Sebelum
politik Etis (Trias van Deventer) tahun 1901, sistem pemerintahan untuk daerah
jajahan di Hindia Belanda masih bersifat sentralistis. Gubernur Jenderal,
merupakan penguasa tertinggi di Hindia Belanda. Kekuasaannya menjadi sangat tak
terbatas, karena ada undang-undang yang khusus mengatur hak-hak dan
kewajibannya. Gubernur Jenderal, hanyalah perpanjangan tangan dari Pemerintahan
Pusat Kerajaan Belanda di Eropa. Pada perkembangannya, muncul tuntutan adanya
desentralisasi sejak tahun 1854, dimana parlemen Belanda berhak mengawasi
pelaksanaan pemerintahan di Hindia Belanda. Lahirnya Decentralisatie Wetgeving
(Decentralisatie Wet 1903), merupakan koreksi terhadap sistem monopolistis yang
diterapkan oleh Gubernur Jenderal di Hindia Belanda. Setelah itu, lahirlah
berturut-turut: Decentralisatie Besluit 1904 serta ordonansinya; Locale
Ordonantie 1905; dan De Inlandsche Gemeente Ordonantie 1906 (IGO 1906).
Terintegrasinya wilayah-wilayah di Hindia Belanda kedalam desentralisasi
pemerintahan kolonial, pada dasarnya, semakin memperlancar jalan kapitalistik
industri Eropa dan akan menyengsarakan rakyat bumi putera kedepannya. Inilah
barangkali, bagian dari politik Etik, yang mungkin dari sisi lain boleh
dikritik sebagai: “agenda pemerintah kolonial yang tersembunyi”, atau mungkin
juga sebagai “agenda yang dibelokkan”.
Kolonial
VOC dan Kolonial Belanda I
Pada masa pemerintahan Vereenigde
Oost-indische Compagnie (VOC) atas
prakarsa dari Johan van Oldenbarneveld, di Hindia Belanda –Indonesia terdapat Gubernur Jenderal yang kekuasaannya tidak
terbatas. Sementara itu, untuk mengurusi pemerintahannya diserahkan kepada Raad van Indie
–Dewan Rakyat Hindia atau Dewan Hindia,
yang terdiri dari 6 orang anggota (4
anggota biasa dan 2 anggota luar biasa), dimana Gubernur Jenderal merangkap
sebagai: Ketua. Sebagaimana diketahui, bahwa pemerintahan VOC yang
dijalankan di Hindia Belanda pada saat itu adalah sistem pemerintahan
parlementer. Gubernur Jenderal berkedudukan sebagai Kepala Negara, dan Raad van Indie
sebagai Kepala Pemerintahannya. Dengan demikian, Gubernur Jenderal, merupakan
penguasa tertinggi di Hindia Belanda yang bertindak atas nama raja Belanda –Willem IV. Sementara, Raad van Indie
hanyalah merupakan pendampingan Gubernur Jenderal dalam melaksanakan pemerintahannya.
Gubernur Jenderal dan Raad van Indie
–yang disebut sebagai Pemerintah Agung di
Hindia Belanda, dibantu oleh: Generale
Secretarie –Sekretaris Umum
untuk membantu Commisaris General
dan Gouvernement Secretarie –Sekretaris Pemerintah untuk membantu Gubernur
Jenderal. Kelak, pada tahun 1819, Generale
Secretarie dan Gouvernement
Secretarie ini diganti oleh Algemene
Secretarie yang bertugas membantu Gubernur Jenderal –terutama memberikan pertimbangan keputusan.
Setiap laporan, dikirim pada De Heeren XVII sebagai pimpinan pusat VOC yang
berkedudukan di Amsterdam Belanda. De Heeren XVII –Gentlement Seventeen atau Lords Seventeen adalah nama untuk para direksi
(dewan direktur) VOC yang bertanggungjawab kepada Parlemen Belanda, didirikan
pada 20 Maret 1602, beranggotakan 17 perwakilan pemegang saham –hoofdparticipanten (pemegang saham kepala)
dari Perusahaan Dagang Hindia Timur tersebut, yakni: 8 berasal dari Amsterdam,
4 dari Middelburg (Zeeland), dan 1 masing-masing dari kota yang lebih kecil: de
Maas (Rotterdam, Delft), dan Noord Holland (Hoorn, Enkhuizen). Anggota ketujuh
belas tersebut diangkat oleh Zeeland. Pengurus VOC semula hanya 60 orang,
tetapi dianggap terlalu banyak sehingga diadakan pemilihan pengurus dan hanya
tinggal 17 orang yang diambil dari beberapa kota tersebut. Mereka yang terpilih
menjadi pengurus disebut Dewan 17 (De Heeren Seventien atau Tuan-Tuan 17) dan
ketika VOC banyak urusannya maka Dewan 17 mengangkat Pieter Both dari
Amersfoorst pada tahun 1610 hingga 1614 sebagai Gubernur Jenderal Hindia
Belanda Pertama. Setelah itu, berturut-turut, diangkat Gubernur Jenderal kedua
Gerard Reynst (1614-1615) dan Gubernur Jenderal ketiga Dr. Laurens Reael
(1615-1619) dengan Markas Pusat VOC di Ambon Maluku. Tetapi semenjak masa Jan
Pieterzoon Coen (Gubernur Jenderal keempat), Markas Pusat VOC dialihkan ke
Batavia. VOC lebih banyak melakukan pemerintahan tidak langsung, dan inlanders
–kaum bumi putera tidak terlibat
dalam struktur kepegawaian VOC. Meskipun terkadang mereka terlibat dalam
pemerintahan, tetapi status mereka bukan pegawai VOC dan tidak digaji secara
tetap. Kaum bumi putera, hanyalah mitra dalam bekerja demi kepentingan VOC.
Pada tahun 1799, VOC mengalami kebangkrutan karena korupsi –memunculkan sebuah ejekan, yaitu: V(ergaan)
O(nder) C(oruptie), “rontok karena korupsi”. Sebelumnya, pada awal tahun
1795 pasukan Perancis menyerbu Belanda. Raja Willem
V yang mengungsi ke Kew
–sebuah kota kecil di Inggris, memandang tidak masuk akal lagi mempertahankan VOC
sebagaimana yang dikehendaki oleh beberapa pihak di Belanda. Berdasarkan pasal
249 UUD Republik Bataaf (Bataafsche
Republiek/Belanda), maka pada 17 Maret 1799,
dibentuklah suatu badan untuk mengambil-alih semua tanggungjawab atas milik dan
utang VOC. Badan itu bernama: de Raad van Aziatische Bezittingen en
Etabilisementen –Dewan Penyatuan Hak
Milik Belanda di Asia. Pengambil-alihan itu, resmi diumumkan di Batavia
pada 8 Agustus 1799. Dan akhirnya, pada 31 Desember 1799, VOC resmi dinyatakan
bangkrut serta seluruh harta miliknya berada dibawah kekuasaan negara Belanda. Setelah VOC
bubar, maka pemerintahan di Hindia Belanda dipegang langsung oleh pemerintah
Belanda. Belanda lebih cenderung melakukan kolonialisme –pendudukan suatu wilayah oleh negara lain, dimana negara menguasai
rakyat dan sumber daya negara lainnya serta daerah koloni masih berhubungan
dengan negara induk dan memberi upeti kepadanya.
Menurut undang-undang, Hindia Belanda
sebagai bagian kerajaan Belanda, maka: (1) pemerintahan tertinggi berada ditangan
Raja Belanda –yang dilaksanakan oleh
Menteri Jajahan atas nama raja; (2) bertanggung jawab pada Staten General –Parlemen Belanda; dan (3) pemerintahan umum diselenggarakan oleh
Gubernur Jenderal atas nama Raja –yang
dalam prakteknya atas nama Menteri Jajahan.
Dengan demikian, Pemerintah Belanda yang
mengurus Hindia Belanda adalah Kementerian Jajahan –yang kemudian pada perkembangannya, diubah namanya menjadi: Kementrian
Urusan Seberang Lautan. Sementara itu, pemegang pemerintahan atas wilayah Hindia
Belanda adalah Gubernur Jenderal. Dia adalah pemegang kekuasan tertinggi, meski
sebagai perpanjangan tangan dari pemerintahan pusat Belanda di Eropa.
Sementara itu dalam pengasingannya, Raja
Willem V kemudian mengeluarkan perintah yang terkenal dengan istilah: “Surat-surat
Kew”. Isi perintah itu adalah agar para penguasa di negeri jajahan Belanda,
menyerahkan wilayahnya kepada Inggris bukan kepada Perancis. Dengan
“Surat-surat Kew” itu pihak Inggris bertindak cepat dengan mengambil-alih
beberapa daerah di Hindia Belanda.
Kolonial
Perancis (Herman Willem Daendels)
Di awal Januari 1795, Kaisar Napoleon
Bonaparte dari Perancis, menaklukkan negeri Belanda tanpa perlawanan yang
berarti. Raja Willem V yang menerima tahta Belanda dari ayahnya –Willem IV, melarikan diri ke Inggris.
Sebagai ganti Willem V, Napoleon mendudukkan adiknya, Louis Bonaparte, di tahta
kerajaan Belanda. Segera ia memerintahkan untuk mengantisipasi serangan dari
Inggris terhadap tanah jajahan. Ada tiga target utama serangan Inggris, yaitu:
Tanjung Harapan; Jawa; dan kepulauan Maluku. Ketiga tempat tersebut, berada
didalam blokade angkatan laut Inggris. Napoleon pun mengirim dua orang militer
untuk tujuan itu, yaitu: Jenderal Jan Willem Janssen dikirim ke Tanjung Harapan
tahun 1803, dan Marshall Herman Willem Daendels ke Jawa tahun 1807 –Daendels adalah seorang Marshall Belanda,
pengagum Napoleon.
Pada tahun 1807 H.W. Daendels diangkat
menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda atas nama Kaisar Napoleon Bonaparte
dari Perancis. Ia berusaha keras melaksanakan pemusatan kekuasaan berdasarkan
pada Korps Pangreh Praja Belanda dan Bumi Putera yang berdisiplin. Menurut
Daendels kekuasaan pejabat yang diwariskan VOC terlalu besar sehingga mudah
untuk memperkaya diri dengan cara melakukan korupsi. Pejabat yang dinilai
terlalu besar kekuasaannya antara lain adalah Gubernur Pantai Jawa Timur Laut
dan Residen yang berkedudukan di Kraton Yogyakarta dan Surakarta.
Untuk melaksanakan maksudnya Daendels
menghapus Gubernemen Pantai Jawa Timur Laut. Demikian pula Residen yang
berkedudukan di Kerajaan Jawa yang berada di bawah Gubernur diambil-alih
langsung dibawah pemerintah pusat di Batavia. Daerah Jawa, di luar kerajaan
Surakarta dan Yogyakarta, dibagi menjadi sembilan daerah administratif yang
disebut dengan Perfectur –yang kelak pada masa pemerintahan Raffles
diubah dengan nama Karesidenan yang kemudian terkenal dengan nama Gewest. Tiap Perfectur, dikuasasi
oleh seorang Perfect yang berada dibawah perintah langsung pemerintah pusat di
Batavia. (Catatan: Perfectur atau Prefektur
ialah sebuah istilah untuk menyatakan suatu wilayah yang memiliki kekuasaan
tersendiri atau wilayah sejak zaman Constantine I yang membagi Kerajaan Romawi
menjadi empat wilayah. Prefektur mirip seperti negara bagian atau kota yang
dipimpin oleh pemimpin tunggal).
Apabila pada masa VOC kekuasaan
pemerintah daerah diserahkan kepada para Bupati maka Daendels tidak mengikuti
pola semacam ini. Daendels mengurangi banyak kekuasaan para Bupati sehingga
peran Bupati itu tidak lebih dari seorang leverancier hasil bumi bagi
kepentingan pemerintah Kolonial. Dengan demikian posisi Bupati diturunkan
menjadi pegawai pemerintah kolonial meskipun tidak memperoleh gaji. Sebagai
pegawai pemerintah Bupati ditempatkan di bawah Perfect, sedangkan gaji
bawahannya masih menjadi tanggungjawab para Bupati.
Meskipun demikian Bupati masih
diperlukan oleh Daendels. Dengan dipertahankannya sistem leveransi dan
kontingenten, peran Bupati masih sangat penting, yakni: sebagai penghubung
antara pemerintah dengan rakyat. Dengan dipertahankannya penguasa pribumi
sebenarnya sangat penting artinya namun Daendels tidak ingin peran penting
penguasa Bumi Putera itu terlihat secara nyata. Untuk itu Daendels melakukan
tindakan berupa pengapusan perbedaan yang ada antara Bupati yang berkedudukan
di Priangan dengan Bupati yang berkedudukan di Pantai Jawa Timur Laut seperti
pada masa VOC. Stelsel Priangan yang diciptakan VOC dipertahankan oleh Daendels
maupun oleh penguasa Inggris kemudian –Stelsel
Priangan yang menjiwai Sistem Tanam Paksa (STP) buatan Van den Bosch itu
dipertahankan sampai tahun 1871.
Pembenahan yang dilakukan Daendels dalam
penyediaan mesin birokrasi adalah memperbanyak kantor pengadilan. Tiap Perfect
diangkat menjadi Ketua Land Gerecht,
dan Bupati menjadi Ketua Vrijde
Gerecht. Land Gerecht bertugas mengadili perkara yang
menyangkut orang Eropa dan golongan tertentu dari orang bumi putera, sedangkan
Vrijde Gerecht mengadili perkara orang pribumi. Para Bupati juga mendapat
kedudukan militer dibawah kekuasaan Perfect, hak jabatan –yang secara tradisional para Bupati yaitu turun temurun tetap
dipertahankan.
Pembenahan untuk pejabat di lingkungan
lebih bawah dari Bupati, ada yang diantaranya berada di bawah pemerintah pusat.
Mereka diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah pusat, bukan oleh Bupati.
Bupati mempunyai kewajiban menggaji pegawai yaitu para Kepala Wilayah yang ada
dibawah kekuasaannya. Secara tradisional Bupati memperoleh sepersepuluh dari
hasil panen, dan memperoleh tenaga tanpa dibayar dari penduduk yang ada
diwilayah kekuasaannya. Daendels mengurangi hak Bupati untuk memperoleh
sepersepuluh hasil bumi atau hak pancen, dan hak memperoleh tenaga tanpa upah.
Bagi petani, pengurangan penyerahan pancen dan kerja wajib itu, boleh jadi tidak
penting, namun bagi Bupati hal itu sangat penting karena menyangkut status
simbol sebagai seorang penguasa tradisional.
Pembenahan yang dilakukan itu menyangkut
hubungan antara Bupati dengan Pemerintah Belanda. Karena pembenahan itu tidak
ada sangkut pautnya dengan perikehidupan rakyat, maka rakyat pada umumnya tidak
mengetahui perubahan tersebut. Daendels ternyata mengikuti kebijakan yang telah
dirintis oleh VOC. Hal itu tampak jelas, jika dicermati perubahan yang dia
lakukan setelah pemerintahan VOC serta membandingkan dengan teori politik yang
dianutnya dengan praktek yang ia lakukan.
Reformasi atau pembenahan yang dilakukan
Daendels yang lain adalah, misalnya, ia berusaha keras memberantas kecurangan
dikalangan pejabat negara. Justru langkah inilah yang membuat ia mempunyai
banyak musuh dari kalangan bangsa Belanda sendiri. Disamping politik
keuangannya tidak menguntungkan pemerintah, beberapa tindakannya dinilai
sebagai menguntungkan diri sendiri. Lawan politik Daendels yang terkenal antara
lain adalah M.R.G. van Polanen dan Nicolaas Engelhard, Gubernur Pantai Jawa
Timur Laut yang dilepas oleh Daendels. Untuk membersihkan dirinya dari tuduhan
musuh politiknya Daendels menerbitkan buku berjudul Staat der Nederlandsch
Oost-Indische bezittingen onder het bestuur van den Gouverneur Generaal H.W.
Daendels pada 1814. Buku tersebut, dikritik dengan tajam oleh van Polanen
dan Engelhard.
Di samping itu, Daendels juga tidak
disukai dikalangan pejabat bumi putera. Para bangsawan, banyak yang kecewa
karena kebijakannnya yang merugikan mereka. Pada tahun 1810, Kaisar Napoleon Bonaparte
mengeluarkan Dekrit yang menyatakan Negeri Belanda masuk ke dalam Imperium Perancis.
Setahun kemudian, berita itu sampai ke Indonesia dan disambut dengan senang
hati oleh Daendels. Karena ia yakin, bahwa hal itu akan membawa perbaikan bagi
Indonesia. Semua pegawai bersumpah setia kepada Kaisar Napoleon. Tapi, pada tahun
1811, Daendels diberhentikan oleh Kaisar Napoleon. Perberhentian itu rupanya
bukan karena Kaisar Napoleon yakin akan kesalahan Daendels, tetapi karena
desakan lawan-lawan Daendels yang sangat keras.
Kolonial
Inggris
(Thomas Stamford Raffles)
Pada pemerintahan Inggris, seluruh bekas
tanah jajahan Belanda dibagi menjadi empat daerah administratif, yaitu:
Gubernemen Melaka, Sumatra Barat, Jawa beserta bawahannya –Palembang, Sunda Kecil, Banjarmasin, Makassar, dan Maluku. Keempat
wilayah itu dikendalikan oleh Gubernur Jendral Lord Minto yang berkedudukan di
Calcutta India. Penguasa Inggris di Jawa dipegang oleh Thomas Stamford Raffles
sebagai bawahan Lord Minto dengan pangkat Letnan Gubernur Jenderal. Meskipun
Raffles berada dibawah kekuasaan Lord Minto, namun ia melaksanakan kebijakan
seakan ia tidak berada dibawah pengawasan atasannya.
Pembagian wilayah menjadi Perfectur, tetap
dipertahankan oleh Raffles. Sementara pembenahan yang dilakukannya, antara lain:
menambah jumlah Perfectur dengan cara menggabungkan beberapa daerah
pemerintahan yang sifatnya masih semi feodal menjadi 16 Perfectur dan namanya
diganti menjadi Karesidenan. Restrukturisasi wilayah daerah administratif
Karesidenan ini meliputi seluruh Jawa dan Madura termasuk daerah Kerajaan,
kecuali Batavia yang sampai 1819 menjadi enclave sendiri –enclave atau enklave (daerah kantong) adalah negara atau
bagian negara yang dikelilingi oleh wilayah suatu negara lain. Aslinya berasal
dari kata Latin inclavatus
(artinya 'terkurung, terkunci'). Kata tersebut menjadi jargon diplomasi Inggris
pada 1868. Eksklave dapat muncul pada tingkat subnasional
ketika sebuah subdivisi muncul di luar divisi induk. Sebuah negara enklave
harus menyelesaikan berbagai masalah, seperti: alamat surat; aliran listrik;
dan hak lintasan dengan negara tetangga, agar penduduk kedua negara dapat hidup
tenteram.
Residen yang mengepalai wilayah Karesidenan, mempunyai kekuasaan yang meliputi
bidang: pemerintahan; peradilan; dan penerimaan penghasilan negara atau pajak.
Menurut Raffles, Residen harus mempunyai kekuasaan yang otokratis. Oleh karena
itu, Residen harus mengadakan perjalanan dinas secara teratur agar dapat
menjalin hubungan dengan rakyat secara teratur. Sejak masa VOC, jabatan Residen
sudah ada dan jabatan baru yang dimasukkan pada masa Raffles adalah jabatan:
Asisten Residen. Asisten Residen belum mempunyai wilayah, dan baru kemudian,
Asisten Residen ini diberi wilayah jabatan. Jabatan Asisten Residen berlangsung
terus sampai dihapuskan oleh pemerintah Balatentara Jepang. Tujuan Raffles memasukkan jabatan
Residen dengan kekuasaan yang otokratis dan jabatan Asisten Residen yang
bertugas membantu Residen, adalah: untuk menghapus lembaga kekuasaan
tradisional –yaitu Bupati yang semi
feodal dan tidak liberal. Secara konseptual, Raffles menghendaki bahwa seluruh
pejabat pemerintah lokal merupakan susunan kepegawaian yang wajar tanpa hak-hak
tradisional atau kekuasaan politik. Lebih jauh Rafles menambahkan bahwa justru
desa-lah yang merupakan suatu kesatuan yang hidup, Bupati dan bawahannya adalah
sekedar merupakan perantara, yang oleh Raffles ingin dihapuskan, dengan maksud
agar semua persoalan dapat disampaikan oleh pemerintah langsung ke pemimpin
rakyat yaitu Kepala Desa. Dalam melaksanakan konsep tersebut, Raffles bermaksud
membagi wilayah Karesidenan menjadi daerah administratif yang disebut:
Afdeeling. Meskipun Raffles menghendaki Bupati dihapuskan, namun dalam konsep
yang dipikirkan Raffles justru menetapkan Bupati sebagai Kepala Afdeeling. Perubahan
wilayah administrasi pada tingkat yang lebih rendah, berupa pembagian setiap
Afdeeling menjadi daerah administrasi yang disebut: Distrik atau Kawedanan,
yang dikepalai oleh Kepala Distrik atau Wedana. Wilayah yang setara Distrik ini
sebenarnya sudah ada pada masa VOC, namun kenyataannya pembentukan wilayah
tersebut sangat ditentukan oleh pertimbangan perorangan yaitu pendapat Bupati.
Secara teoritis, menurut Pasal 70 RR, pemerintah lokal Distrik mempunyai
kekuasaan yang besar. Perubahan tentang Distrik ini terus dilakukan reorganisasi
secara baik dan tingkat yang dianggap sempurna pada tahun 1874. Reorganisasi
wilayah administrasi yang terjadi pada derajat yang lebih rendah terjadi berupa
pembagian wilayah Distrik menjadi beberapa wilayah administrasi yang lebih
kecil yang disebut: Divisie –yang kelak
disebut: Onder-Distrik. Daerah administrasi Divisie meliputi desa-desa.
Desa-desa itu yang merupakan kesatuan yang hidup –yang oleh Raffles dianggap sesuai dengan adat istiadat kuno, diberi
hak untuk memilih kepalanya sendiri. Dengan demikian, pada pemerintahan Raffles,
di atas Desa terdapat daerah administrasi yang disebut: Divisie; Distrik;
Afdeeling; dan Karesidenan. Upaya Daendels yang dilanjutkan Raffles adalah
mengurangi kekuasaan Bupati –yang pada
pemerintahan VOC sedemikian besar dengan cara menempatkan Bupati di bawah
Residen yang kekuasaannya sedemikian otokratis, yang mencoba menjalin hubungan
langsung dengan rakyat, yang mengakibatkan para Bupati kehilangan kekuasaannya
dalam bidang yang merupakan sumber penghasilan mereka yang besar. Raffles juga
berupaya keras untuk menghapus sistem feodal dan mengkuti jejak Daendels dalam
menciptakan mekanisme birokrasi pemerintahan yang demokratis di Hindia Belanda,
serta memilih Jawa sebagai model atau percontohan. Raffles berupaya keras, agar
Jawa tetap dimiliki Inggris –akan tetapi,
Konvensi London tanggal 13 Agustus 1814 menetapkan bahwa Belanda akan
mendapatkan kembali tanah jajahannya kecuali Ceylon dan kedudukan di Afrika
Selatan. Hindia Belanda diserahkan oleh Inggris kepada Belanda, pada
tanggal 19 Agustus 1816.
Kolonial Belanda II
Berdasarkan Konvensi London, maka bekas
koloni Belanda dikembalikan kepada pemerintah Belanda. Kemudian, pemerintah
Belanda membentuk Komisaris Jenderal untuk memerintah di Hindia Belanda. Kepada
Komisaris Jenderal, diberi suatu instruksi tanggal 3 Januari 1815. Instruksi
ini menjadi Grondwet (Undang-Undang Dasar) pemerintah Kolonial pada waktu itu
dan terkenal dengan nama: Reglement op
het beleid van de regeering, het justitiewezen, de kultuur en den handel
in'slands Aziatische bezittingen (Undang-undang yang mengatur tentang
pemerintahan, susunan pengadilan, pertanian, dan perdagangan dalam daerah
jajahan di Asia), disingkat Regerings Reglement van 1815 (RR 1815). Pada tahun 1816,
Komisaris Jenderal Belanda telah datang ke Tanah Jajahan –Hindia Belanda sebagai wakil Belanda untuk mengambil alih
pemerintahan dari Inggris. Komisaris Jenderal yang terdiri dari tiga orang itu
–van der Capellen; Elout; Buyskes,
berkuasa penuh atas daerah tersebut berdasarkan Regerings Reglement 1815 (RR
1815). Dalam menjalankan tugasnya, Komisaris Jenderal berusaha menyesuaikan organisasi
pemerintahan Pusat dan Daerah dengan Regerings Reglement tahun 1815. Namun
dalam melaksanakan maksud tersebut, Komisaris Jenderal mengalami kesulitan
karena perubahan yang dilaksanakan selama pemerintahan Raffles, tidak sesuai
lagi dengan ketentuan dalam RR itu. Untuk mengatasi hal tersebut, maka
perubahan terhadap RR dilakukan dan ditetapkan RR baru tahun 1816. Untuk
melaksanakan RR baru tersebut, salah seorang Komisaris Jenderal –yaitu Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen diangkat
menjadi Gubernur Jenderal (1816-1826). Pembenahan yang pernah dilakukan Raffles,
oleh Capellen masih dilanjutkan. Kepala pemerintahan Bumi Putera –yaitu Bupati, yang menjalankan beberapa
fungsi bagi kepentingan penjajah, tetap dipertahankan. Komisaris Jenderal
berusaha keras untuk memahami kepentingan penguasa Bumi Putera ini, antara lain:
berusaha menjalin hubungan yang baik antara Residen dengan para Bupati, karena
peran Bupati masih cukup penting yaitu sebagai Pimpinan Pemerintahan Bumi
Putera dan Kepolisian Afdeeling.
Kedudukan Bupati mengalami perubahan
dengan dikeluarkannya Staatsblad Tahun 1820 Nomor 20, yaitu: Reglement op de Verplichtingen, titels, en
rangen der Regenten op het Eiland Java. Reglemen ini juga
mengalami perubahan –dan kelak tahun 1922
timbul perubahan pemerintahan, namun hal yang penting dalam peraturan
tersebut, tetap berlaku. Dalam pasal (1) ketetapan tersebut dinyatakan bahwa
Bupati adalah orang yang berkuasa atas penduduk yang ada di wilayahnya dan
menjadi “tangan kanan” Residen. Selanjutnya telah terjadi pergeseran peran
Bupati yang semula semata melaksanakan kepentingan penjajah, namun sejak saat
itu, para Bupati diberi tugas yang menyangkut perbaikan kesejahteraan rakyat
kecil seperti mengurusi pertanian, peternakan, keamanan, kesehatan rakyat,
pengairan, pemeliharaan jalan, pendidikan, pembagian adil beban pajak, dan
mengawasi pelaksanaan perundang-undangan. Agar diperoleh imbangan dalam
banyaknya urusan yang ditangani, pada awal abad ke-19 beberapa kabupaten kecil
dihapus. Setelah diadakan penghapusan, akhirnya di Jawa dan Madura hanya terdapat
70 kabupaten saja.
Reorganisasi wilayah administratif yang
dilakukan pada masa Komisaris Jenderal –kecuali
penghapusan kabupaten kecil, adalah pemecahan kabupaten yang berjumlah 70
yang ada di Jawa dan Madura. Pemecahan wilayah administratif kabupaten menjadi
daerah administrasi yang lebih kecil yang disebut Distrik dengan penguasa
seorang Kepala Distrik atau Wedana. Selanjutnya wilayah Distrik dibagi menjadi
beberapa Onder-Distrik yang dikepalai oleh Kepala Onder-Distrik atau Asisten
Wedana, merupakan perkembangan pemerintahan yang sempurna.
Berdasarkan Staatsblad 1819 Nomor 16,
wilayah Jawa dan Madura oleh Komisaris Jenderal dibagi menjadi 20 Gewest dengan
satuan unit birokrasinya. Residen diberi instruksi oleh Komisaris Jenderal
untuk bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kerja
lembaga peradilan dan kepolisian dalam wilayahnya. Tugas pengawasan terhadap
peradilan dan kepolisian, lebih banyak dilimpahkan kepada Asisten Residen.
Sementara itu, pengadilan polisi bagi Bumi Putera masih berada dibawah
pengawasan Residen. Kekuasaan Residen juga masih memiliki kewenangan untuk
memberi perintah kepada Jaksa Kepala. Adapun para Bupati, diberi kekuasaan
untuk memerintah Jaksa. Dalam menjalankan tugas kepolisian, Residen berada di
bawah pimpinan Pokrol Jenderal –pimpinan utama semua pegawai kepolisian atau merupakan pembela disuatu persidangan atau memberikan suatu
konsultasi di bidang hukum yang tertuju kepada kalangan masyarakat bawah.
Karena besar-kecilnya luas wilayah tidak sama, maka ada beberapa Gewest yang
dikepalai oleh Asisten Residen dan sebagian besar dikepalai oleh Residen. Baru
pada 1866, semua Gewest mempunyai kedudukan sebagai Karesidenan.
Sebagaimana dikemukakan di depan, bahwa
jabatan Asisten Residen timbul pada masa Raffles memerintah. Saat itu, Asisten
Residen belum memiliki wilayah kekuasaan –karena
pemerintahan Bupati ditetapkan sebagai kepala daerah Administratif Afdeeling.
Baru pada masa kekuasaan Komisaris Jenderal, Asisten Residen mulai mempunyai
wilayah kekuasaan, yaitu memerintah wilayah administratif Afdeeling dan dibawah
perintah Residen –sebagaimana ditetapkan
dalam Staatsblad 1818 Nomor 49. Karena wilayah kekuasaan Asisten Residen
atau Afdeeling sama dengan wilayah kekuasaan Bupati atau kabupaten, maka
nyatalah ada organisasi pemerintahan yang rangkap. Tugas Asisten Residen dalam
wilayah Afdeeling, adalah sama dengan tugas Residen dalam Gewest-nya –terutama dalam bidang pemerintahan dan
kepolisian. Sementara itu, Bupati meskipun pangkatnya lebih tinggi daripada
Asisten Residen, namun ia harus tunduk kepada Asisten Residen –sebab Asisten Residen merupakan Kepalanya
yang nomor dua sebagai wakil Residen. Tumpang tindihnya wilayah kekuasaan
itu menunjukkan bahwa Bupati tidak mempunyai kekuasaan dalam bidang politik,
ekonomi dan kepolisian untuk diselesaikan sendiri dan tidak mempunyai pendirian
yang dapat dikembangkan dengan wajar.
Gubernur Jenderal Leonard Pierre Joseph
du Bus van Gesignies –yang menggantikan
Gubernur Jenderal van der Capellen, mengubah Regeringsreglement tahun 1816 dengan Regeringsreglement 1827. Regeringsreglement ini, kemudian juga
diganti dengan Reglement op beleid der
Regering in Nederlandsch-Indie dengan Koloniaale Besluit tertanggal 16 Mei 1829. Reglement ini
juga, akhirnya diganti lagi dengan reglement yang ditetapkan dengan Koloniaale
Besluit tanggal 20 Februari 1836. Menurut ketentuan RR 1836, pemerintah pusat
Hindia Belanda adalah Gubernur Jenderal yang merupakan wakil Raja Belanda di
Hindia Belanda, serta aparat Hindia Belanda yang diangkat dan diberhentikan
oleh Raja dan yang mengendalikan kekuasaan, mengatur, dan mengurus hal-hal yang
bersifat internal Hindia Belanda di bawah Raja. Gubernur Jenderal didampingi
Raad van Indie yang merupakan Dewan Penasihat bagi Gubernur Jenderal. Di
samping itu juga dibentuk Hoogerechthoof
dan Algemeene Rekenkamer.
Dengan dikeluarkannya Undang Undang
tanggal 2 September 1854, maka ditetapkanlah suatu RR baru –yakni: Regeringsreglement 1854 (RR
1854). Apabila dicermati isinya, RR ini lebih bersifat konstitusi
bagi Hindia Belanda daripada RR yang terdahulu. Kepenguasaan monopolistis oleh Gubernur
Jenderal tercantum dalam RR 1854, berimplikasi pada kekuasaan Gubernur Jenderal
yang begitu besar di negeri koloni. Misalnya, berdasarkan Pasal 1 RR 1854:
pemerintahan umum di Hindia-Belanda dilakukan oleh Gubernur Jenderal atas nama
Raja yang merupakan penguasa tertinggi atas seluruh daerah koloninya. Sebagai
wakil Raja, semua kalangan yang ada di Hindia Belanda, wajib menghormati dan menaati
Gubernur Jenderal; Pasal 20: Gubernur Jenderal memegang kekuasaan legislatif di
negeri kolonial; Pasal 41-42: Gubernur Jenderal sebagai Panglima Tertinggi
Angkatan Darat dan Angkatan Laut Hindia Belanda; Pasal 49: Gubernur Jenderal berwenang
mengangkat dan memberhentikan pejabat-pejabat tinggi dijajaran pemerintahan
kolonial; Pasal 52: Gubernur Jenderal berwenang memberikan grasi; serta Pasal
64 dan 68: Pejabat dan Pegawai Administrasi Kolonial wajib menjalankan perintah
Gubernur Jenderal dengan penuh ketaatan.
RR 1854 ini, mengalami perubahan
beberapa kali. Dari aspek ketatanegaraan, perubahan yang penting adalah
diundangkannya Undang Undang Desentralisasi tahun 1903 (Decentralisatie Wet –Wet Houdende Decentralisatie van Het Bestuur
in Nederlands-Indie), dan Undang Undang tahun 1916 yang termuat dalam Inds.
Staatsblad 1917 Nomor 114 –membuka
kemungkinan untuk membentuk Volksraad; serta Undang Undang tentang
Pembentukan Kembali Pemerintahan tahun 1922 tentang Bestuurhervorming –yang membuka
kemungkinan untuk mengadakan desentralisasi dan dekonsentrasi secara
besar-besaran.
Sampai dengan tahun 1854, wilayah Tanah
Jajahan terdiri dari tiga, yakni: wilayah yang dikuasai langsung; wilayah yang
dikuasai tidak langsung; dan wilayah yang dipengaruhi oleh pemerintah kolonial.
Dalam upaya meningkatkan pendapatan negara, reorganisasi pejabat yang menangani
pajak juga dilakukan. Pada 1827, jabatan Opziener diganti dengan Controleur.
Sesuai dengan fungsinya, mereka bertugas mengumpulkan pajak bumi di wilayah
Karesidenan yang menjadi wilayah kerjanya. Petugas ini, kemudian menjadi
Directie voor de Cultures. Jenjang karier Controleur ini, dibagi menjadi tiga
tingkatan –yang dapat naik pangkat sampai
pada jabatan dalam dinas pemerintahan yaitu Asisten Residen atau Residen.
Dalam pemerintahan lokal, Controleur dan Wedana merupakan poros bagi roda
pemerintahan. Controleur bertugas mengawasi Pangreh Praja bumi putera, tidak
ada kecualinya –termasuk Bupati.
Dalam masa selanjutnya, Controleur di Jawa dan Madura, tidak mengepalai daerah
administratif sendiri –hanya sebagai
pembantu Asisten Residen. Namun di luar Jawa dan Madura, daerah
Administratif Onder-Afdeeling sebagian besar ada yang dikuasai oleh Controleur
dan ada yang dikuasai Civiel Gezagheber. Oleh Bupati, Controleur diperbantukan
kepada Patih yang bertugas menyampaikan perintah Bupati ke seluruh wilayah
kabupaten sehingga merupakan penghubung yang penting antara Bupati dengan
pegawai bawahannya. Pada tiap-tiap Gewest, diadakan jabatan Sekretaris Gewest –yang pada masa kemerdekaan menjadi
Sekretaris Wilayah. Dengan demikian, pada akhir abad ke-19, di Jawa dan
Madura telah ada organisasi pemerintahan lokal yang lengkap. Formasi Pangreh Praja
ditambah dengan dibentuknya Asisten Controleur yang diperbantukan kepada
Controleur.
Sejalan dengan perubahan yang dilakukan
dalam struktur birokrasi, maka jalur perintah dari atasan kepada bawahan juga
mengalami perubahan. Dalam Staatsblad Tahun 1867 Nomor 114, misalnya, berisi
instruksi bagi Pegawai Pangreh Praja bumi putra –seperti Bupati serta Kepala Gewest yang berkaitan dengan perubahan
tersebut. Untuk tingkat lebih rendah –seperti
Wedana juga diberi instruksi yang isinya hampir sama sebagaimana termuat
dalam Staatsblad Tahun 1886 Nomor 244. Sementara itu, pada tahun 1874 setelah
pembagian wilayah dilanjutkan dalam Onder-Distrik untuk seluruh Jawa dan
Madura, sebagaimana termuat dalam Staatsblad tahun 1874 Nomor 72, Asisten
Wedana diberikan instruksi seperti para Wedana, meskipun sebenarnya instruksi
itu diwajibkan sebagai pedoman bagi para Bupati sebagaimana diatur dalam Staatsblad
1874 Nomor 93.
Sampai dengan tahun 1903, tata
pemerintahan di Tanah Jajahan tidak mengalami perubahan. Menurut RR 1854,
pemerintah di Hindia Belanda dipusatkan di Batavia. Gubernur Jenderal merupakan
penguasa tertinggi di Tanah Jajahan, yang bertanggungjawab kepada pemerintah di
Negeri Belanda. Gubernur Jenderal, mempunyai kekuasaan tak terbatas –walaupun di sampingnya ada Raad van Indie.
Dengan demikian, dalam RR 1854 tidak mengenal azas desentralisasi. Oleh karena
itu, kepala daerah semata-mata mempunyai satu fungsi yaitu sebagai alat
pemerintah pusat.
Sejarah panjang pembentukkan UU
Desentralisasi pada masa kolonial Belanda, bermula dari persidangan Tweede Kamer
Der Staten Generaal –parlemen Belanda,
akhir tahun 1880. Pada masa itu muncul tuntutan: Medezeggenschap –kesempatan untuk berbicara dalam proses
pembuatan kebijakan oleh pemerintah, dari golongan Eropa. Salah seorang
anggota Tweede Kamer, bernama: Levinus Wilhelmus Christiaan Keuchenius, membuka
kembali perdebatan dengan mengetengahkan keyakinannya agar di daerah-daerah
dibentuk apa yang disebut: Gewestelijk Raden. Gewestelijk Raden –Gewestelijk Raad adalah suatu dewan
dimana warga Eropa dapat berbicara untuk menyuarakan isi hatinya. Hal tersebut dimaksudkan
agar kekuasaan di Hindia Belanda tidak hanya terpusat pada Gubernur Jenderal
saja, namun, masyarakat –Belanda swasta
juga bisa ikut terlibat didalamnya. Mendukung pendapat atau suara Keuchenius
tersebut adalah anggota Tweede Kamer yang lainnya, yaitu: Willem Karel Baron van
Dedem. Pada persidangan tahun 1881, van Dedem menyuarakan pendapatnya tentang: “perlunya
dilakukan perubahan dalam tata pemerintahan kolonial di Hindia Belanda”.
Tetapi, hervorming yang diusulkan van Dedem tidaklah dimaksudkan untuk memasuki
ranah ketatanegaraan –seperti yang
dikemukakan oleh Keuchenius, melainkan hanya sebagai hervorming yang lebih
bersifat administratif, yakni: permasalahan anggaran biaya pemerintahan tanah
jajahan. Menurut van Dedem: anggaran belanja Hindia Belanda, harus dibiayai
oleh pendapatan yang diperoleh dari Hindia Belanda sendiri. Urusan keuangan
serta anggaran pendapatan dan belanja negara antara negara induk dan negara
koloni, harus dipisahkan. Hindia Belanda, idealnya harus mempunyai kewenangan
legislatif sendiri. Dengan demikian, akan berarti bahwa: harus dilakukan
amandemen, tidak hanya terhadap Regerings Reglement (RR) 1854, tetapi juga
terhadap De Indische Comptabliteits Wet (ICW) 1864. Amandemen, akan menyebabkan
anggaran pendapatan dan belanja Hindia Belanda tidak lagi disiapkan oleh
eksekutif –dalam hal ini, pro forma oleh
raja lewat Koninklijke Besluit-nya, tetapi sudah harus berdasarkan produk
legislatif.
Dalam sidang parlemen tahun persidangan
berikutnya, van Dedem mengajukan usul inisiatif guna menyiapkan sebuah
rancangan undang-undang tentang anggaran belanja Hindia Belanda. Rancangan
undang-undang tersebut, harus ditetapkan terpisah dari anggaran belanja Negeri
Belanda. Permasalahan anggaran dan keuangan, ikut disinggung oleh van Dedem
ketika mengetengahkan gagasannya yang dituangkan dalam rancangan undang-undang yang
diprakarsainya tentang desentralisasi tersebut.
Babak baru dalam upaya mendesentralisasi
kewenangan dalam urusan keuangan dan anggaran itu, terjadi ketika para
pengupaya pro-desentralisasi menduduki posisi-posisi yang lebih strategis. Pada
bulan april 1888, Keuchenius, yang ketika itu menjadi anggota Tweede Kamer kemudian
diangkat sebagai Menteri Koloni, membuka perdebatan tentang perlunya dibentuk
Gewestelijke Raden dalam rangka desentralisasi pada ketatanegaraan Hindia
Belanda. Setelah sempat terlantar tanpa ada tanggapan semestinya, barulah pada
tahun 1894, surat Cornelis Pijnacker Hordijk –yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-58
(1888-1893) memperoleh perhatian yang sungguh-sungguh. Dalam pengkajiannya
selama lebih dari dua tahun, Pijnacker Hordijk saling berkirim surat kepada
Menteri Koloni –yang saat itu masih
dipegang oleh Keuchenius untuk membentuk suatu: Gewestelijk Raden di tingkat
Karesidenan; Gementee Raden di Kota-kota Besar; dan Koloniale Raad di
tingkat Pusat. Pada tahun itu, van Dedem, yang dalam kedudukannya sebagai
anggota Tweede Kamer serta menduduki jabatan Menteri Koloni, juga banyak
menyuarakan pendapatnya yang pro-desentralisasi. Tiga minggu terhitung sejak
hari pertama memangku jabatannya sebagai Menteri Koloni, van Dedem berkirim
telegram kepada Pijnacker Hordijk untuk mempelajari lebih lanjut apa yang telah
dikerjakan selama ini. Dalam waktu satu tahun, Pijnacker Hordijk menyelesaikan
tugasnya dan menyarankan Menteri Koloni van Dedem, agar sejak saat itu, proses
selanjutnya dilakukan di negeri Belanda dalam kancah perjuangan legislatif.
Namun proses legislatif itu, berjalan alot dan lamban.
Pada bulan Juli 1897, Gubernur Jenderal Carel Herman Aart van Der Wijck –diangkat menjadi Gubernur Jenderal
1893-1899, oleh Ratu Emma van Waldeck-Pymont mengirimkan naskah terakhir
usulannya, yaitu tentang reorganisasi struktur pemerintahan di daerah-daerah
keresidenan kepada Menteri Koloni yang pada saat itu sudah beralih kepada
pejabat baru, yakni: Jacob Theodoor Cremer –yang
sejak masa keanggotaannya di Tweede Kamer, terkenal juga sebagai tokoh yang pro-desentralisasi
dan anti-sentralisasi. J.Th. Cremer masih tetap kukuh pada pendapatnya
bahwa sentralisasi dalam pemerintahan Hindia Belanda adalah benar-benar
merupakan “sisi gelap” dalam pengelolaan Tanah Hindia, oleh sebab itu,
desentralisasi harus segera dimulai. Kalaupun kemudian terjadi polemik, maka
yang diperdebatkan bukan lagi tentang persoalan “harus-tidaknya” dilaksanakan
desentralisasi untuk kepentingan Hindia Belanda atau satuan-satuan daerahnya,
melainkan sudah mengenai persoalan tentang isi De Wet Houdende Decentralistie
van Het Bestuur in Nederlands-Indie tersebut, demi terwujudkannya secara benar
desentralisasi di Hindia Belanda.
Pada awal abad ke-20, kritik terhadap
azas sentralisasi semakin banyak terdengar. Hal itu menunjukkan bahwa
sentralisasi tidak lagi memberikan kepuasan kepada masyarakat karena terlalu
banyak urusan disatu tangan, maka pekerjaan menjadi terbengkelai. Suara yang
meminta desentralisasi semakin santer terdengar. Suara tersebut menganggap
bahwa sistem sentralisasi “tidak dapat dipertahankan lagi”. Dorongan itu
diperkuat dengan adanya Politik Etis yang dikalangan orang Belanda sendiri
dipelopori oleh van Deventer, pada pokoknya menghendaki agar pemerintah
berusaha meringankan beban pajak rakyat, mengembangkan dan meningkatkan
pendidikan dan kesejahteraan rakyat, serta pemerintah disusun dengan cara yang
lebih modern dan demokratis tidak semata-mata mengeruk kekayaan dari daerah
jajahan saja. Puncak dari keberhasilan tuntutan untuk menerapkan desentralisasi,
adalah diundangkannya De Wet Houdende Decentralisatie van Het Bestuur in
Nederlands Indie –atau disingkat: Decentralisatiewet,
tanggal 23 Juli 1903, dan dipublikasikan lewat Nederlandsche Staatsblad Nomor
329. Kemudian, atas usul Idenburg diadakan perubahan atas beberapa pasal dalam
RR yaitu pasal 68a, 68b, dan 68c. Dengan perubahan itu, undang-undang yang baru
ini, memuat pasal-pasal yang
memberikan peluang bagi daerah Gewest atau bagian dari Gewest untuk mengadakan
desentralisasi dalam pemerintahan serta untuk mewujudkan daerah yang mengurus
rumah tangganya sendiri. Di samping itu, terdapat pula aturan lain yaitu
Desentralisasi Besluit 1905 dan Locale
Radenordonantie yang memberikan kewenangan lain seperti memberi tugas
perbantuan bagi setiap daerah yang didesentralisasikan ditetapkan dengan
ordonansi sendiri yang disebut Ordonansi Pembentukan. Guna mendukung dalam
melaksanakan tugasnya, pemerintahan daerah juga diberi wewenang membentuk
Locale Raden –Dewan Lokal. Sudah
barang tentu pada masa awal pelaksanaan undang-undang ini, banyak kesulitan
yang dihadapi. Meskipun demikian, sejumlah daerah telah berhasil membentuk
dewan yang disebut Gewestelijk Raad
dan untuk bagian dari Gewest disebut Plaatselijk Raad. Undang-undang
desentralisasi juga memberikan keleluasaan bagi daerah untuk membentuk
masyarakat hukum baru, membentuk keuangan, serta mempunyai perlengkapan
sendiri.
Sejatinya, Decentralisatie Wet 1903
merupakan hasil amandemen dari RR 1854 yang dinilai merupakan amandemen yang
bersifat parsial dengan tambahan tiga pasal baru, yakni: 68a, 68b, dan 68c. Namun,
Decentralisatie Wet 1903, cenderung berupa desentralisasi keuangan. Berikut isi
dari pasal-pasal baru tersebut: Pasal 68a: Suatu Gewest (daerah) atau Gedeelte
van Gewest (bagian suatu daerah) sedapat mungkin menyisihkan dana untuk dipakai
sendiri. Pasal 68b: Pengelolaan dan pertanggungjawaban anggaran diserahkan
kepada daerah (Gewest /Gedeelte van Gewest) dibawah pengawasan suatu badan
keuangan yang diatur oleh Raad. Pasal 68c: Raad berwenang mengajukan apapun demi
kepentingan daerahnya kepada Gubernur Jenderal, serta berwenang menarik pajak
sebagai sumber keuangan, namun masih dibawah pengawasan Gubernur Jenderal.
Dengan tiga pasal baru ini, dimaksudkan,
akan terjadi reorganisasi pemerintahan menuju terbentuknya desentralisasi
administratif di daerah-daerah. Namun, masih banyak masalah yang belum
bisa diselesaikan seiring dengan lahirnya Desentralisatie Wetgeving ini.
Masalah-masalah tersebut, seperti: luas-sempitnya kewenangan yang diberikan
kepada daerah, apakah sebatas sebagai desentralisasi administratif saja
(dekonsentrasi) atau harus terbentuk sebuah self-government (zelfbestuur). Menurut
Dick Fock –yang menjabat sebagai Menteri
Koloni antara 1905-1908, zelfbestuur harus sama-sama dimungkinkan, baik
untuk Gewest maupun Gedeelte van Gewest. Namun, kembali muncul masalah tentang
kapan suatu Gewest berkewenangan luas dan kapan hanya berkewenangan sempit. Selain
itu, penentuan kriteria batas teritorial atau luas sempitnya pemerintahan dari
Gewest maupun Gedeelte van Gewest juga masih belum jelas. Kewenangan Gubernur Jenderal
juga masih tetap besar sebagai pembuat ordonansi. Hal ini semakin diperkuat
dengan tidak ada Gewest atau Gedeelte van Gewest yang bisa dibentuk tanpa
adanya sebuah ordonansi.
Dengan demikian, terbentuknya
Decentralisatie Wet 1903 tidak serta merta dapat diterapkan dengan mulus.
Sentralisme yang telah berjalan lama, tidak begitu saja hilang. Konservatisme
administrator kolonial dan feodalisme serta peternalisme pribumi, telah
mengakar. Beberapa ordonansi-pun dimaklumatkan demi terimplementasinya
Decentralisatie Wetgeving, seperti: (1) Locale Raden Ordonantie 1905, dikeluarkan
untuk menyatakan berlakunya Koninklijk Besluit 1904 yang berisi:
petunjuk-petunjuk pembentukkan peraturan daerah; tata cara, pengelolaan serta
pertanggungjawaban keuangan. Selain itu, ordonansi inipun membahas susunan,
tugas, serta tata kerja Local Raden –De
Locale Raden dibagi menjadi dua, yaitu: De Gewestelijk Raad (untuk Gewest), dan
De Plaatselijk Raad (untuk Gedelte van Gewest). Selain itu, terdapat satu
jenis Raad lagi, yaitu: Gemeente Raad –merupakan
Plaastelijk Raad yang dibentuk untuk satuan daerah yang berstatus kota. (2)
De Inlandsche Gemeente Ordonantie 1906 (IGO 1906), suatu ordonansi khusus yang
guna memperbaiki masyarakat desa atau dengan sebutan kampung dalam satuan kota.
IGO 1906 terdiri dari 20 pasal, dan terbagi dalam 4 bagian untuk mengatur
urusan organisasi dan pendapatan desa, penyelenggaraan administrasi desa
berikut pertanggungjawabannya, pengelolaan harta milik dan kekayaan desa, juga
penyelenggaraan kerja-kerja untuk kepentingan negara. Terdapat sembilan asas
hukum yang tertuang dalam IGO 1906, sebagai berikut: a) kedudukan para Kepala Desa
diakui resmi oleh pemerintah; b) jabatan Kepala Desa harus diperoleh melalui
suatu pemilihan; c) pendapatan Kepala Desa dan pembantu-pembantunya akan
diperoleh berdasarkan adat yang diakui berlaku; d) pengelolaan pemerintahan
desa diserahkan kepada Kepala Desa berdasarkan aturan-aturan yang akan menjamin
pelaksanaannya dengan baik; e) ada sejumlah orang yang ditentukan untuk boleh
ikut berembuk mengenai persoalan-persoalan desa; f) Kepala Desa akan mewakili
desanya di luar maupun di dalam setiap perkara hukum; g) harta kekayaan komunal
harus dijaga dan dipertahankan adanya; h) kerja-kerja wajib –tanpa dibayar untuk kepentingan desa;
dan i) pejabat yang berkedudukan lebih atas dapat turun tangan untuk mengatur
hal-ihwal yang berhubungan dengan kewenangan yang ada pada Kepala Desa. (3) Kies-Ordonantie
1908, mengatur lebih lanjut tata cara pemilihan anggota Gemeente Raad berikut
tugas-tugasnya –terhitung ada 15
Gemeenten dan 6 Gewesten terbentuk setelah dimaklumatkannya Kies-Ordonantie
1908. Selanjutnya, dari Gemeenten dan Gewesten itu, dibentuk suatu Raden
yang telah memenuhi syarat –yang tentunya
banyak diisi oleh orang-orang Eropa yang dianggap memiliki kematangan politik.
Persyaratan untuk menjadi anggota Raden, waktu itu, sangat sulit untuk dipenuhi
oleh kalangan pribumi. Dari total 388 seluruh Gemeente Raad yang ada di pulau
Jawa, 283 atau 72% diantaranya adalah orang Eropa. Hal tersebut seolah-olah
disengaja agar Raad hanya bisa diisi oleh kalangan Eropa. Jika kita
lihat, tuntutan medezeggenschap-pun berawal dari golongan Eropa, jadi
tidak perlu heran, jika desentralisasi yang dibentuk lebih untuk memuluskan
“kepentingan-kepentingan Eropa” atau de Nederlandse Burgerij.
Dalam upaya Politik Etis yang terkemas
dalam “Trias van Deventer” –yang
disampaikan Ratu Wilhelmina dalam pidatonya dihadapan parlemen, pemerintah
Belanda juga mulai membentuk Raad baru, yang nantinya dikenal dengan sebutan:
Volksraad. Bermula dengan usulan van Dedem, tentang diubahnya Raad van Indie
menjadi: een Koloniale Raad, dimana terdapat 8 anggota luar biasa –yang 4 orang diantaranya dari kalangan
swasta. Ini semua, agar ada peran swasta dalam penentuan kebijakan kolonial
serta kebijakan pemerintahan dan perundang-undangan –tidak berada ditangan Gubernur Jenderal dan Raad van Indie-nya semata.
Pada tahun 1913, diterimalah RUU yang berbeda dengan rancangan-rancangan
sebelumnya –yaitu tidak bertujuan
mengubah kedudukan dan susunan Raad van Indie. Namun atas usulan Pleijte –karena De Koloniale Raad berkarakter
perwakilan, maka sebutan Koloniale Raad tidak dipakai lagi dan diganti
dengan nama: Volksraad.
Setelah terbentuk, Volksraad mengalami
beberapa amandemen, salah satunya yaitu pengamandemenan jumlah anggota Volksraad.
Melalui beberapa amandemen, jumlah anggota Volksraad yang awalnya 39 diubah
menjadi 49 orang. Pemilihan ketua ditunjuk oleh Ratu, sedangkan 48 delapan
lainnya yang terdiri dari 24 orang (8 orang pribumi dan 16 orang Eropa dan
Timur Asing) diangkat oleh Gubernur Jenderal dan 24 orang lainnya (12 orang
pribumi dan 12 orang Eropa dan Timur Asing) dipilih oleh Dewan Pemerintah yang
ada di daerah-daerah. Volksraad, lebih berkarakter birokratik-eksekutif dengan
kewenangan fungsi legislatif yang terbatas. Walau demikian, ditengah
kedudukannya yang hanya berkewenangan sebagai badan penasihat, seringkali malah,
terlihat seperti pernyataan anggota parlemen yang berada di pihak oposisi –hal itu seperti yang dilakukan Tjokroaminoto
dan Radjiman saat mengkritik kebijakan pemerintah.
Pembaharuan juga dilakukan dengan jalan
pembentukkan provinsi sebagai Gedecentraliceerde Gewesten. Terbentuknya
Decentralisatie Wetgeving 1903 bukan berarti mengakhiri perdebatan tentang
konsep desentralisasi, malah perdebatan mulai berubah bukan pada tahap
perjuangan legislasi lagi namun koreksi terhadap desentralisasi yang
dilancarkan. Medezeggenschap yang seluas-luasnya harus dilakukan, lebih-lebih
untuk pribumi yang notabene mayoritas. Pada 1909 keluarlah Nota de Graff yang
membuka bestuurhervoming yang berkaitan dengan reorganisasi struktur pemerintahan.
Walau demikian penetapan Gewesten dalam rangka desentralisasi tidak selesai
dengan cepat. Akhirnya, berdasar amandemen pasal 119 RR 1854 dinyatakan
bahwa wilayah Hindia Belanda dibagi kedalam satuan-satuan provinsi dan
satuan-satuan daerah lainnya. Di setiap provinsi juga akan dibentuk Raden yang
dinamakan Provinciale Raad.
Politik Etis yang dijalankan oleh
pemerintah Belanda, telah mengantarkan inlanders –rakyat pribumi mulai memperoleh kedudukan dalam pemerintahan.
Regrentschap atau Kabupaten –sebutan
resminya: Afdeling van Gewesten, sejajar dengan istilah yang dipakai di Belanda,
semakin membuka peluang pribumi untuk mengarahkan kebijakannya secara mandiri
dengan adanya Raad yang diberi nama Regentschapraad –dalam hal ini, Regentschappen sebagai Gedecentraliseerde Gedeelten van
Gewesten. Penetapan pejabat Binnenlandsche Bestuur -Eropa yang posisi
jabatannya selalu di atas pejabat Pangreh Pradja yang pribumi, juga sudah tidak
terlihat dan berimbang –dari 1583 anggota
Regentschapraden, 837 (52,87%) diantaranya adalah orang-orang pribumi.
Pada 1916, pemerintah Hindia Belanda
mulai mengangkat Burgemeester untuk mengepalai tiap-tiap Gemente yang telah
dibentuk –yang kemudian disusul dengan pembentukan
Dewan Pemerintah Daerah pada tahun 1922, karena pemerintah harus merupakan “pemerintahan
kolegial”. Bagi Locale Resorten –yaitu
Gewest dan Plaats, tidak dibentuk Dewan Pemerintah Daerah disamping Kepala
Resort, melainkan hanya Kepala Resort/Daerah dan Raad saja –dimana Kepala Resort/Daerah juga
merangkap/menjabat Ketua Raad. Keadaan ini ditanggapi oleh beberapa ahli
tata pemerintahan seperti Mr. Woesthof dan Prof. Snouck Hurgronje. Mereka
menghendaki agar diberikan peranan yang lebih besar lagi kepada penduduk asli
untuk berperan serta di dalam pemerintahan. Maksud saran tersebut adalah agar bangsa
Indonesia memperoleh politiek scholing –pengalaman
politik yang merupakan keharusan disaat Hindia Belanda diberikan hak
menjalankan pemerintahan yang bebas dalam lingkungan Kerajaan Belanda.
Berkenaan dengan tuntutan itu, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Ontvoogding Ordonantie –Ordonansi Pembebasan Perwalian tahun
1918 Nomor 674. Ordonansi ini mengatur pemberian kekuasaan oleh Gubernur Jenderal
untuk menunjuk daerah mana yang dapat diberi hak perwalian. Sebagai percobaan
untuk pertama kalinya, ditunjuk daerah Cianjur sebagai daerah yang bebas dari
perwalian sebagaimana diatur dalam Staatsblad 1918 Nomor 675.
Pada tahun 1922, Menteri Urusan Kolonial
(Menteri Jajahan) Simon De Graaf mengajukan rancangan undang-undang tentang
perubahan Tata Pemerintahan Negara Hindia Belanda atau Bestuurhervormings.
Rancangan undang-undang itu memperoleh sambutan baik di Parlemen Belanda.
Sebagai hasilnya, pada tahun 1922 diundangkan Wet op de Bestuurhervorming –Bestuurhervormings Ordonantie tertuang
dalam Staatsblad Tahun 1922 Nomor 216. Esensi dari ordonansi ini adalah
perubahan dari susunan aparat dekonsentrasi serta pembaharuan dan reorganisasi
badan hukum publik yang berdiri sendiri atau otonom atau zelfstandige publiek
rechtelijke lichamen. Adapun alasan perubahan tersebut, adalah: (a) makin
meningkatnya jumlah penduduk yang mengakibatkan terjadinya perubahan dan
perkembangan dalam segala aspek kehidupan; (b) letak geografis, kebudayaan dan
hukum, ekonomi dan sosial yang berbeda-beda sehingga memerlukan pengaturan
sendiri-sendiri demi kepentingan daerah masing-masing; (c) untuk meringankan
beban tugas pemerintah pusat dan untuk menetapkan pembagian tugas yang telah
nyata kepada para pejabat dekonsentrasi dalam menjalankan tugas memimpin dan
memberikan bimbingan dalam pemerintahan sehari-hari dan dalam melaksanakan pemerintahan
umum; (d) pembentukan Locale Sorten terlalu sempit sehingga kurang efektif. Pembentukan
Gemente atas suatu kota, erat sekali kaitannya dengan konsentrasi usaha atau
kepentingan bangsa Eropa. Perkembangan ekonomi di Tanah Jajahan, mendorong
perkembangan pemerintahan kota. Sejalan dengan hal tersebut, jumlah orang Eropa
juga makin besar. Waktu itu, di kota terdapat pemimpin yang dualistis. Maka
muncullah kritik yang menentang fungsi walikota yang dualistis. Maka sejak 1916,
di kota besar, dualisme dalam pimpinan pemerintahan lokal dihapus dan walikota
tidak lagi diambil dari pejabat Pangreh Praja.
Sampai dengan tahun 1918, kekuasaan
pemerintahan di Tanah Jajahan sebagian besar berada di tangan bangsa Eropa yang
lazim disebut Europeesche Bestursambtenaren. Baru sejak tahun itu pula,
pelimpahan kekuasaan mulai terjadi –yang
dikenal dengan sebutan: Ontvoogding atau pencabutan perwalian, yang mencabut
sebagian kekuasaan dari tangan bangsa Eropa untuk dilimpahkan kepada penguasa bumi
putera, sebagaimana diatur dengan Staatsblad Tahun 1918 Nomor 674. Dalam
ordonansi tersebut disebutkan bahwa Gubernur Jenderal dapat menunjuk Afdeeling
atau kabupaten di Jawa dan Madura, yang semula kewajiban dan kewenangan
dilakukan oleh pejabat bangsa Eropa atau pejabat Bumi Putra yang tinggi
diserahkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Gewest. Ontvoogding ini
kelak direalisasikan dengan dibentuknya Kabupaten yang mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri. Di luar Jawa dan Madura, Ontvoogding belum berjalan
secepat di Jawa. Kebijakan ini meniru kebijakan Inggris di British India yang
menuju pemerintahan sendiri. Namun sebenarnya pemerintah Hindia Belanda
menjalankan kebijakan ini, dinilai oleh banyak pihak, sekedar untuk mengelabuhi
mata dunia internasional. Karena kekuasaan yang diserahkan hanya meliputi
bagian-bagian yang tidak penting. Sementara itu urusan yang penting seperti
keamanan, masih berada dalam tangan bangsa Eropa.
Bahwa dalam merealisasikan Undang-undang
Desentralisasi 1903 selama ini belum menyangkut hal yang mendasar dari tata
cara mengatur rumah tangga suatu pemerintahan daerah dan baru menyentuh masalah
yang remeh, maka muncul reaksi yang menuntut diadakannya perubahan secara
besar-besaran. Pemerintah kolonial menjawab reaksi tersebut dengan mengeluarkan
Wet op Bestuur Hervorming yang termuat dalam Staatsblad Tahun 1922 Nomor 216 yang
berisi ketentuan yang membuka kemungkinan untuk mengadakan desentralisasi dan
dekonsentrasi kekuasaan secara besar-besaran seperti disebutkan di depan.
Undang-undang ini mempunyai dasar yang lebih kuat dari pada Desentralisatiewet
1903. Dalam pembentukan sebuah provinsi misalnya, sebelumnya dibentuk suatu
Gewest bentuk baru atau Gewest besar yang bersifat administratif dengan
ditentukan daerahnya yang meliputi beberapa Gewest yang telah ada. Gewest baru
ini diberi hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Di samping itu
juga, ditentukan urusan-urusan apa yang oleh pemerintah pusat diserahkan kepada
daerah yang boleh diatur dan diurus sebagai urusan rumah tangganya sendiri.
Sebenarnya wacana tentang kemungkinan untuk melakukan perubahan dalam tata
pemerintahan lokal itu telah berkembang sejak tahun 1914 atau awal Perang Dunia
I. Beberapa Menteri telah mengajukan rancangan undang-undang tersebut yang
akhirnya muncullah konsep jadi, dan lahirlah undang-undang tersebut.
Undang-undang ini merupakan penyempurnaan dari RR 1854 yang ditambah dengan 4
pasal baru, yaitu pasal 67a, 67b, 67c, dan 68 yang menjadi pasal 119, 120, 121,
dan 122 pada Indische Staatsregeling. Adapun pasal 68 RR dipecah menjadi pasal
123, 124, dan 125 Indische Staatsregeling. Pasal 119 Indische Staatsregeling, menjadi
dasar pembentukan Provinsi melalui Ordonansi Provinsi (Staatsblad Tahun 1924 Nomor
78). Pasal ini menetapkan bahwa Hindia Belanda akan dibagi kedalam dua macam
wilayah, yaitu: provinsi dan wilayah bukan provinsi. Daerah provinsi harus
dapat mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri.
Berdasarkan pada Stadsgemeente
Ordonantie (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 365), dibentuklah perangkat
pemerintahan Stadsgemeente yang terdiri dari Burgemeester atau Walikota, College
van Burgemeester en Wethouders dan Stadsgemeente Raad. Tidak semua Gemeente
mempunyai College karena beberapa diantaranya tidak memerlukannya. Tugas
Stadsgemeente adalah mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan sama
sekali tidak diberi wewenang untuk ikut melaksanakan urusan pemerintahan umum,
sebab Stadsgemeente letaknya di dalam Regentschap sehingga tugas di bidang
pemerintahan umum tersebut berada dalam tangan Regent serta aparaturnya.
Demikian halnya dengan pembinaan terhadap desa, tetap dilakukan oleh Regent,
walaupun dalam kota tersebut terdapat desa yang otonom. Tugas utama
Stadsgemeente adalah mengurus kepentingan orang Belanda dan orang Eropa lainnya
terutama mengurus jalan, riool, taman yang ada di kota serta sekitar pemukiman
bangsa Eropa. Di wilayah Luar Jawa dan Madura, terdapat suasana yang berbeda.
Menurut Groepsgemeenteschap Ordonantie (Staatsblad Tahun 1937 Nomor 464)
dan Stadsgemeente Ordonantie Buitengewesten, dibentuklah beberapa Groep gemeenteschap dan Stadsgemeente. Sedangkan Locaal Ressort yang
dibentuk berdasarkan Decentralisatiewet 1903, masih tetap dipertahankan. Reorganisasi wilayah dan
pemerintahan yang diuraikan tersebut, hanya terjadi di wilayah yang langsung
dikuasai Pemerintahan Hindia Belanda. Di luar wilayah tersebut terdapat unit
pemerintahan lokal tradisional yang disebut Inlandsche Gemeente seperti
Desa, huta, Marga dan sebagainya. Untuk wilayah Jawa dan Madura, Inlandsche
Gemeente diatur dengan Inlandsche Gemeente Ordonantie yang disingkat
IGO (Staatsblad Tahun1906 Nomor 83) adapun untuk wilayah Luar Jawa dan Madura
diatur dengan Inlandsche Gemeente Ordonantie Butengewesten (IGOB) dalam
Staatsblad Tahun 1938 Nomor 490, Bijblad 9308, Staatsblad Tahun 1931 Nomor 507,
dan Desa Ordonantie Staatsblad Tahun 1941 Nomor 356. Desa Ordonantie ini tidak
sempat diterapkan karena pecahnya Perang Dunia II. Di wilayah yang tidak
dikuasai langsung oleh Belanda terdapat Daerah Otonom yang disebut
Zelfbestuurende Landschapen. Daerah ini terdiri dari kerajaan asli Indonesia
yang mempunyai ikatan dengan pemerintah Hindia Belanda melalui kontrak politik,
baik kontrak politik panjang maupun kontrak politik pendek.
Sebagai Kepala Pemerintahan di tingkat
Provinsi, Gubernur melaksanakan tugas pemerintahan dalam bidang yang tidak
diserahkan kepada Provinciale Raad, baik yang berupa hak mengatur dan
mengurus rumah tangga sendiri atau hak medebewind (tugas pembantuan). Tentang
hal yang bukan urusan pemerintah provinsi, Gubernur berada di luar pengawasan
Dewan Provinsi. Dalam hal itu Gubernur bertindak selaku aparat pemerintah
pusat, merupakan Kepala Gewest Besar administratif yang bertanggung jawab kepada
pemerintah pusat. Dalam Gewest yang belum berkembang –sehingga provinsi belum dapat dibentuk, seluruh pemerintahannya
dijalankan oleh pejabat tinggi pemerintah atas nama Gubernur Jenderal. Daerah
semacam ini dinamakan Gubernemen. Dalam menjalankan tugasnya, Kepala Gubernemen
dapat membentuk Dewan Penasihat yang bertugas membantu Kepala Gubernemen
seperti di Daerah Yogyakarta dan Surakarta. Di luar Jawa, wilayah Tanah Jajahan
dibagi menjadi Gubernemen Sumatra, Borneo, dan Gubernemen Timur Besar.
Bersamaan dengan berkembangnya
pergerakan nasional yang minta perhatian bagi tugas politik polisional, pemerintah
kolonial menaruh perhatian terhadap kedudukan Pangreh Praja yang spesifik.
Dengan Staatsblad Tahun 1922 tentang Bestuurhervorming kecuali dilaksanakan
desentralisasi seluas-luasnya namun kedudukan Pangreh Praja dikembalikan pada
posisi semula, yaitu tetap memegang kedudukan penting dalam Pemerintahan Lokal
yang mengurus rumah tangganya sendiri. Perubahan semacam ini, dianggap masih
juga belum memberikan kepuasan. Oleh karena itu, pada tahun 1931, penyempurnaan
atas Staatsblad Tahun 1922 tentang Bestuurhervorming itu sebagaimana yang
termuat dalam Staatsblad Tahun 1931 Nomor 168 mengatur tentang fungsi Asisten
Residen yang dibagi menjadi antara Residen gaya baru, Asisten Residen, dan
Bupati. Dalam tahun 1938-1939, diterbitkan beberapa Ordonantie yang mengatur
hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Lokal. Dengan
dikeluarkannya ketetapan tersebut, rencana untuk mengadakan desentralisasi
menjadi semakin jelas.
Restrukturisasi birokrasi pemerintahan kolonial,
telah terjadi sejak awal abad ke-19. Daendels telah menghapus jabatan Gubernur,
tetapi pada masa kemudian, dengan dibentuknya Gewest Besar maka jabatan
Gubernur dihidupkan kembali. Satu hal yang penting untuk dicermati adalah
apakah alasan pembentukan kembali jabatan Gubernur tersebut. Salah satu dari
alasan tersebut adalah bahwa jabatan gubernur itu diperlukan untuk
menghindarkan terkonsentrasinya wewenang pada beberapa posisi, baik posisi yang
lebih tinggi maupun posisi yang lebih rendah. Jabatan gubernur berfungsi untuk
mengalihkan kewenangan tertentu dalam bidang pemerintahan dari Gubernur Jenderal
dan Direktur di Departemen, kepada Gubernur maupun sebagian dari kekuasaan
Residen yang ada di bawahnya. Dengan demikian, pengurangan kekuasaan dari pusat
ke daerah yaitu ke tangan gubernur, adalah sejalan dengan prinsip
desentralisasi. Gubernur adalah kepala Gewest baru. Sementara itu, urusan
penting tertentu seperti urusan keamanan dan militer yang semula berada di
tangan Residen, dipindah-tangankan kepada Gubernur karena posisi Residen memang
terlalu rendah dalam melakukan komunikasi dengan penguasa lokal tradisional.
Residen gaya baru menjadi Kepala Afdeling dan mengambil alih fungsi Asisten
Residen gaya lama. Dengan demikian kekuasaan Gubernur sebagian besar terdiri
dari yang dikonsentrasikan. Di bawah organisasi lama seperti yang ada di Luar Jawa,
praktis masih tetap seperti sebelumnya. Di daerah tersebut para Residen masih
berkuasa seperti sebelumnya. Di Jawa dan Madura Residen turun fungsinya menjadi
Kepala Afdeling.
Di Luar Jawa, Residen membawahi Kepala
Onderafdeling yang sebagian besar dilakukan oleh Controleur atau Civiel
Gezaghebber. Di antara Residen dan Onderafdeling yang terutama untuk mengawasi
dan untuk memberikan bimbingan, ditempatkan Kepala Afdeling yang sebagian besar
dilakukan oleh Asisten Residen. Pangreh praja bumi putera, berada di bawah
kekuasaan Onderafdeling. Di kebanyakan Gewest, pangreh praja bumi putera
diorganisasikan sesuai dengan hukum adat, seperti yang terjadi di Aceh dan
Sulawesi Selatan. Di daerah yang tidak mengenal hukum adat yang besar,
dibentuklah wilayah yang dikepalai oleh Kepala Distrik atau kadang-kadang oleh
kepala Onder-distrik seperti yang dijumpai di Sumatera dan Kalimantan. Di
Indonesia Timur, pemerintah bumi putera tidak diberi wilayah. Penguasa lokal
atau pemuka adat di wilayah ini, difungsikan sebagai pembantu Kepala
Onderafdeling dengan sebutan Bestuurassistenten. Beberapa Bestuurassistenten
ada yang mempunyai wilayah sendiri, namun ada pula Kepala Distrik yang
wilayahnya menjadi satu dengan daerah Onderafdeling yang ia bertindak sebagai
pembantunya. Di daerah ini kadang-kadang ada pejabat pemerintahnya berasal dari
bumi putera.
Pemerintahan Pangreh Praja, pada awal
abad ke-20, dapat dibedakan menjadi: Europeesche Bestuur –yaitu pemerintahan Pangreh Praja yang dikendalikan oleh orang Belanda;
Inlandsche Bestuur –yaitu pemerintahan
Pangreh Praja yang dikendalikan oleh orang bumi putera; dan pemerintahan
Timur Asing –yang dikendalikan oleh orang
Timur Asing atas orang-orang Timur Asing. Inlandsche Bestuur dapat
dibedakan antara yang berada di bawah langsung dan yang tidak berada di bawah
langsung Pemerintah Hindia Belanda. Di daerah yang di bawah langsung oleh
pemerintah Hindia Belanda, dapat dibedakan antara Inheemsche Gouvernemen Bestuur
atau Pemerintahan Bumi Putera dan Inlandsche Gemeentelijk Bestuur atau
Pemerintahan masyarakat Hukum Bumi Putera. Dalam Inheemsche Gouvernement
Bestuur, Bupati merupakan pejabat yang tertinggi. Di atas Inlandsche
Gemeentelijk Bestuur yang sudah ada sebelum kedatangan orang Belanda, diangkat
Kepala Distrik dan kepala Onder-distrik yang pada pokoknya bertugas sebagai
penghubung antara Pemerintahan Masyarakat Hukum Bumi Putera dengan Pemerintahan
Hindia Belanda. Di daerah yang tidak langsung dikuasai pemerintah Hindia Belanda
disebut Zelfbestuurende Landschappen atau daerah Swapraja, Daerah
Istimewa.
Tentang Inheemsche Gouvernement
Bestuur yang ada di daerah Luar Jawa dan Madura mempunyai susunan yang
berbeda. Di dalam Gubernemen Timur Besar terdapat Kepala Distrik dan kepala
Onder-distrik, Bestuur Asisten dan Hulp Bestuur Asisten. Dalam Gubernemen
Borneo didapati Kepala Distrik dan kepala Onder-distrik yang disebut Kyai dan
Asisten Kyai. Dalam Gubernemen Sumatera dijumpai Kepala Distrik dan kepala Onder-distrik,
yang di Daerah tertentu seperti Aceh disebut Demang dan Panglima Sogi atau
Oelebalang. Bagi kepentingan kelompok minoritas seperti orang Cina dan Arab –yang disebut dengan orang Timur Asing,
diberi ketentuan khusus untuk menjaga hubungan baik antara pemerintah Kolonial
dengan kelompok tersebut. Bagi golongan itu –apabila jumlahnya mencukupi, diberi kesempatan untuk mempunyai
pemimpin mereka sendiri. Orang Cina biasanya dipimpin oleh seseorang Kepala
dengan pangkat Kapitan. Bagi kelompok ini diberlakukan hukum yang khusus
berlaku bagi mereka. Kepala pemerintahan golongan itu merupakan pegawai dari
pemerintahan Hindia Belanda tetapi berbeda dengan Kepala Distrik atau
Onder-Distrik karena tugasnya sangat bersifat setempat. Kepala pemerintahan itu
tidak mempunyai fungsi yang disertai kekuasaan yang sebenarnya. Tugas mereka
lebih bersifat polisi yaitu menjaga ketertiban dan melakukan pemungutan pajak
dikalangan golongan mereka sendiri. Mereka juga tidak memiliki kekuasaan untuk
pengaturan dan peradilan. Bagi orang Arab, pemimpin mereka disebut Hoofd atau
Kepala. Mereka diangkat oleh Gubernur Jenderal dan dibawah perintah Europeesche
Bestuur dan dengan Inlandsche Bestuur tidak ada hubungan hirarkhis sebagaimana
diatur dalam Staatsblad Tahun 1928 Nomor 35 jo. Staatsblad Tahun 1938 Nomor 374.
Deskripsi di atas adalah menggambarkan pemerintahan lokal, khususnya
Pemerintahan Umum Pusat di daerah atau Pangreh Praja dan pemerintahan Lokal
yang Mengurus Rumah Tangganya Sendiri atau Pemerintahan Daerah Otonom. Pada pergantian
penguasa dari pemerintah Inggris ke pemerintahan Belanda, pada 1816, di tingkat
pemerintahan pusat dilaksanakan reorganisasi.
Di pemerintahan pusat, mempunyai
sekretaris sendiri yaitu Sekretaris Umum atau Algemeen Secretarie. Satuan
militer yaitu Angkatan Darat dan Angkatan Laut mempunyai pimpinannya sendiri.
Selain itu terdapat Sekretaris Khusus yaitu Direksi Jenderal Keuangan,
Pendapatan dan Milik Negara, Produksi dan Gudang-gudang Sipil, Perkebunan.
Direksi Jenderal ini membentuk Jawatan vertikal di Gewest yang dipimpin oleh
Inspektur. Pada waktu itu, Jawatan Duane atau Bea Cukai adalah merupakan
jawatan yang rapi dan pegawainya ahli dari jawatan vertikal eselon bawah sampai
eselon atas. Pajabat dari jawatan vertikal bertanggung jawab kepada Direksi
Jenderal dan di bawah pengawasan Pangreh praja. Karena alasan penghematan,
Gubernur Jenderal Du Bus van Gesiegnis cenderung menghapuskan jawatan vertikal.
Kebijakan itu berubah saat pemerintahan Gubernur Jenderal Dumaer van Twist yang
memerintah pada 1851-1856. Untuk menyesuaikan organisasi dengan yang ada di
Negeri Belanda, tugas pemerintahan dibagi habis diantara departemen yang ada.
Pada tahun 1855, Direksi Jenderal dibubarkan dan dibentuklah Direksi
sendiri-sendiri. Pada 1854 dibentuk Departemen Pekerjaan Umum namun
pelaksanaannya sebenarnya dari RR dan baru dijalankan setelah Comptabiliteitwet
yang dicanangkan oleh Menteri Fransen van der Putte pada 1864 yang membagi
pengurusan keuangan antara Departemen-departemen yang ada. Pada tahun itu pula dibentuk
Departemen Keuangan, Departemen Dalam negeri, Pekerjaan Umum, Pendidikan dan
Pengajaran, dan Departemen Angkatan Laut dan Darat. Keadaan ini berlangsung sampai dengan
tahun 1870. Pada tahun ini dibentuklah Departemen Kehakiman. Sebelumnya,
Departemen Kehakiman dilayani oleh Mahkamah Agung terutama oleh Pokrol Jenderal.
Pada 1867, Gubernur Jenderal
mengeluarkan keputusan yang tertuang dalam Staatsblad Tahun 1867 Nomor 114 yang
menetapkan bahwa kepala Gewest berada dibawah perintah langsung Gubernur Jenderal.
Selain itu, Kepala Gewest juga harus menurut petunjuk Kepala Departemen,
kecuali apabila menurut pendapatnya tidak sesuai, ia dapat mengajukan hak itu
kepada Gubernur Jenderal. Pada saat itu, mulai dipisahkan fungsi Pangreh Praja
dengan Kehakiman. Jawatan kepolisian yang merupakan aparat penting bertugas
melindungi rakyat, pemerintah, serta mencari pelanggar hukum. Jawatan
Kepolisian masih berada dibawah perintah Pangreh Praja. Menurut
Bestuurhervorming 1922, Hindia Belanda dibagi menjadi 8 Gewest bentuk baru dan
wujudnya berupa 3 provinsi, dan 5 Gewesten (2 Gewest/Gubernemen di Jawa dan
Madura, dan 3 Gewest/Gubernemen di Luar Jawa). Tiga Provincie, yakni: Provincie
West-Java atau yang disebut Pasoendan, 1 Januari 1926; Provincie Oost Java –Jawa Timur, 1 Januari 1929; dan Provincie
Midden Java –Jawa Tengah, 1 Januari
1930. Daerah administratif di Jawa dan Madura seluas daerah yang mengurus rumah
tangganya sendiri dibagi dalam daerah administratif Karesidenan, Kabupaten,
Distrik, dan Onder-distrik. Daerah Gewest/Gubernemennya adalah Yogyakarta dan
Surakarta –gubernemen yaitu wilayah yang
langsung diperintah oleh pejabat-pejabat gubernemen. Sementara itu di Luar
Jawa (Gewest Sumatera, Gewest Borneo –Kalimantan,
Gewest Grote Oost –Timur Besar, yang terdiri
dari: Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan Irian Barat), gewest/gubernemen
dibagi atas daerah administratif Karesidenan atau Gewest lama, Afdeling,
Onderafdeling, Distrik, Onder-distrik. Gewest/Gubernemen Sumatera dibagi atas
10 Karesidenan, Gewest/Gubernemen Borneo dibagi atas 2 karesidenan, dan Gewest/Gubernemen
Timur Besar terbagi atas 5 karesidenan. Daerah Yang Mengurus Rumahtangganya
Sendiri Propinsi dibagi atas Daerah Yang Mengurus Rumahtangganya Sendiri
Groepgemeenteschaap dan Kotapraja.
Masa
Pendudukan Jepang
Saat Hindia Belanda jatuh ditangan
Jepang, sistem hukum yang ditinggalkan Belanda banyak yang diganti.
Desentralisasi yang telah lama diusahakan, kembali pada pemerintahan yang
sentralistis dan hierarkis. Pemerintahan militer Jepang dengan Undang Undang Osamu Seirei Nomor 1 tanggal 7 Maret
1942, membagi Hindia Belanda menjadi 3 wilayah komando, yaitu: Jawa dan Madura,
Sumatera yang dikontrol dari Singapura, dan bagian Timur yang dikontrol dari
Makassar. Pemerintahan yang dibuat secara sentralistis dan terkomando ini,
tentu saja tidak terlepas dari usaha Jepang memaksimalkan negara yang telah
didudukinya untuk menunjang segala keperluan mereka dalam peperangan yang bisa
dikontrol dengan baik dibawah pemerintahan yang sentralistik.
Wilayah Indonesia dibagi atas tiga
wilayah pemerintahan, yaitu: Pemerintah Militer Angkatan Darat untuk Jawa dan
Madura yang berkedudukan di Jakarta; pemerintahan Militer Angkatan Laut untuk
Sumatra yang berkedudukan di Bukittinggi; dan pemerintahan Militer Angkatan Laut
untuk Sulawesi, Borneo, Sunda Kecil, Maluku, dan Irian Barat yang berkedudukan
di Makassar. Pemerintahan Balatentara Jepang tidak dapat memikirkan tentang
penyelenggaraan pemerintahan lokal sebab perhatian mereka tercurah pada
mensukseskan perang Asia Timur Raya. Segala sesuatu yang menyangkut
pemerintahan, diarahkan pada tujuan mereka yaitu mensukseskan perang tersebut.
Dalam menghadapi peperangan balatentara Jepang yang sedang memuncak, maka
pemerintahan harus sentralistis, oleh karena itu desentralisasi harus
ditiadakan. Reorganisasi yang dilaksanakan oleh Balatentara Jepang adalah
melaksanakan Perubahan Tata Pemerintahan Daerah yang termuat dalam
Undang-undang tahun 1942 nomor 27. Menurut Undang-undang tersebut, Pulau Jawa
dan Madura dibagi menjadi Daerah Syuu –setaraf
Karesidenan. Setiap Syuu, dibagi menjadi Ken atau Kabupaten dan Si
(setaraf Stadsgemeente). Disamping itu, ada Tokubetsu
Si atau Stadsgemeente Luar Biasa, kota yang istimewa yang ditunjuk oleh
Gunseikan, Panglima Balatentara Jepang, yang mempunyai peranan penting dalam
bidang ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan. Pada tingkat bawah ada Gun atau Distrik, Son atau Onder-Distrik, dan Ku
atau Desa. Daerah Swapraja atau berpemerintahan sendiri –seperti Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, disebut
Kooti. Selanjutnya, wilayah provinsi dengan gubernurnya, dihapus. Demikian pula
dengan Afdeeling dan Asisten Residen, ditiadakan.
Pada tahun 1943, ditetapkan bahwa Kentyoo atau Bupati sebagai Kepala
Wilayah di Kabupaten diwajibkan mengganti dan memegang kekuasaan yang dahulu
dipegang oleh Regentschaapraad dan College van Gecoominteerden. Sedangkan Sityoo,
diwajibkan mengganti dan memegang kekuasaan yang dahulu dipegang oleh Gemeenteraad
dan College van Burgemeester en Wethouders. Hal ini berarti bahwa kekuasaan
dalam daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri –yaitu Kabupaten dan Kota, diserahkan kepada seorang pejabat saja,
dan dewan yang ada, dibekukan. Dengan demikian, yang terjadi adalah
pemerintahan tunggal. Pemerintah Militer Jepang, hanya menyelenggarakan bidang
dekonsentrasi. Syuutjoo, kekuasaannya lebih besar dari seorang Residen pada
masa kolonial Belanda –karena ia
mengerjakan tugas pemerintahan militer sehari-hari di bawah pengawasan dan atas
nama Gunseikan. Syuutjookan juga diwajibkan membuat undang-undang yang
terkenal dengan sebutan Syuurei yang
mengatur segala urusan di wilayahnya, baik ketataprajaan; militer; kepolisian;
dan ekonomi. Sistem pemerintahan tunggal semacam itu, berlangsung sampai
September tahun 1943. Pada tahun itu dibentuk dewan, baik di pusat dan daerah,
yang bertugas memberi nasihat kepada pejabat tunggal tersebut. Karena sebatas
penasihat, maka kebijakan Syuutyokan tak bergeser karena ia menjalankan tugas
atas nama Gunseikan. Terlebih lagi, masa itu situasi peperangan semakin
memuncak. Dengan menyerahnya balatentara Jepang kepada Sekutu, lenyaplah
kekuasaan balatentara Jepang yang meninggalkan akibat buruk pada lapangan pengetahuan
dan pengurusan rumah tangga daerah.
***