Merupakan
bagian terakhir dari: Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Tatar Sunda, Kumpulan
Tulisan Pangeran Wangsakerta.
BAGIAN
4
MENELUSURI
PULASARI
MELACAK
RAJATAPURA
Sentuhan
Hinduisme
Saleh Danasasmita berpendapat tentang
Hinduisme, dalam buku Rintisan
Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat jilid 1(1984), antara lain sebagai
berikut:
Poerbatjaraka
dalam desertasinya Agastya
in den Archipel (1921)
mengemukakan, bahwa lakon wayang yang mengisahkan kepergian Bambang Kumbayana
dari negeri Atas‑angin ke Nusa Jawa sebenarnya berkaitan dengan masa awal
sentuhan budaya Hindu di Nusantara. Menurut legenda yang dikenal di India
Selatan dan di Bali, penyebaran agama Hindu di daerah‑daerah seberang (di luar
India) dilakukan oleh Maharesi Agastya
alias Resi Kumbayana. Tangan kiri sosok wayang Kumbayana yang kaku itu adalah
tiruan dari tangan kiri patung Agastya yang selalu menating kendi tempat air
suci. Begitu pula halnya bentuk janggut wayang Kumbayana yang lancip, meniru
bentuk janggut patung Agastya. Pada wayang Kumbayana, kendi itu dihilangkan,
untuk keleluasaan gerak (Dana sasmita,1984:29).
Tentang adanya sentuhan Hinduisme di
Provinsi Banten, Claude Guillot membahas pernah ditemukannya arca‑arca di
kawasan Gunung Pulasari Pandeglang, melalui pemberitaan Brumund dan Van Hoevel,
antara lain sebagai berikut:
Sesungguhnya,
pada paro pertama abad ke‑19, dua pakar yang terkenal, Brumund dan Van Hoevell,
menyebut arca‑arca lama yang menghiasi taman asisten residen di Caringin. Arca itu, yang menggambarkan
Brahma, Siwa, Agastya, Durga dan Ganesha, beberapa tahun kemudian diangkut ke
Museum Bataviaasch Genootschap, yang waktu itu masih bertempat di anjung
sositet Harmonie, dan sekarang berada di Museum Nasional Jakarta. Beberapa
puluh tahun kemudian, asisten residen Caringin itu dalam suratnya kepada
Bataviaasch Genootschap, memberitahukan "bahwa beberapa arca pernah
ditemukan di Cipanas di dekat kawah yang sudah mati; semuanya dikirim ke
Batavia, kecuali satu, yang karena terlalu berat ditinggalkan di tepi Sungai
Labuan dan sekarang masih ada di sana. Lagi pula orang-orang Cina tidak mau
mengangkutnya ke Batavia, karena yakin bahwa barang siapa berani melakukannya
pasti mendapat bencana di laut". Beberapa bulan kemudian arca itu,
ternyata sebuah yoni, diangkut ke museum pula, sekalipun orang Cina
berkeberatan, dan didaftarkan dengan nomor 361
(Guillot,1996:101).
Boleh jadi, apa yang dikemukakan oleh
Poerbatjaraka, ada keterkaitan dengan hasil temuan arca-arca di Gunung
Pulasari, sebagaimana yang dikemukakan oleh Brumund dan Van Hoevell. Pemujaan
terhadap Agastya, adalah merupakan sekte lainnya dalam agama Hindu. Bila dikaji
lebih dalam, kemungkinan besar kedua pemikiran tersebut, bisa dijadikan acuan
bagi penelitian Salakanagara.
Selanjutnya R Friederich pada tahun 1850
mengemukakan pendapatnya, tentang proses Hinduisasi sebuah `kerajaan' di
pesisir Selat Sunda, antara lain sebagai berikut:
Lebih
jauh lagi bolehlah kami ajukan hipotesis, bahwa pada masa hutan rimba
pegunungan Sunda dihuni orang-orang biadab yang mirip kera (ingatlah dongeng Raja Lutung Kasarung yang diringkaskan
oleh Raffles), maka sejumlah pendatang Hindu menetap di pantai‑pantai Sunda
yang elok, dan mendirikan sebuah kerajaan yang makmur berkat perdagangan di
Selat Sunda
(Friederich, 1850, dalam Guillot, 1996:104).
Sayangnya, Friederich terlalu memaksakan
temuan Manusia Purba dengan mitos Sunda cerita Lutung Kasarung. Kedua-duanya,
ada di wilayah disiplin ilmu yang berbeda.
Halwany Michrob, telah mengidentifikasi
wilayah pesisir Barat Tatar Sunda. Dalam buku Catatan
Masalalu Banten (1993),
mengemukakan pendapatnya, antara lain sebagai berikut:
Pulau
Panaitan
merupakan pulau yang langsung berhubungan dengan Selat Sunda yang bersama Pulau Peucang, luasnya sekitar 17.500
Ha termasuk kawasan pelestarian/suaka alam Taman Nasional Ujung Kulon.
Penelitian geologi di Pulau Panaitan, menunjukkan bahwa pulau ini telah ada
sejak ± 26 juta tahun lalu, apabila dilihat dari umur batuan yang paling tua.
Pada berbagai singkapan, tampak bahwa pulau ini tersusun dari jenis‑jenis
batuan andezite, tuffa, gamping dan yang termuda batuan aluvial (Michrob,1993:33).
Pada materi yang sama, Anwas Adiwilaga
mengemukakan pendapatnya, kemudian dibahas oleh Yogaswara, antara lain sebagai
berikut:
Di
Pulau Panaitan pada kira‑kira tahun 130 M pernah berdiri satu kerajaan yang
merupakan kerajaan tertua di Jawa Barat Kerajaan ini bernama Salakanagara (Negeri Perak) dengan pusatnya di kota Rajatapura, yang terletak di pesisir
Barat Pandeglang. Raja pertamanya bernarna Dewawarman I (130 ‑168 M). Daerah
kekuasannya meliputi: Kerajaan Agrabinta
(di Pulau Panaitan), Kerajaan Agnynusa
(di Pulau Krakatau), dan daerah ujung Selatan Surnatera. Dengan demikian,
seluruh Selat Sunda dapat dikuasai Dewawarman I ini, sehingga ia digelari Aji Raksa Gapurasagara (Raja Penguasa
Gerbang Lautan)
(Yogaswara, dalam Michrob,1993:33).
Selanjutnya, Anwas Adiwilaga menduga
Rajatapura berada di Pulau Panaitan (Pandeglang) (Yogaswara, 1978:38), dengan
ditemukannya patung Ganesha dan patung Siwa dengan tanda ardachandra (bulan sabit) di dahinya, di Pulau Panaitan. Padahal
keberadaan patung‑patung itu tidak menolong keadaan, karena ada yang menduga
bahwa patung‑patung itu berasal dari abad ke‑7 Masehi (Danasasrnita, 1984:3334). Bahkan dalam hasil penelitian lainnya, dua arca tersebut diperkirakan
berasal dari abad ke‑14 atau ke‑15 Masehi (Vorderman,1894 dalam Guillot,1996:106).
Menelusuri
Pulasari
Sering disebut‑sebutnya Gunung Pulasari
(Pandeglang) dalam berbagai wacana penelitian sejarah, baik dalam naskah babad
maupun hasil kajian para ahli, mengisyaratkan, bahwa peran Gunung Pulasari
memiliki arti penting dalam sejarah. Mengacu kepada Pupuh XVII dalam Babad
Banten, seperti yang dibahas oleh Hoesein Djajadiningrat (1913), memberitakan
Gunung Pulasari sebagai berikut:
Molana
Hasanuddin berkelana di hutan‑hutan dan di atas Gunung Pulosari, dan ia pun
tibalah di sebuah pertapaan yang ditinggalkan. Ketika bapaknya datang
kepadanya, dikatakannya kepadanya, bahwa pertapaan itu adalah pertapaan
Brahmana Kadali ‑ atau Kandali (Djajadiningrat, 1983:33).
Temuan arkeologis di sekitar Gunung
Pulasari, dikemukakan dalam buku Banten
Sebelum Zaman Islam; Kajian Arkeologi di Banten Girang 932? 1526, (1996), oleh Claude Guillot dan
kawan‑kawan. Dalam pada itu, Tantu Panggelaran mengandung keterangan yang
menarik, yaitu bahwa "di ujung Barat Pulau Jawa" (nusa Jawa tungtungan kulwan) terdapat Gunung Mahameru yang bagian atasnya
diangkut ke Timur, sedangkan bagian bawahnya bernama Gunung Kailasa –yaitu tempat
kedudukan Siwa tetap berada di tempatnya. Bahwa dalam naskah itu disebutkan
tempat di luar daerah kebudayaan Jawa mengherankan Pigeaud (penyunting naskah
tersendiri) yang dalam ulasannya mengemukakan hipotesis –meskipun kurang yakin sendiri bahwa "Nusa Jawa" itu
barangkali terbatas pada daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur saja. Dan Pigeaud
hanya dapat menyatakan bahwa "gunung apa yang dinamakan Kailasa itu masih
harus dicari". Pada hemat kami, Tantu
Panggelaran sangat sesuai dengan informasi dalam SB tentang adanya golongan
besar pendeta di atas Gunung Pulasari, oleh karena gunung tersebut memang
terletak "di ujung Barat Pulau Jawa". Artinya Gunung Kailasa dapat
disamakan dengan Gunung Pulasari.
Kekeramatan itu tidak mungkin termasyhur sampai ke Jawa Timur kalau di atas
gunung itu tidak terdapat tempat pemujaan lama (Guillot, 1996:100).
Berdasarkan cerita rakyat Desa Cilentung, di sekitar puncak
Gunung Pulasari, terdapat batu‑batu yang dikeramatkan. Untuk membuktikan
kebenarannya, Tim berangkat dari Desa Cilentung Kecamatan Saketi, pada tanggal
8 Oktober 2000 pagi, dipandu oleh 4 orang penduduk Desa Cilentung, Tim
mengadakan pendakian menuju ke puncak Gunung Pulasari. Sepanjang perjalanan
secara berturut-turut, ditemukan batu‑batuan yang dikeramatkan itu, antara
lain:
Batu Sanghiyang Arca. Mengamati bentuk batu Sanghiyang Arca,
ada kemiripan dengan lempeng batu prasasti Kawali II (Ciamis) atau Batu Tulis
kota Bogor. Menurut cerita rakyat Cilentung, dahulu di lokasi Sanghiyang Arca,
Maulana Hasanuddin menyabung ayam dengan Pucuk Umun Pulasari.
Air Terjun Curug Putri. Menurut cerita rakyat, air terjun
Curug Putri, dahulunya merupakan tempat pemandian Nyai Putri Rinak Manik dan Ki
Roncang Omas. Di lokasi tersebut, terdapat aneka macam batuan dalam bentuk
persegi, yang berserak di bawah cucuran air terjun.
Batu Sanghiyang Kotok. Pada salah satu permukaan batu
Sanghiyang Kotok, menurut cerita rakyat, ada semacam "gambar" ayam
jantan. Ayam jantan tersebut, konon milik Maulana Hasanuddin.
Batu Kiara Sarebu. Batu Kiara Sarebu berbentuk empat persegi panjang,
pipih, dengan luas permukaan 80 x 50 centimeter, tebal 10 centimeter. Di lokasi
Batu Kiara Sarebu, dahulu kala banyak terdapat pohon kiara. Menurut cerita rakyat,
diperkirakan merupakan tempat bertapa raja‑raja. Patut disayangkan, dikarenakan
lokasi tersebut sudah dirusak oleh perambah hutan, kini pohon kiara yang
tertinggal hanya sebuah.
Batu Kiara Jinglar. Batu Kiara Jingkar, sesungguhnya hanya merupakan
sebuah batu biasa. Kekeramatan batu tersebut, ditandai oleh adanya 3 buah pohon
hanjuang merah (hanjuang siang), yang dibentuk serupa "makam".
Batu Cangkrung. Batu Cangkrung,
merupakan sebuah batu dengan salah satu permukaannya yang cekung, sehingga
dapat menampung air (nyangkrung). Uniknya, menurut cerita rakyat, air di atas
permukaan yang cekung tersebut, tidak pernah kering. Sehingga digunakan untuk
minum berbagai jenis burung.
Ketika tiba di sekitar puncak Gunung
Pulasari, pada ketinggian antara 1.300 meter hingga 1.346 meter di atas
permukaan laut, terdapat dua tempat yang dikeramatkan, yaitu: puncak Rincik Manik dan puncak Roncang Omas.
Di lokasi puncak Rincik Manik, terdapat
dua "makam" dengan karakter yang berbeda. Makam yang pertama,
membujur arah Timur‑Barat, dan di lokasi tersebut terdapat semacam batu lumpang
serta sejenis kapak genggam. Makam yang satunya lagi, membujur arah Utara‑Selatan,
dan di lokasi tersebut terdapat sejenis menhir.
Di lokasi puncak Rincik Manik, juga
terdapat sebuah batu yang sangat unik, sehingga Tim menamainya "batu
magnit". Uniknya, ketika diukur menggunakan kompas, walaupun ditempatkan
di sekeliling batu ke berbagai arah mata angin, jarum magnetis Utara (U) kompas
selalu mengarah ke batu tersebut. Hal itu, mengingatkan akan peristiwa jatuhnya
pesawat terbang di lereng Timur Laut Gunung Pulasari, tidak jauh dari lokasi Batu Kiara Sarebu. Mungkin saja arah kompas kapal terbang yang nahas,
dikacaukan oleh "batu magnit" puncak Rincik Manik.
Di lokasi puncak Roncang Omas, terdapat sebuah
tempat yang dianggap "makam", dengan ditandai tumpukan batu yang
sudah demikian terlantar. Di lokasi itu, banyak sampah‑sampah berserakan, yang
ditinggalkan wisatawan lokal. Bahkan batu‑batuan yang ditemukan, nampak gosong,
akibat seringkali digunakan sebagai tungku untuk memasak atau api unggun.
Kekeramatan itu tidak mungkin termasyhur
sampai ke Jawa Timur, kalau di atas gunung itu tidak terdapat tempat pemujaan
lama (Guillot, 1996). Mungkin, puncak Rincik Manik dan puncak Roncang Omas
itulah yang dimaksud oleh Guillot. Di bagian lain, Guillot mengemukakan
pendapatnya tentang Situs Sanghiyang
Dengdek, yang juga berlokasi di lereng Gunung Pulasari.
Selain tempat‑tempat keramat biasa, sata‑satunya
tempat pemujaan lama yang masih ada terdapat di Desa Sanghyang Dengdek, yang
menyandang nama "dewa" yang dipuja di situ. Tempat pemujaan tersebut
sudah lama dikenal, dengan tipe "primitif" yang umum di Jawa Barat;
di atas sebuah onggokan tanah yang dikelilingi batu sungai yang besar‑besar,
berdiri tegak sebuah batu yang tingginya kira‑kira satu meter dan puncaknya
dipahat secara kasar berbentuk kepala; kelihatan pula, tetapi hampir tidak
menonjol, lengan‑lengan dan kelamin lelaki. Nama tokoh itu "si bungkuk
yang terpuja" berasal dari bentuk batu yang secara alam agak membungkuk.
Betapapun menariknya tempat pemujaan
tersebut, rupanya tidak setara dengan kekeramatan Gunung Pulasari menurut SB,
Tantu Panggelaran dan Serat Centhini,
apalagi kalau diingat bahwa pengarang kedua karya terakhir ini sudah tentu
mengetahui bangunan agama yang jauh lebih canggih. Lagi pula sulit dibayangkan
bahwa negeri terbuka ke dunia luar seperti Banten Girang, dapat puas dengan
gaya primitif dan "kampungan" dari arca‑menhir itu
(Guillot,1996:100).
Pendapat Guillot terkesan merendahkan
nilai kepurbakalaan menhir Sanghiyang Dengdek, dengan sebutan "si bungkuk
yang terpuja", "primitif" dan "kampungan". Mungkin
Guillot kecewa, karena kepurbakalaan Sanghiyang Dengdek, tidak mampu mendukung
kebesaran temuan Banten Girang.
Haris Sukendar, dalam makalah Peranan Menhir Dalam Masyarakat
Prasejarah di Indonesia, menerangkan makna dan fungsi menhir, antara lain
sebagai berikut:
Menhir
berasal dari bahasa Breton yang
terdiri dari kata "men" =batu dan "hir" = berdiri, yang
secara keseluruhan berarti batu tegak
(berdiri) (Soejono, 1981/1982: 247). Menhir merupakan peninggalan tradisi
megalitik yang sangat banyak ditemukan di berbagai situs, dan berbagai masa
setelah periode neolitik (bercocok tanam) (Van der Hoop 1938). Bahkan sampai
masa‑masa pengaruh Hindu maupun pengaruh Islam di Indonesia menhir sebagai
salah satu obyek tradisi megalitik masih memegang peranan penting bahkan
berkembang sampai sekarang. Dengan adanya peranan menhir yang meliputi kurun
waktu cukup panjang tersebut maka tidak mengherankan jika terjadi perkembangan‑perkembangan
pada bentuk‑bentuk dan fungsi menhir itu sendiri. Situs‑situs megalitik telah
menghasilkan menhir‑menhir yang mempunyai bentuk berbeda-beda. Di daerah
Lampung, Jawa Barat, Sulawesi dan lain‑lain ditemukan menhir dalam bentuk
sederhana dari batuan kasar, dan belum dikerjakan (Sukendar,1985:
92).
Dalam Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa
I sarga 1, mengenai pitarapuja
(penghormatan terhadap arwah leluhur), dikemukakan antara lain sebagai berikut:
.../hana jnua pamuja
nikang jan m apada ring samang-
kana/ akweh pamu-
ajanya// mapan sarwa pa-
muja sakaharepni-
ra/ lawan angucap mantra
yatiku makadi pi-
trepuja// marika ma-
malaku ning sang pita-
ra makapu (ru) haranya ma-
kadi sang pitrepuja
ning kawitan la-
wan waneh sthapan mantra/
sangkep lawan widhiwidha-
na mwang asthapana se-
wana lawan sarwa bho-
ga// nityabhiprayanira
yatanyan sidha citta-
nya//...
.../hana jnua pamuja
nikang jan m apada ring samang-
kana/ akweh pamu-
ajanya// mapan sarwa pa-
muja sakaharepni-
ra/ lawan angucap mantra
yatiku makadi pi-
trepuja// marika ma-
malaku ning sang pita-
ra makapu (ru) haranya ma-
kadi sang pitrepuja
ning kawitan la-
wan waneh sthapan mantra/
sangkep lawan widhiwidha-
na mwang asthapana se-
wana lawan sarwa bho-
ga// nityabhiprayanira
yatanyan sidha citta-
nya//...
Terjemahannya:
Adapun yang jadi pujaan warga masyarakat
pada waktu itu, banyak sekali. Karena yang menjadi pujaannya sekehendak mereka,
dengan mengucapkan mantra, yaitu terutama pemujaan terhadap nenek‑moyang.
Mereka memohon kepada nenek‑moyang, yang menjadi tujuan terakhir, terutama
pujaan terhadap nenek‑moyang dari ayah dan juga mantera sihir, lengkap dengan upacara
yang diperlukan serta asthapana sewana
(nama sejenis mantra) dan berbagai makanan. Selalu maksudnya agar cita‑cita
mereka tercapai.
Saleh Danasasmita pernah mengungkapkan,
bagaimana sesungguhnya fungsi dan makna dari menhir atau batuan lainnya, yang
sudah ada jauh sebelum Hindu masuk ke Tatar Sunda. Para "pemuja
leluhur" ini telah memiliki tatanan kehidupan yang teratur yang kemudian
tumbuh secara dinamik, ketika mendapat sentuhan pengaruh Hindu. Orang Jawa
Barat berkenalan dengan panteon baru
yang dihuni para dewa, namun seperti diungkapkan oleh Wangsakerta dan Pleyte,
rakyat banyak tetap setia memuja roh leluhurnya. Sampai sekarang hal ini masih
tampak cukup jelas (Danasasmita,1984:42).
Selanjutnya Saleh Danasasmita memberikan
gambaran, tentang kemungkinan terjadinya transisi keagamaan, antara lain
sebagai berikut:
Dalam
abad ke‑13 atau sedikitnya abad ke‑14 raja‑raja di Jawa Barat sudah mulai
mempertaruhkan nasib negaranya di kabuyutan atau di sasaka domas. Tempat-tempat seperti itu pada umumnya berasal dari
peninggalan para leluhur yang dimanfaatkan terus atau dimanfaatkan kembali.
Dengan kabuyutan sebagai "pusat dangiang", mereka makin menggeser
jauh dari garis Hinduisme. Lingga dan yoni gaya Hindu ditinggalkan; mereka
kembali kepada penggunaan disolit
yang berupa pasangan tonggak batu dengan lempeng batu. Kalau tempat‑tempat
seperti itu dilengkapi patung‑patung, bukanlah patung dewa‑dewa Hindu yang
ditempatkannya melainkan patung‑patung nenek‑moyang. Tempat-tempat seperti itu
pada umumnya ditandai oleh adanya petak bersegi empat mirip "kuburan"
(Danasasmita, 1984:42).
Mengacu kepada pendapat Saleh
Danasasmita, di seputar Gunung Pulasari Pandeglang, terdapat peninggalan
kepurbakalaan dimaksud, antara lain berupa menhir:
1.
Sanghiyang
Dengdek. Lokasi di Kampung Kaduhejo, Desa Sanghyangdengdek, Kecamatan Saketi.
2.
Sanghyang
Heuleut. Lokasi di Desa Banjarnegara, Kecamatan Saketi.
3.
Batu
Pahoman. Lokasi di Kampung Pahoman, Desa Pasirpeuteuy, Kecamatan Cadasari.
4.
Batu
Goong. Lokasi di Desa Sukasari, Kecamatan Menes.
5.
Batu
Lingga. Lokasi di Desa Batulingga, Kecamatan Banjar.
6.
Batu
Cihanjuran. Jumlah 3 buah menhir, lokasi di mata air Cihanjuran, Desa Cikoneng,
Kecamatan Mandalawangi.
7.
Makam
Gunung Cupu. Lokasi di Desa Gunungcupu, Kecamatan Cimanuk.
8.
Batu
Rincik Manik. Posisi di puncak Gunung Pulasari, pada ketinggian + 1300 meter di
atas permukaan laut.
9.
Sanghiyang
Arca. Lokasi di ketinggian Kampung Cilentung, Kecamatan Saketi.
Berdasarkan kajian geografi sejarah,
pada masa 2000 tahun yang silam, keadaan pantai Barat Pandeglang, tentunya
berbeda dengan keadaan yang sekarang. Dihitung secara geologis, sangat
memungkinkan terjadi pendangkalan akibat terjadinya beberapa kali letusan
gunung Krakatau, Gunung Pulasari, Gunung Karang, juga Gunung Aseupan.
Terhanyutnya pasir, debu, kerikil dari letusan gunung, oleh arus deras sungai
Cibama, Cilabuan, Cicaringin dan Cibangangah, membentuk pendangkalan selebar
antara 8‑10 kilometer di sepanjang pantai Barat Gunung Pulasari.
Keadaan tanah situs Sanghiyang Dengdek,
berada pada ketinggian 250 meter di atas permukaan laut, berjarak 14 kilometer
dari garis pantai. Keadaan Sanghiyang Dengdek pada saat 2000 tahun yang lalu,
sebelum terjadi pengendapan di sepanjang pantai Teluk Lada, jaraknya hanya 3 kilometer dari tepi pantai. Berpedoman
kepada naskah Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa I sarga 1, yang menyatakan "pernah
adanya masyarakat pesisir pantai Barat", dapat diduga bahwa Dukuh Pulasari (tempat Panghulu Aki
Tirem dan masyarakatnya bermukim), berlokasi di areal pemukiman Sanghiyang
Dengdek.
Jejak
Agama Sunda
Di sekitar Gunung Pulasari, Gunung
Aseupan dan Gunung Karang di Kabupaten Pandeglang, ditemukan pula batu‑batuan
berbentuk dolmen, di antaranya:
1.
Batu
Ranjang. Lokasi di Kampung Baturanjang, Desa Palanyar, Kecamatan Cimanuk.
2.
Batu
Pangasaman. Lokasi di Desa Parigi, Kecamatan Saketi.
3.
Batu
Pangsalatan. Lokasi di tepi jalan raya di wilayah Kecamatan Mandalawangi.
Sedangkan batu‑batu yang ditemukan dalam
bentuk lain, diduga memiliki nilai kepurbakalaan, antara lain:
1.
Batu
Sanghiyang Kotok. Lokasi di lereng Gunung Pulasari.
2.
Batu
Cangkrung. Lokasi di lereng Gunung Pulasari.
3.
Batu
Keris dan Batu Teko. Lokasi di tengah hamparan pesawahan Desa Cimanuk,
Kecamatan Cimanuk.
4.
Batu
Kuda I. Lokasi di tepi jalan Desa Cimanuk, Kecamatan Cimanuk.
5.
Batu
Kuda II. Lokasi di Pasir Pariuk Nangkub, Kampung Sampalan, Desa Parigi,
Kecamatan Saketi.
6.
Batu
Qur'an. Lokasi di Kampung Cibulakan, Kecamatan Cimanuk.
7.
Batu
Notod. Lokasi di Desa Parigi, Kecamatan Saketi.
8.
Batu
Saketeng. Lokasi di Desa Saketi, Kecamatan Saketi.
9.
Batu
Tumbung. Lokasi di Kampung Cidaresi, Desa Palanyar, Kecamatan Cimanuk.
10.
Batu
Kasur. Lokasi di Kampung Nembol, Kecamatan Mandalawangi.
11.
Batu
Tongtrong. Lokasi di Desa Palanyar, Kecamatan Cimanuk.
12.
Batu
Kolam Citaman. Lokasi di Desa Sukasari, Kecamatan Menes.
Di kawasan Provinsi Banten, masih
terdapat gejala religi "agama masa silam", dan masih dianut oleh
kelompok masyarakat yang menamakan diri "Sunda Wiwitan" (Sunda Awal).
Hal ini diperkuat oleh laporan RA.A.A. Djajadiningrat, Bupati Serang tahun 1908,
dalam laporan resminya (1908 no. 1786; van Tricht,1929:47), yang dikutip
Judistira Garna dalam bukunya Orang Baduy, antara lain sebagai berikut:
Menurut
adat dan kepercayaan, orang‑orang Baduy merupakan kelompok yang mewakili suatu
zaman peradaban Pasundan yang telah silam. Meskipun kita telah jauh dari
pengetahuan yang pasti tentang satu dan lainnya mengenai pandangan mereka,
namun melihat keterasingannya yang ketat yang mereka lakukan, sejauh ini dapat
disimpulkan bahwa mereka itu bukan penganut ajaran Ciwa atau Wisnu, bukan pula
penganut suatu sekte Hindu ataupun Budha. Walaupun kurang terdapat keterangan
terinci, namun berdasarkan berbagai pengamatan dan laporan resmi Djajadiningrat
serta pengamatan Pennings (1902), van Tricht mengemukakan tentang agama Sunda
sebagai kepercayaan orang Baduy. Agama itu merupakan agama tua yang dipeluk
oleh penghuni Wilayah Jawa Barat (sekarang) yang permulaan penyebaran agama
Islam sedikit sekali dipengaruhi oleh agama Hindu (1929:47) (Garna,1987:61)
Mengenai jejak religi masa silam seperti
itu, Saleh Danasasmita pernah memberikan penjelasan, antara lain sebagai
berikut:
Sesuai
dengan kehidupan leluhurnya yang masih biasa berpindah‑pindah tiap habis musim
panen, watak agama yang diwarisinya lebih sederhana dalam arti: praktis, akrab
dengan alam dan lebih mengutamakan isi daripada bentuk. Praktis sehingga dapat
dilaksanakan di manapun mereka berada. Akrab dengan alam sehingga lebih
mengutamakan keheningan mutlak daripada kehiruk-pikukan masa. Lebih
mementingkan isi sehingga ukuran kesungguhan dan kekhidmatan tidak didasarkan
kepada nilai-nilai materil benda‑benda upacaranya melainkan dalam hati dan
tingkah laku. Jelas upacara‑upacara dalam agama Hindu yang penuh formalitas
dengan urutan yang ketat serta mantera-mantera yang tak boleh salah ucap atau
salah susun, tidak serasi dengan karakter agama yang diwarisi dari para
leluhurnya. Bagi mereka, sebongkah batu alam yang agak aneh sudah cukup untuk
dijadikan titik pusat upacara pemujaan. Setelah selesai, batu itu ditinggalkannya
karena di tempat lain pun mudah memperoleh batu sejenis. Namun, sejenak
kesungguhan hati yang dibungkus keheningan alam sekitar merupakan modal mereka
yang utama dalam menjalin hubungan dengan Yang Gaib
(Danasamita,1984:43).
Situs religi masa silam terbesar di
wilayah Provinsi Banten, berupa peninggalan dari masa pra‑Hindu, dengan
ditemukannya beberapa punden berundak di wilayah Kabupaten Lebak. Keterangan
peninggalan tersebut, diungkapkan oleh Halwany Michrob dalam buku Lebak Sibedug dan Arca Doms di
Banten Selatan (1993), antara lain sebagai berikut:
Undakan
batu di Kosala terdiri 5 tingkat
yang pada setiap tingkatnya terdapat menhir. Kadang-kadang dijumpai sebuah
papan batu (lab stone) berbentuk segi lima, dan pada bagian bawah yang
terpendam dalam tanah terdapat beberapa buah batu bulat (batu pelor) yang
bergaris tengah antara 10‑15 cm. Sebuah arca kecil ditemukan di dekat struktur
berundak tersebut kedua tangannya terlipat ke depan, salah satu di antaranya
seperti dalam sikap mangacungkan ibujari. Arca
Domas adalah bangunan berundak dengan 13 tingkatan dan pada tingkat paling
atas terdapat sebuah menhir berukuran besar, yang pemercaya dianggap
melambangkan Batara Tunggal, Sang Pencipta Roh, dan kepadanya pula roh‑roh akan
kembali. Monumen Lebak Sibedug juga
merupakan bangunan berundak empat tingkat setinggi ± 6 meter. Di depan undak
batu ini terdapat dataran yang di tengahnya terdapat sebuah menhir. Menhir
pusat ini ditunjang oleh batu‑batuan berukuran kecil (Michrob,1993:
5‑6).
Dalam naskah kuno Kropak 630 Sanghiyang Siksakandang Karesian,
terdapat jejak "agama asli" yang jauh lebih mendasar, jika
dibandingkan dengan kedua gejala Hinduisme dan Budhisme. Hal tersebut pernah
dikaji oleh Saleh Danasasmita, mengemukakan pendapatnya, antara lain sebagai
berikut:
Dalam
dasaperbakti di antaranya
disebutkan, "ratu bakti di dewata, dewata bakti di hiyang" (raja
tunduk kepada dewata, dewata tunduk kepada hiyang). Jadi hiyang‑lah yang paling
tinggi. Kemudian dinyatakan bahwa dewa‑dewa seperti Brahma, Wisnu, Iswara, Siwa
dan lain‑lainnya tunduk kepada Batara Seda Niskala. Dialah Batara Jagat
(penguasa alam) "nu ngretakeun bumi niskala" (Yang mengatur dunia
gaib). Seda Niskala adalah nama Hiyang yamg disangsakertakan (seda = sempurna;
niskala = gaib). Nama itu dapat diartikan "Yang Maha Gaib" (Danasasmita,
1984:41).
Ikhwal peninggalan Hinduisme yang
terdapat di Pulau Panaitan, maupun temuan di Gunung Pulasari (yang kini telah
dipindahkan ke museum), kemungkinan besar pernah tersingkir, akibat terdesak
oleh kebangkitan kembali agama pribumi (agama Sunda). Kemungkinan-kemungkinan
itulah, yang tidak sempat dikaji dan dipahami Claude Guillot, sehingga Sanghiyang
Dengdek disebutnya "si bungkuk yang terpuja", dan dinilai bergaya
"primitif” dan "kampungan". Guillot tidak memahami agama leluhur
Sunda, sehingga ia lebih tertarik oleh "bentuk" arca Hinduisme, dari
pada "isi" (makna dan fungsi) pitarapuja Sanghiyang Dengdek. Tidak
menutup kemungkinan, peninggalan kepurbakalaan Hinduisme dan Budhisme di Cibuaya dan Batujaya (Karawang), terkuburnya menjadi bukit‑bukit (hunyur),
kemungkinan ada unsur kesengajaan.
Carita Parahiyangan menunjukkan adanya
para wiku "nu ngawakan Jati Sunda"
yaitu para pendeta yang khusus mengamalkan "agama Sunda" dan
memelihara "kabuyutan parahiyangan". Sisa dari kabuyutan Jati Sunda
atau parahiyangan seperti itu adalah Mandala Kanekes yang dihuni "orang
Baduy" sekarang. Leluhur mereka dalam jaman kerajaan mengemban tugas
memelihara mandala atau kabuyutan “Jati Sunda" yang dewasa ini disebut sasaka domas. Orang Tangtu ("Baduy‑dalam")
adalah keturunan "para wiku", orang panamping ("Baduy‑luar")
merupakan keturunan "kaum sangga". Mereka bertugas melakukan
"tapa di mandala" dan sudah menjalankan tugas tersebut secara turun
temurun sejak masa jauh sebelum Kerajaan Pajajaran berdiri (Danasasmita,1984:41).
Sendi‑sendi religi masa silam pra-Hindu
di seputar lereng dan suku Gunung Pulasari, mengingatkan adanya benang merah
religius, antara tokoh Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya dengan "Pitarapuja
Hiyang"‑nya; bangkit kembali pada masa kerajaan; Sunda, Galuh, Pajajaran
dengan "Hiyang Seda Niskala"‑nya, terlestarikan dalam refleksi masyarakat
Sunda Wiwitan (Baduy) masa kini dengan Agama Sundanya.
Melacak
Rajatapura
Ayatrohaedi, dalam makalah Naskah dan Sajarah (1989), mengemukakan tentang permulaan
lahirnya ilmu arkeologi, antara lain sebagai berikut:
Sebagai
seorang anak Eropah, sudah sejak kecil Heinrich Schhemann berkenalan dengan
mitologi Yunani yang dianggap sebagai salah satu akar kebudayaan Eropah masa
berikutnya. Selain di sekolah, mitologi Yunani itu dikenalnya juga melalui
kedua orang tuanya, para tetangganya, dan buku‑buku yang dibacanya. Ia sangat
tertarik oleh kisah Perang Troya
yang menggambarkan bagaimana sebuah kota yang kokoh, akhirnya dapat direbut
berkat kecerdikan musuh yang mengepungnya. Ketertarikannya itu ternyata
berkepanjangan menjadi tanda tanya besar baginya. Mungkinkah kisah yang
demikian nyata itu, benar‑benar hanya sekadar dongeng tanpa satu pun acuan
peristiwa yang tetjadi? Jika orang lain beranggapan kisah itu sekadar mitos,
tidak demikian halnya dengan Heinrich. Ia menduga bahwa kisah itu lahir karena
ada suatu peristiwa penting yang pernah terjadi di kota atau sekitar kota Troya
itu. Kebetulan orangtuanya pedagang kaya, dan juga memahami rasa penasaran
anaknya itu. Dengan dukungan dana dari orangtuanya, di samping ia sendiri
kemudian menjadi saudagar yang juga kaya, ia memutuskan untuk pergi ke Yunani.
Bukan untuk membuktikan kepada dunia bahwa di sana ada sebuah kota dan
peradaban yang bernama Troya, melainkan lebih disebabkan oleh keinginan
memenuhi rasa penasarannya itu. Bersama dengan istri dan sejumlah pembantu
lapangan, mereka berangkat ke Yunani, lalu menuju tempat yang menurut berbagai
acuan diduga sebagai tempat berdirinya kota Troya. Berhari‑hari mereka menggali
di situ, tak juga menemukan apa yang dicari. Ketika seluruh rombongan (kecuali
Heinrich) sudah benar-benar berputus asa, cangkul yang dihujamkan ke tanah
mengenai sesuatu yang keras. Keputus-asaan untuk sementara ditangguhkan, dan
penggalian diteruskan. Hasilnya, bukti pertama bekas kota dan peradaban itu
tergali, dan dari penggalian itu lahirlah ilmu yang kemudian dikenal sebagai
widyapurba atau arkeologi. (Ayatrohaedi, 1989:1-2)
Untuk memberikan ilustrasi yang lebih
jelas, Ayatrohaedi mengemukakan peristiwa lainnya, mengenai keterkaitan antara
naskah dengan pembuktian sejarah, antara lain sebagai berikut:
Dalam
pada itu, nenek‑moyang orang India meninggalkan dua buah wiracarita yang
terkenal, Mahabharata karya Wyasa
dan Ramayana karya Walmiki. Menurut
para ahli bahasa, kedua naskah itu berasal dari kurun masa antara 400 sM-400 M.
Seperti juga halnya dengan kisah Troya, para pembaca naskah itu umumnya
menganggap bahwa semuanya hanyalah sekadar dongeng, kalaupun bukan mitos.
Tetapi, seperti halnya dengan Heinrich, ada saja orang yang tidak percaya akan
keasaldongengan kedua wiracarita itu. Inggris yang ketika itu menjadi yang
dipertuan di India, juga mempunyai beberapa orang warga yang menganggap bahwa
kisah Troya kaol (=versi) India seharusnya tersembunyi di balik kisah tersebut.
Berbekal anggapan itu, mereka mencoba menggali dan menemukan kota yang
seharusnya menjadi pusat kerajaan Indraprahasta
(kita mengenalnya dengan nama Amarta), di daerah sebelah Barat Daya, beberapa
kilometer dari kota Nutana Dehali
(New Delhi). Hasilnya? Bekas kota tua yang diduga berasal dari pertengahan abad
ke‑12 sebelum Masehi (1150 sM) muncul kepermukaan. Dalam pada itu, dendam
kesumat antara Rama dengan Rahwana, ternyata masih berlanjut hingga sekarang
berupa sengketa antara orang Singhala
di Srilangka (Alengka) dan orang Tamil
yang tidak mustahil keturunan Subali dan Sugriwa.
(Ayatrohaedi,1989: 2‑3).
Dari dua ilustrasi yang dicontohkan oleh
Ayatrohaedi, mendapatkan gambaran yang jelas, bahwa naskah dongeng sekalipun,
dapat dimanfaatkan sebagai pemandu pembuktian sejarah. Karena masa penulisannya
yang tidak muasir itu, diperlukan kecermatan dan ketelitian, jika seseorang
bermaksud menggunakan naskah sebagai sumber sejarah, termasuk naskah‑naskah
yang sebenarnya menyebut dirinya sajarah, hikayat, asal‑usul, silsilah, carita,
tambo, atau babad. Betapapun, nama-nama yang disandangnya itu mengisyaratkan
bahwa sampai taraf tertentu, naskah‑naskah itu dapat dimanfaatkan sebagai
sumber sejarah (Ayatrohaedi,1989:6).
Kembali ke masalah Salakanagara,
Dewawarman dan Rajatapura, yang telah lama menjadi perdebatan para ahli. Di
Gunung Pulasari, sebagaimana yang diungkapkan oleh Claude Guillot, sesungguhnya
merupakan pemandu ke arah pembuktian Salakanagara. Guillot mengemukakan
pendapatnya, antara lain sebagai berikut:
Dari
berbagai sisi, arca‑arca itu penting untuk pokok pembicaraan ini. Pertama,
meskipun muka arca‑arca itu sudah dirusakkan (pada masa Hasanuddin?), gayanya
sangat berbeda dari gaya arca Sunda, dan persis serupa dengan gaya akhir
periode Jawa Tengah, artinya dapat ditentukan berasal dari paro pertama abad ke‑10.
Kedua, dapat dilihat bahwa arca-arca itu merupakan kelompok arca dewa yang
terdapat dalam setiap arca dewa yang terdapat dalam setiap candi Siwa, yaitu
Dewa Siwa, Agastya (titisan Siwa yang amat sering terdapat di Jawa), Durga
(yaitu Parvati, sakti Siwa) dan Ganesha (putra Siwa), serta lingga yang sudah
hilang, namun semula sudah barang tentu bersatu dengan yoni. Wahana (vahana)
Siwa, yaitu sapi Nandi, mungkin
sekali juga sudah hilang. Kehadiran arca Brahma barangkali menunjukkan bahwa,
seperti di Prambanan, candi utama Siwa diapit oleh candi Brahma dan candi
Wisnu, sedangkan arca Wisnu itu tidak ditemukan kembali. Ketiga, seperti
dijelaskan dalam surat asisten residen tersebut, arca‑arca itu terdapat di Cipanas yaitu di Gunung Pulasari, dekat
kawah yang oleh C.W.M. van de Velde digambarkan dalam sebuah sketsa yang
termasyhur pada pertengahan abad ke‑19, pasti tidak lama sesudah pengangkatan
arca-arca tersebut
(Guillot,1996:102).
Guillot sudah menduga, bahwa arca‑arca
hasil temuan dari Cipanas Gunung Pulasari itu, berasal dari peninggalan
Hinduisme. Hanya saja, jika Guillot mau melirik hasil kajian para ahli tentang
Salakanagara, temuannya sangat membantu dalam perkembangan selanjutnya.
Sementara itu, dalam naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi
Nusantara, parwa I sarga 1, halaman 158-160, terdapat suatu riwayat
tentang pernah dibuatnya candi beserta arca‑arcanya oleh Dewawarman VIII (240‑362
Masehi), antara lain sebagai berikut:
...//
diwasa sang de-
wawarman
astama nyakra-
warti
i bhumi Jawa ku-
lwan
ring samangkana pra-
nah
ing janapada rikung
kreta
subhika//...
...//
sang raja gawe
ta
sira candi lawa-
n
pratistha ing siwa ma-
hadewamardhacandra-
kapala
// lawann ganaya-
nadewa
/juga hya wi-
snudewa
/ anggwa sira
sakweh
ing wa(i)snawa//ma-
pan
siwa kabeh jana-
pada
padaherup hu-
rip
tulushayu/...
Terjemahannya:
Pada masa Dewawarman kedelapan
memerintah di bumi Jawa Kulwan, pada waktu itu kehidupan warga masyarakat ada
dalam keadaan makmur sejahtera. Sanghyang
Agatna senantiasa dihormati, dipelihara dan sangatlah baik karenanya. Di
antara warga masyarakat yang memuja Hyang Wisnu tidak seberapa banyaknya. Ada
yang memuja Hyang Siwa. Ada yang memuja Hyang
Ganayana. Ada yang memuja Siwa-Wisnu. Maka demikianlah pemuja Hyang Ganayana
[atau] disebut juga pemuja Ganapati. Golongan ini banyak pengikutnya. Adapun
mata pencaharian warga masyarakat, di antaranya berburu di hutan pegunungan,
berdagang, mengusahakan pelayanan, menangkap ikan di tengah lautan sepanjang
tepi sungai. Juga memelihara binatang dan menanam buah-buahan, bertani dan
sebagainya. Sang Raja membuat candi, serta patung Siwa
Mahadewamardhacandrakapala dan Ganayanadewa, juga Hyang Wisnudewa. Anutan
mereka sekalian Waisnawa. Karena sekalian warga masyarakat, mengharapkan hidup
lanjut dan selamat.
Temuan arca-arca di "Candi
Pulasari", seperti yang dikemukakan oleh Claude Guillot, ternyata mendapat
penjelasan dari naskah Pangeran Wangsakerta. Kekunoan arca‑arca tersebut,
sangat berbeda dengan arca‑arca lain yang lebih muda, yang ditemukan di Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Oleh karena kekunoannya itulah, Guillot mempersoalkan
"arca-arca itu sudah dirusakkan (pada masa Hasanudin?)". Akan tetapi,
pada bagian lain, Guillot menjelaskan, antara lain sebagai berikut:
Arca-arca
yang disebutkan sebagai "arca Caringin" itu telah dilupakan lama
sekali sejak diangkut ke Jakarta, dan di sana tercampur dengan ratusan arca
lain yang sejenis, sehingga hilang keunikan tempat asalnya. Meskipun demikian,
arti pentingnya tidak luput dari perhatian R Friederiich pada tahun 1850. Dalam
sebuah kajian mengenai gaya arca-arca yang disimpan di Museum Batavia, ia
menulis tentang arca Ganesha, sebuah ulasan yang layak dikutip: "Bahwa
arca semacam itu, beserta beberapa arca lain yang bergaya lama, telah ditemukan
di daerah Banten, di bagian Pulau Jawa yang paling Barat, berarti bahwa
peradaban dan seni Hindu telah tersebar sampai ke pantai itu. Sejarah kerajaan
yang telah melahirkan peninggalan kuno tersebut, dan bahkan nama kerajaan itu,
untuk sementara belum dapat dipastikan. Jelas, peninggalan kuno itu tidak dapat
dianggap berasal dari Kerajaan Pajajaran sebab segala peninggalan dan segala
sesuatu yang kita ketahui tentang Pajajaran menunjukkan keterbelakangan di
bidang ilmu pengetahuan dan seni. Begitu pula peninggalan Majapahit jauh dari
menyamai peninggalan masa‑masa sebelumnya (Guillot,1996:103).
Bagian yang terpenting dari pernyataan
Guillot, terdapat pada bagian akhir (kesimpulan), yang kutipannya antara lain
sebagai berikut:
Maka
kami menarik kesimpulan bahwa peninggalan di Caringin cukup kuno, dan bahwa
sebelum masa Pajajaran terdapat sebuah kerajaan Hindu di Banten
(Guillot,1996:108).
Kutipan tersebut sangat berharga,
memberikan kepastian lokasi; Banten sebelum masa Pajajaran. Oleh karena itu,
penelusuran harus kembali ke wilayah Gunung Pulasari Pandeglang, sebagai tempat
asal (insitu) arca‑arca Hinduisme itu
pernah berada. Saleh Danasasmita, menunjuk muara
Sungai Ciliman di wilayah Teluk Lada (Pandeglang), sebagai pusat kota Rajatapura (Danasasmita,1984:13).
Kota Palembang di Sumatera Selatan,
antara abad ke‑7 hingga abad ke-11, berada tepat di pantai. Sedangkan Palembang
sekarang, posisinya jauh dari garis pantai, hingga mencapai 8‑9 kilometer.
Begitu pula yang terjadi di Gunung Muria (Jawa Tengah). Akibat endapan lumpur Sungai Lusi (Purwodadi) dan Sungai Tuntang (Demak) pada abad ke‑11
(masa kekuasaan Raja Airlangga), daratan Gunung Muria menjadi satu dengan
Pegunungan Kapur pantai Utara (Blora) di Jawa Tengah (Daldjoeni,1984).
Pelabuhan
Aruteun
terletak di muara Sungai Cisadane. Pada waktu itu muara sungai Cisadane
terletak jauh ke dalam, karena garis pantai Laut Jawa lima belas abad yang lalu
jauh berbeda dengan sekarang. Tanah alluvial dari masa Ciaruteun sampai garis
pantai Laut Jawa sekarang ialah hasil endapan selama lima belas abad
(Muljana,1980:13).
Begitu pula hal yang sama, bisa saja
terjadi dalam proses geologi pembentukan endapan di pantai Barat Pandeglang.
Kemungkinan besar, ketika Salakanagara didirikan oleh Dewawarman tahun 130 Masehi
(1871 tahun yang lalu), posisi kota kecamatan Mandalawangi, kurang lebih 8‑10
kilometer dari garis pantai, berada di pesisir Barat Pandeglang. Kemungkinan
tersebut, didukung oleh pendapat Dedi M. Barmawijaya (ahli geologi), bahwa posisi
pantai Barat Pulau Jawa abad ke‑2 Masehi, berada pada ketinggian 120 meter di
atas permukaan laut, saat ini (18 Maret 2001).
Lokasi Rajatapura sebagai ibukota
Salakanagara, dalam naskah Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara, parwa I sarga 1, halaman 154, terungkap
sebagai berikut:
...//hana pwa dewa
warman wamsanyakrawar
ting rajya salakana-
gara i bhumi jawa ku-
lwan/ i sedertg kitha-
rajyanya ngaran rajata-
pura ri tina ning sagara//
...//hana pwa dewa
warman wamsanyakrawar
ting rajya salakana-
gara i bhumi jawa ku-
lwan/ i sedertg kitha-
rajyanya ngaran rajata-
pura ri tina ning sagara//
Terjemahannya:
Adapun wangsa Dewawarman memerintah
kerajaan Salakanagara di Bumi Jawa Barat, dengan ibukota kerajaan bernama Rajatapura, (terletak) di tepi laut.
Secara kebetulan, di situs Cihunjuran (Desa Cikoneng Kecamatan
Mandalawangi), juru pelihara Burhan, menyimpan sebuah batu bulat elipsis
(panjang 24 cm, lebar 18 cm, tinggi 9,5 cm). Di salah satu permukaan batu itu,
terdapat titik-titik dan garis‑garis yang terukir mirip peta. Oleh karena
itulah, Burhan menyebutnya "Batu
Peta".
Kecamatan Mandalawangi di Kab. Pandeglang Banten. |
(bagian 4 dari 4)
Sumber:
Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Tatar
Sunda, Kumpulan Tulisan Pangeran Wangsakerta.
***
Terina kasih atas tulisannya mengenai kerajaan Salakanagara. Saya sedang dalam proses menukis novel, dan salah satu settingnya mengambil tempat di Rajatapura di masa hidup Putri Iswari. Dari tukisan bapak, saya simpulkan bahwa Rajatapura terletak di muara sungai Ciliman di kaki gunung Pulasari, di tempat yang sekarang menjadi kabupaten Mandalawangi. Pada masa itu kaki gunung Pulasari hanya sekitar 3 km dari pantai. Mohon koreksinya jika pemahaman saya kurang tepat.
BalasHapus