Bila
membicarakan tentang dokter Denis Gerard Mulder, maka akan terbayang empat hal
di Kota Garut, yakni: Sanatorium Ngamplang; Rumah Sakit; Apotek Garut; dan
Batik Sanatorium Ngamplang. Dr. Denis Gerard Mulder membangun sebuah kompleks
rekreasi dan pemulihan bagi yang sakit “Sanatorioem Garoet” di bukit Ngamplang
Garut, yang merupakan cikal bakal Grand Hotel Ngamplang. Beliau juga orang pertama
yang merintis pembangunan zeinhuis (rumah sakit), merupakan cikal bakal dari
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Slamet Garut. Selain sebagai seorang dokter, Dr. Denis
Gerard Mulder juga merupakan seorang fotografer amatir yang fanatik. Garoetsche
Apotheek yang ia dirikan, berfungsi juga sebagai studio foto G.A.H. Foto
Atelier Lux. Dan terakhir, Dr. Denis Gerard Mulder memiliki perhatian tinggi
terhadap batik tulis Garutan. Batik Painting of Sanatorium koleksinya, menjadi
masterpiece koleksi Tropenmuseum di Amsterdam Belanda.
|
Ziekenhuis (Rumah Sakit) Garoet, 1930. |
Sanatorioem
Garoet
Seorang dokter bernama Denis Gerard Mulder,
mulai membuka praktek dokter di Garut pada tahun 1912. Ia mendirikan sebuah klinik
kesehatan bersama temannya Dr. Sthiohtor –Internis/ahli
penyaki dalam yang letaknya di Tjimanoekstraat –Jalan Cimanuk. Dr. Denis Gerard Mulder, selain seorang Chirurg/ahli
bedah, ia juga spesialis dalam terapi dengan sinar ultra-violet. Dr. Mulder mempunyai
cita-cita untuk membangun sebuah kompleks rekreasi dan pemulihan, bagi yang
sakit paru –tuberculose. Pada tahun
1913, ia mulai membangun “Sanatorioem Garoet” di bukit Ngamplang Cilawu –sekitar 4 km dari Kota Garut. Sanatorium
tersebut, ia namakan: De Villa Fanny van het Hotel Sanatorioem Garoet. Pada
tahun 1915, Sanatorioem Garoet mulai dibuka untuk umum. Dr. Mulder sendiri
selain bertindak sebagai direktur, juga merangkap langsung sebagai dokter yang
menangani klien. Ia, dibantu oleh delapan orang Eropa sebagai perawat. Pada
tahun 1920, Dr. Mulder diangkat sebagai dokter pemerintah di Bandung, hingga
kemudian bangunan Sanatorioem Garoet ini dijual kepada The Dutch East Indies
Hotel Corp –yang merupakan salah satu anggota dari Nederlands Indische Hotelvereeniging.
Nama Sanatorioem Garoet kemudian berganti menjadi Hotel Ngamplang –pernah berubah menjadi Grand Sanatorium
Ngamplang dan Lapang Golf Flamboyan Ngamplang.
|
Sanatorium Garoet, cikal bakal Hotel Ngamplang Garut. |
|
Gang di Sanatorium Garoet |
Dalam catatan sejarah, penanggulangan tuberculose,
sudah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda. Sesuai dengan pemahaman dokter-dokter
tentang penanganan penyakit tersebut saat itu –dimana pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, saat antibiotik belum
ditemukan, yang menekankan peningkatan sistem kekebalan tubuh pasien dengan
istirahat, lingkungan yang baik dan nutrisi yang kuat, dibangunlah sanatorium
di beberapa tempat di Indonesia. Pada dasarnya, sanatorium
atau petirahan, dibangun untuk merawat pasien penyakit menahun –terutama tuberculose. Centrale
Vereeniging voor Tuberculose Bestrijding (CVT), perkumpulan swasta bentukan
Pemerintah Hindia Belanda, pada tahun 1908, mendirikan 15 sanatorium besar dan
kecil dengan 20 Consultant Bureau –biro
konsultasi yang tersebar terutama di Pulau Jawa. Tempat yang dipilih
biasanya adalah dataran tinggi, karena menurut pemahaman saat itu, udara
pegunungan yang bersih dan dingin adalah terapi terbaik penyakit paru. Dengan demikian,
usahanya terbatas pada “pengasingan penderita” dalam sanatorium dengan
istirahat dan terapi diet. Pada tahun 1933, baru-lah perhatian ditujukan kepada
rakyat umum yang juga perlu dilindungi terhadap penularan penyakit ini dengan
mendirikan biro-biro konsultasi yang ditangani oleh sebuah yayasan
"Stichting Centrale Vereninging Bestrijding der Tuberculose" (SCVT).
Prinsip pengobatan sanatorium –berupa: istirahat
dan terapi diet, mulai ditinggalkan, dan diganti dengan tindakan aktif
dengan pembedahan terapi kolaps yang tujuannya memperpendek masa perawatan.
|
Pintu Masuk, Rumah Sakit Garut |
|
Kamar Sal, Rumah Sakit Garut. |
|
Kamar Sal |
|
Barak Pasien, Rumah Sakit Garut. |
|
Kamar Operasi, Rumah Sakit Garut. |
|
Rawat Inap |
|
Lapang Paris di dekat Rumah Sakit Garut |
Rumah
Sakit
Sebelum tahun 1917, Kabupaten Garut
belum mempunyai rumah sakit yang representatif untuk merawat pasien. Pada waktu
itu, hanya ada satu klinik kesehatan yang didirikan oleh oleh Dr. Denis Gerard Mulder
dan Dr. Sthiohtor di Jalan Cimanuk. Pada tahun 1917, mulailah rencana Dr.
Mulder untuk mendirikan gedung rumah sakit umum dengan jembatan Maktal. Pada
tahun 1921, gedung dan jembatan telah selesai dan mulai dapat dipergunakan. Namun,
Dr. Mulder hanya memimpin selama kurang lebih 2 bulan, beliau harus pulang ke
Belanda. Pimpinan rumah sakit dilanjutkan oleh dr. Ungor, tetapi tahun 1927
beliau pulang ke Belanda. Penggantinya adalah dr. Pilon (ahli mata), sedangkan
untuk mengobati penyakit dalam, diangkat seorang dokter pribumi, yaitu: dr. Mas
Slamet Atmosoediro –dokter bangsa
Indonesia pertama yang memangku jabatan dokter di RSU tersebut, meninggal
karena penyakit pes sewaktu menangani wabah pes yang merebak di Kabupaten Garut.
|
Berita meninggalnya Dokter Mas Slamet Atmosoediro akibat wabah pes |
Tahun 1920 sampai 1930-an, wabah pes
merajalela di Garut. Pes atau sampar adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh: bakteri Yersinia
Pestis –dinamai sesuai nama
penemunya, bakteriolog Perancis A.J.E. Yersin. Penyakit pes sesungguhnya
adalah penyakit pada hewan pengerat –terutama
tikus, tetapi kemudian menular pada manusia. Wabah penyakit ini, banyak
terjadi dalam sejarah dan menimbulkan korban jiwa yang besar. Kasus yang paling
dramatis adalah apa yang disebut sebagai: “Black Death”, yang terjadi
di Eropa pada Abad Pertengahan, dan membunuh sepertiga populasi orang Eropa.
Koran-koran yang terbit pada tanggal 13 Mei 1930, ramai memberitakan seorang
dokter Garut yang meninggal karena penyakit pes. Ironisnya, dokter tersebut
adalah seorang yang ditugasi untuk memberantas wabah pes di Garut sejak tahun
1927. Ia adalah dokter Mas Slamet Atmosoediro, seorang dokter pribumi pertama
yang ditugaskan di Garut. Meninggal pada tanggal 12 Mei 1930, ia tertular
penyakit pes dari pasien yang dirawatnya. Dulu, karena banyaknya penderita penyakit pes di Garut, kabarnya dr. Slamet dan
sejawatnya pernah menggunakan Lapangan “Paris” dekat RSU sebagai tempat
penampungan penduduk yang terserang wabah. Pemerintah telah mengeluarkan data
resmi bahwa pada Maret 1933 terdapat sekitar 400 kasus pes di Garut. Untuk
periode sampai November 1933, dilaporkan sudah ada 822 kasus. Belakangan
diketahui, angka korban wabah pes di Garut selama tahun 1933 adalah 921 kasus. Angka
kematian karena wabah pes, masih tinggi. Angka kasus dan kematian akibat wabah
pes di Garut itu, menempati urutan kedua tertinggi setelah Bandung. Koran Soerabaijasch Handelsblad,
pada edisi tanggal 17 November 1937, menampilkan data mingguan dari empat
minggu terakhir saat itu.
|
Data Mingguan Wabah Pes, Koran Soerabaijasch Handelsblad, 1937. |
Kondisi demikian, memunculkan tulisan di
koran Het nieuws
van den dag voor Nederlandsch-Indië, edisi 16 Desember 1933,
dengan judul yang agak sedikit provokatif: “De Pest en Garoet. Geen Reden
tot eenige Ongerustheid” (Pes dan Garut. Beberapa Alasan Untuk Cemas), bagi
orang yang membacanya, seakan-akan Kota Garut-lah yang dilanda wabah. Padahal,
kasus pes memang ada dibeberapa onderdistrict –tapi
tidak di Kota Garut. Dengan demikian, tidak
ada alasan untuk mencemaskan keadaan di Kota Garut. Sebagai contoh, kasus
wabah di Pameungpeuk, disebutkan terletak di “Garoet” –padahal, tempat itu berjarak 90 km dari Kota Garut. Kasus kematian
akibat wabah, terdapat di: onderdistrict Samarang,
Karangpawitan, Tjilawoe, dan lainnya, yang cukup jauh dari Kota Garut.
Sementara itu, promosi kunjungan wisata ke Garut juga gencar dilakukan. Seakan ingin
melawan pemberitaan tentang pes. Bahkan pada tahun 1936, mulai digelar acara
rally otomotif tahunan bertajuk: “Mooi Garoet Sterrit”.
Pada tahun 1933, dr. Pilon sebagai
pimpinan rumah sakit, digantikan oleh dr. Paryono. Pada tahun 1939, seluruh
bangunan rumah sakit mengalami perbaikan total oleh provinsi sehingga menjadi
rumah sakit yang ideal untuk perawatan pasien. Pada bulan Maret 1941, gedung I
dan II dipergunakan sebagai asrama tentara Jepang, sedangkan para opsirnya
menggunakan gedung kelas. Pada bulan Juli 1947, Agresi Militer Belanda II
dimana kota Bandung berhasil dikuasai Belanda, para dokter berkumpul di RSU
Garut. Pada tahun 1979, terbit SK Menkes RI nomor 51/Men.Kes/SK/II/79 tentang
Penetapan Kelas RSU Pemerintah, dimana RSU Garut menjadi Kelas C. Para pimpinan
rumah sakit mengusulkan kepada bupati, untuk memberi nama dr. Slamet sebagai
nama RSU Garut.
|
Rumah Sakit Garut dengan latar depan Sungai Cimanuk, dan berlatar belakang Gunung Guntur. |
Garoetsche Apotheek dan G.A.H. Foto Atelier Lux
|
Koleksi Foto Thilly Weissenborn |
Dokter Denis Gerard Mulder, mulai membuka
praktek dokter di Garut pada tahun 1912 di Tjimanoekstraat –Jalan Cimanuk. Untuk menunjang kegiatan prakteknya, melalui
perusahaan NV.
Garoetsche Apotheek en Handelsonderneming miliknya, iapun mendirikan Apotek
Garoet di Societeitstraat 15 –Jalan
Jend. A. Yani. Sementara itu, untuk menyalurkan hobi memotretnya –sebagai fotografer amatir, di gedung
yang sama dengan Apotek Garoet, ia membuka studio foto: G.A.H. Foto Atelier Lux.
Pada tahun 1917, Thilly Weissenborn –perempuan fotografer pertama di Hindia
Belanda, pindah dan menetap di Garut. Di Kota Garut ini, Thilly dipercaya
untuk mengelola G.A.H.
Foto Atelier Lux oleh Dr. Mulder. Dan ketika tahun 1920 Dr. Mulder
pindah ke Bandung, Thilly secara resmi mengambil-alih Foto Atelier Lux
serta mengganti namanya menjadi hanya Foto Lux. Pada tahun 1930, Thilly
meresmikan perusahaannya sebagai NV. Lux Fotograaf Atelier. Selama
lebih dari 20 tahun Thilly tinggal di Garut, sampai kedatangan Jepang
membuatnya harus mendekam dalam kamp interniran di Karees Bandung, sejak tahun
1943. Tahun 1956, Thilly Weissenborn kembali ke Belanda hingga meninggal di
Baarn, pada 28 Oktober 1964. Kumpulan foto-foto karya Thilly Weissenborn
diterbitkan dalam buku: Vastgelegd voor Later. Indische Foto’s (1917-1942) van Thilly
Weissenborn.
|
Ngamplang Garoet dan sekitarnya, 1930. |
The Batik Painting of Sanatorioem Garoet
Mahakarya ini dibuat berdasarkan pesanan
Dr. Mulder di tahun 1918, dengan kreatornya adalah Oeji dan Doerachman. Menurut
The Virtual Collection of Asian Masterpieces, batik tulis Garutan dengan motif
Hotel “Sanatorioem Garoet” Ngamplang ini disebut: masterpiece –karena motif batiknya yang
tidak biasa, dan juga punya catatan yang terkait dengan sejarah pelayanan
kesehatan medis di masa Hindia Belanda. Berbeda dengan motif batik pada umumnya,
the Batik
Painting of Sanatorioem Garoet ini menggambarkan bangunan
Sanatorioem Garoet di puncak bukit Ngamplang Tjilawoe. Alhasil, batik ini lebih
berupa lukisan dengan medium dan bahan untuk membatik. Dalam keterangannya,
disebutkan karya ini sebagai: decorative art –yang
berarti lebih sebagai barang seni dekoratif, bukan barang yang fungsional.
Material yang digunakan berbahan katun, dengan ukuran 123×280 cm. Sekarang, the Batik Painting of Sanatorioem Garoet ini didonasikan oleh
putra Dr. Mulder menjadi koleksi Tropenmuseum di Amsterdam.
|
the Batik Painting of Sanatorium Garoet |
|
Benar-benar mirip dengan foto Sanatorioem Ngamplang Garoet yang diambil dari sudut yang kurang lebih sama, 1925. |
|
Sanatorium Ngamplang Garoet, 1920. |
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar