Berdirinya
penginapan-penginapan di Hindia Belanda (Indonesia), bermula sebagai respon
dari penduduk atas keluhan terhadap tidak tersedianya tempat tinggal yang layak
bagi parapria terhormat jika mereka berkunjung ke kota. Stadsheerenlogement atau penginapan bagi pria terhormat di kota, mulai dibangun pada tahun
1754, dan berada di bawah pengawasan VOC. Kemudian, muncul pula semacam tempat
penginapan yang dikenal dengan nama: Herberg. Adapun bangunan-bangunan
yang nantinya berfungsi sebagai penginapan atau hotel tersebut, pada awalnya
merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal milik pribadi.
Hotel Ngamplang Garut dengan fasilitas lapangan tenis |
Periode
Logementen dan Herbergen, 1754-1850
Sejarah perkembangan penginapan di
Hindia Belanda, dapat ditelusuri hingga pada masa VOC. Penginapan pertama pada
waktu itu, adalah: stadsheerenlogement atau penginapan bagi pria
terhormat di kota. Losmen –logement
ini, dibangun pada tahun 1754 sebagai respon dari penduduk atas keluhan
terhadap tidak tersedianya tempat tinggal atau penginapan yang layak bagi parapria
terhormat jika mereka berkunjung ke kota –dalam
hal ini, kota Batavia. Tempat penginapan ini, berada di bawah pengawasan
VOC. Tetapi kemudian, jumlah penginapan ini berkembang hingga menjadi 12
penginapan –perkembangannya sangat baik
hingga tahun 1798.
Sebenarnya pada masa tersebut, di
Batavia juga sudah ada semacam tempat penginapan yang dikenal dengan nama: Herberg. Ada
pegawai rendahan VOC –bernama Jerg
Schreiner yang mendirikan herberg di
Batavia, hanya untuk mendapatkan uang tambahan. Pada tahun 1739, Georg
Bernhardt Schwartz mengambil alih herberg tersebut, karena Jerg Schreiner pulang ke negerinya. Schwartz
membeli perabotan dengan harga 30 daalders
–uang logam yang bernilai satu setengah
gulden.
Selain itu, dia membeli parabudak yang membantu di herberg itu seharga 44 daalders –terutama
budak yang dapat memasak dan berbicara bahasa Belanda. Tetapi untuk budak
yang tua dan jelek, Schwartz hanya membelinya seharga 25 daalders.
Selain menerima orang yang tinggal di herbergnya, di sana dijual pula minuman
anggur, brandy serta bir buatan sendiri dari gula dan beberapa tanaman ramuan.
Selain minuman, di herberg
tersebut dijual pula budak.
Sekitar 1800-1809 ada Zimmer seorang
pensiunan tentara, bakmeester, penjual daging, pemilik toko dan losmen, penyewa
kereta kuda dan spekulan yang mendirikan semacam penginapan di Weltevreden
Batavia –penginapan yang menjadi pesaing stadsheerenlogement.
Kemungkinan, losmen tersebut merupakan pendahulu dari Marine Hotel yang
didirikan Payan pada 1820. Sejak 1820-an, H.S.van Hogezand telah memiliki usaha
penginapan kecil yang tidak jauh dari lokasi “kleine boom” di Sungai Ciliwung dekat
Sunda Kelapa –kleine boom adalah kantor
pabean di pelabuhan lama yang letaknya di muara Sungai Ciliwung (sekarang pelabuhan
Sunda Kelapa). Setelah membayar bea, kapal diperbolehkan masuk untuk menaikkan
maupun menurunkan penumpang beserta barang bawaannya. Pada
1849 sejak perpindahan kleine boom dari tepi Barat ke tepi Timur Sungai
Ciliwung, Hogezand mendirikan stadsherberg. Sementara itu, di
Molenvliet didirikan pula Hotel de Provence yang oleh Chaulan –dalam “Java The Wonderland, Guide and
Tourist Handbook” (1910) dan
“Isles of the East” (1912), dijumpai istilah hotel yang diterjemahkan
menjadi: roemah makan.
Pada 1840 di sebuah rumah tertua di
Rijskwijk, dibuat sebuah hotel oleh JP. Faes, yakni: Hotel der Nederlanden.
Dahulu rumah itu merupakan tempat tinggal Thomas Stamford Raffles, pada 1846,
memiliki nama ‘Palace Royale’. Disamping itu juga, rumah tersebut menyandang
nama Hotel Amsterdam, dan kemudian pada 1856 diberi nama Java Hotel.
Periode
Hotel Keluarga, 1850-1930
Pada periode ini, penginapan atau hotel
yang dibangun, memiliki karakteristik gemeenschapelijke tafel –meja bersama. Maksud dari meja bersama
ini, adalah adanya kebersamaan dan keakraban diantara pemilik dan para tamu
hotel. Para pemilik atau pengurus hotel, berperan sebagai ‘ibu’ atau ‘ayah’
atau keluarga bagi para tamu-tamunya. Sebagai contoh: “Moeder” –ibu Spaanderman pemilik Java Hotel, yakni Tante
Meyer, yang pernah menjalankan Hotel der Nederlanden. Adapun bangunan-bangunan
yang nanti berfungsi sebagai hotel tersebut, pada awalnya merupakan bangunan
yang berfungsi sebagai tempat tinggal milik pribadi. Seperti Hotel Ernst di
Batavia yang dibangun pada 1745-1767, lalu difungsikan sebagai hotel tahun 1860
dengan memakai nama “Ernst” –yang mengacu
pada pemiliknya, yaitu: Moeder (Ibu) Ernst.
Pada 1890, nama hotel tersebut kemudian diganti menjadi: Hotel Wisse. Demikian
pula dengan Hotel der Nederlanden di Rijswijk yang dibangun tahun 1794 dan
merupakan rumah pribadi milik Pieter Tency yang kemudian dijual kepada salah
seorang anggota Raad
van Indië –Dewan Hindia, yakni:
W.H. van Ijsseldijk. Selanjutnya, rumah itu dibeli oleh Raffles lalu kembali
dijual kepada pemerintah Hindia-Belanda pada 1840.
Periode
Hotel Modern Internasional, 1930
Pada tahun 1930-an fasilitas penginapan
–khususnya di Jawa, sudah menawarkan
fasilitas hotel modern bertaraf internasonal. Buku panduan resmi yang
dikeluarkan oleh pemerintah menyebutkan: ada sekitar 200 hotel di Jawa. Mulai
dari hotel-hotel modern mewah di kota-kota besar, sampai penginapan-penginapan
kecil di pinggiran kota. Hotel-hotel berskala internasional tersebut, tidak
hanya berada di kota-kota besar di Jawa. Namun, juga terdapat di kota-kota
kecil, terutama di daerah pegunungan –berghotel. Hal ini, berkaitan
dengan fungsi awal hotel tersebut yang merupakan tempat beristirahat dan tempat
penyembuhan bagi penderita tubercolosis (TBC). Seperti Hotel Sanatorium
Ngamplang di Garut, Hotel Sanatorium Tosari, dan Hotel Nongkodjadjar dekat
Pasuruan. Hotel-hotel yang ada di kota-kota besar, biasanya berada dekat dengan
stasiun kereta api. Seperti Hotel Belle View di Bogor, hotel di Cianjur, dan Hotel
van Horck di Garut. Lokasi hotel yang berada dekat dengan stasion kereta ini,
tentunya, memudahkan bagi akomodasi paratamu atau turis yang datang ke suatu
kota tertentu. Sebelum kereta api menjadi sarana transportasi yang digunakan, maka
lokasi tempat penginapan, umumnya berada dekat pelabuhan.
Fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh
hotel-hotel di Jawa, dapat diketahui dari daftar hotel yang dikeluarkan oleh Vereeniging
Toeristenverkeer (VTV) pada 1938. Antara lain, fasilitas: untuk berperahu;
bermain golf; berkuda; orkestra musik; kolam renang; hingga fasilitas tenis
lapangan. Fasilitas tersebut diberi kode sebagai berikut: B = boating
(berperahu), G = golf (golf), H = horses (berkuda), O= hotel
orchestra (orkes musik), S = swimming (kolam renang), T = tennis
(tenis). Dari
daftar hotel-hotel yang dikeluarkan oleh Travellers Official Information
Bureau (1938) tersebut, kita dapat mengetahui hotel mana yang memberikan
tarif termahal dan tarif termurah. Tidak hanya fasilitas, hotel-hotel
tertentu, misalnya Hotel Dekker dan Stations Hotel di Batavia serta Hotel
Bellevue Dibbets di Bogor kerap menampilkan tulisan “onder
Europ[eesch] beheer, Europeesch beheer” (dikelola atau diurus oleh
orang Eropa atau istilah sekarang di bawah manajemen), hal ini seakan-akan
menunjukkan bahwa paraturis tidak perlu mengkhawatirkan pelayanan dan fasilitas
hotel tersebut karena pengelolanya adalah orang Eropa yang memahami keinginan
para-tamunya.
Daftar Hotel di Hindia
Belanda beserta Tarif dan Fasilitas, tahun 1938
Kota
|
Hotel
|
Tariff
Per-Malam
|
Fasilitas
|
Batavia
|
Hotel des Indes
|
8
– 26 gulden
|
O
|
NV Hotel der Nederlanden
|
7
– 22 gulden
|
O
|
|
Hotel des Galeries
|
9
– 17 gulden
|
||
Bandung
|
Grand Hotel Preanger
|
9
– 23 gulden
|
G.S.T.O
|
Grand Hotel Savoy-Homann
|
9
– 23 gulden
|
G.S.T.O
|
|
Hotel Isola
|
11
– 27,50 gulden
|
G.S.T
|
|
Buitenzorg
|
Hotel Bellevue Dibbets
|
6
– 20 gulden
|
|
Cirebon
|
Grand
Hotel Ribberink
|
7
– 16 gulden
|
|
Garut
|
Grand Hotel Ngamplang
|
6,50
– 20 gulden
|
G.S.T.H
|
Grand Hotel Cisurupan
|
6
– 17 gulden
|
S.T.H
|
|
Hotel Papandayan
|
|||
Lembang
|
Grand
Hotel
|
6
– 17 gulden
|
S.T.H
|
Sukabumi
|
Grand
Hotel Selabatu
|
7
– 20 gulden
|
S.T
|
Grand
Hotel Selabintana
|
7
– 20 gulden
|
G.S.T
|
|
Grand
Hotel Mooi Wanasari
|
6
– 15 gulden
|
G.S.T
|
|
Semarang
|
Hotel
Bellevue
|
7
– 20 gulden
|
|
Hotel
du Pavillon
|
7
– 23 gulden
|
O
|
|
Solo
|
Hotel
Slier
|
7
– 26 gulden
|
S.T
|
Yogyakarta
|
Grand
Hotel Yogya
|
8,50
– 22 gulden
|
S
|
Hotel
Mataram
|
4,50
– 13 gulden
|
||
Hotel
Tugu
|
5
– 15 gulden
|
||
Kopeng
|
Hotel
Kopeng
|
6
– 16 gulden
|
G.S.T.H
|
Hotel
Montagne
|
5
– 11 gulden
|
||
Wonosobo
|
Grand
Hotel Dieng
|
7
– 21,50 gulden
|
S.T.H
|
Park
Hotel
|
5
– 11 gulden
|
S.T
|
|
Surabaya
|
Hotel
Brunet
|
5,50
– 17 gulden
|
S
|
Hotel
Ngemplak
|
5
– 12 gulden
|
||
Oranje
Hotel
|
6,50
– 17 gulden
|
||
NV
Simpang Hotel
|
5,50
– 17 gulden
|
||
Malang
|
Hotel
Astor
|
5,5
– 18,5 gulden
|
G.S.T
|
Palace
Hotel
|
6
– 18 gulden
|
G.S.T
|
|
Hotel
Splendid
|
5
– 15 gulden
|
G.S.T
|
|
Jember
|
NV
Hotel Jember
|
6,50
– 15 gulden
|
|
Nongkojajar
|
Grand
Hotel Nongkojajar
|
6
– 23 gulden
|
G.S.T
|
Pujon
|
Hotel
Huize Justina
|
5
– 14 gulden
|
T
|
Prigen
|
Badhotel
Prigen
|
5
– 13 gulden
|
S.T
|
Punten
|
Badhotel
Selecta
|
6
– 15 gulden
|
G.S.T
|
Sarangan
|
Grand
Hotel Sarangan
|
4,50
– 14 gulden
|
B.S.T.H
|
Tosari
|
Bromo
Hotel
|
4,50
– 12 gulden
|
T
|
Grand
Hotel Tosari
|
6,50
– 20 gulden
|
G.T.H
|
|
Tretes
|
Badhotel
Tretes
|
5,50
– 15 gulden
|
S.H
|
Denpasar
|
Bali
Hotel
|
10
– 25 gulden
|
Music&Dance
|
Satrya
Hotel
|
6,50
– 13 gulden
|
||
Kintamani
|
KPM
Bungalow Kintamani
|
8
– 15 gulden
|
|
Brastagi
|
Grand
Hotel Brastagi
|
6
– 30 gulden
|
G.S.T.H
|
Medan
|
Hotel
de Boer
|
7
– 20 gulden
|
O
|
Grand
Hotel Medan
|
7
– 16 gulden
|
O
|
|
Prapat
|
Prapat
Hotel
|
7
– 14 gulden
|
B.G.S.T
|
Fort de Kock
|
Hotel
Centrum
|
6
– 17,50 gulden
|
G.S.T
|
Park
Hotel
|
5,50
– 14 gulden
|
G.S
|
|
Padang
|
Hotel
Central
|
5
– 15 gulden
|
T
|
Oranje
Hotel
|
5,5
– 17,5 gulden
|
G.S.T
|
|
Palembang
|
Hotel
Buys
|
8
– 17 gulden
|
G.S
|
Hotel
Smit
|
8
– 22,50 gulden
|
||
Makassar
|
Empress
Hotel
|
7
– 20 gulden
|
T
|
Grand
Hotel
|
8
– 16 gulden
|
||
Sumber:
List of the Principal Hotels in the Netherlands Indies (Batavia: The
Travellers Official Information Bureau of the Netherlands Indies & Kolff,
1938), hal. 3- 5.
|
Hotel Ngamplang Garoet |
Selain dapat tinggal atau menginap di
hotel atau losmen yang terletak di kota, paraturis dapat pula menginap di
pesanggrahan. Pesanggrahan ini, sebenarnya, merupakan bangunan tempat
peristirahatan bagi para raja atau kaum bangsawan yang terletak di luar kota.
Letak pesanggrahan, ada di daerah pegunungan dan tepi pantai yang kadang-kadang
sangat sulit dicapai dengan transportasi biasa –kelak bangunan pesanggrahan ini menjadi tempat beristirahat atau
bermalam bagi para pejabat atau pegawai pemerintah Hindia-Belanda yang sedang
melakukan perjalanan dinas ke daerah-daerah yang tidak memiliki fasilitas hotel
atau penginapan. Pesanggrahan juga dapat digunakan oleh para pelancong,
meskipun demikian, sebelumnya mereka harus mendapatkan izin dari pemerintah
setempat seperti asisten residen, kontrolir, atau wedana, untuk dapat
menggunakan pesanggrahan. Namun, bila di suatu tempat terdapat fasilitas
penginapan atau hotel, maka izin untuk menggunakan pesanggarahan belum tentu
diperoleh. Pada suatu periode tertentu, ada kewajiban bagi parapenduduk di Jawa
untuk melakukan kerja wajib –heerendienst membangun dan merawat
pesanggrahan. Kewajiban ini, kemudian dihapus pada tahun 1882. Pengelolaan
pesanggrahan, biasanya dilakukan oleh pemerintah setempat (kabupaten/keresidenan)
atau dinas-dinas dari pemerintah Hindia Belanda, seperti: B.O.W (Burgerlijke
Openbare Werken/ dinas pekerjaan umum); dinas kehutanan; dinas
irigasi/pengairan; serta pengawas hutan dan milik pribadi. Anggaran untuk
merawat tiap pesanggrahan tersebut, dimasukkan dalam anggaran kabupaten. Hal
ini terdapat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indië bagian regentschap,
pada bagian Xe afdeeling 20 (Staatsblad van Nederlandsch
Indië 1924 no 576, Departementen van Algemeen Burgerlijke Bestuur). Pada
tahun 1930, tercatat kurang lebih 160 pesanggrahan di Jawa dan Bali. Apabila
dibandingkan dengan hotel, tarif pesanggrahan ini lebih murah. Alasannya,
adalah: fasilitas yang disediakan “tidak seperti hotel” dan juga pesanggrahan
hanya menyediakan “tempat menginap sederhana”. Tarif bermalam di pesanggrahan,
antara 3 sampai 13,5 gulden per malam.
Pelayan
Penginapan
Dalam dunia akomodasi turisme kolonial –seperti dalam hotel dan losmen,
digunakan pula istilah yang dikenal dalam rumah tangga kolonial. Hal ini,
sepertinya sesuatu yang wajar jika kita melihat perkembangan akomodasi di
Hindia-Belanda. Hotel-hotel yang kelak menjadi hotel modern dan memiliki
standar internasional, berawal dari rumah tangga yang menyewakan kamar atau
pavilyun rumah.
