Sejak
tahun 1880-an, Garut telah memiliki hotel yang cukup terkenal bernama Hotel van
Horck. Saat itu, objek wisata di Garut banyak dipromosikan di perusahaan
pelayaran dan penerbangan Belanda. Salah satunya, dipromosikan oleh organisasi
pariwisata bernama Nederlandsch Indische Hotelvereeniging. Objek-objek wisata
Garut pun, dikenal di mancanegara. Kota Garut pun kemudian dijuluki
sebagai: Paradijs van Het Oosten atau “Surga dari Dunia Timur”.
Paviliun Hotel van Horck, Leles - Garut. |
Salah satu hotel di Garut yang terkenal
ke macanegara pada abad ke-19, adalah Hotel van Horck. Hal ini tercatat dalam
lembaran pariwara di surat kabar The Strait Times, edisi 29 Mei 1899, yang
memberitakan kunjungan Dr. J. Scheltema dari Eropa yang menginap di salah satu
paviliun hotel tersebut. Hotel van Horck ini dimiliki oleh CH van Horck,
terletak di Leles dekat stasiun kereta api yang saat itu merupakan salah satu
station kereta api utama dalam rangkaian jalur kereta api di Pulau Jawa. Hotel
ini pada tahun 1921 direnovasi dan didesain ulang oleh Ghijsels van Arkel, dia
adalah seorang bachelor architect lulusan Architecture at the Polytechnic in Deft Belanda.
Banyak lagi bagunan hasil karyanya, dan sebagian telah dihancurkan. Berikut ini,
catatan tiga pelancong mancanegara yang datang ke Garut dan menginap di Hotel
Horck.
Hotel van Horck, 1900. |
Taman Hotel van Horck, 1900. |
Hotel van Horck di sebelah kanan. |
Eliza
Ruhamah Scidmore
Eliza Ruhamah Scidmore |
Sebuah buku yang bertajuk, Java: The
Garden of the East, pertama kali diterbitkan di Washington pada 1897. Buku ini
menceritakan perjalanan Eliza Ruhamah
Scidmore
tahun 1890-an dari Batavia ke Buitenzorg, naik kereta
api dari Buitenzorg, melintasi
Cianjur dan sempat singgah di Bandung dan Lembang. Kemudian dia ke Surakarta,
Yogyakarta, kembali ke Priangan, singgah di Garut dan mendaki Papandayan. Setelah singgah di Garut, Eliza pulang ke negaranya melalui
Buitenzorg dan Batavia.
Eliza Ruhamah Scidmore, lahir 14 Oktober
1856 di Clinton, Iowa – Amerika Serikat. Ia
seorang fotografer, juga sekaligus ahli geografi.
Sepulang dari Jawa Tengah, Eliza Ruhamah Scidmore mengunjungi Garut. Dalam
bukunya dia menceritakan bahwa membutuhkan setengah jam perjalanan dari Cibatu –stasiun kereta api. Waktu dia tiba,
bersamaan dengan hujan yang lebat, membuat dia kehilangan panorama pegunungan
hijau yang indah mengelilingi Garut. Dia menceritakan melihat persawahan, anak
laki-laki menggembala kawanan angsa dan ada anak laki-laki yang menaiki kerbau,
serta terdapat burung-burung. Eliza menginap di Hotel Horck –milik CH van Horck,
hotel yang menurutnya terbaik di tengah Kabupaten Priangan. Hotel ini mempunyai
teras, menghadap pemandangan yang bagus. Tempat tidur dengan bunga, dipadu batu
dan kerang. Dalam bukunya Eliza melihat hotel itu punya hiasan seperti patung
Mozart, meja panjang tempat orang-orang bercakap-cakap. Sekalipun cukup dingin,
wanita-wanita Belanda ini –parapegawai
hotel memakai kain sarung yang dipadu dengan dress. Kaki mereka kerap
dibiarkan telanjang, mereka baik dan mampu berbicara bahasa Inggris. Eliza juga
memberikan informasi yang didengarnya tentang piramid di Gunung Haruman Garut,
yang diyakini dari masa lalu –jadi
sebetulnya, heboh piramid di Garut saat ini juga sudah dibicarakan pada akhir
abad 19.
Alun-alun
kota, hijau asri, dimana terdapat rumah bupati pribumi –pada waktu itu diperintah Raden Adipati Aria Wiratanudatar VIII yang memerintah
dari 1871 hingga 1915. Terdapat rumah warga Belanda, serta sebuah masjid.
Mufti masjid sebelumnya sebetulnya seorang pria yang cerdas dan berpandangan
bebas, dia hanya memiliki seorang istri. Dia mengizinkan istrinya –dengan wajah terbuka belajar Bahasa
Belanda dan bertemu dengan tamu-tamu asingnya, baik laki-laki maupun perempuan.
Para pelancong kerap membawa surat kepada mufti ini, dan mengutip perkataannya
pada buku-bukunya. Namun sejak kematiannya, ulama yang lebih konservatif
memerintah. (dalam
catatan sejarah, Raden Haji Muhammad Musa, diangkat sebagai Hoofd-Panghoeloe/Penghulu Besar Garut pada masa itu, tahun 1864-1886).
Para
wisatawan masa itu menganggap, pesiar besar di kawasan Garut ialah mengunjungi
Kawah Papandayan. Gunung yang dilukiskan dalam bukunya itu, memiliki panjang 15
mil dan lebar 6 mil, menjadi tujuan Eliza dan rombongannya –tidak dilukiskan dengan detail siapa saja
yang ikut, gunung itu pernah meletus sekitar seratus tahun ketika penulis buku
itu berkunjung. Pada waktu itu (akhir abad ke-19) Papandayan masih beruap,
bergemuruh seperti petir dan setiap saat bisa meledak. Dalam bukunya, Eliza
mendapatkan informasi bahwa Papandayan meletus pada 1772. Massa padat gunung itu terlontar keluar ke
udara, aliran lava tercurah, abu
tumpah menutupi area seluas 7 mil persegi dan sekitarnya dengan lapisan
lima kaki tebalnya. Letusan menghancurkan empat puluh desa, dan menewaskan tiga ribu jiwa dalam satu hari. Wisatawan bisa melihat bekas letusan di dekat gunung dan
uap panas kerap ke luar. Eliza menceritakan dalam bukunya:
“Kami memulai perjalanan pada suatu pagi di bawah hujan dan melaju dua belas mil di dataran yang keras, jalan berpasir putih, terus perbatasan putih dengan naungan pohon.
Kami melewati desa-desa yang basah dan tampak muram. Kami melalui dangau-dangau
yang berada diantara sawah dimana anak laki-laki dengan katapel mengusir gagak
yang menganggu sawah. Pemandangan ini mirip yang kami lihat di Hizen, Jepang” (halaman 314).
Djoelie atau Djoelis, tandu pengangkut. |
Di Cisurupan, masing-masing rombongan
diangkut dengan kursi yang ditandu empat kuli yang disebut Djoelie atau Djoelis
–seperti yang dilihatnya di Lembang
serupa dengan transportasi tandu di Cina Selatan. Rombongan melihat tanaman kopi
di dasar gunung, kemudian melewati perubahan tanaman tropis ke tanaman sedang,
pohon-pohon kopi yang tua terbengkalai. Bagian atas Papandayan masa itu,
digambarkan, ada bagian yang berhutan lebat mirip hutan purba dengan
pohon-pohon yang merambat. Diantara tanaman yang ditemukan terdapat tanaman,
seperti: rotan dan anggrek dengan daun-daun hijau menyejukkan mata.
Para
wisatawan ini, bertemu rombongan kuli yang membawa batu belerang –Eliza menyebutnya balerang berwarna
kuning di keranjang pada punggungnya. Dari ketinggian, rombongan melihat
pemandangan dataran Garut yang hijau. Bagian atas gunung, ada jaringan jalan
putih. Rombongan, melewati sisi lain dari gunung yang solid yang dibuat oleh
bekas letusan. (pada masa itu, parawisatawan, selain dapat menikmati
pemandangan Kawah
Manuk dan Taman Inggris, juga asitektur rumah tradisional Sunda di puncak
gunung).
Kami
melintasi daerah berbatuan dan melihat kolam balerang yang menggelegak seluas 5
acre. Penampilannya mirip kolam emas yang mendidih. Ada kekhawatiran kalau
sewaktu-waktu kolam itu meledak dan menembak ke udara. Suara bergemuruh di
bawah tanah terasa aneh, seperti suara rantai besi, seperti orang yang bekerja
di bengkel. Mungkin ini yang menyebabkan gunung ini dinamakan Papandayan.
Kuli-kuli yang membawa balerang berjalan hati-hati di antara kolam-kolam
balerang. Sepatu kami saja tidak tahan terhadap uap panas. Belum lagi resiko
gas-gas beracun seperti gas karbon dan hydrogen sulfur adalah ancaman maut. (halaman 319).
Orang
dapat melihat Laut Jawa dan Samudera Hindia dari puncak Papandayan yang berada
sekitar 7000 kaki dari permukaan laut, walaupun langit berawan. Kuli-kuli yang
membawa Djoelis tidak menemukan jalan di tepi kawah untuk bisa membawa
rombongan (resikonya bisa terguling karena kemiringannya). Mau tidak mau mereka
harus turun berjalan kaki melewati semak-semak dan rumpun bambu, pelayan mereka
berjalan mendahului.
Parakuli Djoelis ini diceritakan sebagai orang-orang yang malas, miskin, kerap
ditipu pemilik lounge, karena mereka sulit menyediakan kuda yang bisa dibawa
mendaki gunung. Kuli-kuli terlihat murung, berjalan tanpa alas kaki dan enggan
kalau harus melewati semak-semak berduri. Beberapa kali kuli-kuli ini mengeluh,
namun Eliza dan rombongan bersikeras ingin lihat Laut Hindia dari atas. Setelah
melewati hutan bambu dan semak-semak, mereka tiba di daerah berbatuan. Mereka
melihat pemandangan berawan, biru bercampur kelabu, musim hujan,
Kami
kembali melihat pemandangan mosaic sawah dan dataran Garut yang kering serta
kaki gunung, serta batas Laut Hindia berwarna keperakan. Kami melihat tanaman
yang sudah dibudidayakan seperti teh, disusul kopi diketinggian di atasnya dan
batas tanaman kina. (halaman 320).
Eliza
teringat imajinasi dari ahli bedah dari VOC di Semarang pada 1773 bernama dr.
Foersch, yang memberikan cerita perjalanan menakutkan melintasi lembah maut di
dataran Dieng.
Rombongan,
turun dan beristirahat di bangunan tempat paratamu dan batu-batu balerang
diletakan. Para kuli membawa kami turun melalui jalur lain melintasi berbagai
tanaman, diantara tanaman kopi yang tidak setiap waktu ada. Eliza tiba di Desa
Cisurupan, dan mendapat sambutan dari kepala desa. Paratamu, diberikan suguhan
pertunjukan gamelan dengan berbagai lagu. Menurut cerita Eliza, dia dan
rombongannya tiba di Garut sore hari dan terlambat untuk mandi. Dalam bukunya
ia menulis, terang bulan yang menyelimuti teras memberikan ingatan indah
tentang jalan-jalan dengan pohon rindang di Garut, serta patung Mozart seperti
memandanginya. Setelah singgah di Garut, Eliza pulang ke negaranya melalui
Bogor dan kemudian lanjut ke Batavia.
Raja
Chulalongkorn, Rama V
Raja Chulalongkorn |
Raja Chulalongkorn –Phra Bat Somdet Phra
Poramintharamaha Chulalongkorn Phra Chunla Chom Klao Chao Yu Hua, Phra Chulachomklao Chaoyuhua
atau juga
disebut: Rama V, adalah raja dinasti Chakri yang ke-5. Ia
dianggap sebagai salah satu raja terbesar Siam –Thailand. Perhatian Chulalongkorn yang sangat besar bagi rakyat dan
negrinya dianggap seperti seorang ayah kepada anaknya, karena itu rakyat Siam memberikan
julukan kepadanya: Phra Piya Maharaj –Phra Piya (Ayah) Maharaj (Raja
Besar). Rama
V tercatat 3 kali mengunjungi Pulau Jawa, masing-masing: tahun 1871; 1896; dan tahun
1901. Karena
terkesan oleh sambutan dan kebaikan orang Belanda di Batavia, Chulalongkorn
mengirimkan sebuah patung gajah –yang
sampai sekarang masih terpajang di depan Museum Nasional. Kunjungan pertama
beliau ke Garut, dilakukan pada tahun 1871. Dalam kunjungan kedua pada 9 Mei
1896 sampai 12 Agustus 1896, beliau membawa banyak keluarga kerajaan dengan
menggunakan kapal Maha Chakri. Berbeda dengan kunjungan sebelumnya, kali ini
Rama V meminta agar tidak diadakan sambutan-sambutan resmi bagi rombongannya
sehingga dapat lebih leluasa bergerak dan mengamati. Karena itu, perjalanan
kali ini dapat berlangsung lebih santai. Di Garut, Rama V menginap di sebuah
hotel dekat stasiun yang dimiliki oleh Van Horck.
Cipanas, Tarogong Garut. |
Rama V juga mengunjungi Situ Bagendit
yang indah. Di sini, ia dijamu minum teh oleh Wedana dan Asisten Wedana.
Residen, saat itu, juga mengajaknya berjalan-jalan keliling kampung melihat
rumah Sunda yang hanya memiliki satu pintu pendek dan tanpa jendela. Setelah
itu, diundang pula bertamu ke rumah residen.
Suatu hari, Rama V bersiap akan mendaki
Gunung Papandayan. Malamnya, rombongan menginap dulu disebuah pesanggrahan di
Cisurupan. Sebagai hiburan, malam itu digelar pertunjukan ronggeng dan wayang
golek. Di masa itu sebagian kalangan menganggap ronggeng adalah pertunjukan
seronok yang bahkan dilarang penampilannya di Yogya, Solo, atau Surabaya.
Dalam pendakian di Gunung Papandayan,
Rama V menunggang seekor kuda, sementara ratu –Ratu Saovabha Bongsri dan perempuan lainnya menggunakan kursi yang
ditandu oleh parapribumi –semasa
hidupnya, Chulalongkorn memiliki 4 orang istri, 92 selir, dan 77 orang anak.
Pendakian berhasil mencapai puncak, dan selewat siang hari, rombongan sudah
kembali ke Cisurupan dan dilanjutkan pulang ke Garut.
Dari Garut, pada tanggal 17 Juni 1896,
raja ke Bandung. Setelah itu, beliau juga mengunjungi Sukabumi dan Cianjur. Garut,
ternyata mempunyai “tempat tersendiri” dihati sang raja. Setelah mengunjungi
Sukabumi dan Cianjur pada tangga 20 Juni, keesokan harinya rombongan kembali
berkereta api menuju Garut dan menginap di hotel yang sama seperti sebelumnya,
yakni: Hotel van Horck. Pada tanggal 22 Juni, Rama V berangkat ke Wanaraja
untuk pendakian menuju Talagabodas. Sekembalinya di Garut, Rama V mengisi
waktu dengan menulis catatan perjalanan, mengunjungi pasar mingguan, dan
menyaksikan perayaan sunat di rumah patih.
Talagabodas, Wanaraja - Garut. |
Justus
van Maurik
Justus van Maurik |
Justus van Maurik juga, menyebutkan
Hotel Horck di Garut. Ia adalah seorang pengusaha asal Belanda, yang datang ke Hindia untuk urusan dagang. Garut, menurut catatannya, memiliki iklim pegunungan yang
sejuk. Banyak orang datang ke Garut, untuk memulihkan kesehatan mereka. Hotel
van Horck, juga memiliki koleksi ayam jantan dan burung-burung. Selama tinggal
di hotel ini, van Maurik meminta ayam dan burung dibawa menjauhi kamarnya, sehingga
ia bisa tidur dengan tenang. Mungkin, suara dari hewan-hewan yang ada di hotel
tersebut mengganggu ketenangan istirahatnya. Menurut Justus van Maurik, “di Garut, mendaki Papandayan, naik ke kawah,
yang dikenal sebagai yang paling spektakuler di Jawa” - (Te Garut wordt de
Papandayan beklommen, tot aan de krater, waarvan bekend was dat het de meest
spectaculaire op Java is). Ia mendaki Papandayan dengan menaiki kuda, sementara
rombongannya, tiga wanita, diangkut dengan sebuah tandu. Tidak ada catatan lain
dari perjalanan Justus van Maurik ini, hanya setelah dari Garut, sebelum kembali ke Belanda, ia ke Surabaya
terlebih dahulu dan bertemu Adhipatti Arijo Tjokro Negoro IV, Bupati Surabaya. Dalam catatan
sejarah, Raden Adipati Arijo Tjokro Negoro IV adalah Regent van Soerabaja –bupati Surabaya 1863–1901.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar