Sejarah
panjang Marhaenisme, selalu menempatkan Soekarno sebagai pusatnya. Sementara
Marhaen (petani kecil yang menginspirasi kelahiran ideologi ini), tercecer di
belakangnya. Bagi orang-orang kecil yang bekerja untuk sekadar mempertahankan hidup. Yah,
mereka selamanya jadi Marhaen.
Marhaenisme
dan Marxisme
Kedekatan Marhaenisme dengan Marxisme –ajaran yang menjadi kontroversial dan
problematik di Indonesia, tidak perlu dipermasalahkan. Semua orang tahu,
Soekarno memang mengagumi dan mempelajari Marxisme sehingga wajar jika
ajarannya “terpengaruh” pemikiran-pemikiran tersebut. Soekarno sendiri
mengakuinya –pada pidato Bung Karno tahun
1958, bahwa Marhaenisme itu: “Marxisme yang diselenggarakan; dicocokkan;
dan dilaksanakan di Indonesia”. Tak ada yang salah dengan itu, tidak ada yang
perlu dibesar-besarkan. Keunggulan Marhaenisme adalah penerapannya yang
disesuaikan dengan kondisi rakyat Indonesia ketika itu. Soekarno hanya
mengambil elemen penting Marxisme, yaitu metode berpikirnya yang disebut dengan
“historis materialisme” untuk diramu dengan dua elemen yang mengandung aspek
modernitas yang diperlukan bangsa Indonesia, yakni: nasionalisme dan demokrasi.
Marhaenisme menjadi ajaran revolusioner
karena tuntutan zaman kolonial, dan Soekarno sadar betul dengan potensi
rakyatnya. Tak mungkin kemerdekaan dicapai, tanpa menggerakkan massa rakyat.
Dengan demikian, Marhaenisme dianggapnya relevan dan penting.
Pada akhirnya, tidak begitu penting
perdebatan apakah nama Marhaen itu benar-benar “pernah ada” ataukah ia hanyalah
produk “salah dengar” dari Mang Aen –lawan
politiknya menjuluki Marhaenisme sebagai Mang Aen yang merupakan akronim dari:
Marx-Hegel-Engels, karangan Soekarno. Pesan yang terpenting adalah
kemunculan seorang petani miskin dalam panggung utama sejarah sebuah bangsa,
dan perlakuan yang layak harus diberikan untuk itu. Soekarno menyusun
Marhaenisme sebagai cara perjuangan untuk melawan kapitalisme dan imperialisme,
setelah ia menyadari bahwa teori-teori Marxisme yang berasal dari Eropa itu
tidak sesuai untuk negeri jajahan seperti Indonesia –yang perekonomiannya belum mencapai tahap kapitalis.
Sejarah pemikiran Soekarno –termasuk Marhaenisme, akan membawa
dampak signifikan. Anak-anak muda akan memperoleh ingatan berharga atas proses
panjang kelahiran negeri mereka yang bukan melulu soal peperangan, tetapi juga
pergulatan pemikiran. Marhaenisme, lenyap dari buku-buku sejarah. Posisi
pentingnya dalam panggung sejarah politik, gagal tersampaikan kepada generasi
muda.
Marhaen
Konon, Marhaen berperawakan kecil-kurus
dengan tulang pipi menonjol dan dagu datar. Rambutnya sedikit ikal, kulitnya
lebih gelap. Di kampungnya –Kampung
Cipagalo Kulon; Kelurahan Mengger; Kecamatan Bandung Kidul; Kota Bandung,
Marhaen tergolong orang yang disegani karena kemampuan ilmu bela-dirinya. Ia
punya ilmu kebal, dan bahkan bisa menghilang. Cerita tentang “kesaktian”
Marhaen, melebar kemana-mana. Ia disebut-sebut menjalani ritual “pantang mandi”
selama setahun penuh dengan membiarkan rambutnya menjuntai tanpa pernah
dipangkas, namun tidak ada bau dari tubuh dan rambutnya itu. Marhaen meninggal
tahun 1943, setelah kelelahan karena dikejar-kejar oleh paratentara Jepang
untuk dijadikan tenaga romusha. Kini, Kampung Cipagalo Kulon –yang telah dialihkan ke Kota Bandung
semakin sesak. Kampung Marhaen itu semakin kesulitan bernapas, terjepit jalan
tol di Selatan dan perumahan mewah di Utaranya.
Kisah pertemuan antara Soekarno dengan
Marhaen, terjadi secara tidak sengaja. Secara kebetulan ketika Soekarno sedang
berjalan-jalan di daerah Cigereleng Bandung, ia melihat seorang petani yang
sedang menggarap sawahnya dan kemudian menghampirinya seraya mengajaknya
bicara.
Soekarno: “Milik siapa tanah ini ?”
Marhaen: “Saya !”
Soekarno: “Cangkul ini milik siapa ?”
Marhaen: “Saya !”
Soekarno: “Kalau peralatan-peralatan itu semua milik siapa ?”
Marhaen: “Punya saya !”
Soekarno: “Hasil panen yang kamu kerjakan ini untuk siapa ?”
Marhaen: “Untuk saya !”
Soekarno: “Apakah itu cukup untuk keperluan kamu ?”
Marhaen: “Hasilnya pas-pasan untuk mencukupi hidup kami”
Soekarno: “Apakah kamu juga bekerja menggarap tanah orang ?”
Marhaen: “Tidak, saya harus bekerja keras, semua tenaga saya untuk lahan saya
sendiri”
Soekarno: “Tapi kawan, hidup kamu dalam kemiskinan ?”
Marhaen: “Benar, saya hidup dalam kemiskinan”
Sejenak, Soekarno berpikir. Marhaen
tidak menjual tenaga kepada majikan sebagai seorang proletar, ia juga memiliki
alat-alat produksinya sendiri, tapi Marhaen tetap miskin. Usaha taninya hanya
untuk menyambung hidup, seraya tetap mempertahankan hartanya yang sepenggal
itu. Ketika itu Soekarno heran, mengapa seorang yang memiliki alat produksi
sendiri malah miskin. Petani inilah gambaran masyarakat Indonesia, miskin
karena sistem yang ada yang membuat ia miskin. Akhirnya Soekarno mengambil kesimpulan:
“Marhaen tidak akan berubah menjadi pelopor dan kekuatan revolusi, kalau
kesadarannya tidak dibangkitkan”. Ketika Soekarno dan Marhaen bercakap-cakap di
tepi sawah, datanglah serombongan tentara Belanda. mereka memata-matai
Soekarno, yang ketika itu mulai aktif dalam pergerakan. Tentara itu lalu
bertanya kepada Marhaen, apakah ia melihat Soekarno. Sang petani menjawab tidak
tahu-menahu, karena sejak Shubuh ia mencangkul sawah bersama saudaranya –yang dimaksud “saudaranya” itu tidak lain
adalah Soekarno. Sebelum tentara Belanda tiba, Marhaen buru-buru memberikan
baju dan topi caping kepada Soekarno. Dengan menyamar sebagai petani, Soekarno
tidak terlihat oleh tentara Belanda.
Sedemikian terkenal legenda ini,
sehingga bukan hanya terdengar di Indonesia, tetapi juga ke luar negeri.
Marhaen juga dijadikan simbol oleh Soekarno, untuk membangkitkan petani dan
rakyat miskin. Marhaenis merupakan sebuah pemikiran ideologi yang membela “kaum
Marhaen” atau kaum yang dimiskinkan oleh sistem. Konsep ini mungkin terlihat
sama dengan konsep Marxisme yang memperjuangkan kepentingan kaum proletar.
Tapi, Marhaenisme memperjuangkan semua lapisan masyarakat Indonesia yang
tertindas oleh sistem penguasa. Sekarang ini mereka merupakan kelompok yang
lemah dan terampas hak-haknya, tetapi nantinya ketika digerakkan dalam gelora
revolusi –menurut pemikiran Soekarno,
mereka akan mampu mengubah dunia.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar