"Di sana aku menghargai dan memelihara ilmuku bagaikan benda keramat.
Selama 12 tahun aku menjelajahi gunung-gunung dan hutan-hutan Kepulauan Sunda
yang mempesonakan itu. Dengan sengaja aku mengikuti jalan setapak yang sepi,
dan tidak ada petunjuk jalan lain yang menemaniku kecuali kecintaan pada
pekerjaan itu dan antusiasme".
"Hanya di ketinggian pegunungan saya dapat bahagia! Betapa senangnya,
betapa mudahnya hati ini tersentuh saat berada di atas gunung." Sementara
angin berhembus sepoi menerpa pohon kasuarina dan bintang berkelip menembus
atap gubuk hijau tipis. Tiada genting yang menghalangi kita dari tatapan langit
yang ramah. Tiada tembok gelap yang menyesakkan kita. Di sini kita bernafas
lega dan bebas".
Demikianlah tulisan Junghuhn, saat beliau
menjelajahi Jawa yang eksotik hampir selama 30 tahun, penjelajahan sekaligus
penelitiannya ditumpahkan dalam berbagai tulisan dan sketsa indah. Sementara
itu di bait kedua, merupakan karya lainnya berjudul ‘Junghuhn di atas Gunung Kawi’,
tahun 1844.
Cagar Alam Junghuhn, Taman Junghuhn, Lembang Bandung. |
Taman
Junghuhn
Itulah dr Franz Wilhem Junghuhn, lahir
26 Oktober 1908, seorang dokter Belanda yang berasal dari Mansfeld, Jerman. Seorang seniman, peneliti, botanis, dokter,
fotografer, pelukis, petualang dan sederet atribut lain yang bisa disematkan
padanya. Dialah orang pertama yang berhasil memetakan topografi Pulau Jawa.
Identifikasi tanaman dan pemetaan tumbuhan juga merupakan sumbangsih beliau.
Dari hasil penjelajahan dan bukunya, tumbuh teori-teori baru yang menjadi
tulang punggung perkembangan keilmuan Indonesia. Junghuhn berjasa sebagai
peneliti pulau Jawa dari sudut pandang ilmu bumi, geologi, vulkanologi dan
botanik dan juga daerah Batak di Sumatera. Uraian menurut ilmu alam, dia
tuangkan pada karya utamanya: Pulau Jawa - Bentuknya, Permukaannya dan
Susunan Dalam (3 jilid, 1852-54), yang dilengkapi oleh peta pertama dari pulau
itu yang terperinci dan andal. Junghuhn juga menyusun sejumlah herbarium,
singkatan ilmiahnya adalah Jungh. Dikenal pula pada upaya-upayanya untuk membina
pemeliharaan pohon-pohon cinchona untuk menghasilkan obat kinine.
Tugu Makam Junghuhn |
Segala kecintaan dan hasratnya,
ditumpahkan di Jawa dan sebagian Sumatera. Kecintaan dan antusiasme, bagi
sebagian orang disebut kegilaan. Kedua hal itu menjadi spirit penjelajahannya
di tanah Jawa. Hasil karyanya menjadi sumber tak terkira untuk perkembangan
keilmuan. Lelaki dengan petualangan yang tak terbayangkan ini dimakamkan di
Jayagiri Lembang, menghadap ke arah Tangkuban Parahu. Sejatinya bernama Cagar
Alam Junghuhn, namun masyarakat mengenalnya sebagai Taman Junghuhn. Ya, Taman
Junghuhn di Kampung Genteng; Desa Jayagiri; Kecamatan Lembang; Kabupaten
Bandung Barat. Di taman itu pula, Junghuhn tutup usia pada 24 April 1864. Taman
yang seharusnya indah dan menjadi salah satu perpustakaan alam ini, hancur
tidak terawat. Walaupun tak terpelihara, namun tempatnya bisa dijadikan untuk merenung
sejenak dan menikmati sedikit dari aura Junghuhn. Lelaki yang lebih memilih
jalan sepi ini, suasana kuburannya pun sepi pengunjung. Hanya ada beberapa
pasangan muda mudi memadu kasih di sana.
Franz Wilhelm Junghuhn
Lahir di Mansfeld, Magdeburg-Prusia Jerman
(dekat Pegunungan Harz), 26 Oktober 1809 – meninggal di Lembang, 24
April 1864 pada umur 54 tahun) adalah seorang naturalis, doktor, botanikus,
geolog dan pengarang berkebangsaan Jerman (lalu Belanda).
Junghuhn |
Dalam usia remajanya, Junghuhn
memperlihatkan kecintaan pada alam. Cita-citanya menjadi botanikus. Tahun 1827
- 1831 berkuliah di Universitas Halle, kemudian di Berlin. Baru satu tahun di
Berlin Junghuhn dihadapkan dengan tuntutan duel oleh seorang mahasiswa Swiss
bernama Schwoerer. Penuntut tidak mengalami cedera apapun, padahal Junghuhn
terluka pada pahanya. Tapi, Junghuhn malah dihukum 10 tahun tahanan dalam
benteng. Lawannya, yaitu Schwoerer bunuh diri –menurut dugaan, untuk menghindari dari tahanan. Tahanannya dimulai
bulan Januari tahun 1832 di benteng Ehrenbreitstein di atas kota Koblenz. Pada
bulan September 1833, Junghuhn melarikan diri ke Perancis dan masuk Legiun Asing.
Ia ditempatkan di Aljazair dan pada tahun 1834 diberhentikan dari legiun. Ia
pergi ke Paris, di mana ia diberi nasihat oleh Persoon –seorang botanikus dan mikolog, untuk menyelidiki flora tropis
kepulauan India. Junghuhn tidak punya pilihan lain daripada masuk dinas
kesehatan pada tentara penjajahan Belanda. Tahun 1835 tiba di Batavia, ia
bertugas dalam dinas kesehatan di Batavia dan Semarang. Pada tahun 1837 dan 1838,
melakukan dua perjalanan dinas dengan Dr. E. A. Fritze –pada waktu itu, Fritze selaku direktur dinas kesehatan di
Hindia-Belanda, untuk menjelajahi seluruh pulau Jawa. Mereka mendaki hampir
semua gunung api di sana. Pada pertengahan 1840, Junghuhn dipindahkan ke
Padang. Dia ditugaskan oleh Gubernur Jenderal Pieter Merkus untuk pergi ke
daerah Batak dan menyelidikinya, karena pada waktu itu bagian Sumatera masih
kurang terkenal. Hermann von Rosenberg –seorang
penyelidik alam berkebangsaan Jerman disuruh mendampingi Junghuhn, tapi von
Rosenberg terpaksa membatalkannya karena suatu peristiwa dalam kegiatan
berburu, yang mengakibatkan ia jatuh sakit. Akhirnya Junghuhn berangkat
sendirian dan selama satu tahun setengah, selama ekspedisinya berlangsung hanya
diiringi pendamping-pendamping pribumi saja. Ia hanya dapat menjelajahi bagian
Selatan dari daerah Batak, sebabnya masyarakat Batak di bagian Utara
menghalanginya untuk masuk ke pedalaman. Perjalanan ke daerah Batak juga
dipersulitkan oleh akibat perang Paderi, yang baru berakhir pada tahun 1838 dan
meninggalkan pada suku Batak suatu trauma terhadap orang dari luar. Perjalanan
kaki Junghuhn melalui hutan belantara dan pegunungan di daerah Batak pada waktu
itu sangat melelahkan dan penuh kepayahan. Tenaga fisik dan psikis Junghuhn dan
para pendampingnya ditantang secara sangat berat. Dari 17 bulan, yang ia berada
di daerah itu, ia terpaksa menjaga tempat tidur selama sepuluh bulan untuk
merawat kakinya yang terkena sakit parah.
Franz Wilhelm Junghuhn |
Dalam segala tulisannya ia menunjukkan
simpati besar kepada orang Batak. Ia memberikan penghargaan tinggi, atas keramahan
mereka terhadap tamu, spontanitasnya, keramah-tamahannya dan juga
keterbukaannya. Ia mengagumi bahasa baku mereka, tetapi tidak dapat memahami
kenapa mereka menggemari kanibalisme. Agaknya kanibalisme mereka cuma sebuah
legenda, yang disebarluaskan oleh masyarakat Batak sendiri untuk menghalangi
orang-orang luar untuk masuk ke daerah mereka. Pada Juni 1842, Junghuhn kembali
di Batavia. Pemerintah kolonial Belanda menugaskan dia untuk melakukan pengukuran
topografis Jawa Barat, kemudian juga Jawa Timur. Pada Mei 1845, ia diangkat secara
resmi sebagai anggota Natuurkundige Commissie di Batavia. Pada masa
pemerintahan Gubernur Jenderal Rochussen, ia ditugaskan untuk mencari tempat di
pulau Jawa, di mana dapat ditambang batubara.
Pada tahun 1848, Junghuhn terpaksa
pulang ke Eropa sebab kesehatannya kurang stabil. Ia pergi ke Leiden, di mana
para botanikus yang sangat terkenal selama tahun 1851 - 1856 mengerjakan edisi Plantae
Junghunianae, publikasi tumbuhan-tumbuhan yang ditemukan oleh Junghuhn di
pulau Jawa dan Sumatera. Januari 1850 Junghuhn menikah di kota Leiden dengan Johanna
Louisa Frederica Koch. Pada bulan Agustus 1853 ia diberikan kewarganegaraan
Belanda. Karena pekerjaan untuk menyelesaikan rumusan terakhir karya utamanya Java
- seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart menemukan sejumlah
kesulitan, publikasi itu baru diterbitkan pada tahun 1850 sampai dengan 1854 di
Amsterdam dalam versi Belanda dan pada tahun 1852 sampai dengan 1854 di Leipzig
dalam versi Jerman. Serentak pada tahun 1854, peta yang merupakan sebagian dari
karyanya itu dicetak, sedangkan peta besar pulau Jawa, baru keluar setahun
kemudian, yaitu pada tahun 1855. Di tahun 1854, Junghuhn mengarang sebuah karya
dengan pandangannya tentang agama primordial (Naturreligion) berlawanan dengan tradisi agama kristen. Buku itu
berjudul Licht- und Schattenbilder aus dem Innern von Java.
FW Junghuhn |
Pada bulan Juni Junghuhn ditugaskan
sebagai inspektur penyelidikan alam di Pulau Jawa dan ia berangkat lagi ke Hindia
Belanda. Junghuhn sekarang seorang naturalis bereputasi internasional,
mendapatkan beberapa penghargaan dan jadi anggota sejumlah lembaga ilmiah.
Tugas utamanya pemeliharaan tanaman cinchona
untuk menghasilkan kinine. Pada tahun
1857, ia secara resmi ditugaskan untuk melakukan pengawasan perkebunan cinchona. Ia langsung merubah prosedur
penanaman percobaan yang diterapkan J.K. Hasskarl, pendahulunya, dengan
memindah perkebunan cinchona ke
daerah pegunungan yang lebih tinggi dan menyuruh menanam semaian-semaian di
dalam keteduhan hutan. Dari tahun 1858 sampai dengan tahun 1862, Johan Eliza de
Vrij –seorang farmakolog ternama
menjadi penasihat proyek cinchona itu.
De Vrij menyarankan memilih jenis cinchona
lain yang lebih produktif. Tetapi pada waktu itu spesies cinchona ledgeriana belum tersedia, yang kelak dikemudian hari akan
memungkinkan terjadinya peningkatan penghasilan kinine di pulau Jawa, sehingga pada akhir abad ke-19 kontribusi
dari Nederlands Indie mencapai dua pertiga dari penghasilan kinine dunia. Sayang sekali proyek
perkebunan cinchona, baru menjadi
sukses beberapa tahun sesudah Junghuhn meninggal dunia. Meskipun begitu,
jasanya tak akan pernah pudar. Sepatutnya, ia dapat dianggap perintis
perkebunan cinchona di Pulau Jawa
Pada akhir tahun 1861, ia terkena
infeksi amoeba dan sejak waktu itu tidak dapat sembuh lagi. Ia wafat pada
tanggal 24 April 1864 dalam usia 54 tahun di rumahnya di Lembang. Makamnya
terdapat di kaki Gunung Tangkuban Parahu di Kecamatan Lembang, Kabupaten
Bandung Barat, Jawa Barat. Dalam sebuah taman, Taman Junghuhn, yang ditumbuhi Cinchona
succirubra maupun C. ledgeriana.
Pohon
Kina
Tanaman Kina |
Tanaman Kina berbentuk perdu besar atau
pohon kecil dan berasal dari daerah tropis Amerika Selatan. Tingginya dapat
mencapai 5 – 15 meter. Kulit pohonnya merupakan sumber dari berbagai jenis
alkaloid. Yang paling dikenal adalah kuinina, suatu senyawa antipiretik
(penawar demam) yang sering digunakan dalam pengobatan malaria. Kulit kayu Kina
juga digunakan untuk merangsang sekresi air liur dan getah lambung. Tanaman
kina terdiri dari 38 spesies yang berbeda. Dari banyak penghasil kinina, hanya Cinchona Officinalis dan Cinchona
Pubescens yang dibudidayakan dalam perkebunan. Untuk Cinchona Officinalis, yang dipakai hanya batang bawahnya.
Jenis-jenis inilah yang dikenal dalam perdagangan sebagai tumbuhan kina. Tanaman kina dimanfaatkan dengan diambil kulit kayunya,
untuk kemudian diproses sesuai keperluan, mulai pil kina –penyembuh malaria, garam kina, dan minuman ringan.
Batang Pohon Kina |
Kina juga digunakan untuk meningkatkan
nafsu makan, membantu pengeluaran cairan pencernaan, mengobati kembung, dan
masalah perut lainnya. Digunakan juga untuk mengobati gangguan pembuluh darah,
termasuk: wasir, varises, dan kram kaki. Beberapa orang menggunakan kina untuk
mengatasi influenza ringan, flu babi, flu biasa, malaria, dan demam. Kegunaan
lainnya adalah untuk mengobati penyakit kanker, mulut dan tenggorokan, pembesaran
limpa, dan kram otot. Kina juga digunakan dalam lotion untuk mengurangi rasa
nyeri mata, membunuh kuman dan sebagai astringent.
Ekstrak Kina juga digunakan pada kulit untuk merangsang pertumbuhan rambut, dan
mengobati varises.
Masuknya
tumbuhan endemik dataran tinggi Amerika Selatan itu ke Indonesia tak lepas dari
periode kelam agrikultur di bumi Nusantara ini saat penerapan sistem tanam
paksa atau cultuur stelsel oleh perusahaan dagang Belanda Vereenigde Oost
Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1830. Khusus tanah di wilayah Jawa Barat,
karena lebih spesifik pada komoditas perkebunan, sistemnya diatur sendiri dan
dinamakan: Priangan Stelsel. Sedikit berbeda dari motif penanaman kopi dan teh
yang harganya di dunia saat itu sangat tinggi, kina ditanam di Priangan pada
awalnya untuk menjaga agar tumbuhan jenis itu tidak punah. Pasalnya, saat itu,
kina terbukti menjadi obat yang sangat penting. Setelah permintaan dunia
kedokteran meningkat dan harganya menjadi tinggi, Pemerintah Belanda melihatnya
sebagai peluang bisnis.
Nyamuk Anopheles, penyebab malaria. |
Junghuhn
merupakan perintis penanaman kina di Indonesia. Ia merintisnya di sejumlah
daerah pegunungan di Wilayah Priangan Jawa Barat mulai sekitar tahun 1830. Ilmuwan
sekaligus pencinta alam yang mulanya berkebangsaan Jerman itulah yang meminta
pemindahan pembibitan kina dari Kebun Raya Bogor ke Pangalengan pada tahun 1855.
Saat Junghuhn menangani pembibitan kina di Pangalengan, jumlah pohon kina di
Pulau Jawa hanya 167 batang. Namun, 6,5 tahun kemudian, jumlah pohon kina pun
bertambah menjadi 1.359.877 batang dan 70 persen di antaranya berjenis Cinchona Pahudiana. Belakangan, usaha
yang dirintisnya itu mampu membawa harum nama daerah Priangan, dengan sempat
menjadi pemasok utama kina dunia sampai menjelang Perang Dunia II, sebelum akhirnya
usaha kina Jabar (nasional) kemudian mengalami kemunduran. Sebagai penghargaan
atas nama besar dan jasa Junghuhn, namanya diabadikan untuk sebuah perkebunan
dan rumah sakit di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Setidaknya,
masyarakat dapat mengenal namanya melalui Perkebunan Pasir Junghuhn –kini bagian dari Perkebunan Purbasari, dan
Rumah Sakit Pasir Junghuhn, yang dikelola PTPN VIII.
Kulit Kina |
Puncak
kejayaan kina Indonesia –Hindia Belanda,
dialami sampai menjelang Perang Dunia II pecah. Lebih dari 90 persen kebutuhan
bubuk kina dunia, dipasok dari berbagai perkebunan kina di daerah Priangan
Jabar, dengan total produksi 11.000 hingga 12.400 ton kulit kina kering per
tahun yang pabriknya berada di sekitar Bandung.
Sampai
menjelang tahun 1940 jumlah perkebunan di Jabar yang mengusahakan tanaman kina
mencapai 58 unit (dari total 323-326 unit perkebunan yang ada di Jabar, jika
ditambah Banten menjadi sekitar 400 unit pada saat itu). Daerah penanaman kina
terbanyak di Kab. Bandung (18 perkebunan), diikuti Kab. Garut (13), Kab.
Cianjur (12), Kab. Bogor (5), Kab. Sukabumi (4), Kab. Purwakarta (2), Kab.
Subang (2), dan Kab. Sumedang (2). Jumlah itu, terdiri dari perkebunan yang
seluruhnya menanam kina, serta yang diusahakan di antara tanaman teh dan karet,
dengan luas penanaman kina total seluas 17.000 - 18.000-an hektare.
Kuli Kina, obat malaria. |
Setelah
zaman kemerdekaan (1945), jumlah perkebunan yang mengusahakan tanaman kina di
Jabar menyusut drastis. Di antara penyebabnya, rusak karena perang, hubungan
Indonesia dengan negara pengimpor terputus sehingga “kehilangan” pasar, serta
banyak perkebunan mengkonversi kina ke tanaman lain –tentunya yang dinilai lebih menguntungkan.
Walau
demikian, sejumlah perkebunan yang mengelola kina, bersama berbagai perkebunan
yang mengelola tanaman lain, dapat terselamatkan, lalu dinasionalisasi oleh
pemerintah Indonesia menjelang dan sesudah tahun 1958. Berbagai perkebunan itu
kemudian dikelola Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) dan perusahaan swasta. Di
Jabar hanya tinggal sekitar 20 unit perkebunan yang masih terdapat tanaman
kina.
Perkebunan Ramawatia, Priangan. |
Untuk
perkebunan di Jabar yang dikelola PPN –saat
reorganisasi PPN Lama dan PPN Baru dilakukan peleburan menjadi PPN Kesatuan
pada tahun 1961, tinggal terdapat 16 perkebunan yang mengusahakan tanaman
kina (juga antara yang seluruhnya ditanami kina, maupun bersama tanaman teh,
karet, atau kopi). Namun di luar itu, terdapat pula beberapa perkebunan yang
mengusahakan tanaman kina oleh perusahaan perkebunan negara lain, yaitu PPN
Dwikora IV, perusahaan swasta, serta yang diusahakan oleh rakyat.
Pada
tahun 1963-1968, perusahaan perkebunan negara diubah lagi, di mana di Jabar,
tanaman kina bersama tanaman teh ditangani PPN Aneka Tanaman (Antan) VII, PPN
Antan VIII, PPN Antan IX, dan PPN Antan X. Setelah itu kemudian diubah lagi,
dengan dibentuk menjadi PN Perkebunan/PT Perkebunan (PNP/PTP), di mana tanaman
kina di Jabar ditangani PTP XII dan PTP XIII. Sedangkan perkebunan yang
dikelola perusahaan lain, misalnya PT Kimia Farma (Perkebunan Bintang), dan
swasta (misalnya Perkebunan Selekta).
Pengepakan kulit kina, tahun 1940. |
Jumlah
areal penanaman kina pun kembali berkurang karena berbagai sebab, terutama
akibat kurang terpelihara. Menurut data tahun 2002-2003 dari Dinas Perkebunan
Jabar, di daerah ini tanaman kina yang masih diusahakan hanya tinggal sekitar
4.496,27 hektare. Namun demikian, berdasarkan data sampai dengan triwulan
I/2003 dari PTPN VIII, tanaman kina yang mereka kelola menjadi tinggal seluas
3.859 hektare. Produksi kina mereka seluruhnya dijual kepada pabrik pengolah
industri hilir, yaitu PT. Sinkona Indonesia Lestari (anak perusahaan PTPN VIII
yang berpatungan bersama PT. Kimia Farma dan PT. Tri Usaha Bakti) untuk
selanjutnya diekspor. Sampai hitungan waktu itu, produksi kina sebanyak 163
ton, sedangkan volume penjualan berjumlah 119 ton dengan nilai Rp 1,8 miliar.
Menguliti pohon kina, 1945-1950. |
Menurun
drastisnya produksi kina Indonesia –khususnya
di Jabar, membuat posisi Indonesia kini berbalik menjadi negara importir.
Padahal di Indonesia, saat ini terdapat dua pabrik kina, yaitu PT Kimia Farma
dan PT Sinkona Indonesia Lestari (SIL) yang diperkirakan membutuhkan sekitar
3.000-5.000 ton kulit kina per tahun. Sedangkan produksi kulit kina dari perusahaan
tersebut, diperkirakan sekitar 1.500-1.800 ton per tahun. Indonesia juga
merupakan satu-satunya negara di dunia yang memiliki perkebunan dan pabrik
pengolahan kina yang lokasinya berdekatan. Kapasitas normal per tahun dari
pabrik PT. Kimia Farma sebesar 150 ton dalam bentuk kinina sulfat, sedangkan PT. SIL berkapasitas 150 ton dalam bentuk kinina/kinidina. Dari jumlah itu, kebutuhan bubuk kina internasional
sendiri saat ini baru berkisar 600 ton per tahun, tak berbeda jauh dari
tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan informasi Pusat Penelitian Teh dan Kina
(PPTK) Gambung, Kab. Bandung, produksi kina saat ini mencapai 10.000 ton setiap
tahunnya. Kebutuhan itu dipenuhi dari negara di kawasan Afrika sebanyak 5.000
ton, dan negara lain di luar Indonesia sebanyak 1.700 ton. Pada kondisi lain,
belakangan ini produk kina asal Indonesia pun mengalami tantangan, di antaranya
akibat ketidakpastian harga pada pasar internasional yang dialami sejak
beberapa tahun terakhir. Kondisi ini disebabkan oleh masih “gelap”-nya
kejelasan harga dan produksi di pasar internasional selama beberapa tahun
terakhir. Harga pasaran kina dunia menjadi cenderung terdikte oleh pembeli.
Parahnya, berbagai produsen kina setengah jadi, kemudian menjadi saling
menawarkan harga yang rendah, sekadar berharap memperoleh pasaran secara cepat.
Produsen utama produk kina setengah jadi di dunia sampai kini terutama
Indonesia (PT SIL dan PT Kimia Farma), Jerman (Buchler), disusul Belanda,
Bangladesh, dan dikabarkan India membangun pabrik pengolahan. Namun, di antara
mereka, saingan Indonesia hanya Buchler Jerman karena memiliki peralatan lebih
modern.
Pabrik kulit kina, Bandung 1900-1910. |
Produk
kina setengah jadi dari PT SIL sendiri, umumnya dijual dalam bentuk garam kina,
dengan pasar utama ke AS, Eropa, dan beberapa negara Asia, untuk bahan farmasi
dan bahan minuman. Sedangkan produksi kina untuk obat, selama ini dilakukan PT.
Kimia Farma. Namun menurut sejumlah sumber di PT. Kimia Farma Bandung, karena
pasokan kina nasional sendiri kurang mencukupi, membuat produksi pil kina pun
menjadi harus disesuaikan dengan suplai kina yang ada.
Sementara
itu, upaya meningkatkan produksi kina Indonesia sebenarnya sudah dilakukan. Ini
terutama oleh PTPN VIII sejak tahun 1994, yang juga merupakan produsen kina
terbesar nasional di samping teh. Langkah yang dilakukan, di antaranya
peremajaan kebun, serta rehabilitasi kebun-kebun yang usia tanaman kinanya
sudah tua. Di samping itu, juga dilakukan penyulaman sehingga jumlah populasi
tanaman per hektare sesuai standar. Perbaikan pun dilakukan untuk pola panen,
dengan menyempurnakan sistem stumping
di seluruh areal, menjadi sistem selective
stumping untuk memperkecil kematian tanaman.
Perkebunan Kina Sedep Priangan, 1920-1940. |
Peluang
pengembangan tanaman kina di Indonesia, khususnya di Jabar cukup prospektif.
Pertimbangannya, Indonesia memiliki sumber plasma nutfah yang kandungan kinina sulfat (bahan untuk pil kina) di
atas 14 persen, sedangkan negara lain hanya 7-8 persen. Prospek pengembangan
areal tanaman kina, masih berpotensi dilakukan di Kab. Bandung, Garut, Subang,
Sukabumi, dan Majalengka. Pada tahun ini, Dinas Perkebunan Jabar, PTPN VIII, PT
SIL, sedang menyusun perencanaan perluasan tanaman kina, baik di lahan kosong
perkebunan besar serta rakyat. Penanaman kembali tanaman kina juga dikaitkan
dengan gerakan rehabilitasi lahan kritis. Pada sisi lain, penanaman kina
sebagai upaya meningkatkan suplai bahan obat juga sebagai konservasi lingkungan
hidup. Walau tanaman kina sedang tak menjadi unggulan produk perkebunan di
Jabar, namun prospeknya tetap baik jika dikaitkan dengan jumlah permintaan
dibandingkan suplai yang ada. Peluang ini, setidaknya dapat menjadikan motivasi
di antara berbagai produsen kina nasional, baik usaha perkebunan maupun
industrinya untuk lebih seiring sejalan. Setidaknya, agar memperoleh usaha
lebih baik di pasar internasional berikut suplai untuk kina pengobatan malaria.
Ya,
dari aspek ekologis, kina punya keunggulan. Sebagai tanaman berakar kuat,
sebanyak 6.000 pohon kina yang pernah tertanam di Hulu Citarum itu mampu menjadi
areal tangkapan resapan air yang mencegah banjir dan erosi. Kini, ketika
memandangi hulu Sungai Citarum, tak tampak satu pun pohon kina tersisa.
Semuanya gundul, rata dengan kebun sayur. Ironis.
Iklim
Junghuhn juga mengadakan penelitian tentang
iklim dan cuaca di Sumatera Selatan dan Dataran Tinggi Bandung. Dari hasil
penelitiannya, ia membagi iklim di Indonesia berdasarkan ketinggian tempat dan
jenis vegetasi yang tumbuh di daerah tersebut. Empat daerah iklim menurut Junghuhn
adalah sebagai berikut:
1.
Zona
Iklim Panas/ Tropis. Zona iklim panas terletak pada daerah dengan ketinggian
antara 0 – 650 meter di atas permukaan air laut (dpal) dan temperatur antara
26,3 °C – 22 °C.
2.
Zona
Iklim Sedang. Zona iklim sedang terletak pada daerah dengan ketinggian antara
650 – 1500 meter dpal dan temperatur antara 22 °C – 17,1 °C.
3.
Zona
Iklim Sejuk. Zona iklim sejuk terletak pada daerah dengan ketinggian antara
1500 – 2500 meter dpal dan temperatur antara 17,1 °C – 11,1 °C.
4.
Zona
Iklim Dingin. Zona iklim dingin terletak pada daerah dengan ketinggian di atas
2500
meter dpal dan temperatur kurang dari 11,1 °C.
meter dpal dan temperatur kurang dari 11,1 °C.
Junghuhn (kiri) dan Richthofen di Talaga Patenggang. |
Tanaman atau vegetasinya:
·
Tanaman
yang cocok di Iklim Panas: padi, jagung,
kopi, tembakau, tebu, karet, kelapa, dan cokelat.
·
Tanaman
yang cocok di Iklim Sedang: padi, tembakau, teh, kopi, cokelat, kina, dan
sayur-sayuran.
·
Tanaman
yang cocok di Iklim Sejuk: teh, kopi, kina, dan sayur-sayuran.
·
Tidak
ada tanaman budidaya yang cocok di Iklim Dingin, kecuali sejenis lumut.
***
Salam kenal kang Ade,
BalasHapusTulisan mengenai Junghun selalu menarik hati saya. Terutama sebagai orang yang senang bertualang dna meneliti.
Izin bertanya, apakah ini murni tulisan kang Ade, atau saduran dari beberapa penulis? JIka ada mohon bantuannya untuk informasi tulisan terdahulu. terima kasih untuk informasinya kang