Konferensi Internasional pertama yang membahas masalah laut teritorial adalah Codification Conference pada tanggal 13 Maret hingga 12 April 1930 di Den Haag, di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa dan dihadiri delegasi dari 47 negara. Konferensi ini tidak mencapai kata sepakat, terutama tentang: batas luar dari laut teritorial dan hak menangkap ikan dari negara-negara pantai pada zona tambahan. Ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (oleh 20 negara), 6 mil (12 negara), dan negara sisanya menginginkan 4 mil. Pada tahun 1957, Indonesia mendeklarasikan penguasaannya atas laut diantara pulau-pulau di Indonesia melalui: Deklarasi Djuanda. Hal ini merupakan respon atas Ordonansi 1939 (Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie) yang dianggap tidak menguntungkan bagi Indonesia yang berbentuk kepulauan. Menurut Ordonansi tersebut, dengan hanya memiliki 3 mil laut dari masing-masing pulau, berarti ada banyak 'laut bebas' diantara pulau-pulau di Indonesia. Selanjutnya, hal ini diperjuangkan di dunia internasional. Melihat fenomena klaim kawasan laut yang bersifat 'sporadis' ini, maka pada tahun 1958 PBB merasa perlu adanya pengaturan penguasaan atas laut. Dilakukanlah Konferensi PBB Pertama tentang: Hukum Laut, pada tanggal 24 Februari hingga 29 April 1958 di Jenewa yang menghasilkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1958). Meski dianggap 'langkah maju', namun UNCLOS 1958 tidak menghasilkan keputusan tentang luas yang maksimum dari laut teritorial. Pada tanggal 17 Maret hingga 26 April 1960, diselenggarakan Konferensi PBB Kedua. Namun, konferensi gagal menghasilkan kesepakatan internasional. Konferensi ini sekali lagi gagal untuk memperbaiki luas yang seragam untuk wilayah, dan gagal menetapkan konsensus tentang 'Hak-hak Penangkapan Ikan Berdaulat'. Dalam perkembangannya, terjadi penyempurnaan hingga disepakati konvensi terbaru, yakni: UNCLOS 1982. Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on
the Law of the Sea/UNCLOS) –juga
disebut Konvensi Hukum Laut atau Hukum Perjanjian Laut, adalah perjanjian
internasional yang dihasilkan dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III) yang berlangsung dari tahun 1973
sampai dengan tahun 1982, ditandatangani pada 10 Desember 1982 di Montego Bay - Jamaika. Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak dan
tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia serta menetapkan pedoman
untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut. Konvensi
kesimpulkan pada tahun 1982, menggantikan perjanjian internasional mengenai
laut tahun 1958. UNCLOS diberlakukan pada 16 November 1994, setahun setelah Guyana
menjadi negara ke-60 untuk menandatangani perjanjian. Untuk saat ini, 158
negara dan Masyarakat Eropa telah bergabung dalam Konvensi.
Sedangkan Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima instrumen ratifikasi dan aksesi. Perserikatan
Bangsa-Bangsa menyediakan dukungan untuk pertemuan negara pihak Konvensi, PBB
tidak memiliki peran operasional langsung dalam pelaksanaan Konvensi. Peran
tersebut dimainkan oleh organisasi-organisasi, seperti: Organisasi Maritim
Internasional, Komisi Penangkapan Ikan Paus Internasional, dan Otorita Dasar
laut Internasional –yang terakhir, yang
didirikan oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Hukum Laut Internasional
1.
Landas
Kontinen
Landas Kontinen
adalah wilayah laut dari suatu negara pantai, meliputi: dasar laut dan tanah di
bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut
teritori sebatas landas kontinen yang merupakan wilayah kelanjutan dari daratan
alamiah –hingga jarak 200 mil diukur dari
garis pangkal.
Cara Mengukur
Landas Kontinen:
1)
Ditarik
garis lurus mulai dari garis pangkal hingga 200 mil ke arah laut.
2)
Untuk
wilayah di atas 200 mil harus ditetapkan batasnya dengan cara menarik garis
lurus tidak boleh lebih dari 60 mil.
3)
Untuk
negara yang berbatasan, maka harus ditentukan batasnya dari tempat titik
pangkal di mulai menarik garis dan di tentukan titik koordinatnya demi
tercapainya penyelesaian yang adil sesuai dengan ketentuan.
4)
Peta-peta
koordinat tersebut harus diumumkan sebagaimana mestinya oleh negara pantai.
2.
Hak
Negara Pantai dan Negara Asing di Wilayah Landas Kontinen
Setiap negara
memiliki hak-hak atas landasan kontinen. Hak negara-negara tersebut ialah
sebagai berikut:
2.1. Hak Negara
pantai:
1)
Hak
berdaulat dengan tujuan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alam.
Negara pantai
memiliki hak untuk mengeksplorasi mauapun mengekploitasi kekayaan yang ada di
laut maupun tanah di wilayah landas kontinen untuk kepentingan negara tersebut.
Baik itu kekayaan alam hayati –berupa
makhluk hidup, seperti: ikan, kerang, dan biota laut lainnya baik untuk
kepentingan komersial maupun penelitian dan kekayaan non hayati, seperti:
mineral, tambang minyak bumi, gas alam, batubara, nikel, tembaga, nikel,
bauksit dan lain sebagainya. Semua dapat di manfaatkan untuk kepentingan negara
pantai. Negara pantai adalah negara yang berdaulat penuh atas landas kontinen.
2)
Memasang
kabel dan pipa bawah laut
Semua negara
pada dasarnya berhak untuk memasang kabel dan pipa bawah laut, dengan memperhatikan:
tidak ada yang dirugikan dari pemasangan
tersebut. Dan sebagai negara berdaulat atas landas kontinen, maka negara
pantai memiliki hak untuk memasang pipa maupun kabel bawah laut dengan tidak menganggu
aktivitas lainnya di permukaan laut.
2.2. Hak negara
asing atas landas kontinen
1.
Hak
melayari.
Setiap negara
mempunyai hak untuk berlayar di atas landas kontinen, asalkan tidak berada di
landasan kontinen yang terletak wilayah laut teritori
2.
Hak
membuang sauh atau jangkar.
Setiap negara
mempunyai hak untuk berhenti –berlabuh di
tengah laut di daerah wilayah landasan kontinen.
3.
Hak
memasang pipa dan kabel bawah laut.
Negara asing berhak
melakukan pemasangan kabel maupun pipa bawah laut, dengan ketentuan: tidak
mengganggu dan mendapat izin dari negara yang berdaulat. Sementara itu, negara
berdaulat tidak boleh menghalangi pemasangan kabel dan pipa bawah laut oleh
negara asing.
Pun demikian
tiap negara yang melekukan kegiatan di daerah landas kontinen, tidak boleh mengganggu
aktivitas pelayaran maupun aktivitas laut lainnya di atas landasan kontinen. Juga
terkait pencemaran yang timbul akibat pemasangan pipa, kabel, serta eksplorasi
dan eksploitasi, semua pihak negara, berkewajiban untuk merawat dan
melestarikan kelangsungan kehidupan di wilayah landasan kontingen
3.
Landas
Kontinen (Perbandingan Konsep UNCLOS 1982 dan Konvesi Jenewa 1958)
Cukup banyak
persamaan pada UNCLOS 1982 dengan Konvensi Jenewa tahun 1958. Namun demikian,
terdapat juga hal-hal yang telah dirubah atau berbeda. Namun substansial
perubahan juga berdampak besar pada pengertian dan seperti apa landas kontinen
suatu negara.
Perbedaan antara
UNCLOS 1982 dengan terdapat pada luas wilayah teritorial. Menurut kedua pakta
tersebut tentang sedimentasi lanjutan dari daratan, memang masih di sepakati
namun jelas jika dalam UNCLOS di katakan luas terbatas sampai daerah di titik
200 mil dari titik pangkal, maka dalam Konvensi Jenewa sampai pada daerah
berkedalaman 200 meter dari titik pangkal dan ini masih bisa bertambah sampai
pada daerah yang lebih dalam –asal masih
bisa di eksplorasi bahkan sampai pada daerah berkedalaman 500 meter lebih.
Beberapa
persamaan yang ada dalam UNCLOS 1982 dan Konvensi Jenewa 1982, meliputi: status
hukum dan hak-hak negara atas landas kontinen, baik negara pantai maupun negara
asing. Meskipun dari redaksinya ada yang berubah namun pada substansialnya
memiliki kesamaan pengertian tentang apa yang diatur oleh kedua pakta tersebut.
Meski ada
perbedaan dari segi redaksi kata, namun dapat dipastikan status hukum dari
landas kontinen adalah tidak berpengaruh apapun pada laut dan udara di atasnya.
Kedaulatan negara pantai hanya sebatas memanfaatkan sumber daya yang ada di bawahnya.
Untuk kepentingan negara lain di atas laut di landas kontinen, maka hak-hak
tersebut tetap dijamin dan tidak ada alasan untuk menggangu hak tersebut.
Sedangkan
terkait hak negara pantai dan hak negara asing, juga dia atur dan cenderung ada
persamaan dari segi substansi hukum dari kedua pakta tersebut –dimana hak-haknya itu tidak ada yang berubah.
Menurut kedua pakta kedaulatan dari negara pantai atas landas kontinen tersebut
adalah hak untuk meng-eksplorasi dan meng-eksploitasi kekayaan alam yang ada di
bawah laut dan tanah yang ada di bawahnya. Serta memasang pipa dan kabel di
bawah laut dengan memperhatikan keadaan lingkungan tidak sampai mengganggu
aktivitas pelayaran dan eksloitasi/eksplorasi. Jadi, sama sekali tidak
mengganggu hak-hak negara asing lainnya terkait hak dari negara asing itu
sendiri di atas landas kontinen, seperti: hak berlayar, hak membuang sauh atau
melempar jangkar –berlabuh di daerah
landas kontinen suatu negara pantai adalah tidak boleh dilarang. Demikian juga
tentang hak negara lain dalam hal pemasangan kabel dan pipa bawah laut, sama
sekali tidak boleh dilarang oleh negara pantai. Dan pemasangan tersebut tetap
harus memperhatikan kondisi lingkungan, tidak sampai mengganggu pelayaran serta
eksplorasi dan eksploitasi.
Sumberdaya yang
di manfaatkan pun sama apa saja yang di atur di dalam UNCLOS maupun Konvensi Jenewa
1958. Baik pemanfaatan sumberdaya alam hayati maupun non hayati. Yakni
sumberdaya sedenter yangada di bawah laut dan tanah yang ada di bawahnya.
Terkait ikan bergerak dan tidak bergerak ataupun menempel pada dasar laut.
Mineral yang ada di dalam tanah di bawah laut, seperti: timah, tembaga,
bauksit, minyak bumi, dan gas alam.
Referensi:
1. UNCLOS 1982
2. UU No. 19 Tahun 1961 (isi: UU
Ratifikasi dari Konvensi Jenewa 1958)
***
konvensi hukum laut internasional memang menarik untuk dikaji lebih dalam lagi
BalasHapus