisaran Cina atau Tiongkok, hanya bangsa Cina yang mengetahui
rahasia pembuatan sutera selama berabad-abad. Siapapun yang membocorkan cara
pembuatan sutera akan dibunuh sebagai seorang pengkhianat. Karena
monopoli inilah yang membuat harga sutera sangatlah mahal, bahkan sebanding
dengan emas pada masa itu.
Diawali dengan pemberian hadiah bahan
sutera kepada Kaisar Romawi Timur (Bizantium) oleh Cina, lalu pada tahun 550 M
Kaisar Romawi Timur atau Bizantium yang bernama Justinian I mengirim dua
biarawan yang menyamar sebagai mata-mata ke negeri Cina. Mereka berhasil
mengambil ulat sutera dari negeri Cina dan mengetahui cara membuat sutera pada
tahun 552 M. Sejak saat itu, sutera dikembangkan di seluruh wilayah Kekaisaran
Romawi Timur dan menyebar ke seluruh dunia. Akibatnya, monopoli sutera bukan
lagi milik Kekaisaran Cina.
Orang-orang Arab juga mulai memproduksi
sutera dalam kurun waktu yang sama. Sebagai hasil dari penyebaran sericulture,
ekspor sutera di Cina menjadi sedikit berkurang, namun mereka masih mendominasi
pasar sutera mewah.
Korea, India dan Jepang mulai
mengembangkan ulat sutera dengan memasukkan telur dari Cina. Bahkan Jepang berhasil
mendatangkan ngengat penghasil sutera dari Cina yang kemudian menjadi sutera
sebagai salah satu pokok perekonomian Jepang yang jaya pada masa Meiji.
Saat Perang Salib, produksi sutera
dibawa ke Eropa Barat, khususnya ke negara Italia. Banyak yang melihat ekspor
sutera ke seluruh Eropa sebagai peluang yang menjanjikan karena dapat
meningkatkan perekonomian.
Selama abad pertengahan, perubahan
teknik manufaktur juga mulai terjadi. Dari yang sebelumnya menggunakan alat
primitif, berubah menggunakan alat pemintal semacam roda berputar yang pertama
kali muncul. Pada abad ke- 13 – 16 Perancis (Lyon) dan Italia berhasil
mengembangkan perdagangan sutera, saat itu justru banyak negara-negara lain
yang tidak berhasil mengembangkan industri sutera.
Abad 15 di Inggris didirikan pabrik
sutera pertama –revolusi industri banyak mengubah industri sutera di Eropa.
Karena inovasi dalam pemintalan kapas saat itu menjadi jauh lebih murah dalam
memproduksi dan karena itu menyebabkan produksi sutera lebih mahal. Teknologi
tenun baru telah meningkatkan efisiensi produksi. Salah satu diantaranya adalah
mesin tenun Jacquard yang dikembangkan untuk bordir sutera.
Perjalanan panjang sejarah sutera sempat
terhenti pada tahun 1854. Sebab, sebuah wabah penyakit ulat sutera terjadi dan
berakibat pada menurunnya produksi sutera, terutama di Perancis, di mana
industri sutera tidak dapat ditemukan. Pada abad ke-20 Jepang dan Cina kembali
berperan untuk memproduksi sutera. Dan kini, Cina merupakan produsen sutera
terbesar di dunia.
Sutera di Indonesia
Di Indonesia perkembangan sutera alam
mulai dikenal pada abad X, tapi belum dijumpai adanya budidaya ulat sutera. Kemudian
pada tahun 1718, bangsa Belanda membawa teknologi untuk budi daya sutera di
Indonesia. Sejak saat itulah, sutera mulai dikembangkan di Indonesia. Pada tahun
1950 dicanangkan program Multiple Use of Forest Lands oleh Dr. Soejarwo,
yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan
lahan kehutanan. Tahun 1954 – 1961 pemeliharaan ulat sutera dilakukan di
Cisarua oleh Naito dari Jepang dan Kosasih dari Bandung. Tahun
1961 organisasi sutera alam pertama dibentuk yaitu ISRI, Industri Sutera
Rakyat Indonesia.
A. Pendirian
Pabrik Pemintalan
:
1961 di Bandung,
yang bahan bakunya berupa kokon masyarakat;
1963 di Ciamis
Jawa Barat;
1966 di
Yogyakarta.
B. Daerah
Pengembangan Sutera Alam :
1.
Jawa Barat : Sukabumi, Cianjur,
Garut;
2.
Jawa Tengah : Candiroto (Pusat
Pembibitan Ulat Sutera/PPUS), Regoloh di Pati (mempunyai Usaha
Persuteraan Alam/UPA);
3.
Jawa Timur : Gerbo di Pasuruan,
Pare di Kediri;
4.
Sumatera Barat : Payakumbuh, Batu
Sangkar;
5.
Sumatera Utara : Brastagi, Dairi;
6.
Sulawesi Selatan : Soppeng
(sentra produksi benang sutera terbesar di Indonesia), Wajo dan Majene.
C. Perkembangan
Persuteraan Alam :
1.
1968 Pengembangan Persuteraan
Alam di Yogyakarta;
2.
1970 Proyek Pembinaan Persuteraan
Alam Sulawesi Selatan;
3.
1978 – 1985 Pemerintah melalui
Direktorat Jenderal Kehutanan bekerjasama teknik dengan Pemerintah Jepang yang
dituangkan di dalam proyek Kerjasama AT – 72.
4.
Dibentuk Badan Pembinaan
Persuteraan Alam Nasional sesuai Keputusan Menteri Kehutanan No. 146/Kpts-V/1986
yang disempurnakan dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 702/Kpts-II/1989 dan
No. 100/Kpts-II/1994.
5.
1992 dibentuk Masyarakat
Persuteraan Alam Indonesia;
6.
1996 dirintis pemberian Kredit
Usaha Tani (KUT) Persuteraan Alam kepada petani/kelompok tani sutera melalui “Mitra
Usaha”.
7.
1996 telah diadakan kerjasama
dengan Pemerintah Rumania dalam bidang breeding ulat sutera.
D Pola-pola Usaha Dalam Pengembangan
Persuteraan Alam
1.
Pola Kelompok Tani :
Suatu kelompok
tani sebaiknya terdiri dari 7 – 10 rumah tangga yang mengenal satu sama lainnya
dan bekerja pada satu hamparan lahan. Kelompok tani merupakan ajang Pendidikan
dan Komunikasi bottom-up, top-down dan horisontal. Kegiatan-kegiatan dalam
kelompok tani merupakan kegiatan persiapan untuk membentuk Koperasi.
2.
Pola Koperasi :
Beberapa
kelompok tani dapat membentuk Koperasi Pembinaan dan Pengawasan,
terutama di bidang permodalannya dengan sistem kredit.
3.
Pola BUMN :
Badan Usaha
Milik Negara yang sangat menonjol dalam pengembangan dan bimbingan persuteraan
adalah Perum Perhutani.
Mugia aya manfaatna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar