Sebuah
lagu nasional karya R. Surarjo, awalnya bersyair: "Dari Barat sampai ke
Timur, berjajar pulau-pulau", tetapi bait tersebut kemudian diubah atas masukan
Presiden Soekarno tahun 1960-an saat mempersatukan Irian Barat ke Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Perubahannya menjadi: ‘Dari Sabang sampai Merauke, berjajar
pulau-pulau’. Kebanggaan itu terus berakar, menanamkan kesan kuat bahwa batas
Barat negara Indonesia ialah Kota Sabang dan di sisi Timur-nya ialah Kota
Merauke.
Bung Karno, bukannya tanpa alasan memberikan
masukan demikian. Pada dasarnya, slogan terkenal ‘Dari Sabang sampai Merauke’ yang
dipopulerkan oleh Bung Karno tersebut bertujuan untuk mematahkan ucapan seorang
perwira Belanda bernama Jenderal J.B. van Heutsz saat sang jenderal mengklaim ‘kemenangannya’
dalam Perang Aceh tahun 1904, yaitu “vom Sabang tot Merauke”.
Weh, vom Sabang tot Merauke
Pulau We, mirip huruf 'W'. |
Pulau Weh
–atau: We, tanpa huruf ‘h’, adalah pulau vulkanik kecil yang terletak
di Barat Laut Pulau Sumatera. Pulau Weh sendiri merupakan pulau utama dan
terbesar yang terpisahkan dari daratan Aceh oleh Selat Benggala. Pulau ini pernah
terhubung dengan Pulau Sumatera, namun kemudian terpisah oleh laut setelah
meletusnya gunung berapi terakhir kali. Pada masa Kesultanan Aceh, wilayah
Pulau Weh sendiri merupakan tempat Geupeuweh
–pengusiran atau dipindahkan bagi
seseorang yang dikenakan hukuman berat dari kesultanan. Sebutan geupeuweh
kemudian dilekatkan kepada nama pulau ini, dan seiring dengan waktu, kemudian
pelafalannya menjadi Weh dan diartikan sebagai: ‘pulau pindah’ atau ‘pulau
yang terpisah’. Menurut legenda dari warga di Gampong Pie
Ulee Lheueh Banda Aceh, Pulau Weh sebelumnya bersambung dengan Ulee Lheue. Daratan
Ulee Lheue di Banda Aceh sebenarnya adalah Ulee Lheueh –yang terlepas namun ketika ada gunung berapi yang meletus,
menyebabkan kawasan ini menjadi terpisah. Menurut warga yang berasal dari Luar
Nanggroe, Pulau Weh terkenal dengan nama: Pulau We –tanpa huruf H. Mungkin diberi nama Pulau We karena bentuknya
seperti huruf W.
Kota Sabang berada di Pulau Weh dan
merupakan Ibukotanya –karena terletak di
Pulau Weh, banyak orang yang menyebut Pulau Weh sebagai Pulau Sabang. Sabang
merupakan kota kecil yang indah dengan struktur tanah berbukit-bukit sehingga
warga setempat menyebut kota Sabang dengan dua nama yaitu: Kota Bawah dan Kota
Atas. Dari segi geografis Indonesia, wilayah Kota Sabang berada pada
95°13'02" BT hingga 95°22'36" BT, dan 05°46'28" LU hingga
05°54'28" LU, merupakan wilayah administratif paling Utara, dan berbatasan langsung dengan negara tetangga, yaitu:
Malaysia; Thailand; dan India. Wilayah Kota Sabang dikelilingi oleh Selat
Malaka di Utara, Samudera Hindia di Selatan, Selat Malaka di Timur dan Samudera
Hindia di Barat.
Kata
"Sabang" berasal dari bahasa Aceh yaitu: Saban –yang berarti, ‘sama hak dan
kedudukan dalam segala hal’. Hal ini dikaitkan dengan keberadaan Sabang
yang dulunya banyak didatangi pendatang dari luar untuk membuka seuneubok –kebun atau usaha lainnya. Pendatang tersebut berasal dari berbagai
daerah dengan budaya yang berbeda –baik,
sikap; nilai; maupun adat istiadat. Lambat laun terjadi asimilasi, dimana
beragam perbedaan tersebut akhirnya memudar dan kedudukan mereka menjadi sama.
Istilah saban ini telah lama melekat kepada Pulau Weh yang kemudian perlahan
berubah penyebutannya menjadi "Sabang".
Dalam
literatur lain, nama Sabang berasal dari bahasa Arab: Shabag –yang artinya, ‘gunung meletus’. Mungkin dahulu kala masih banyak gunung berapi
yang masih aktif di Sabang, hal ini masih bisa dilihat di gunung berapi di
Jaboi dan Gunung berapi di dalam laut Pria Laot.
Menurut
legenda setempat, dahulu kala, ada putri cantik jelita yang mendiami pulau ini
meminta kepada Sang Pencipta agar tanah di pulau-pulau ini bisa ditanami. Sang
Putri, bersedia membuang seluruh perhiasan miliknya sebagai bukti
keseriusannya. Dan sebagai balasannya, Sang Pencipta kemudian menurunkan hujan
dan gempa bumi di kawasan tersebut. Kemudian terbentuklah danau yang kemudian
diberi nama Aneuk Laot. Danau seluas lebih kurang 30 hektar itu, hingga saat
ini menjadi sumber air bagi masyarakat Sabang –meski ketinggian airnya terus menyusut. Di akhir legenda, setelah
keinginannya terpenuhi, Sang Putripun menceburkan diri ke laut. Wallohu ‘alam.
Meski tidak ada sumber tertulis yang jelas, keinginan sang putri agar Sabang
menjadi daerah yang subur dan indah, telah dikabulkan dan menjadi kenyataan –setidaknya tercermin dari adanya taman laut
yang indah di sekitar Sabang. Kondisi yang demikian kenyataannya juga telah
memberi penghidupan kepada masyarakat.
Tugu Monumen Kilometer Nol
Indonesia dan Titik Ba’U
Tugu Kilometer Nol di Kota Sabang |
Pulau
Weh yang beribukota di Kota Sabang, adalah bagian dari kepulauan Indonesia yang
paling Barat –meskipun pada kenyataannya, titik paling Barat Indonesia adalah Pulau
Lhee Blah yakni: pulau kecil di sebelah Barat Pulau Breuh, pulau yang termasuk
dalam kelompok Kepulauan Aceh sekitar 20 meter di sebelah Barat Pulau Weh.
Titik Barat sebenarnya merupakan titik yang terisolasi di sebelah Barat Desa
Meulingge yang sangat sulit dijangkau. Untuk menandakan bahwa Pulau Weh adalah
bagian paling Barat dari Indonesia, maka Pemerintah Daerah membangun sebuah
monumen di Titik Ba’U –di lokasi paling Barat dan paling Utara dari
Pulau Weh. Monumen ini dinamakan: “Monumen Kilometer Nol Indonesia“.
Monumen ini berada di kawasan Gampong Iboih, Kota Sabang, Pulau Weh, Nanggroe
Aceh Darussalam. Monumen di Titik Ba’U ini, berbentuk silinder –bentuk lingkaran berjeruji dengan tinggi
sekitar 22,5 meter dan diameter sekitar 15 meter. Bagian tugu dicat putih, dan
bagian atas lingkaran menyempit –seperti
mata bor. Di puncak tugu ini, terdapat patung burung Garuda menggenggam
angka Nol dilengkapi prasasti marmer hitam yang menunjukkan posisi
geografisnya.
Tugu KM 0 Indonesia |
Sekilas
tampak tak ada yang menarik dari Tugu Monumen Kilometer Nol Indonesia ini,
selain sebuah menara usang dengan tiga buah plakat prasasti. Di lantai pertama
monumen terdapat sebuah pilar bulat dan terdapat prasasti peresmian tugu yang ditandatangani
Wakil Presiden Try Sutrisno, pada 9 September 1997. Di lantai kedua terdapat
sebuah beton bersegi empat dimana tertempel dua prasasti yaitu prasasti
pertama ditandatangani Menteri Negara Riset dan Teknologi/Ketua BPPT BJ.
Habibie, pada 24 September 1997. Dalam prasasti itu bertuliskan penetapan
posisi geografis KM-0 Indonesia –posisi tersebut diukur oleh pakar BPPT
dengan menggunakan teknologi Global Positioning System (GPS). Prasati
kedua menjelaskan posisi geografis tempat ini, yaitu: 05054’21,99’’
Lintang Utara; 95012’59,02" Bujur Timur. Data teknis berdirinya
tugu ini tertoreh di atas lempeng batu granit yang menyebutkan “Posisi
Geografis Kilometer 0 Indonesia, Sabang. Lintang: 05054’21.42” LU
dan Bujur: 95013’00.50” BT. Tinggi: 43.6 Meter (MSL). Posisi
Geografis dalam Ellipsoid WGS 84”. Jarak tugu monumen dari pusat Kota
Sabang, kurang lebih 15 km, dengan perjalanan darat.
***