Untuk
melepaskan predikat tertinggal, memang tidak semudah membalikkan telapak
tangan. Tetapi, ketika semua bergandeng tangan, bahu membahu bersama-sama, tidak
ada pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan. Bukan waktunya lagi untuk saling
menyalahkan, kerja keras dan kerja cerdas akan menjadi kunci untuk
menyelesaikan masalah. Karena pada dasarnya tidak ada daerah tertinggal, yang ada adalah daerah yang salah urus. Ayo… Garut Bangkit, Garut Berprestasi !
Kabupaten
Tertinggal
Sebutan Kabupaten Tertinggal ditujukan
untuk daerah yang masyarakat dan wilayahnya, relatif kurang berkembang,
dibandingkan dengan daerah lainnya. Sembilan tahun sudah, Kabupaten Garut
menyandang predikat daerah tertinggal –yang
disematkan pemerintah sejak tahun 2005. Selain Garut, berdasarkan penilaian
pemerintah, Kabupaten Sukabumi juga termasuk daerah tertinggal di Jawa Barat.
Kedua kabupaten ini, masuk dalam dua kali periode target pembangunan daerah
tertinggal –yakni, periode 2004-2009 dan
periode 2010-2014.
Hingga di tahun 2014, Kabupaten Garut
dipastikan menjadi “satu-satunya” kabupaten di Jawa Barat yang masih berstatus
daerah tertinggal –menyusul keberhasilan
Kabupaten Sukabumi meraih predikat terentaskan dari status daerah tertinggal di
periode 2010-2014, berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian
Pembangunan Daerah Tertinggal/PDT. Bagaimana tidak, Kabupaten Garut –yang menjadi daerah penyangga ibukota
provinsi dan tidak begitu jauh dari ibukota negara, justru dinyatakan: jauh
tertinggal.
Meski berlabel daerah tertinggal, Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Garut sebenarnya tidak berada di urutan
paling bawah –dari 26 kabupaten/kota
se-Jawa Barat. Bahkan, IPM Kabupaten Garut di atas capaian kabupaten/kota
yang tidak termasuk daerah tertinggal sekalipun. Sebagai bukti, pada tahun
2012, IPM Kabupaten Garut mencapai 72,12 poin. Nilai sebesar itu, berada di
atas IPM Kabupaten Indramayu (68,89 poin); Cirebon (69,56 poin); Cianjur (70,02
poin); Karawang (70,89 poin); Majalengka (71,15 poin); Sukabumi (71,50 poin);
Subang (71,78 poin); Kuningan (71,99 poin); dan Kota Banjar (72,10 poin). Demikian
pula dengan Indeks Pendidikan Kabupaten Garut pada tahun 2012, sesungguhnya
berada di atas raihan Provinsi Jawa Barat. Berada di angka 82,36 poin, Indeks
Pendidikan Kabupaten Garut lebih tinggi 0,14 poin dari capaian Provinsi Jawa
Barat. Sementara itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik Garut, jumlah
sekolah dan tenaga pendidik di Kabupaten Garut –selama periode 2010-2012, mengalami peningkatan di setiap jenjang
pendidikan –kecuali jenjang SMA.
Jumlah sekolah pada jenjang Sekolah Dasar, mengalami peningkatan dari 1.548
unit menjadi 1.572 unit. Jenjang Sekolah Menengah Pertama, mengalami
peningkatan dari 271 unit menjadi 300 unit. Begitu juga dengan jumlah tenaga
pendidik, meningkat dari 12.528 menjadi 13.586 orang. Berdasarkan data inilah,
Pemerintah Kabupaten Garut sempat menyampaikan permintaan agar status daerah
tertinggal Kabupaten Garut dievaluasi kembali oleh Kementerian PDT. Tetapi
permintaan ini, tidak mendapatkan respon dari pihak Kementerian PDT.
Kriterian
Daerah Tertinggal
Penetapan daerah tertinggal, dilakukan
dengan menggunakan perhitungan 6 kriteria dasar dan 27 indikator utama. Dua
kriteria dasar, diantaranya: Sumber Daya Manusia –dengan indikator utama: angka harapan hidup; rata-rata lama sekolah;
serta angka melek huruf, dan Kemampuan Keuangan Daerah –dengan indikator utama: celah fiskal.
Dari kedua kriteria dasar itu saja, Kabupaten Garut memang masuk kriteria
daerah tertinggal. Lama pendidikan warga Garut, hanya 7,37 tahun –artinya, hanya sampai kelas 1 SMP. Angka
ini, terpaut 0,71 tahun di bawah capaian Provinsi Jawa Barat. Meski tingkat
kecukupan fasilitas dan tenaga pendidik naik, tetapi tidak serta merta
meningkatkan Rata-rata Lama Sekolah. Di sisi lain, yang lulusan sarjana, tidak
lebih dari 2,1 % dari jumlah penduduk. Meski sudah banyak juga yang lulusan
hingga magister (S2) maupun doktor (S3), tetapi kalau diakumulasi dengan
seluruh warga Garut, maka baru mencapai kelas VII SMP. Kemudian, kapasitas
fiskal 60 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Garut,
masih untuk belanja pegawai, bukan untuk pembangunan. Sedangkan, APBD atau
fiskal yang sehat itu adalah: 60 % untuk pembangunan.
Persentase Penduduk Usia Tahun menurut Ijasah/STTB
yang dimiliki di Kab. Garut
Tahun 2012
Ijasah/STTB
yang dimiliki
|
Jenis Kelamin
|
Jumlah
|
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
||
Tidak punya ijasah SD
SD/MI/sederajat
SLTP/MTs/sederajat/kejuruan
SMU/MA/sederajat
SMK
Diploma I/II
Diploma III
Diploma IV/S1
|
23,45
43,64
17,82
9,01
2,63
0,44
0,88
2,13
|
28,80
42,41
17,63
6,96
1,57
0,19
0,38
2,07
|
26,12
43,03
17,73
7,99
2,10
0,31
0,63
2,10
|
Sumber:
BPS Kab. Garut, Kabupaten Garut Dalam Angka Tahun 2013
|
Sebagaimana diketahui, unit terkecil daerah tertinggal yang digunakan
dalam Strategi Nasional ini, adalah wilayah administrasi Kabupaten –hal ini sesuai dengan kewenangan otonomi
daerah yang secara penuh diberikan kepada pemerintah Kabupaten. Ketertinggalan dinilai berdasarkan dua aspek,
yaitu: masyarakat dan wilayah, yang dirinci menjadi enam kriteria dasar dan dua puluh tujuh indikator utama, yakni: (1) Perekonomian Masyarakat, dengan indikator utama: 1Persentase Keluarga Miskin, dan 2Konsumsi Perkapita; (2) Sumber Daya Manusia, dengan indikator
utama: 3Angka Harapan Hidup, 4Rata-rata Lama Sekolah, dan 5Angka Melek Huruf; (3) Prasarana (Infrastruktur) dengan
indikator utama: 6Jumlah Jalan dengan Permukaan Terluas Aspal/Beton, 7Jalan Diperkeras, 8Jalan Tanah, dan 9Jalan Lainnya, 10Persentase Pengguna Listrik, 11Persentase Pengguna Telepon dan 12Persentase Pengguna Air Bersih, 13Jumlah Desa dengan Pasar Tanpa Bangunan Permanen, 14Jumlah Prasarana Kesehatan per-1000 Penduduk, 15Jumlah Dokter per-1000 Penduduk, 16Jumlah SD-SMP per-1000 Penduduk; (4) Kemampuan Keuangan Daerah, dengan indikator utama: 17Celah Fiskal, (5) Aksesibilitas, dengan indikator utama: 18Rata-rata Jarak dari Desa ke Kota Kabupaten, 19Jarak ke Pelayanan Pendidikan, 20Jumlah Desa dengan Akses Pelayanan Kesehatan lebih besar
dari 5 km dan (6) Karakteristik Daerah, dengan indikator utama: 21Persentase Desa Rawan Gempa Bumi, 22Tanah Longsor, 23Banjir, dan 24Bencana Lainnya, 25Persentase Desa di Kawasan Lindung, 26Desa Berlahan Kritis, dan 27Desa Rawan Konflik satu tahun
terakhir. Penetapan Daerah Tertinggal, ditentukan dengan indeks komposit dari nilai indeks enam kriteria dasar tersebut.
Derajat besaran indeks ketertinggalan, diklasifikasikan menjadi lima kelompok yaitu: Tidak Tertinggal/Maju, Agak Tertinggal, Tertinggal, Sangat Tertinggal, dan Sangat Parah. Kategorisasi Daerah Tertinggal adalah sebagai berikut:
Celah Fiskal sendiri merupakan Selisih Penerimaan
Keuangan Daerah dengan Belanja Pegawai.
Derajat besaran indeks ketertinggalan, diklasifikasikan menjadi lima kelompok yaitu: Tidak Tertinggal/Maju, Agak Tertinggal, Tertinggal, Sangat Tertinggal, dan Sangat Parah. Kategorisasi Daerah Tertinggal adalah sebagai berikut:
No
|
Nilai Indeks
|
Status
|
1
|
Indeks
< 0,000
|
Maju
|
2
|
0,000 < Indeks
< 0,500
|
Agak
Tertinggal
|
3
|
0,500 <
Indeks < 1,000
|
Tertinggal
|
4
|
1,000 <
Indeks < 2,000
|
Sangat
Tertinggal
|
5
|
Indeks > 2,000
|
Sangat Parah
|
Dalam APBD, pos Penerimaan Keuangan
Daerah terdiri dari: Pendapatan Asli Daerah (PAD); Dana Perimbangan (Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus); Penerimaan Lain-lain yang sah; Pinjaman Daerah; serta Sisa Anggaran Tahun Lalu.
Namun, pos Penerimaan Keuangan Daerah
yang dipakai dalam perhitungan kriteria daerah tertinggal hanya pada pos
Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, DAU, dan Penerimaan Lain-lain yang
sah.
Dengan demikian, Celah Fiskal di sini
adalah: Penerimaan Keuangan Daerah (diluar dari DAK, Pinjaman Daerah, dan Sisa
Anggaran Tahun lalu) dikurangi dengan Belanja Pegawai. Artinya bahwa Celah Fiskal ini untuk melihat berapa dana yang tersisa bagi pemerintah daerah untuk
melakukan pembangunan setelah dikurang biaya tetap –yaitu, biaya yang harus dikeluarkan untuk belanja pegawai. Sementara itu, penetapan Daerah Tertinggal juga kurang
memperhatikan keberadaan Daerah Otonom Baru (DOB). Asumsi yang kurang tepat, ketika DOB yang
dimekarkan dari "daerah induk" yang berstatus Daerah Tertinggal, langsung
ditetapkan sebagai Daerah Tertinggal. Sebetulnya perlu kajian yang lebih
mendalam, karena boleh jadi dari DOB tersebut ada yang tidak tertinggal,
atau sebaliknya DOB yang dimekarkan dari Non Daerah Tertinggal yang justru
kondisinya lebih tertinggal yang tentunya menjadi lebih berhak untuk
mendapatkan perhatian. Saat ini, masih banyak daerah yang luput dari
perhatian karena kelemahan dalam penetapan Daerah Tertinggal. Gagasan untuk
menghitung ulang Daerah Tertinggal, patut dipertimbangkan. Terlebih kita tahu,
bahwa salah satu sumber data yang digunakan untuk menghitung kabupaten yang
terentaskan menggunakan data Potensi Desa (Podes) 2011. Oleh sebab itu, untuk penetapan Daerah
Tertinggal pada RPJMN 2015-2019, sangat logis dan bijak jika dihitung ulang
dengan menggunakan data mutakhir.
Problema
Sejumlah kendala –baik langsung maupun tidak langsung, menjadi penghambat
tersendatnya capaian Rata-rata Lama Sekolah warga Garut, yang hanya 7,37 tahun,
pada tahun 2012. Kendala pertama, adalah: distribusi guru yang belum merata.
Akibatnya, di satu daerah ada yang menumpuk banyak guru, dan di daerah lainnya
ada yang kekurangan guru –bahkan di
titik-titik daerah tertentu, sangat kekurangan guru. Kendala kedua, adalah:
sarana dan prasarana pendidikan yang secara kuantitas masih kurang. Saat ini,
Kabupaten Garut masih kekurangan ruang kelas –terutama untuk tingkat SMP. Selain itu juga, masih banyak bangunan
SD yang perlu direhab berat atau total. Distribusi sarana pendidikan juga,
menjadi permasalahan tersendiri. Aksesibilitas daya jangkau dari rumah ke
sekolah, masih jauh. Kendala ketiga, sarana dan prasarana umum masih kurang.
Kondisi geografis Garut yang berupa pegunungan dengan kontur medan yang
naik-turun, secara otomatis akan memerlukan pembangunan ruas jalan yang cukup
panjang. Jembatan juga harus banyak dibangun, karena banyaknya sungai. Sarana
dan prasarana yang masih kurang tersebut, dapat menghambat warga Garut untuk
mengakses sekolah. Kendala keempat, motivasi orangtua untuk menyekolahkan
anaknya yang masih kurang. Secara umum, anak masih diperlukan tenaganya oleh
orangtua untuk membantu pekerjaan mereka –terutama
pengerjaan lahan pertanian. Bagi mereka, bila sang anak sudah bisa baca dan
tulis, itu sudah cukup –dengan demikian,
tidak perlu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Adapula yang keluar
sekolah, karena menikah.
Upaya
Pemerintah Kabupaten Garut, sudah
membuat rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2014-2019.
Nantinya, setelah mendapat persetujuan bersama dengan DPRD Garut, rancangan
RPJMD ini akan disahkan menjadi RPJMD 2014-2019 yang dituangkan dalam Peraturan
Daerah. Tentunya, RPJMD ini berbasis data. Data dan fakta di lapangan, akan
menjadi dasar membuat RPJMD maupun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Dalam
rancangan RPJMD tersebut, Indeks Pendidikan –sebagai bagian dari IPM tentunya menjadi salah satu bagian yang
diupayakan untuk ditingkatkan. Khususnya di bidang pendidikan, selain
mengumpulkan data dan fakta dilapangan –agar
pembangunan menjadi terarah dan terfokus, Pemkab. Garut berupaya untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan perbaikan manajemen Dinas Pendidikan.
Hal ini berkaitan dengan: periodesasi kepala sekolah; penguatan/implementasi
kurikulum; ataupun peningkatan kualitas guru.
Pencapaian IPM Kabupaten Garut
Tahun 2009-2013
Indikator
|
Pencapaian
|
Proyeksi 2013
|
Target 2014
|
|||
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
|||
IPM
|
70,98
|
71,36
|
71,70
|
72,12
|
72,73
|
73,85
|
A.
Indeks Pendidikan
|
82,15
|
82,27
|
82,35
|
82,36
|
83,01
|
83,41
|
Angka Melek Huruf (%)
Rata-rata Lama Sekolah (tahun)
|
98,93
7,29
|
98,94
7,34
|
98,96
7,37
|
98,98
7,37
|
99,28
7,57
|
99,32
7,74
|
B.
Indeks Kesehatan
|
67,00
|
67,67
|
68,33
|
68,98
|
69,76
|
69,50
|
Angka Harapan Hidup (tahun)
Angka Kematian Bayi (per 1.000
Kelahiran Hidup)
Angka Kematian Ibu (per 1.000
Kelahiran)
|
65,20
51,65
219,64
|
65,60
50,87
210,86
|
66,00
50,62
202,07
|
66,39
49,95
193,29
|
66,86
49,29
184,50
|
66,70
48,76
175,70
|
C.
Indeks Daya Beli
|
63,76
|
64,13
|
64,42
|
65,00
|
65,41
|
68,65
|
Kemampuan Daya Beli (Rp)
|
636,01
|
637,49
|
638,77
|
641,28
|
643,05
|
657,05
|
Sumber:
Rancangan RJPMD 2014-2019
|
Berdasarkan tabel di atas, meskipun
dengan kontribusi yang relatif rendah –bila
dibandingkan dengan indeks daya beli dan indeks kesehatan, namun derajat
pendidikan masyarakat secara makro, mengalami peningkatan. Hal tersebut
terefleksi dari pencapaian nilai indeks pendidikan pada tahun 2013 yang
diproyeksikan sebesar 83,01 poin, mengalami peningkatan sebesar 0,86 poin
(1,04%) dibandingkan pencapaian pada tahun 2009 sebesar 82,15 poin.
Pencapaian nilai Indeks Pendidikan ini,
dipengaruhi oleh nilai Rata-rata Lama Sekolah –dimana pada tahun 2013, RLS diproyeksikan mencapai 7,57 tahun, yang
berarti meningkat 0,28 tahun (3,84%) dari pencapaian RLS tahun 2009 sebesar
7,29 tahun. Seperti diketahui, Rata-rata Lama Sekolah adalah jumlah tahun
yang digunakan oleh penduduk berusia 15 tahun ke atas dalam menjalani
pendidikan formal. RLS turut ditentukan oleh variabel angka putus/melanjutkan
sekolah, dan angka partisipasi sekolah –APM/APK
pada masing-masing tingkat pendidikan.
Cara paling efektif untuk menaikkan
waktu RLS, tentunya bukan dengan menyekolahkan kembali penduduk yang telah
berusia lanjut, akan tetapi dengan mengupayakan agar tidak ada lagi peserta
didik yang putus sekolah. Oleh karenanya, upaya yang dapat ditempuh adalah: (1)
dengan memperkecil angka putus sekolah dan meningkatkan jumlah angka yang
melanjutkan antar-jenjang pendidikan melalui peningkatan partisipasi dan mutu
sekolah pada jenjang: pendidikan dasar; pendidikan menengah universal; dan
pendidikan yang berdaya saing, (2) peningkatan mutu pendidik dan tenaga
pendidikan, serta (3) penyelenggaraan pendidikan non formal, berupa: Kejar
Paket A –setingkat Sekolah Dasar;
Paket B –setingkat Sekolah Menengah
Pertama; dan Paket C –setingkat
Sekolah Menengah Atas.
Dalam rangka meningkatkan partisipasi
pendidikan masyarakat, maka perlu dilakukan peningkatan aksesibilitas
pendidikan, melalui pembangunan: Unit Sekolah Baru; Ruang Kelas Baru;
peningkatan perbaikan/rehab sekolah; serta penyelenggaraan pendidikan SMP
Terbuka (Satu Atap) –terutama di daerah
terpencil. Dengan demikian, Angka Melek Huruf –sebagai salah satu variabel dari Indeks Pendidikan pada tahun 2013,
diproyeksikan sebesar 99,28% –mengalami
peningkatan 0,35% dari tahun 2009 yang sebesar 98,93%. Kondisi ini
memberikan gambaran, bahwa: sampai dengan tahun 2013, kemampuan baca masyarakat
Kabupaten Garut, terus mengalami kenaikan.
Rata-rata Lama Sekolah juga, dipengaruhi
oleh tingkat responsibilitas masyarakat terhadap fasilitas-fasilitas
pendidikan. Dengan demikian, RLS tidak hanya tergantung pada jumlah sekolah
saja, akan tetapi, tergantung pada “ketertarikan” masyarakat untuk bersekolah. Untuk
itu, dapat diintervensi dengan: mengefektifkan peran guru yang tersebar di
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) untuk mengedukasi dan memotivasi
masyarakat mengenai pentingnya pendidikan; penyaluran Bantuan Operasional
Sekolah; beasiswa; maupun program-program lainnya.
Terakhir, jika berpisahnya 16 wilayah kecamatan dari Kabupaten Garut, menjadi Daerah Otonom Baru (DOB) Garut Selatan, kemungkinan besar dengan minus 16 kecamatan tersebut, kondisi IPM Kabupaten Garut, termasuk indeks kesehatan; daya beli; dan indeks pendidikan, akan meningkat.
Terakhir, jika berpisahnya 16 wilayah kecamatan dari Kabupaten Garut, menjadi Daerah Otonom Baru (DOB) Garut Selatan, kemungkinan besar dengan minus 16 kecamatan tersebut, kondisi IPM Kabupaten Garut, termasuk indeks kesehatan; daya beli; dan indeks pendidikan, akan meningkat.
***