Inggit
Garnasih, sebenarnya, merupakan perempuan yang turut mengharumkan nama bangsa
Indonesia. Posisinya sebagai istri Soekarno, mampu menjadi sumber inspirasi
perjuangan. Jika Soekarno adalah api, maka Inggit Garnasih menjadi kayu
bakarnya. Inggit Garnasih menghapus keringat ketika Soekarno kelelahan, dan
menghiburnya ketika kesepian. Inggit Garnasih menjahitkan ketika kancing
Soekarno lepas, serta hadir ketika Soekarno muda membutuhkan kehangatan
perempuan sebagai istri; ibu; maupun teman. Pengorbanan dan kesetiaan Inggit
Garnasih kepada Soekarno pun, luar biasa. Ia rela hidup memisahkan diri, justru
pada saat berada di puncak kejayaan Soekarno. Inggit Garnasih bagi Soekarno,
laksana Siti Khadijah bagi Muhammad. Bedanya, Muhammad setia hingga Khadijah
wafat, sedangkan Soekarno menikah lagi dan melangkah ke gerbang istana.
Akhirnya, Inggit Garnasih pulang ke Bandung, menenun sepi.
Pernikahan Soekarno dengan istri
pertamanya –Siti Oetari, berumur 16 tahun,
bisa dikatakan sebagai pernikahan yang diikat oleh perasaan kasihan. Dalam
perjalanannya, hubungan mereka lebih sebagai kakak beradik. Pernikahan antara
keduanya, layak disebut kawin gantung –secara
umur, keduanya memang belum matang, meskipun sah menurut agama Islam. Akan
tetapi, bagaimana pun juga, pernikahan itu menguntungkan posisi Soekarno –karena ia dihadapan orang banyak, adalah:
menantu Tjokroaminoto. Ketika Soekarno melanjutkan pendidikannya di
Bandung, ia jatuh cinta pada ibu kos-nya –Inggit
Garnasih. Dalam kamus hidup Inggit Garnasih, hanya ada kata: memberi.
Inggit Garnasih pun lebih memilih bercerai, daripada dimadu dengan Fatimah.
Fatimah dinikahi saat berusia 19 tahun, sementara Soekarno berusia 41 tahun.
Soekarno mengganti Fatimah dengan nama Fatmawati, yang berarti: bunga teratai.
Ketika Soekarno nekat menikahi Hartini, Fatmawati protes dengan meninggalkan
Istana Negara. Saat Soekarno ke Jepang, ia bertemu dengan Naoko Nemoto.
Pertemuan itu terjadi pada Juni 1959, saat Naoko menyambut Soekarno dengan
menyanyikan Bengawan Solo. Hubungan mereka berlanjut ke pelaminan pada 3 Maret
1962, lalu Naoko Nemoto memperoleh nama baru, yaitu: Ratna Sari Dewi. Selanjutnya,
Soekarno bertemu dengan Yurike Sanger, anggota Barisan Bhinneka Tunggal Ika –barisan muda-mudi berpakaian daerah sebagai
pagar betis saat Presiden Soekarno menyambut tamu negara. Pandangan pertama
dan perhatian Soekarno, membuat Yuri –Yurike
Sanger takluk ketika sang presiden meminangnya. Setelah Yuri, istri-istri
lain Soekarno adalah: Kartini Manoppo; Haryati; dan Heldy Djafar.
Dapur
Revolusi Indonesia
Soekarno merupakan anak kedua dari
pasangan Rd. Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai, kakak perempuannya –Soekarmini, lahir dua tahun sebelumnya. Koesno
Sosrodihardjo –nama Soekarno saat kecil
lahir pada tanggal 6 Juni 1901 di Surabaya, pada saat fajar menyingsing –Soekarno sering dijuluki: Putra Sang Fajar.
Kelahirannya, disambut dengan meletusnya Gunung Kelud. Orangtuanya, merupakan
orang pindahan dari Bali. Sebagai pegawai rendahan dengan tugas mengajar,
kehidupan orangtua Soekarno bocah, memang masih jauh dari berkecukupan. Saat
Soekarno berusia 6 tahun, mereka pindah ke Mojokerto. Keluarga ini mengambil
seorang rewang –pembantu, nama:
Sarinah. Rewang ini tidak digaji, tetapi ia tidur; tinggal; dan makan dengan
keluarga Soekarno. Sosok Sarinah juga menjadi “rewang” yang merawat dan
mendidik Soekarno di rumah. Darinya-lah, Soekarno mendapatkan pelajaran kasih
sayang dan keberanian. Soekarno kecil, mulai belajar di sekolah rendah milik
Belanda –Europeesche Lagere School.
Di sekolah itulah untuk pertama kalinya, Soekarno –yang berumur 14 tahun jatuh cinta pada gadis Belanda bernama: Rika
Meelhuysen –gadis yang pertama kali
diciumnya.
Lulus dari ELS, ia melanjutkan ke Hoogere
Burger School di Surabaya. Di sana ia tinggal di rumah kontrakan milik Hadji
Oemar Said Tjokroaminoto, di gang Paneleh. Ketika Soekarno datang ke Surabaya,
Tjokroaminoto telah berumur 33 tahun. tjokroaminoto adalah tokoh gerakan yang
suka berkeliling dalam rangka kegiatan organisasinya –Sarekat Islam, yang sedang bangkit memimpin gerakan massa rakyat.
Rumah Tjokroaminoto juga, sering dijadikan tempat paratokoh pergerakan untuk
mendiskusikan: pemikiran; taktik-strategi; dan masa depan perjuangan, untuk
mengubah nasib rakyat yang tengah dijajah Belanda. Rumah Tjokroaminoto ini
menjadi –seperti yang disebutkan Soekarno:
Dapur Revolusi Indonesia. Di Surabaya, Soekarno semakin tumbuh dengan pemikiran
dan cita-cita kemerdekaan. Ia mulai menulis artikel politik melawan
kolonialisme Belanda di surat kabar Oetoesan Hindia, milik Tjokroaminoto. Kedekatan
Soekarno dengan sang mentor –Tjokroaminoto,
membuahkan suatu perasaan sungkan. Soekarno tidak bisa menolak permintaan
pimpinan SI ini, ketika diminta menikahi anak perempuannya: Siti Oetari.
Permintaan itu dilakukan, setelah istri Tjokroaminoto meninggal.
Srikandi
Indonesia
Pertemuan Inggit Garnasih dengan
Soekarno, tidak lepas dari suasana pergerakkan kebangsaan pada masa itu.
Setelah lulus dari HBS –pada bulan Juni 1921,
Soekarno melanjutkan pendidikannya ke Technische Hooge School di Bandung. Ia
tinggal di rumah kos milik Haji Sanusi dan istrinya –Inggit Garnasih. Haji Sanusi adalah Ketua SI afdeling –cabang Bandung, dan kawan seperjuangan
Tjokroaminoto. Pada ibu kos inilah, Soekarno jatuh cinta. Laiknya seorang ibu
kos yang baik, Inggit Garnasih dengan sabar mendengar keluh-kesah anak kos-nya
yang perlente dan bersemangat itu. Sesekali, sang ibu kos memberi masukan agar
Soekarno berusaha memperbaiki hubungannya dengan Siti Oetari. Tapi, saran Inggit
Garnasih itu tak pernah berhasil direalisasikan oleh Soekarno. Barangkali,
dengan menjalin cinta dengan seorang perempuan yang lebih tua umurnya, Soekarno
merasa mendapatkan kenyamanan psikologis dan dituntut untuk berwatak dewasa. Jalinan
hubungan ini semakin serius, yang mendorong mereka untuk berterus terang kepada
Haji Sanusi dan Tjokroaminoto. Haji Sanusi juga mengetahui hubungan kasih
antara Soekarno dan Inggit Garnasih, sehingga ia pun merelakan berpisah dengan
Inggit Garnasih. Sebelum menikahi Inggit Garnasih, Soekarno sempat pulang ke
Surabaya –karena Tjokroaminoto ditahan
Belanda. Dalam kurun waktu ini, Soekarno cuti dari kuliah dan sempat
bekerja sebagai “klerk” di stasiun kereta api. Setelah tujuh bulan meringkuk di
penjara, Tjokroaminoto dibebaskan pada bulan April 1922. Soekarno pun kembali
ke Bandung untuk melanjutkan kuliah, pada bulan Juli 1922. Pada tahun 1923,
Soekarno dan Inggit Garnasih menikah –setelah
Siti Oetari diceraikan Soekarno di akhir tahun1922 dalam keadaan masih gadis,
dan masa iddah Inggit Garnasih bercerai dengan Haji Sanusi berakhir. Saat
menikahi Inggit Garnasih, Soekarno menandatangani sebuah surat perjanjian yang
berisi pernyataan yang diminta oleh Haji Sanusi, bahwa: Soekarno tidak akan
menyakiti Inggit. Pada waktu itu, usia Inggit Garnasih lebih tua 12 tahun dari
Soekarno.
Biaya kuliah Soekarno –hingga ia mendapatkan ijazah insinyur pada
25 Mei 1926, banyak dibantu oleh Inggit Garnasih. Perempuan ini membantu
Soekarno, dalam suka dan duka. Ia menjual bedak; meramu jamu; dan menjahit
kutang, untuk nafkah keluarga. Inggit Garnasih yang setia mencari uang, Inggit
Garnasih yang mencintai Soekarno tanpa pamrih. Hal sama juga dilakukan Inggit
Garnasih saat kelak Soekarno diasingkan ke Ende, hingga dipindah ke Bengkulu.
Inggit Garnasih bisa membesarkan hati Soekarno, memberikan dorongan semangat,
serta berbagi suka duka. Inggit Garnasih adalah pengobar semangat Engkus –panggilan sayang Inggit kepada Soekarno.
Tak mengherankan jika dihadapan peserta Kongres Indonesia Raya di Surabaya –tahun 1932, Soekarno menjuluki Inggit
Garnasih, sebagai: Srikandi Indonesia.
Kiprah politik Soekarno, semakin
menguat. Dia mulai menyusun garis ideologinya, yang kemudian dinamakannya:
Marhaenisme. Dia pu mendirikan perkumpulan Algemeene Studieclub, yang
memunculkan para-intelektual muda Indonesia. Pikiran-pikiran Soekarno,
dicurahkan pada majalah Soeloeh Indonesia Moeda. Pada 4 Juli 1927, Soekarno
mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia –pada
tahun 1928 berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia dengan tujuan:
Mencapai Kemerdekaan Indonesia. Namun pada tahun 1928, gerakan “yang berani”
dari Soekarno ini, mulai mendapat reaksi dari penjajah. Di depan Volksraad –Dewan Rakyat, Soekarno dituduh berusaha
membangun federasi politik yang mengancam pemerintahan Belanda. Penangkapan
terhadap Soekarno pun benar-benar terjadi, pada 29 Desember 1929.
Soekarno dimasukkan ke Penjara Bantjeuj
–Banceuy yang letaknya di
tengah-tengah Kota Bandung. Pada 18 Agustus 1930, Soekarno membacakan pledoi –pembelaan setebal 188 halaman yang
judulnya: Indonesia Menggugat, dihadapan muka pengadilan. Pihak Belanda sangat
terkejut dengan pledoi Soekarno, tidak habis pikir dengan materi pledoi yang
didapat Soekarno. Sebenarnya, pledoi itu mulai ditulis sejak Soekarno berada di
sel tahanan. Buku; kertas; dan alat tulis, didapat dari istrinya –Inggit Garnasih dan teman-teman
Soekarno, yang diselundupkan ke dalam tahanan. Inggit Garnasih, baru bisa
bertemu setelah Soekarno berada di hari ke-40 dalam tahanan. Mereka melepas
kangen, di ruang tamu. Inggit Garnasih, diberi kelonggaran untuk berkunjung
sebanyak dua kali dalam seminggu. Keduanya mulai sadar, bahwa perjuangan untuk
meraih kemerdekaan itu membutuhkan pengorbanan besar. Peran Inggit Garnasih
sangat besar dalam menjadikan dirinya sebagai “penghubung” antara Soekarno
dengan parapejuang lainnya. Inggit Garnasih adalah sumber informasi dan
pengamat jitu, untuk mengetahui segala yang terjadi di luar bilik penjara.
Meski pemeriksaan ketat diberlakukan di sana, Inggit Garnasih berhasil mengecoh
sipir penjara dengan menggunakan Al-Qur’an dan telur rebus –sebagai media komunikasi untuk menyampaikan
situasi di luar. Telur yang dibawa Inggit Garnasih, terlebih dahulu telah
ditandai dengan tusukan halus di luarnya. Satu tusukan berarti “situasi aman”,
dua tusukan artinya “seorang kawan tertangkap”, bila ada tiga tusukan
menandakan adanya “penyergapan besar-besaran terhadap aktivis pergerakan”. Hal
yang sama juga dilakukan pada Al-Qur’an, jika kiriman buku diterima pada 17 Mei
misalnya, maka Soekarno akan membuka surat Al-Qur’an kelima halaman 17 dan
mencari lubang-lubang kecil dibawah huruf tertentu dari bagian tersebut agar
membentuk rangkaian kalimat. Untuk menulis pesan Soekarno, Inggit Garnasih
menggunakan kertas rokok lintingan –Inggit
Garnasih memang berjualan rokok buatan sendiri. Rokok yang diikat dengan
benang merah –berisi pesan-pesan Soekarno,
dijual kepada parapejuang. Selama Soekarno dalam penjara, Inggit Garnasih setia
menempuh perjalanan sejauh 30 km dari Ciateul –rumah Inggit.
Sidang, menjatuhkan Soekarno dengan
empat tahun kurungan dalam sel penjara. Soekarno pun dipindahkan ke penjara
Soekamiskin dengan pengawasan yang ketat, berada dalam satu tahanan dengan
orang-orang Belanda yang dipenjara karena menggelapkan uang atau korupsi. Tetapi
karena pidato pledoinya menggegerkan dunia, pemerintah kolonial Belanda
terpaksa membebaskan Soekarno sebelum masa hukumannya selesai. Selepas keluar
dari tahanan –31 Desember 1931,
Soekarno mendirikan Partai Indonesia. Pemikiran Soekarno, dicurahkan lewat koran
Fikiran Ra’jat. Strategi radikal non-kooperatif, dengan taktik vergadering –aksi massa dan machtsvorming –merebut kekuasaan. Oleh karena itulah,
Soekarno mulai masuk dalam daftar hitam polisi kolonial. Dan ketika beredar
brosur panjang yang berjudul “Mencapai Indonesia Merdeka” –yang ditulis Soekarno, maka cukup alasan bagi pemerintah kolonial
untuk melakukan penangkapan terhadapnya. Setelah disidang pada bulan Agustus
1933, Soekarno dibuang keluar Pulau Jawa. Tempat itu dikenal dengan nama: Ende,
sebuah kampung nelayan di Flores yang dihuni sekitar 5.000 orang dengan tingkat
kebudayaannya yang masih tradisional dan sangat sederhana.
Bersama Inggit Garnasih, Soekarno
menghabiskan waktunya –di Ende hingga
tahun 1938. Dipembuangannya itu, Soekarno banyak belajar agama Islam. Soekarno
mendirikan perkumpulan sandiwara, yang ia beri nama: Kelimutu. Ia juga menulis
cerita sandiwara, sebanyak 12 buah karya. Pada bulan Februari 1938, Soekarno
dipindahkan ke Bengkulu. Ia diajak oleh Hasan Din –ketua Muhammadiyah setempat, untuk membantu mengajar. Di sinilah,
Soekarno bertemu dengan Fatimah –anak
perempuan Hasan Din, dan keduanya jatuh cinta. Fatimah, kelak setelah
dinikahi oleh Soekarno, namanya berganti menjadi: Fatmawati. Saat itu Fatimah –Fatmawati berumur 17 tahun, sedangkan
Inggit Garnasih sudah berumur 53 tahun. awalnya, Soekarno ingin memadu Inggit
Garnasih, alasannya adalah dirinya menginginkan keturunan –hal yang tak mungkin didapatnya dari Inggit. Tapi, Inggit Garnasih
menampik. Ia mengizinkan Soekarno menikahi Fatimah, setelah Inggit Garnasih
diceraikan terlebih dahulu. Ketika Jepang menyerang Indonesia, pemerintah
kolonial Belanda bermaksud memindahkan Soekarno ke Australia. Tapi rencana
tersebut gagal, dan Soekarno oleh tentara Jepang dibawa ke Jakarta. Perceraian
pun terjadi pada tahun 1942, ketika mereka sudah tinggal di Pegangsaan Timur
Jakarta.
Menenun
Sepi
Inggit Garnasih, memang mencintai
Soekarno: luar-dalam –sebuah kecintaan
yang membuatnya rela menderita dan melarat. Tetapi, kecintaan itu tidak
membuatnya kehilangan karakter sebagai seorang perempuan agung. Inggit
Garnasih, tetap konsisten menolak poligami –meskipun
harus kehilangan lelaki yang amat dicintainya.
Perceraian dengan Soekarno, membuat
Inggit Garnasih kehilangan kesempatan menikmati “masa-masa emas” menjadi istri
Soekarno. Padahal, jika ia bersedia dimadu, boleh jadi, dirinya-lah yang akan
menjadi first lady –ibu negara dan
menikmati sejumlah fasilitas. Tapi, Inggit Garnasih menyadari, bahwa tugasnya
sebagai istri Soekarno telah usai. Ia telah menunaikan dengan sebaik-baiknya,
sebuah “tugas historis” untuk mengantarkan seorang lelaki besar yang pernah
dilahirkan bangsa ini, sampai ke pintu gerbang cita-citanya. Meskipun
pernikahan dengan Soekarno tidak dikaruniai anak, mereka memiliki dua anak
angkat, yaitu: Ratna Djoeami dan Kartika.
“Engkus… geuning Engkus teh miheulaan, ku
Inggit didoakeun …” itulah kata-kata terakhir yang diucapkan oleh
Inggit Garnasih di depan jasad Soekarno, mantan suaminya. Baginya Soekarno
adalah cinta sejati, mantan suami yang sangat dicintai dan dibanggakannya.
Inggit Garnasih yang menghabiskan masa
tuanya di Bandung, kemudian menyusul Soekarno ke alam baka pada 13 April 1984
di usia 96 tahun. Inggit Garnasih dimakamkan di pemakaman umum Kopo, tanpa
upacara, layaknya melepas seorang pahlawan yang berjasa membentuk pribadi
tangguh seorang tokoh Proklamator.
***
What to Expect From a Casino - Find the Games
BalasHapusThe 실시간 바카라 사이트 casino is a relatively 스포츠토토 new casino, but it's still one of the best online 배팅사이트 casinos around. 슬롯 가입 머니 It's an old school game that had been 합법 도박 사이트 around for a while now.