Merupakan
bagian kedua dari: Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Tatar Sunda, Kumpulan Tulisan
Pangeran Wangsakerta
BAGIAN
2
SALAKANAGARA
Purwayuga
Sedemikian jauh, di Tatar Sunda belum
ditemukan fosil manusia yang berasal dari lapisan Pleistosen‑Bawah, maupun dari
lapisan Pleistosen‑Tengah. Akan tetapi, dengan ditemukannya fosil manusia
Pithecanthropus Mojokertensis dan Meganthropus Palaeojavanicus dari lapisan
tanah Pleistosen-Tengah di Jetis dekat Sangiran (Mojokerto), kemudian ditemukan
pula fosil manusia dari lapisan Pleistosen‑Tengah di Trinil tepi Bengawan Solo
dari jenis Pithecanthropus Erectus kemungkinan yang sama, bisa saja terjadi di
Tatar Sunda.
Sebelum kemungkinan itu terbukti,
berdasarkan Naskah Pangeran Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara Parwa
I Sarga 1, dikemukakan kisah tentang Purwayuga (Zaman Purba), antara lain
sebagai berikut:
...// witan sarga kala niking
bhumitala / bhumitala pinakagni dumilah mwang usna //prayuta warsa tumuli kukm
peteng rat bhumandala canaih canaih dumanarawata sirna / bhumi mahatis
yadyastun mangkana/ tatan hang jang gama / ateher bhumandala nikang dadi prawata
lawan sagara//prayuta warsa tumuli dadi to sthawarahalit ateher dadi to
janggama prakara satwa / ateher satwekang hanengsagara/makadi mina mwang sarwa
mina // ri huwus ika prayuta warsa tumuli sthawarekang nanawidha mwang ring
samangkana dadi to jang gama satwa raksasanung nanawidha
prakaranya/atehersanuwa jang gama satwa binturun mwang sadwa lenya waneh/ kadi
waraha / turangga mwang lenya manih // ateher prayuta wana tumuluy dadi to
janggama prakara manusadhama lawan tatan pcmna// liana Pwa Purwwajanma purusa
satwa/ atelier lawasira mewu iwu warsa manih / akre ti saparwa satwa sapxarwa
manusa// lawas ri huwus ika dadi to purusakara/ ateher manusadhama mwang
wekasan dadi ta purusa pumna //a. (Wangsakerta,1677: 2422)
Terjemahan:
Pada
awal masa penciptaan permulaan bumi (bhumitala), permukaan bumi menyerupai api
yang bercahaya dan menyala. Berjuta-juta tahun kemudian asap gelap di seluruh
muka bumi secara berangsur‑angsur dan terus-menerus seluruhnya menghilang. Bumi
menjadi dingin. Namun demikian, belum ada makhluk hidup. Kemudian, permukaan
bumi ini menjadi gunung-gunung dan lautan.
Beberapa
juta tahun kemudian muncullah tumbuh‑tumbuhan kecil, lalu muncul makhluk hidup
berupa hewan; kemudian hewan yang hidup di lautan seperti ikan dan sejenisnya.
Beberapa juta tahun kemudian, muncul berjenis‑jenis tumbuhan dan hewan raksasa
yang beraneka ragam jenisnya; kemudian bermacam‑macam makhluk hewan unggas
serta hewan lainnya seperti babi hutan dan kuda.
Berjuta
juta tahun kemudian, muncullah makhluk hidup berwujud manusia tingkatan rendah
dan belum sempurna. Mereka adalah manusia purba, manusia hewan, yang seterusnya
setelah beribu‑ribu tahun kemudian berwujud separuh hewan separuh jenis manusia
sempurna.
Kira‑kira 1.000.000 tahun sampai 600.000
tahun yang silam di Nusantara, terutama di Pulau Jawa, hidup manusia yang masih
rendah pekertinya dan bersifat seperti hewan. Ada juga yang menyebutnya manusia
hewan (satwa‑purusa) dari zaman purba, karena mereka berlaku seperti setengah
hewan. Di antaranya ada yang menyerupai kera, besar dan tinggi sosok tubuhnya,
tanpa busana. Ada pula yang seperti raksasa, tubuhnya berbulu dan kejam
perangainya.
Ada jenis lain lagi di daerah hutan dan
pegunungan yang lain. Mereka mirip kera. Ada yang tinggal di atas pohon, di
lereng gunung dan tepi sungai. Mereka berkelahi dan membunuh tanpa menggunakan
senjata, hanya menggunakan tangan. Mereka tidak berpakaian dan tidak memiliki
budi pekerti seperti manusia sekarang. Kesenangannya ialah berayun‑ayun pada
cabang pohon. Manusia hewan ini terdapat di hutan pulau Jawa, hutan Sumatera,
hutan Makassar, dan hutan Kalimantan (Bakulapura).
Di daerah lain di Pulau Jawa, antara
750.000 sampai 300.000 tahun yang silam, hidup manusia hewan yang berjalan
tegak seperti manusia. Kulitnya berwarna gelap, tingkah lakunya baik dan lebih
cerdas dibandingkan dengan manusia hewan yang berjalan seperti hewan. Tiap hari
mereka membuat senjata dari bahan tulang dan batu. Mereka selalu diserang oleh
sekelompok manusia hewan yang menyerupai kera. Pertempuran di antara kedua
kelompok itu selalu seru. Akan tetapi, manusia hewan yang berjalan tegak
seperti manusia itu lebih mahir dalam teknik berkelahi, sehingga akhirnya makhluk
manusia hewan yang berjalan seperti hewan itu habis terbunuh tanpa sisa dan
lenyap dari muka burni. Manusia hewan yang berjalan seperti manusia itu,
disebut juga manusia raksasa (bhutapurusa).
Mereka tinggal di dalam goa di lereng gunung.
Manusia jenis ini akhirnya punah karena
sejak 600.000 tahun yang silam mereka banyak dibunuh oleh manusia pendatang
dari benua Utara. Mereka berasal dari Yawana lalu menyebar ke Semenanjung
Malaysia, Sumatera, dan Pulau Jawa. Kira‑kira 250.000 tahun yang silam, manusia
hewan yang berjalan tegak seperti manusia itu habis binasa. Zaman ini oleh para
mahakawi dinamai masa purba yang pertama (prathama purwwayuga).
Sementara itu, antara 500.000 sampai
300.000 tahun yang silam, di Sumatera, Jawa Kulwan (Barat) dan Jawa Tengah,
hidup manusia yaksa (yaksapurusa)
karena rupa mereka seperti yaksa atau danawa. Mereka bertubuh
tegap dan tinggi serta senang meminum darah manusia sesamanya, musuh, ataupun
binatang. Perangainya kejam dan bertabiat seperti binatang buas. Makhluk jenis
ini pun akhirnya punah karena banyak terbunuh dalam pertempuran dengan kaum
pendatang baru dari benua Utara.
Seterusnya, antara 300.000 sampai 50.000
tahun yang silam, di Jawa Barat dan Jawa Tengah pernah hidup manusia berwujud
setengah yaksa (manusia yaksa mantare).
Kelompok manusia ini belum diketahui asal-usulnya sebab hampir sama rupanya
dengan manusia yaksa yang punah. Akan tetapi bertubuh lebih kecil, berwarna kulit
agak gelap, tidak banyak berbulu, serta susila dan cerdas jika dibandingkan
dengan manusia yaksa yang telah punah. Kelompok inipun akhirnya punah karena
didesak, diburu, dan akhirnya dibinasakan oleh kaum pendatang dari benua Utara.
Periode ini oleh para mahakawi (pujangga besar) disebut masa purba yang kedua (dwitiya purwwayuga).
Selanjutnya, pernah pula hidup manusia
kerdil (wamanapurusa)
atau danawa kecil. Mereka itu berwujud yaksa kecil sehingga oleh para mahakawi
dinamakan manusia kerdil. Mereka hidup antara 50.000 sampai 25.000 tahun yang
silam. Mereka tidak cerdas. Senjata dan perabotannya terbuat dari batu, tetapi
buatannya tidak bagus, makhluk jenis inipun akhimya punah. Zaman ini oleh para
mahakawi disebut masa purba pertengahan (madya ning purwwayuga) atau masa purba ketiga
(tritiya purwwayuga).
Kedalam zaman tersebut, termasuk pula
masa hidup jenis manusia kerdil yang bertubuh besar (wamana purusagheng) atau
manusia Jawa‑purba. Mereka menetap di Jawa Tengah dan Jawa Timur antara 40.000 sampai
20.000 tahun yang silam, jumlahnya tidak banyak. Mereka ini pun akhirnya punah
karena bencana alam, saling bunuh di antara sesamanya, dan akhirnya seperti
juga nasib penghuni Pulau Jawa yang lain, dihabisi oleh kaum pendatang dari
benua Utara.
Pendatang dari
Utara
Dalam buku Geografi Kesejarahan II
Indonesia (1984), yang mengacu kepada hasil penelitian para ahli, Daldjoeni
mengemukakan pendapatnya tentang asal‑usul ras Melayu, antara lain:
Di
Hindia belakang ada dua pusat persebaran bangsa. Dari daerah Yunnan di Cina
Selatan, berangkatlah suku‑suku yang tergolong Proto Melayu Tua dan dari
dataran Dongson di Vietnam Utara (Daldjoeni, 1984:1).
Yunnan, yang disebut-sebut sebagai
daerah asal kelompok Melayu Tua di Cina Selatan, dijelaskan pula oleh Ales
Bebler, antara lain:
Merupakan
dataran tinggi kering dengan ketinggian rata‑rata 1000 meter di atas permukaan
laut. Alamnya tertutup oleh rerumputan, pepohonan yang rendah dan semak
belukar. Wilayahnya terbelah‑belah oleh jurang-jurang yang cukup dalam sehingga
membatasi gerak penduduknya dalam mengusahakan pangan. Mata pencaharian mereka
aslinya berburu dan mengumpulkan buah‑buahan. Dalam perkembangan selanjutnya
mereka beralih ke usaha peternakan dan pengolahan tanah secara primitif.
Peta Yunnan, Cina Selatan. |
Pada naskah Pustaka Rajayarajya i Bhunri
Nusantara parwa I sarga 1, dikemukakan peristiwa sebagai berikut:
Perpindahan
(panigit)
manusia pendatang dari benua Utara: Yawana, Campa, Syangka, dan dari
daerah-daerah sebelah tirnur Gaudi (Benggala) menyebar ke Ujung Mendini
(Semenanjung Malaysia), Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Kutalingga, Gowa, Makassar,
dan pulau‑pulau lain di sebelah belahan Timur Nusantara, termasuk Nusa Bali.
Mereka tiba di Nusantara kira‑kira 20.000 tahun sebelum tarikh Saka.
Manusia yaksa kerdil (wamana purusa), sebagai
pribumi, berperangai buas dan kejam seperti hewan. Oleh sebab itu, mereka
diperangi dan dikalahkan oleh para pendatang baru.
Sementara itu, manusia purba yang hidup
antara 25.000 sampal 10.000 tahun yang silam tidak punah sebab mereka berbaur
menjadi satu. Banyak wanita manusia purba itu berjodoh dengan Aria dari kaum
pendatang baru. Kerukunan, kerjasama dan perjodohan di antara kedua belah
pihak, telah menyelamatkan kelompok manusia purba dari bahaya kepunahan.
Adapun, kaum pendatang baru dari benua Utara
tersebut tergolong manusia cerdas. Mereka membuat perkakas dan senjata dari
batu, kayu, tulang, bambu, serta bahan‑bahan lain dengan hasil yang hampir
bagus (meh wagus).
Menurut para mahakawi, masa kedatangan orang‑orang dari benua Utara tersebut,
dinamakan sebagai masa purba keempat (caturtha purwwayuga).
Dari 10.000 tahun sebelum tarikh Saka,
sampai tahun pertama Saka, terjadi perpindahan secara bergelombang, kelompok
pendatang dari benua Utara, yaitu:
1.
antara
10.000 sampai 5.000 tahun sebelum tarikh Saka;
2.
antara
5.000 sampai 3.000 tahun sebelum tarikh Saka;
3.
antara
3.000 sampai 1.500 tahun sebelum tarikh Saka;
4.
antara
1.500 sampai 1.000 tahun sebelum tarikh Saka;
5.
antara
1000 sampal 600 tahun sebelum tarikh Saka;
6.
antara
600 sampai 300 tahun sebelum tarikh Saka;
7.
antara
300 sampai 200 tahun sebelum tarikh Saka;
8.
antara
200 sampal 100 tahun sebelum tarikh Saka;
9.
antara
100 sampai awal tarikh Saka.
Pada
masa itu disebut sebagai masa purba kelima (pancama purwwayuga).
Aki Tirem Sang Aki
Luhur Mulya
Orang‑orang yang datang berturut‑turut
dari berbagai daerah itu masing-masing ada pemimpinnya. Di antara keturunannya
ada yang saling berperang, lalu mereka yang telah lebih dahulu datang dan telah
lama menetap dikalahkan oleh kaum pendatang baru. Akan tetapi, ada juga yang
saling mengasihi dan saling membantu karena mereka mempunyai tujuan yang sama.
Semakin lama, penduduk ini semakin
meresap dan menyebar ke berbagai daerah di Nusantara. Adapun yang menyebabkan
kaum pendatang itu sangat senang dan tinggal di sini (Nusantara) adalah:
1.
pulau‑pulau
di bumi Nusantara ini subur tanahnya;
2.
subur
tumbuh‑tumbuhannya;
3.
kehidupan
penduduknya bahagia;
4.
serbaneka
rempah‑rempah ada di sini; dan
5.
menjadikan
kehidupan penduduk makmur sejahtera.
Adapun pakaian yang dikenakan pribumi di
sini berupa cawat kayu, daun-daunan, atau rumput. Mereka selalu membawa tombak,
gada, busur, dan panah, serta berbagai jenis senjata lainnya. Mereka tinggal di
hutan, ada yang hidup berkelompok, ada juga yang selalu bersembunyi, ada yang
memisahkan diri, ada pula yang bersama keluarganya di lereng bukit.
Tiap kelompok yang hidup di salah satu
kampung, dipimpin oleh seorang Panghulu sebagai penguasa kampung. Rumah Sang
Panghulu, selalu dijadikan sebagai tempat bermusyawarah. Rumah sang pemimpin
ini, terhitung besar dan berpanggung (berkolong), sedangkan beberapa keluarga
penduduk tinggal bersama dalam satu rumah di bawah pimpinan seorang kepala
rumah tangga yang sudah cukup berumur dan terpandang. Demikian pula halnya
dengan Sang Panghulu, ia adalah orang yang sangat berwibawa. Di Jawa Kulwan
(Barat) ada beberapa panghulu pribumi semacam itu. Demikian pula di Jawa Tengah
dan Jawa Timur, dan pulau‑pulau lain di Nusantara. Keadaan itu terjadi sebelum
awal tarikh Saka.
Mereka datang di Nusantara dengan
menumpang perahu dari kayu besar berbentuk rakit (getek), tetapi ada juga yang
memakai perahu dari betung besar atau kayu hutan. Di atas rakit itu didirikan
rumah dengan atap rumput. Mereka bertolak dari daerah asalnya, dan siang malam
mereka berperahu dari hilir sungai ke arah Selatan, menuju lautan. Akan tetapi,
ada juga yang tempat tinggal asalnya di tepi laut. Mereka berlayar ke beberapa
pulau, sampai akhirnya mereka itu tiba di Pulau Jawa. Banyak di antara perahu‑perahu
itu hancur di tengah laut, karena dihantam ombak atau terseret angin besar,
sehingga perahunya terlunta‑lunta dan terpisah dari kelompok perahu lainnya.
Adapun yang menyebabkan pengungsian
besar (panigit agheng)
itu, adalah:
1.
tempat
asalnya selalu kekeringan;
2.
terjadi
bencana gempa bumi; dan
3.
musim
kemarau yang berkepanjangan.
Akibatnya, mereka menderita kekurangan
makanan, dan terpaksa hidup di hutan memakan daun-daunan, tumbuhan, tunas, dan
daging hasil buruan. Karena itulah, mereka senantiasa ingin mencari tanah yang
subur di pulau-pulau Nusantara. Satu di antaranya adalah Nusa Jawa.
Setibanya di sini, mereka menetap dan
hidup bersama ibarat satu keluarga. Anak, cucu, dan keluarga, masing‑masing
membuat rumah. Rumah mereka itu berderet; ada yang kecil dan ada yang besar dan
tinggi. Untuk sementara, makanan sehari‑hari adalah daging hasil berburu di
hutan. Lama kelamaan, tempat tinggal mereka itu menjadi kampung (dukuh).
Pakaian sehari‑hari terbuat dari kulit kayu.
Adapun kehidupan penduduk lama dan baru
itu, hampir sama seperti di negeri asal mereka. Makanan sehari-harinya adalah
daging, ikan, buah‑buahan, tunas, daun-daunan, umbi‑umbian, dan rempah‑rempah.
Sang Panghulu yang menjadi pemimpinnya, menguasai berbagai ilmu mantera, selalu
bertapa, melaksanakan sembah‑hiyang, melepaskan rakyatnya dari ancaman bencana
sihir, memberi berkah, memimpin upacara perkawinan dan berdoa, melindungi adat,
serta bertindak adil dan bersikap lemah lembut. Singkatnya, Sang Panghulu yaitu
Sang Datu, siang malam selalu mengharapkan agar rakyatnya hidup sejahtera, dan
kampung tempat tinggal mereka makmur sentosa di bumi ini.
Yang dipuja penduduk waktu itu bermacam‑macarn,
tetapi yang terutama ialah arwah leluhur (hiyang). Mereka memohon kepada arwah
yang dipujanya dengan doa pujaan lengkap, dengan tata upacara dan sembah‑hiyang
serta sajen. Tujuannya adalah agar terkabul cita‑citanya. Ada yang ingin
terlepas dari kenistaan, bertambah hasil usaha tani atau dagangnya, mengharap
unggul dalam perang atau perkelahian, mengharap terlepas dari penderitaan, lalu
orang yang susah mengharap kesejahteraan dan banyak harta, ada pula pria yang
ingin mendapat isteri atau wanita yang rnengharapkan suami. Ada lagi yang
mengharapkan kegagahan, mengalahkan musuhnya, mengharapkan berumur panjang,
serta terluput dari bahaya dan macam‑macam harapan lagi.
Serbaneka pemujaan mereka adalah api,
gunung, arwah leluhur, batu, pohon besar, kayu, darah, sungai, matahari, bulan
dan bintang. Ada pemuja roh yang bersemayam di puncak gunung, karena menganggap
roh penguasa isi gunung di seluruh dunia. Ada pula yang memuja pohon rimbun.
Ada beberapa keluarga yang memasuki
hutan dengan membawa harta bendanya, lalu menetap di sana. Mereka berburu
hewan, lalu kulitnya dijadikan bahan pakaian, sedang dagingnya dijadikan bahan
makanan. Pakaian kulit itu ada yang diberi lukisan menurut kehendak
masing-masing, sedangkan batu‑batuan dan tulang, dijadikan perhiasan untuk anak
isterinya dan berbagai macam perkakas.
Akan tetapi, pendatang baru makin lama
makin banyak, sehingga orang pribumi terdesak dan hidup terlunta‑lunta memasuki
hutan dan pegunungan. Terjadilah pengungsian besar‑besaran, karena kaum pendatang
itu senantiasa memberikan kesusahan, kesengsaraan, dan kenistaan bagi orang
pribumi, seolah mereka itu hamba sahaya bagi kaum pendatang baru. Kaum pribumi,
merasa terhina dan sangat takut, karena siapapun di antara mereka yang berani
melawan, akan ditangkap dan dibunuh. Kaum pribumi itu selalu kalah, karena
mereka bodoh dan dalam segala hal terbelakang.
Sebaliknya, kaum pendatang baru memiliki
berbagai ilmu pengetahuan, yaitu membuat panah dan perkakas dari besi, telah
mengenal emas, perak, manik, permata, menguasai ilmu pembuatan busur dan panah
(wedastra), dan
ilmu memanah (dhanurweda),
serta membuat aneka obat‑obatan, dan perahu dengan baik. Mereka telah menanam
padi untuk keperluan makan sehari‑hari, mengetahui ilmu perbintangan (panaksastra), membuat
pakaian dan perhiasan yang indah dan bagus karena dihiasi ukiran, serta membuat
wayang dari kulit diukir. Mereka pun telah mampu mendirikan rumah besar untuk
keluarga, membuat api dengan batu api dan besi, serta membuat tabuh‑tabuhan
untuk mengiringi tari.
Di samping itu, mereka telah menyusun
peraturan tentang kampung dan uang, serta memiliki pengetahuan tentang gerhana,
gempa bumi, ukuran, makanan, hari, tumbuhan, musim hujan, musim kemarau, ilmu
tentang hutan, tentang hewan, tentang tanah, tentang gunung, tentang ucapan,
lalu ilmu tentang rempah‑rempah, hutan dan gunung, ekonomi (swataning janapada) dan
sebagainya.
Kaum pendatang dari negeri Yawana dan
Syangka, yang termasuk kedalam kelompok manusia purba‑tengahan (janna puruwwamadya), tiba
kira-kira tahun 1.600 sebelum tarikh Saka. Kaum pendatang baru yang tiba di
Pulau Jawa antara tahun 300 sampal 100 sebelum tarikh Saka, telah memiliki ilmu
yang tinggi (widyanipuna).
Mereka telah mengetahui cara memperdagangkan beraneka barang. Kaum pendatang
kelompok ini, menyebar ke pulau‑pulau di Nusantara.
Zaman ini, oleh para mahakawi disebut
zaman Besi (wesiyuga),
karena mereka telah mampu membuat berbagai macam barang dan senjata dari besi,
serta telah mengenal penggunaan emas dan perak. Mereka merasuk ke desa‑desa
yang dikunjunginya, seolah‑olah Pulau Jawa dan pulau‑pulau di Nusantara ini
kepunyaan mereka semuanya. Pribumi yang tidak mau menurut atau menghalangi,
segera dikalahkan, sehingga bukan saja maksudnya tidak berkesampaian, mereka
pun harus menjadi bawahan yang tunduk kepada yang berkuasa.
…/
hana pwa sang panghulu athawa pangamasa mandala pasisir Jawa kulwan / bang
kulwan ika prarrucnaran aki tirem athawa sang aki luhunnulya ngaranira waneh //
Terjemahannya:
Adapun,
panghulu atau penguasa wilayah pesisir Barat Jawa Barat sebelah Barat, namanya
Aki Tirem atau Sang Aki Luhur Mulya nama lainnya.
Selanjutnya, dalam naskah tersebut
dikemukakan, tentang silsilah (asal-usul) leluhur Aki Tirem Sang Aki Luhur
Mulya:
Adapun
Sang Aki Tirem, putera Ki Srengga namanya.
Ki
Srengga putera Nyai Sariti Warawiri namanya.
Nyai
Sariti puteri Sang Aki Bajulpakel namanya.
Sang
Aki Bajulpakel, putera Aki Dungkul namanya dari Swarnabhumi (Sumatera) sebelah
Selatan, kemudian berdiam di Jawa Barat sebelah Barat.
Selanjutnya
Aki Dungkul, putera Ki Pawang Sawer namanya, berdiam di Swarnabhumi (Sumatera)
sebelah Selatan.
Ki
Pawang Sawer, putera Datuk Pawang Marga namanya, berdiam di Swarnabhumi
(Sumatera) sebelah Selatan.
Datuk
Pawang Marga, putera Ki Bagang namanya berdiam di Swarnabhumi (Sumatera)
sebelah Utara.
Ki
Bagang, putera Datuk Waling namanva, yang berdiam di pulau Hujung Mendini.
Datuk
Waling putera Datuk Banda namanya, ia berdiam di dukuh di tepi sungai.
Datuk
Banda putera Nesan namanya, berdiam di wilayah Langkasuka.
Sedangkan
nenek moyangnya dari negeri Yawana sebelah Barat.
Jika mencermati The Hammond Atlas (terbitan
Time, 1980, USA), di wilayah Provinsi Yunnan, terdapat sebuah kota kecil Yu‑wan, yang terletak di tepi sungal
Yuan‑Mouw. Yu‑wan dalam bahasa Cina, ada kemiripan dengan Ya‑wa‑na, yang terdapat dalam naskah Pustaka Wangsakerta. Oleh
karena itu, kota Yu‑wan, diduga kuat merupakan tanah leluhur Aki Tirem Sang Aki
Luhur Mulya.
Sedangkan Yunnan sendiri, menurut para ahli,
merupakan lembah bagian hulu sungai Yang Tze Kiang, yang mata airnya berasal
dari pegunungan Himalaya bagian Timur Laut. Di wilayah ini sering terjadi gempa
bumi, yang disebabkan adanya pergeseran lempeng anak benua India, yang bergerak
ke arah Utara dan membentur lempeng Asia. Sehingga membentuk pegunungan Himalaya,
yang membentang dari arah Barat di wilayah Kashmir, ke Timur hingga ke wilayah
perbatasan China, India dan Burma (Myanmar).
Adanya benturan dua lempeng tersebut,
menimbulkan gempa tektonik, di sekitar wilayah bagian Utara dan bagian Timur Laut
pegunungan Himalaya. Bencana lain yang sering terjadi di wilayah ini, adalah
banjir bandang (mendadak) yang sangat besar. Penyebabnya, akibat pencairan es;
di puncak Himalaya pada saat musim semi.
Surga di Muka Bumi
Bertambah lama, orang yang datang baru,
bertambah banyak. Dengan demikian orang pribumi terkucilkan, berkeliaran tanpa
tujuan. Mengembara di hutan dan gunung‑gunung, bertambah banyaklah yang jadi
pengungsi. Karena orang pendatang baru, senantiasa menyebabkan penderitaan yang
terus‑menerus. Golongan pribumi senantiasa dihinakan.
Kenyataannya, ada di bawah perintah
orang‑orang pendatang baru, terutama karena orang pribumi bertabiat pemalu dan
penakut. Biarpun sering melawan, tetapi mereka dapat ditangkap dan dibunuh.
Orang‑orang pribumi senantiasa kalah, karena bodoh, segalanya terbelakang.
Sedangkan orang pendatang baru memiliki berbagai pengetahuan, ialah membuat
senjata dari besi, berbagai perkakas dari besi, juga emas, perak, manik,
kristal, dan kendaraan. Selanjutnya membuat berbagai senjata dari besi dengan
gelang anak‑panahnya, pengetahuan tentang memanah, juga membuat berbagai obat‑obatan,
begitu pula membuat perahu bagus. Mereka menanam padi, yang dijadikan makanan
sehari‑hari.
Mereka juga telah mempunyai pengetahuan
tentang perbintangan, membuat perlengkapan perang dari besi, membuat pakaian
dan perhiasan yang indah‑indah. Bahkan diberi berbagai lukisan dan diukir pada
besi itu. Wayang, dibuat dari kulit yang diukir. Mereka telah mampu membuat
rumah besar, yang dihuni suami‑isteri dan kerabat laki‑laki dan wanita, membuat
api dengan pemantik (paneker)
dari batu dan besi. Selanjumya, mereka membuat tabuh-tabuhan pengiring orang
menari. Kemudian dibuat kebijakan tentang perilaku yang baik di dusun, perilaku
mengenai alat penukar. Mereka memiliki pengetahuan tentang gerhana, gempa bumi,
pengetahuan tentang ukuran panjang: (1 yojana =100.000 depa), tentang makanan
yang lezat, pengetahuan tentang hari, berbagai tumbuh‑tumbuhan, (musim)
penghujan dan kemarau, pengetahuan tentang laut, pengetahuan tentang berbagai
binatang, juga pengetahuan tentang tanah, gunung, dan pengetahuan tentang tutur
kata.
Selanjutnya, mereka memiliki pengetahuan
tentang rempah‑rempah, pengetahuan tentang hutan dan gunung, kesejahteraan
warga masyarakat dan sebagainya. Bahkan, pendatang baru yang belakangan dari
negeri Yawana, negeri Syangka, negeri Campa, Saimwang serta negeri Bharata
(India) sebelah Selatan, sangatlah pandai berbagai pengetahuan, yaitu manusia
yang mahir ilmu pengetahuan, dikatakan oleh pribumi. Sedangkan pribumi di situ,
ialah orang‑orang pendatang yang telah lama membuat perkakas dari batu, kayu
dan tulang. Pakaian mereka dari serat kulit kayu, karena itu mereka disebut
manusia purba‑pertengahan oleh mahakawi (pujangga besar) dalam tulisan mereka.
Dikatakannya, bahwa orang‑orang
pendatang baru dari negeri Yawana dan negeri Syangka, termasuk manusia‑purba
pertengahan, kira‑kira seribu enam ratus tahun sebelum permulaan tahun Saka.
Ada juga pendatang baru yang tiba di Pulau Jawa, di antara tiga ratus tahun dan
seratus tahun sebelum permulaan tahun Saka yang pertama. Mereka telah mahir
dalam pengetahuan, sudah tahu mengenai hasil dari jasa dan perdagangan segala
perlengkapan.
Pendatang ini menyebar ke pulau-pulau di
bumi Nusantara. Demikianlah uraian mahakawi (pujangga
besar), pada waktu itu disebut zaman besi. Itulah sebabnya mereka membuat
berbagai perlengkapan perang, anak panah dan sebagainya dari besi, emas, dan
perak. Mereka lebih pandai berbagai pengetahuannya. Oleh karena itu, mereka
kemudian menyerang desa-desa yang didatangi, akibatnya Pulau Jawa dan pulau‑pulau
di Nusantara menjadi milik mereka seluruhnya. Barang siapa yang tidak tunduk
segera dibinasakan. Apabila bermaksud menyerang dan memeranginya, secepatnya
dibinasakanlah mereka itu kemudian, maka maksud mereka tidak terlaksana, serta
menyebabkan mereka menjadi manusia yang hina, sebagai pelayan orang yang
berkuasa.
Begitu pula di antara seratus tahun
pertama sebelum tahun Saka, hingga pertama tahun Saka, orang pendatang dari
beberapa negara yang terletak di sebelah Timur negeri Bharata (India). Oleh
karena itu zaman besi disebut juga manusia pada zaman purba.
Pada awal tarikh Saka, datang
orang-orang dari Barat, yaitu dari negeri Syangka (Sri Langka), Sayiwahana, dan
Benggala di bumi Bharatawarsya (India). Mereka tiba di Pulau Jawa dengan
perahu. Mula-mula, mereka menuju ke Jawa Timur, lalu ke Jawa Barat, karena
kegiatan perdagangan dengan penduduknya. Pribumi di sini, asal-usulnya juga
orang‑orang pendatang dari kawasan benua Utara, yang leluhurnya tiba di Pulau
Jawa beberapa ratus tahun lebih dahulu.
Barang-barang yang dibawa oleh para
pendatang baru ini, di antaranya: bahan pakaian, perhiasan berupa ratna, emas,
perak, permata, mustika, obat‑obatan, bahan‑bahan makanan, serta perabot
kebutuhan rumah tangga. Adapun bahan‑bahan yang dibelinya di sini, yaitu rempah‑rempah
serta hasil bumi seperti beras dan sayuran.
Di antara mereka ada yang terus menetap
di sini, menjadi penduduk Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Bali.
Demikian pula di Sumatera, dan di pulau‑pulau lain di Bumi Nusantara, yang
disebut juga Dwipantara. Karena penduduk Pulau Jawa telah
menguasai berbagai ilmu, mereka sangat menghargainya, tidak bermusuhan, dan
kaum pendatang diterima sebagai tamu dengan penuh rasa kasih dan rasa
persaudaraan.
Kehidupan penduduk di sini makmur.
Mereka menamakan pulau‑pulau di bumi Dwipantara ini, terutama Pulau Jawa,
laksana surga di muka bumi (samyasanya
swargaloka haneng prethiwitala). Oleh karena itu, mereka selalu
merasa bahagia hidupnya. Demikianlah keadaan mereka itu selama tinggal di sini.
Banyak di antara mereka yang memperisteri gadis di sini, kemudian beranak
pinak. Mereka mengetahui bahwa Pulau Jawa subur tanahnya, subur tumbuh‑tumbuhannya.
Oleh karena itu, beberapa tahun kemudian, datanglah orang-orang dari
Langkasuka, Saimwang, dan Ujung Mendini ke Jawa Kulwan (Barat) dan bumi
Sumatera dengan perahu. Lalu mereka menetap di situ, karena berjodoh dengan
putri penduduk. Selanjutnya mereka tidak kembali ke negeri asalnya. Kemudian
mereka masing‑masing mendirikan rumah besar untuk tinggal keluarganya. Kolong
rumah itu, digunakan untuk kandang tempat hewan peliharaan mereka.
Mereka bergabung untuk bergotong royong
(samakarya),
membangun rumah dan menebang pohon di hutan. Ikut pula bergabung ahli pembuat
rumah (hundagi) dan
pandai besi.
Para pendatang dari India itu, ada yang
mengajarkan agama yang dianutnya dan menyiarkan kepada penduduk di desa‑desa.
Mereka mengajarkan pujaan yang disebut Dewa Iswara, yaitu Dewa Brahma, Dewa
Wisnu, dan Dewa Siwa yang disebut Trimurtiswara. Juga masih
banyak Dewa lain yang dipujanya selain itu. Walaupun demikian, mereka tidak
saling bertentangan dalam menyebarkan agamanya, karena mereka berhasil
menemukan cara yang tepat.
Penduduk di sini keturunan kaum
pendatang juga. Sejak dahulu, mereka memuja roh, bulan, matahari, dan sebagainya.
Singkatnya, mereka itu memuja roh (pitarapuja). Kaum pendatang baru dari India Selatan itu,
telah rnenguasai berbagai ilmu, karena mereka telah mempelajarinya di negeri
asalnya. Mereka tidak menghalangi pemujaan yang dianut penduduk di sini. Hanya
nama pujaannya yang diganti, disesuaikan dengan adat penduduk di sini.
Dengan cara demikian, mereka tidak
menemukan kesulitan untuk mempelajarinya. Demikianlah, pemujaan api disamakan
dengan pemujaan Dewa Agni, pemujaan matahari disamakan dengan Dewa Aditya atau
Dewa Surya, dan seterusnya. Adapun pemujaan roh besar, disamakan dengan
pemujaan Hyang Wisnu, Hyang Siwa, dan Hyang Brahma yang disebut pemujaan tiga
dewa atau trimurti. Tak lama kemudian, banyaklah penduduk di sini yang memeluk
agama baru itu.
Sementara itu, banyak di antara para
pendatang yang menikahi puteri para Penghulu penduduk desa. Kelak, anaknya akan
menggantikan kedudukan kakeknya. Oleh karena itu, desa‑desa di Pulau Jawa makin
lama makin dikuasai oleh keturunan kaum pendatang. Demikian pula penduduk dan
kekayaannya. Segera pula penduduk menjadi tidak berdaya. Panghulu desa itu
telah dijunjungnya menjadi sang penguasa. Putera pendatang baru atau cucu Sang
Panghulu, menjadikan semua tanah sebagai miliknya atau berada di bawah
kekuasannya.
Sementara itu, keadaan desa-desa tetap
makmur dan hasil pertanian melimpah, karena Pulau Jawa subur tanahnya.
Demikianlah pula pulau‑pulau lain di Dwipantara. Oleh karena itu, antara tahun
80 sampai 320 Saka, sangat banyak perahu yang datang dari berbagai negeri ke
Pulau Jawa, di antaranya dari negeri India, China, Benggala, dan Campa. Banyak
di antara mereka itu, yang membawa anak‑isteri beserta sanak keluarganya, lalu
menetap di Pulau Jawa dan pulau‑pulau lain di Nusantara dan menjadi penduduk di
situ.
Ada yang datang membawa perahu besar,
ada yang datang beserta pendeta agama Wisnu dan agama lainnya. Setiba di sini,
mereka lalu mengajarkan agama mereka kepada penduduk desa. Kemudian mereka pun
tinggal di situ. Adapun pendeta agama Siwa, datang dari Jawa Timur dan Jawa
Tengah, mengajarkan agama mereka kepada para panghulu dan pemuka masyarakat di
sana.
Dewawarman
Berdasarkan naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa
I sarga 1, oleh Pangeran Wangsakerta, diriwayatkan sebagai berikut:
/jwah
tambaya ping prathama sa kawarsa riking wus akweh wwang bharata nagari tekan
jaruadwipa mwang nusantara i bhumi nusantara// denira pramanaran dwipantara
nung wreddhi prethiwi// pantara ning sinarung teka n jawadwipa/ hana n upakriya
wikriya/ hansing mawarah marahaken sanghyang agama/ hanasing luputaken sakeng
bhaya kaparajaya/ ya thabhuten nagarinira/ mwang moghangde nikang agong panigit
ring nusa‑nusa i bhumi nusantara//a
Terjemahanannya:
Kelak,
mulai awal pertama tahun Saka di sini telah banyak orang‑orang negeri Bharata
(India) tiba di Pulau Jawa dan pulau‑pulau di bumi Nusantara. Karena Nusantara
terkenal sebagai tanah yang gembur. Di antara mereka, yang tiba di Pulau Jawa,
ada yang berdagang dan mengusahakan pelayanan, ada yang mengajarkan Sanghyang
Agama (ajaran agama), ada yang menghindarkan diri dari bahaya yang akan
membinasakan dirinya, seperti yang telah terjadi di negeri asalnya, yang
menyebabkan mengungsi ke pulau-pulau di bumi Nusantara.
Karena
mereka semua mengharapkan kesejahteraan hidupnya bersama anak isterinya.
Terutama para pendatang, banyak yang berasal dari wangsa Salankayana dan wangsa
Pallawa di bumi negeri Bharata (India). Dua wangsa inilah, yang sangat banyak
berdatangan di sini, dengan menaiki beberapa puluh buah perahu besar‑kecil.
Yang dipimpin oleh Sang Dewawarman, tiba mula-mula di Jawa Kulwan (Barat), maka
mereka bertujuan yaitu untuk berdagang dan mengusahakan pelayanan.
Mereka
senantiasa datang di sini, dan mereka kembali membawa rempah-rempah ke
negerinya. Di sini, Sang Dewawarman telah bersahabat dengan warga masyarakat di
pesisir Jawa Kulwan (Barat), Pulau Api dan Pulau Sumatera sebelah Selatan,
terutama Sang Dewawarman sebagai duta dari wangsa Pallawa.
Permulaan
pertama tahun Saka, di pulau‑pulau Nusantara, telah banyak golongan warga
masyarakat, yang menjadi pribumi tiap dusun. Di antaranya ada yang bermusuhan,
ada juga yang berkasih‑kasihan berbimbingan tangan. Dukuh itu ada yang besar,
ada yang kecil. Dukuh besar ada di tepi laut, atau tidak jauh dari muara
sungai. Bukankah selalu berdatangan orang lain atau wilayah lain. Terutama
pedagang dari negeri Bharata (India), negeri Singhala, negeri Gaudi, negeri
Cina dan sebagainya.
Ramailah
kemudian dukuh‑dukuh di tepi laut. Dengan demikian, ramailah perdagangan antara
pulau-pulau di bumi Nusantara dengan negara lain dari benua Utara sebelah Barat
dan Timur. Tetapi, yang banyak datang dari negeri Bharata (India), golongan
pendatang dari negeri Bharata (India) itu dipimpin oleh Sang Dewawarman, tiba
di dukuh pesisir Jawa Kulwan (Barat).
Para
pendatang itu bersahabat dengan penghulu dan warga masyarakat di sini. Adapun
penghulu atau penguasa wilayah pesisir Jawa Kulwan (Barat) sebelah Barat,
namanya terkenal, Aki Tirem atau Sang Aki Luhur Mulya namanya yang lain.
Selanjutnya, puteri Sang Aki Luhur Mulya, namanya terkenal Pwahaci Larasati (Pohaci Larasati), diperisteri oleh Sang
Dewawarman. Dewawarman ini, disebut oleh mahakawi (pujangga besar) sebagai
Dewawarman pertama.
Akhirnya
semua anggota pasukan Dewawarman menikah dengan wanita pribumi. Oleh karena
itu, Dewawarman dan pasukannya, tidak ingin kembali ke negerinya. Mereka
menetap dan menjadi penduduk di situ, lalu beranak pinak.
Beberapa
tahun sebelumnya, Sang Dewawarman menjadi duta keliling negaranya (Pallawa)
untuk negeri‑negeri lain yang bersahabat, seperti kerajaan‑kerajaan di Ujung
Mendini, Bumi Sopala, Yawana, Syangka, China, dan Abasid (Mesopotamia), dengan
tujuan mempererat persahabatan dan berniaga hasil bumi, serta barang-barang
lainnya.
Tatkala
Aki Tirem sakit, sebelum meninggal, ia menyerahkan kekuasaannya kepada sang
menantu. Dewawarman tidak menolak diserahi kekuasaan atas daerah itu, sedangkan
semua penduduk menerimanya dengan senang hati. Demikian pula para pengikut
Dewawarman, karena mereka telah menjadi penduduk di situ, lagi pula banyak di
antara mereka yang telah mempunyai anak.
Setelah
Aki Tirem wafat, Sang Dewawarman menggantikannya sebagai penguasa di situ,
dengan nama nobat Prabu Darmalokapala Dewawarman Haji Raksa Gapura Sagara,
sedangkan isterinya, Pohaci Larasati menjadi permaisuri, dengan nama nobat,
Dewi Dwanu Rahayu. Kerajaannya diberi nama Salakanagara
(salaka= perak).
Daerah
kekuasaan Salakanagara, meliputi Jawa Kulwan bagian Barat dan semua pulau di
sebelah Barat Nusa Jawa. Laut di antara Pulau Jawa dengan Sumatera, masuk pula
dalam wilayahnya. Oleh karena itu, daerah-daerah sepanjang pantainya, dijaga
oleh pasukan Sang Dewawarman, sebab jalur ini merupakan gerbang laut. Perahu‑perahu
yang berlayar dari Timur ke Barat dan sebaliknya, harus berhenti dan membayar
upeti kepada Sang Dewawarman. Pelabuhan‑pelabuhan di pesisir barat Jawa Kulwan,
Nusa Mandala (mungkin Pulau Panaitan), Nusa Api (Krakatau), dan pesisir
Sumatera bagian Selatan, dijaga oleh pasukan Dewawarman.
Wangsa
Dewawarman memerintah Kerajaan Salakanagara di bumi Jawa Kulwan, dengan ibukota
Rajatapura (Kota Perak). Kota besar lainnya lagi, Agrabhintapura ada di wilayah
sebelah Selatan. Agrabhintapura, dipimpin oleh raja daerah bernama Sweta
Limansakti, adik Dewawarman. Sedangkan adiknya yang lain, yang bernama Senapati
Bahadura Harigana Jayasakti, diangkat menjadi raja daerah penguasa mandala
Hujung Kulon.
Penerus Tahta
Salakanagara
Dari perkawinannya dengan Pohaci
Larasati, Dewawarman I mempunyai beberapa orang anak. Anak yang tertua, laki‑laki.
Kelak, ia menggantikan kedudukan ayahnva sebagai penguasa di Salakanagara,
dengan nama nobat Prabu Digwijayakasa
Dewawarmanputra. Ia menjadi Dewawarman II yang memerintah dari tahun 90
sampai 117 Saka atau tahun 168 sampai 198 Masehi. Ia menikah dengan puteri
keluarga Raja Singala (Sri Langka).
Dari perkawinan ini lahir seorang
putera, yang kemudian menjadi Dewawarman III dengan gelar Prabhu Singasagara Bimayasawirya. Ia menjadi penguasa Salakanagara
dari tahun 117 sampai 160 Saka (195 ‑ 238 Masehi). Pada masa pemerintahannya,
terjadi serangan bajak laut dari negeri China, yang dapat dihadapinya dan
ditumpasnya. Dewawarman III kemudian mengadakan hubungan (pamitran) dengan maharaja
China dan raja‑raja India. Permaisuri Dewawarman III berasal dari Jawa Tengah.
Puteri tertua yang lahir dari perkawinan
ini bernama Tirta Lengkara. Puteri
sulung ini berjodoh dengan Raja Ujung Kulon bernama Darma Satyanagara. Kelak ia menggantikan mertuanya menjadi penguasa
Salakanagara sebagai Dewawarman IV, yang memerintah dari tahun 160 sampai 174
Saka (238 - 252 Masehi). Dari perkawinan ini, lahir puteri sulung bernama Mahisasuramardini Warmandewi. Bersama
suaminya yang bernama Darmasatyajaya
sebagai Dewawarman V, ia memerintah selama 24 tahun (174‑198 Saka). Ketika
Dewawarman V yang merangkap sebagai Senapati Sarwajala (panglima angkatan laut)
gugur waktu perang menghadapi bajak laut, sang rani, Mahisasuramardini
melanjutkan pemerintahannya seorang diri sampai tahun 211 Saka (289 Masehi).
Penguasa Salakanagara berikutnya adalah Ganayanadewa Linggabumi, putera sulung
Dewawarman V atau Sang Mokteng Samudra (yang mendiang di lautan). Prabu
Ganayana menjadi penguasa Salakanagara sebagai Dewawarman VI selama 19 tahun,
dari tahun 211 sarnpai 230 Saka (289 - 308 Masehi). Dari perkawinannya dengan
puteri India, ia mempunyai tiga putera dan tiga puteri.
Putera sulungnya yang kemudian menjadi
Dewawarman VII, memerintah Salakanagara tahun 230 sampai 262 Saka (308‑340
Masehi), bergelar Prabu Bima Digwijaya
Satyaganapati. Yang kedua, seorang puteri yang bernama Salaka Kancana Warmandewi, yang menikah dengan menteri Kerajaan Gaudi
(Benggala) di India bagian Timur. Puteri yang ketiga bernama Kartika Candra Warmandewi. Ia menikah
dengan seorang raja muda dari negeri Yawana. Yang keempat, laki-laki bemama Gopala Jayengrana. Ia menjadi seorang
menteri Kerajaan Calankayana India. Yang kelima, seorang puteri bernama Sri Gandari Lengkaradewi. Suami puteri
ini adalah menteri panglima angkatan laut kerajaan Pallawa di India. Putera
bungsu Dewawarman VII adalah Skadamuka
Dewawarman Jayasastru yang menjadi senapati Salakanagara.
Putera sulung Dewawarman VII bernama Sphatikarnawa Warmandewi. Kelak bersama
suaminya akan menggantikan ayahnya sebagai penguasa Salakanagara kedelapan.
Dewawarman VII mempunyai hubungan erat dengan kerajaan Bakulapura (Kutai) karena pertalian kerabat permaisurinya.
Kakak sang permaisuri ini menikah dengan penguasa Bakulapura (di Kalimantan)
yang bernama Atwangga putera Sang
Mitrongga. Mereka keturunan wangsa Sungga dari Maganda, yang pergi mengungsi
tatkala negerinya dilanda serangan musuh. Dari puteri ini dengan Atwangga,
lahirlah Kudungga yang kelak
menggantikan ayahnya menjadi penguasa Bakulapura.
Ketika Prabu Bima Digwijaya
Satyaganapati atau Dewawarman VII wafat, tibalah Senapati Krodamaruta dari Calankayana, di Rajatapura (ibukota Salakanagara),
bersama beberapa ratus orang anggota pasukannya, bersenjata lengkap.
Krodamaruta adalah putera Gopala Jayengrana, yaitu putera Dewawarman VI yang
keempat. Yang menjadi menteri di kerajaan Calankayana. Krodamaruta langsung
merebut kekuasaan dan tanpa menghiraukan adat pergantian tahta, ia menobatkan
diri menjadi penguasa Salakanagara.
Ahli waris tahta yang sah, adalah Sphatikarnawa
Warmandewi, puteri sulung Dewawarman VII. Ia belum bersuami, karena kelakuan
Krodamaruta bertentangan dengan adat, sekalipun ia masih cucu Dewawarman VI,
keluarga keraton beserta sebagian penduduk Salakanagara tidak menyenanginya.
Akan tetapi, Krodamaruta tidak lama berkuasa, karena ia tewas tertimpa batu
besar, ketika sedang berburu di hutan. Batu itu berasal dari puncak sebuah
bukit. Akibat peristiwa itu, Krodamaruta hanya 3 bulan menjadi `penguasa'
Salakanagara.
Kemudian, Sphatikarnawa Warmandewi,
puteri sulung Dewawatman VII, dinobatkan menjadi penguasa Salakanagara
menggantikan ayahnya, pada tahun 262 Saka (340 Masehi). Pada tahun 270 Saka,
Sang Rani menikah dengan saudara sepupunya, putera Sri Gandari Lengkaradewi, yaitu puteri Dewawarman VI yang kelima. Ia
bersuamikan panglima angkatan laut Kerajaan Pallawa. Lengkaradewi beserta suami
dan puterinya, datang ke Rajatapura dalam tahun 268 Saka (346 Masehi) sebagai
pengungsi, karena negaranya (Pallawa) telah dikuasai oleh Maharaja Samudragupta dari keluarga Maurya.
Setelah pernikahanmya, Rani
Sphatikarnawa Warmandewi memerintah bersama‑sama suaminya, sebagai Dewawarman
VIII bergelar Prabhu Darmawirya
Dewawarman. Ia memerintah tahun 270 sampai 285 Saka (348‑363 Masehi).
Pada masa pemerintahan Dewawarman VIII,
kehidupan penduduk makmur sentosa. Ia sangat memajukan kehidupan keagamaan. Di
antara penduduk, ada yang memuja Wisnu, namun jumlahnya tidak seberapa. Ada
yang memuja Siwa, ada yang memuja Ganesha, dan ada pula yang memuja Siwa-Wisnu.
Yang terbanyak pemeluknya adalah agama Ganesha atau Ganapati.
Dewawarman VIII mempunyai putera‑puteri
beberapa orang. Yang sulung, seorang puteri bernama Iswari Tunggal Pertiwi Warmandewi atau Dewi Minawati. Yang kedua,
seorang putera bernama Aswawarman. Ia
diangkat anak sejak kecil oleh Sang Kudungga penguasa Bakulapura, kemudian, ia
dijodohkan dengan puteri Sang Kudungga. Yang ketiga, seorang puteri bernama Dewi Indari yang kelak diperisteri oleh
Maharesi Santanu, Raja Indraprahasta
yang pertama. Putera Sang Dewawarman VIII yang lainnya, tinggal di Sumatera dan
menurunkan para raja di sana. Di antara keluarganya, kelak adalah sang Adityawarman. Anggota keluarganya yang
lain, tinggal di Yawana dan Semenanjung. Puteranya yang bungsu menjadi putera
mahkota. Kelak setelah ayahandanya wafat, ia menggantikarmya menjadi penguasa
Salakanagara.
Permaisuri Dewawarman VIII ada dua
orang. Permaisuri yang pertama ialah Rani Sphatikarnawa Warmandewi yang
menurunkan raja-raja di Jawa Kulwan dan Bakulapura. Permaisuri yang kedua,
bernama Candralocana, puteri seorang
brahmana dari Calankayana di India. Ia menurunkan raja-raja di Pulau Sumatera,
Semenanjung, dan Jawa Tengah.
Demikianlah kisah keturunan Dewawarman Darmalokapala yang menjadi
penguasa Salakanagara. Kerajaan ini berdiri sebagai kerajaan bebas, selama 233
tahun (130‑363 Masehi). Dewawarman VIII, dianggap sebagai raja Salakanagara terakhir,
sebab puteranya, Dewawarman IX, sudah menjadi raja bawahan Tarumanagara.
Catatan Para Ahli
Sesungguhnya, berita tentang pernah
adanya sebuah kerajaan tertua di Nusantara, telah dilacak oleh N. J. Krom dalam
buku Het
Hindoe-Tijdperk (1938:121), sebagaimana yang dikutip oleh Atja dan
Edi S. Ekadjati, dalam pendahuluan buku Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara
I.I (1987: 31), antara lain sebagai berikut:
Een naukeurig gedateerd Chineesch
bericht uit 132 n. C, lidjt weer aan onzekerheid van interpretatie. In dat jaar
zond ke koningvan Yet‑two, genaarnd Pien, een gezantschap naar Cina, en kreeg
genoemde kmting Tiarrpien een eergeschenk. In den nanm van het land ia
Yawadwipa, Java‑eiland, herkencl, ruaaruit zou volgen dot op dit oogenblik het
eilaed in kruestie door de Chineezen met em Sanskritnaarn werd genoerrzd; naar
zoo dadelijk zal blijkery inderdacrdzees aannamelijk, dot het in dezen tjid
zijn door de Hindoe's gegeven naccm reeds droeg Ueel zwakker stoat de wedergave
van den koningsnaarn nit den Dewawarnrarz, hetwelk de oudste ons bekende
vorstnaam uit den Archipel zrnl z~n en teams zou veivrijzen, dot het
hindoesiseeringsproces reeds een aanvang had gr?namen, hetzij dan dot een
Hindoe er zich als leaning had neergezet of een Indonesisch vorst dien
Indischen naam had aanvaard.
Untuk lebih dipahami, dikemukakan pula
kutipan terjemahannya, antara lain sebagai berikut:
Suatu berita Tionghoa jang tertanggal
seksama, dari tahun 132 Sesudah Masehi mendjadi samar pula, oleh karena tidak
dapat ditafsirkan dengan pasti. Dalam tahun itu tersebutlah radja Ye‑Tiao jang bernama Pien dan
mengirimkan utusan ke Tiongkok dan radja Tiao‑pien
tersebut memperoleh hadiah kehormatan. Dalam nama tanah itu dapatlah dikenal Yawadwipa (Pulau Djawa), jang mana akan
berarti, bahwa diwaktu itu pula telah disebut pada nama Sanskertanja oleh orang
Tionghoa. Memang mungkin sekali, seperti akan ternjata nanti bahwa pulau itu
pada waktu itu telah memakai nama jang diberikan oleh orang Hindu. Djauh lebih
lemah tafsiran nama radja itu dengan Dewawarman, jang bukan sadja berarti,
bahwa nama radja inilah kiranja jang tertua jang kita kenal di Nusantara,
tetapi djuga akan menerangkan, bahwa proses penghinduan sudah dimulai pada
waktu itu, baik oleh karena seorang Hindu telah datang menetap dan mendjadikan
dirinja radja, maupun seorang radja Nusantara telah mengambil nama Hindu
tersebut (Effendi, 1950:11).
Bahwa Ye‑tiao telah mengirimkan duta ke
Cina pada tahun 132 M, yang disebut di dalam Hou Han‑shu, telah dicatat oleh beberapa orang sarjana. Wolters
(1967: 258) menyebut keterangan dari Pelliot (1904: 266 69), yang menyarankan
bahwa Ye‑tiao adalah sebuah transkripsi yang permulaan tentang "Jawa"
dan kesimpulan dapat ditarik tentang hubungan Cina-Indonesia paling tua pada
abad kedua Masehi. Stein (1974: 13642) mengemukakan alasan untuk percaya, di
dalam hal ini, Ye‑tiao terletak di perbatasan Barat Daya Cina, tetapi
Demieville (1951:336) tidak mempercayainya. Ia menyebut bahwa: "Java' ia also a mainland South
East Asian toponym; it appears in Ram Khamhaeng's incription of 1292 in the
contex of Laos". Sedangkan Fujita Toyohachi berpikir Ye‑tiao
adalah satu bentuk alternatif dari Ssu‑tiao dalam arti Ceylon. Hal ini katanya
tidak mengherankan, jika penguasa Singhala mengirimkan satu perutusan ke Cina
pada tahun 132 M., karena perutusan dari India Utara yang tertua dari tahun 89
M. (Atja & Ekadjati,1987:32).
Sartono Kartodirdjo, mengutip tulisan
NJ. Krom dalam Hindoejavaanscht Geschiedenis (1931),
antara lain sebagai berikut:
Berita lainnya yang juga tidak dapat
dipastikan kebenarannya ialah berita Cina yang berasal dari tahun 132 M. Di
dalam berita itu disebutkan, bahwa raja Ye‑tiao yang bernama Pien, meminjamkan
meterai mas dan pita ungu kerajaannya kepada maharaja Tiao‑pien. Menurut dugaan
Sarjana Perancis G. Ferrand, Ye‑tiao dapat disesuaikan dengan Yawadwipa,
sedangkan Tiao‑pien merupakan lafal Cina dari nama Sanskerta Dewawarman
(Kartodirdjo,1977:3637 )
Untuk lebih jelasnya, D.G.E. Hall, Guru
Besar Emiritus Sejarah Asia Tenggara Universitas London, mengemukakan hal yang
sama, antara lain:
Bahwa laporan orang-orang Cina
berikutnya, tahun 132, mungkin ada artinya dalam hubungan ini, seandainya
interpretasi yang agak kurang pasti dari nama‑nama yang disebut mempunyai
nilai. Disebut upacara penerimaan oleh Kaisar
Han untuk suatu perutusan yang membawa hadiah kehormatan dari seorang raja
Ye-tiao bernama Tiao‑pien. Apakah Ye‑tiao merupakan terjemahan kedalam bahasa
Cina dari istilah Sanskerta, Javadvipa, pulau Jawa, dan apakah nama raja itu
sama dengan Dewawarman dalam bahasa Sanskerta?
Peta Chryse dan Argyre |
Pendapat D. G. E. Hall, dipertegas lagi
oleh Sartono Kartodirdjo, sebagaimana yang dikemukakan dalam buku Sejarah Nasianal Indonesia II,
adalah sebagai berikut:
Dalam buku Geographike, kita bertemu kembali
dengan nama‑nama tempat yang berhubungan dengan logam mulia, yaitu emas dan
perak. Tempat‑tempat tersebut ialah Argyre Chora, yaitu negeri Perak, Chryse
Chora, negeri emas dan Chryse Chersonensos, semenanjung emas. Kitab ini
menyebutkan pula nama tempat Iabadiou, yaitu Pulau Enjelai (Kartodirdjo,1977:
6).
Menggunakan sumber yang sama, pendapat
Yogaswara yang dikutip oleh Halwany Michrob, mengemukakan antara lain sebagai
berikut:
Berita yang paling meyakinkan tentang
hubungan Banten dengan Eropa, India dan Cina adalah dengan ditemukannya peta
yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus.
Peta ini dibuat pada tahun 165 M. Berdasarkan tulisan geograf Starbo (27-14 SM)
dan Plinius (akhir abad pertama Masehi). Dalam peta ini digambarkan tentang
jalur pelayaran dari Eropa ke Cina dengan melalui: India, Vietnam, ujung Utara
Sumatera, kemudian menyusuri pantai Barat Sumatera, Pulau Panaitan, Selat Sunda,
terus melalui Laut Tiongkok Selatan sampai ke Cina (Yogaswara, dalam Michrob
1993: 32).
Bermula dari sebuah berita Cina dari
zaman keluarga (dinasti) Han, memberitakan bahwa "raja Ye‑tiao bernama
Tiao‑pien, mengirimkan utusannya ke Cina dalam tahun 132 Masehi". Ye‑tiao
diduga sama dengan Yawadwipa atau Yabadiu, dan nama Tiao‑pien diduga sama
dengan Dewawarman. Menurut Ayatrohaedi, Tiao
artinya Dewa, dan Pien artinya
Warman.
Sasaran mengarah ke Jawa bagian Barat,
karena berita itu dihubungkan pula dengan tulisan seorang ahli Ilmu Bumi Mesir
bernama Claudius Ptolemeus, dalam bukunya Geographia yang ditulis kira‑kira
tahun 150 M. Ia memberitakan, bahwa di dunia Timur terdapat Iabadiou yang subur
dan banyak menghasilkan emas. Di ujung Barat Iabadio terletak (kota) Argyre.
Iabadiou dapat dicapai setelah melalui 5 pulau Barousai dan 3 pulau Sabadibai.
Bila kedua berita dari Cina dan
Ptolemeus ini digabungkan, dengan sendirinya diduga kuat, bahwa hal tersebut
menyangkut sebuah kerajaan di ujung Barat Pulau Jawa.
Hasan Mu'arif Ambary, pakar arkeologi
Islam Universitas Indonesia, seperti yang dimuat dalam majalah Tempo (2000:
67), menyatakan bahwa pada abad ketiga, Ptolemeus sudah melakukan transaksi
perdagangan di Palembang, dan menyebut kota itu dengan nama Barus, lantaran ia menukar minyak wangi
dan keramik Yunani dengan kapur barus, yang merupakan hasil utama kawasan itu.
Kartografer Eropa pada abad ke‑15‑17
mana pun yang hendak mencari tahu sejarah Nusantata mulanya berangkat dari
keterangan Claudius Ptolemeus (90‑168 Masehi). Ahli matematika dan astronom
dari Alexandria ini adalah orang pertama yang membuat catatan perjalanan ancar-ancar
letak Asia.
Hasan Mu'arif Ambary, pernah melakukan
penggalian di Palembang, dan nyatanya banyak keramik dari Yunani yang bercorak
sama dengan penemuan di India, Cina, dan Persia. Temuan tersebut membuktikan
bahwa sebelum zaman Gold, Glory and Gospel, sudah ada jalur bisnis di Asia.
Rute Ptolemeus adalah Venesia, Iskandaria, Teluk Aden (Yaman), India, Barus,
Cina, dan kembali ke Venesia. Temuan selanjutnya, berupa benda-benda keramik
dari masa Dinasti Han, terdapat di Jawa Barat (Krom, terjemahan Effendi,1956:10).
Tepatnya di pesisir pantai utara Banten (Lombard, 1996:15).
Berdasarkan temuan tersebut di atas,
dapat diduga, bahwa Claudius Ptolemeus yang menempatkan Iabadiou dan Argyre
dalam kartografnya, tentu dilakukan berdasarkan catatan pemetaan yang cermat.
Bahkan, Sartono Kartodirdjo, menduga
Argyre yang dimaksud oleh Claudius Ptolemeus, dalam bukunya Geographia Hyphegesis, yang berarti perak, adalah "terjemahan"
dari Merak, yang memang terletak di
sebelah Barat Pulau Jawa (Kartodirdjo,1977: 36).
Ayatrohaedi dan Edi S. Ekadjati dalam
acara bedah naskah Sejarah Banten (18 Maret 2001 di Puri Salakanagara
Pandeglang), sebagai Dewan Pakar menyimpulkan, bahwa Salakanagara memang pernah
ada di pesisir Barat Pandeglang dan merupakan kerajaan tertua di Nusantara.
(bagian 2 dari 4)
Sumber:
Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Tatar
Sunda, Kumpulan Tulisan Pangeran Wangsakerta.
***
MAKASIH KANG... JADI GENERASI PENERUS TIDAK AKAN SALAH akan Kebenaran Fakta Sejarah yang disirikan dan Sengaja dibengkokkan untuk kepentingan..
BalasHapusTERIMA KASIH