Pada masa VOC, mulai digunakan istilah slaven –para budak, baik yang bekerja untuk VOC
maupun partikelir atau swasta. Orang Belanda menggunakan para budak
sebagai tenaga kerja dalam gudang-gudang dan kapal-kapal mereka, pembantu rumah
tangga serta dijadikan lambang untuk menaikkan status. Di pihak lain, orang
pribumi menggunakan budak untuk mengatasi keterbatasan tenaga kerja dalam produk-produk
pertanian, hutan dan laut. Di beberapa wilayah lain di Nusantara, para budak
mempunyai fungsi seremonial dan pertunjukan atau bahkan digunakan untuk
menyediakan orang-orang bersenjata dengan kesetiaan tertentu atau untuk
produksi domestik dan pertahanan hidup. Para budak mengisi posisi personil
rumah tangga secara khusus, seperti juru masak, juru lampu, pelayan, pembantu
rumah tangga, penjahit, pesuruh, penyetrika pakaian, pembuat sambal, pembuat
roti, pembuat teh dan kusir. Para budak menjadi bagian besar penduduk dari
wilayah VOC di Batavia pada abad ke-17. Banyak budak pria yang menjadi budak
yang bekerja di rumah. Ada pula yang bekerja sebagai pembantu atau musisi.
Selain itu VOC juga membeli para budak yang dimanfaatkan untuk menggali kanal,
mendirikan bangunan. Para budak itu pun dapat dimerdekakan oleh pemiliknya.
Perdagangan budak di Batavia sudah menjadi semacam lembaga. Budak-budak yang
dibeli tersebut oleh para majikan untuk bekerja dalam rumah di Batavia dengan
alasan memudahkan mereka untuk pengawasan. Dalam regeringsreglement
1818 (Staatsblad 1818 no 18, pasal 113, 234) terdapat larangan perdagangan
budak internasional untuk rumah tangga di Hindia-Belanda. Dengan kata lain ada
larangan mengimpor budak untuk dijual pada rumah tangga-rumah tangga di
Hindia-Belanda. Lalu mulai 1 Januari 1860 perbudakan di seluruh Hindia Belanda
dihapuskan.
Seiring dengan tumbuhnya kota-kota di
Hindia Belanda –terutama di Jawa,
menyebabkan banyak orang pribumi dari desa mencari pekerjaan di kota –terutama kalangan petani yang tidak lagi
memiliki tanah. Sensus tahun 1920 memperlihatkan, bahwa 6,63 % penduduk
Jawa tinggal di kota-kota. Sebagian besar populasi perkotaan adalah penduduk
yang bekerja di sektor informal perekonomian perkotaan, salah satunya adalah
bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Setelah 1870, makin banyak perempuan
Eropa –Belanda datang ke Hindia
Belanda. Hal demikian berakibat diterbitkannya bermacam-macam buku panduan bagi
mereka yang hendak pergi ke Hindia Belanda. Mereka yang baru datang ini,
dikenal sebagai: baren
–orang baru pertama kali menginjakkan
kaki di Hindia Belanda. Di samping berisi petunjuk –antara lain: pakaian apa yang pantas dan cocok dikenakan di Hindia
Belanda, buku panduan tersebut juga memuat antara lain bagaimana cara
mengatur rumah tangga di Hindia Belanda, serta bagaimana bergaul dengan para
personil rumah tangga di Hindia Belanda. Sekurangnya pada setiap rumah tangga
di Hindia, memiliki dua atau tiga personil rumah tangga –apalagi jika memiliki anak, setidaknya lima pembantu yang dibutuhkan.
Pada setiap rumah tangga Eropa pada abad ke-20 setidaknya memiliki empat hingga
enam personil rumah tangga –para personil
rumah tangga itu kemudian disebut sebagai: a legion. Semakin kaya,
maka semakin banyak jumlah personilnya.
Dalam buku panduan tersebut, dijelaskan
bahwa para pembantu rumah tangga Eropa di Hindia terdiri dari beberapa
personil. Mereka terdiri dari djongos atau sepen (pembantu
laki-laki), kebon (pembantu yang merawat kebun atau kuda), baboe (pembantu
perempuan), wasbaboe (tukang cuci), dan kokkie (juru masak).
Namun, tidak semua personil rumah tangga tersebut tinggal dalam rumah yang
sama. Masing-masing personil, memiliki tugasnya masing-masing. Istilah djongos
yang berasal dari jongens ini memiliki berbagai varian antara lain huisjongen.
Makna sebenarnya adalah anak laki-laki atau boy dalam bahasa Inggris.
Makna ini kemudian mengalami pergeseran menjadi: pembantu (laki-laki).
Selain djongos, dikebanyakan
rumah tangga Eropa, terutama yang memiliki kebun atau taman, ada pembantu rumah
tangga yang dinamakan: kebon. Seorang kebon, adalah: ‘manusje van alles’
–pesuruh yang serbaguna. Ia dapat
menggosok atau ‘melaburi dengan kapur’ sepatu-sepatu, merawat sepeda, mengambil
dan mengantarkan barang, mengepel lantai, menyikat kamar mandi, membantu
mencuci piring, mengantar makan siang untuk majikan, serta menyiram bunga dan
menyiangi tanaman.
Personil lainnya adalah baboe
yang bertugas membersihkan kamar tidur, membersihkan lemari dari kecoak atau hewan-hewan
kecil, setiap minggu menjemur pakaian di bawah sinar matahari, merawat dan
membersihkan sepatu-sepatu majikan perempuan serta melakukan perbaikan kecil
untuk pakaian luar dan dalam. Dia juga, mengatur pakaian-pakaian kotor yang
akan dicuci oleh wasbaboe. Kata baboe berasal dari mbah iboe,
khususnya yang bertugas merawat anak. Istilah baboe ini pada awalnya
memiliki arti: pengasuh anak. Selain bertugas bertanggung jawab di kamar, para baboe mengurus
anak-anak majikan mereka –para sinyo dan
noni. Namun, untuk memberi makan, tetap menjadi tugas para ibu. Para baboe
tidak diperkenankan memberi anak-anak majikan mereka, makan. Seiring dengan
meningkatnya jumlah perempuan Eropa –Belanda,
maka status baboe sebagai pengasuh anak, hilang, dan menjadi pembantu.
Bahkan, istilah baboe semakin bermakna rendah, yang berarti: perempuan
kampung.
Personil yang tak kalah pentingnya dalam
rumah tangga kolonial, adalah: kokkie. Para kokkie juga
mendapatkan tugas ke pasar untuk berbelanja bahan makanan –di sini, keterampilan para kokkie menawar menjadi penting walaupun
selisihnya hanya beberapa sen.
Personil lain, meskipun tidak selalu
tinggal dalam rumah yang sama, adalah: wasbaboe atau babu cuci. Peran
babu cuci ini menarik, bila dikaitkan dengan siapa yang sebenarnya melakukan
pekerjaan ini sehari-hari. Berdasarkan lukisan-lukisan dari tahun 1851, 1853,
dan 1857, kegiatan mencuci di kalangan pekerja rumah tangga dilakukan oleh kaum
pria atau para jongos. Dari ketiga lukisan tersebut tidak tampak ada pekerja
rumah tangga atau babu yang sedang mencuci. Bahkan dalam salah satu lukisan
memperlihatkan seorang babu yang sedang mandi dengan latar belakang dua orang
jongos yang sedang mencuci. Hal tersebut, mungkin dapat dijelaskan karena
mencuci dengan cara yang berlaku saat itu merupakan pekerjaan yang sangat
membutuhkan tenaga yang besar, pekerjaan yang cocok dilakukan oleh laki-laki.
Pergantian
tugas mencuci dari laki-laki ke perempuan dikalangan pekerja rumah tangga, baru
terjadi ketika para orang kaya –yang
mempekerjakan mereka mulai memiliki sumur sendiri di rumah, dan pakaian
mereka tidak lagi dicuci di kanal atau sungai karena alasan kebersihan,
kesehatan, atau alasan sosial lainnya seiring dengan perubahan mutu air kanal
atau sungai. Selain personil rumah tangga di atas, ada pula tukang kusir atau
supir. Mereka bertugas mengantar majikan bepergian, baik ke tempat kerja maupun
tempat lainnya.
Satu hal lainnya yang dikemukakan oleh
buku panduan tersebut adalah jika kita hendak menerima pembantu, kita harus meminta
surat keterangan dari kepala kampung. Surat itu menerangkan, jika pembantu
tersebut tidak pernah berurusan dengan pihak kepolisian. Selain itu juga kita
dapat bertanya, di mana dan kepada siapa dia terakhir kali bekerja dan apakah
dia memiliki bukti berupa surat. Surat ini berfungsi memberikan jaminan
keamanan kepada para majikan baru, bahwa pembantu yang mereka pakai, tidak
pernah berurusan dengan polisi. Rekruitmen para pembantu tersebut, biasanya
dilakukan dari mulut ke mulut atau juga berdasarkan rekomendasi dari teman.
Memasuki abad ke-20, ketika air ledeng,
gas dan listrik masuk ke rumah tangga kolonial di kota-kota besar, jumlah
pembantu rumah tangga menurun. Rencana pembangunan kota-kota baru dan
pembangunan rumah-rumah yang lebih kecil dengan sanitasi modern, hal tersebut
juga berpengaruh kepada para pembantu yang biasanya tinggal di belakang rumah
majikan mereka atau di sekitar mereka. Mereka tidak tinggal lagi dengan para
majikan, tetapi pulang ke rumah setelah bekerja.
Para personil rumah tangga yang awalnya
hanya melayani para tuan dan nyonya rumah mereka, akhirnya melayani juga para
tamu majikannya ketika rumah tangga sudah beralih fungsi menjadi hotel.
Istilah-istilah seperti djongos, baboe, wasbaboe, kokkie, kebon juga
menjadi bagian dalam akomodasi turisme kolonial.
Ada satu istilah yang sebelumnya hanya
akrab di bidang perkebunan atau pabrik yaitu mandoer. Istilah ini juga
digunakan dalam dunia akomodasi kolonial. Biasanya istilah ini menjadi hotel-mandoer
atau mandoer saja yang diartikan sebagai pengawas. Makna pengawas ini,
sama dengan istilah mandoer dalam perkebunan atau pabrik yang
diartikan opzichter (pengawas). Istilah mandoer di
Hindia-Belanda, berasal dari bahasa Portugis mandador yang berarti
orang yang diberi mandat/dikirim untuk tujuan tertentu. Kata benda mandadar
ini berasal dari kata kerja mandar yang berarti mengirim. Istilah
mandor juga berarti pengawas pekerja pribumi, pembantu utama di hotel,
pesanggrahan dan tempat mandi. Mandoer di hotel merupakan jabatan
tertinggi diantara para pembantu lainnya.
Sementara itu istilah djongos (dari
kata jongens) yang dalam rumah tangga kolonial sering disebut huisjongen,
dalam dunia akomodasi turisme kolonial menjadi hoteljongens, kamerjongen atau
jongos
–adapula istilah lain yang digunakan,
yaitu: lijfjongens. Seperti halnya jongos dalam rumah tangga
kolonial, jongos di hotel berurusan dengan masalah konsumsi. Dari kalimat
praktis buku panduan turisme dapat diketahui beberapa tugas jongos, antara lain:
menyediakan dan melayani makan dan minum. Jongos di hotel, bertugas mengantar
minuman teh atau kopi ke kamar kita serta membangunkan tamu. Para jongos ini
tinggal juga di hotel tempat mereka bekerja –biasanya mereka tinggal di dekat atau masih dalam lingkungan hotel.
Mereka pun mengenakan seragam, seperti: ikat kepala dari kain batik, sarung,
dan tanpa alas kaki. Mereka mengenakan jas tutup berlengan panjang berwarna
putih. Dalam beberapa foto, tampak seragam yang dikenakan mandur dan jongos
tidak jauh berbeda. Hal yang membedakan adalah adanya dua garis di lengan jas
yang mereka kenakan –mereka yang
mengenakan garis adalah para mandur.
Jongos tidak hanya dijumpai di
hotel-hotel atau losmen, para jongos juga dijumpai di kapal-kapal K.P.M,
seperti: kapal ‘van Linschoten’ dan ‘van Waerwiyck’, yang membawa calon turis
yang berkunjung ke Hindia Belanda. Secara tidak langsung, para calon turis dan
tamu hotel berkenalan dengan para jongos yang mengenakan seragam serupa dengan
para jongos di hotel-hotel.
Kesetiaan, ketaatan, dan pengabdian para
mandor dan jongos pun mendapat penghargaan. Penghargaan diberikan kepada para
mandor dan jongos, yang sudah mengabdi puluhan tahun. Seperti, pemberian medali
A.B.H.N.I –Algemeenen Bond Hotelhouders in Nederlands-Indië, Ikatan pemilik hotel
di Hindia-Belanda yang meliputi daerah: Priangan, Batavia, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Sulawesi, Kalimantan, Maluku. Penghargaan diberikan kepada para mandor
atau jongos yang sudah mengabdi selama 50 tahun, 25 tahun, atau 15 tahun.
Rupanya, penghargaan tidak hanya diberikan kepada para mandor dan jongos. Dalam
salah satu surat pembaca het Hotelblad, diusulkan untuk memberikan
penghargaan kepada koki yang sudah bekerja selama 10 tahun.
Dengan diperolehnya bintang dari
A.B.H.N.I –khususnya yang berhubungan
dengan masa kerja, secara tidak langsung dapat diketahui jenjang karir orang
tersebut di hotel. Para mandor yang mendapatkan penghargaan, tentunya, ada yang
mulai berkarir dari sebagai jongos. Unsur pengabdian, kesetiaan, dan ketaatan
para mandor dan jongos ini, menarik. Mengingatkan kita kepada konsep pengabdian
para abdi dalam terhadap tuan pribumi, yang tidak mengharapkan imbalan materi.
Meskipun telah mendapatkan imbalan –dalam
bentuk upah, namun kesetiaan dan ketaatan mereka tidak hilang, bahkan
menjadi jenjang karir untuk mereka.
Personil lain di hotel, adalah: baboe.
Berbeda dengan tugas baboe dalam rumah tangga kolonial, salah satu
tugas babu dalam akomodasi turisme kolonial adalah: menyajikan makanan yang
juga merupakan tugas jongos.
Personil rumah tangga yang juga terdapat
dalam dunia akomodasi turisme kolonial lainnya, adalah: kokkie. Mereka yang
menyiapkan hidangan rijsttafel serta memanggang kue tar di atas pan
dengan kayu bakar.
Selain personil di atas, ada personil
lain yang juga bagian atau mungkin di luar dari personil hotel, yaitu: toekang
menatoe. Pelayan hotel akan mengatur baju-baju para tamu, untuk dapat
dicuci oleh toekang menatoe yang merupakan seorang pria, dengan ongkos
5 hingga 10 sen per pakaian.
Para personil pribumi yang bekerja di
hotel-hotel, rupanya juga, membentuk suatu serikat karyawan hotel. Seperti
laporan Kaoem Moeda, 5 Desember 1918, yang menyebutkan bahwa: pada tahun
1918, serikat karyawan hotel di Bandung dibentuk. Ketua serikat yang juga
merupakan karyawan senior dan paling lama di industri hotel, menyatakan tujuan
dibentuknya serikat adalah untuk meningkatkan persatuan dan persaudaraan para
karyawan hotel serta untuk menyediakan bantuan apabila ada anggota yang
tertimpa kemalangan, seperti kematian. Serikat ini, mendapatkan 40 orang
anggota.
Seperti halnya para personil rumah
tangga yang memerlukan persyaratan dan rekomendasi baik –dari para majikan sebelumnya, untuk menjadi personil tingkat tertentu
di hotel apalagi hotel-hotel berstandar internasional, harus memenuhi
persyaratan khusus. Begitu pula dengan mereka yang telah mendapatkan medali
dari A.B.H.N.I, dapat menjadi salah satu rekomendasi jika mereka hendak mencari
pekerjaan. Kualitas para pelayan hotel tersebut juga, menjadi perhatian
penting. Pada 1938 di Bandung didirikan sebuah kursus khusus hoteljongen
(pelayan hotel) di bawah pimpinan Fr. J.A.van Es –direktur Hotel Homann. Ada sekitar 40 pelayan pribumi yang
mengikuti kursus tersebut dua kali seminggu, mulai pukul 9 sampai 12 siang.
Kursus tersebut, berlangsung selama 3,5 bulan. Setelah mengikuti kursus
tersebut, para peserta kursus akan diuji dengan ketat oleh Fr. J.A.van Es.
Mereka yang lulus, akan mendapatkan ijazah. Ijazah tersebut dapat dipergunakan
untuk melamar ke hotel-hotel di Hindia Belanda, perusahaan pelayaran dan untuk
bekerja sebagai pelayan tetap di Hotel Homann. Para peserta kursus, dididik
cara menata meja, menyajikan anggur, menerima telefon dan berbagai pekerjaan lainnya
di hotel. Bahkan, mereka mendapatkan pelajaran bahasa Inggris praktis dan
sederhana. Pelajaran-pelajaran praktik, diberikan oleh van Es jr, v. Herb dan
Kohlër yang semuanya bekerja di Hotel Homann. Kursus tersebut, tidak dikenakan
biaya dan khusus ditujukan kepada para pelayan hotel. Tidak tertutup
kemungkinan peserta kursus yang terbaik, akan menjadi mandor.
Referensi:
De (The) Garoet Express and
Tourist Guide.
(1922-1923). Garoet: Maatschappij Onderlinge Hulp.
Isle
of the East.
(1912). Batavia: Royal Packet Steam Navigation Co. (K.P.M.).
Java:
The Wonderland.
(1910). Welvreden: Official Tourist Bureau.
Wertheim, W.F. (1999). Masyarakat
Indonesia dalam Transisi. terjemahan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
***