Kata Ngalogat,
hingga saat ini belum masuk dalam entri kamus bahasa Sunda. Kamus Bahasa Sunda
karangan Satjadibrata (1954) dan Kamus Umum Bahasa Sunda yang diterbitkan Lembaga
Bahasa dan Sastra Sunda (1995), hanya memuat kata Logat. Dalam Kamus Bahasa Sunda, Logat berarti: aturan ngalisankeun kecap-kecap.
Sementara dalam Kamus Umum Bahasa Sunda, ada arti tambahan, yaitu: 1. aturan ngalisankeun kecap-kecap; 2. Kamus: logat Malayu, kamus basa Malayu;
3. Wewengkon, Dialék: ngomongna maké
logat Minangkabow, ngomongna maké dialék Minangkabow.
Ngalogat, di pesantren Jawa Timur; Jawa Tengah;
dan Daerah Istimewa Yogyakarta, disebut Maknani;
Ngapsahi; atau Ngesahi. Menilik praktiknya di pesantren, Ngalogat berarti:
mengartikan kata per kata berbahasa Arab –biasanya
dalam kitab kuning dengan cara menuliskannya tepat di bawah kata yang
dimaksud, menggunakan huruf Arab. Aturan penerjemahan ini mengikuti alur tata
bahasa Arab yang memberi arti bagi setiap kata yang terkadang hanya terdiri
dari satu huruf. Jika menerjemahkannya ke dalam bahasa Sunda, disebut Ngalogat Sunda. Demikian pula bila
menggunakan bahasa Jawa atau Melayu, disebut ngalogat Jawa atau Melayu.
Bandungan - Ngalogat |
Menurut KH Saifuddin Zuhri dalam buku
berjudul Berangkat dari Pesantren yang terbit tahun 1984, menjelaskan
proses berbahasa di kalangan pesantren sebagai berikut: “Kitab itu mula-mula dibaca kata demi kata dalam kalimat panjang. Tiap
kata diterjemahkan melalui Logat Pesantren, bahasa daerah khas pesantren. Jika
selesai satu kalimat, barulah diartikan makna keseluruhannya dalam bahasa yang
lazim dipakai sehari-hari,”
Dari tradisi semacam ini lahirlah,
karya-karya pesantren yang menggunakan bahasa daerah. Di Jawa misalnya, lahir Al-Ibriz –tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa yang monumental karya KH Bisri Musthofa.
Di Cirebon, KH Sanusi Babakan melahirkan kitab-kitab akhlak, fiqih, hingga
tauhid berbahasa Cerbonan, dan sebagian ditulis dalam bentuk puisi. Di Sunda,
KH Ahmad Makki menerjemahkan ratusan kitab-kitab kuning ke dalam bahasa Sunda.
Di Banjar, Kalimatan Selatan, Syekh Arsyad al-Banjari menulis karya monumental
dengan bahasa melayu, judulnya Sabilal
Muhtadin. Di Sidrap Sulawesi Selatan, KH Abdul Mu’in Yusuf menafsirkan
Al-Qur’an 30 juz dalam bahasa Bugis. Namanya Tafsere Akorang Ma’basa –tafsir
yang menggunakan aksara Lontara ini berjumlah sebelas jilid. Isinya mencakup:
munasabah ayat; asbabun nuzul; terjemah per ayat; dan penjelasan tiap-tiap
ayat, tafsir ini ditulis selama delapan tahun, dari 1988 hingga 1996.
Untuk mempercepat Ngalogat –sebab seorang santri harus mengikuti
pembacaan sang ajengan, digunakan sejumlah simbol yang diakui berasal dari
Jawa. Simbol-simbol itu berkaitan dengan kedudukan sebuah kata (i'rab) menurut tata bahasa Arab.
Perkembangan Ngalogat Sunda kemudian,
sepenuhnya mengikuti konvensi bahasa Sunda yang egaliter dan tidak terpaku pada
satu aturan standar. Kosa-kata Sunda yang dipilih untuk menerjemahkan kosa-kata
Arab itu, menyesuaikan kepada khazanah bahasa di mana pesantren berada. Sejauh
ini, kekhasan Ngalogat tidak terletak pada bahasa Sunda lokal yang digunakan, seperti:
Garut; Ciamis; atau Cianjur, tetapi lebih pada pribadi ajengan yang mengajarkan
kitab jenis tertentu. Misalnya untuk tafsir
Al-Jalalain, yang diakui secara luas adalah pembacaan yang dilakukan oleh
Ajengan Santiong Cicalengka Bandung. Pembacaan Alfiyah Ibnu Malik merujuk kepada Ajengan Utsman dari Pesantren
Sadang Wanaraja Garut. Dan pembacaan Jauhar
al-Tauhid, merujuk kepada Ajengan Khoer Afandi dari pesantren Miftahul Huda
Manonjaya Tasikmalaya. Hasil Ngalogat dari para ajengan itulah yang kemudian
meluas ke berbagai penjuru Sunda mengikuti persebaran para santrinya.
Dari alur seperti itulah, tradisi
Ngalogat telah menjadi proses pewarisan
bahasa Sunda yang efektif dan lestari, dan harus diakui telah teruji
sebagai cara pembinaan bahasa Sunda yang baik menurut pesantren dan masyarakat
di sekitarnya. Ngalogat telah mengabadikan kekayaan beragam dialek bahasa Sunda
ke dalam sebuah sistem pengajaran yang sekalipun tidak dibakukan, namun dijaga
oleh kepentingan sosial-historis –demi
tetap berlangsungnya model pengajaran pesantren dan psikologis-spiritual –mengacu pada relasi antara ajengan-santri
dan 'kepatuhan' pada sejumlah aturan dalam kitab kuning. Bahasa Sunda,
dengan demikian semakin mengakar dalam diri santri, karena selain diharuskan
mampu membaca secara benar dan menerjemahkan kitab kuning ke dalam bahasa
Sunda, santri juga dituntut untuk mampu mentransformasikan hasil bacaannya
dalam bentuk –terutama ceramah dalam
bahasa Sunda. Dalam proses tersebut, ia akan dianggap berhasil jika mampu berbahasa
Sunda secara baik yang diukur dari penerimaan masyarakat di sekitarnya.
Pesantren Manonjaya di Tasikmalaya,
menjadi contoh yang sangat menarik. Di sini, santri akan menempuh sembilan
tahun masa belajar yang dibagi dalam tiga tingkat. Sejak masuk di kelas satu
hingga lulus kelas sembilan, santri belajar dengan cara Ngalogat Sunda.
Sedangkan bagi santri dari: Aceh; Jambi; Bangka; dan wilayah luar Sunda
lainnya, mereka pun harus konsisten menggunakan bahasa Sunda –mereka belajar di tatar Sunda, karena itu
wajib belajar bahasa Sunda. Bahwa setelah pulang nanti mereka Ngalogat
dengan bahasa ibunya kembali, bukanlah persoalan –yang penting selama belajar, mereka mampu berbahasa Sunda dengan baik.
Demikianlah, pesantren ternyata memiliki
potensi besar untuk kelestarian bahasa Sunda –salah satu unsur penting dalam proses renaisans budaya Sunda itu.
Sungguh membanggakan jika para inohong
bisa mendorong potensi yang masih terpinggirkan itu, tampil ke tengah sehingga
sejajar dengan komunitas Sunda lainnya. Lalu bersama-sama mewujudkan renasisans
budaya Sunda yang tengah dicanangkan bersama ini.
Mangsi
Gentur
Ngalogat |
Di beberapa pesantren Jawa Barat,
tradisi Ngalogat ini dilakukan dengan menggunakan mangsi (tinta) tradisional yang
dinamakan Mangsi Gentur –karena pembuatannya dilakukan masyarakat
Kampung Gentur, Desa Jambudipa, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur,
maka tinta tersebut kemudian terkenal dengan sebutan Mangsi Gentur.
Mangsi khusus yang dibuat sendiri ini, menggunakan dua jenis bahan baku
utama, yakni Jelaga dan Beras Ketan. Jelaga diperoleh dengan
cara membakar minyak tanah di dalam kaleng bekas cat dan kemudian asapnya
ditampung dengan menggunakan kaleng yang lebih besar. Jelaga yang sudah
terkumpul kemudian dihaluskan di dalam sebuah tempat yang disebut Dulang.
Bahan baku lainnya berupa beras ketan digarang di atas wajan sampai
menjadi arang. Arang beras ketan tersebut kemudian disiram air panas lalu
digodok sampai mendidih sehingga terbentuk santan arang yang berwarna hitam.
Kepekatannya akan bertambah setelah bubur arang ketan tersebut dicampur dengan
Jelaga yang sudah dihaluskan.
Sebelum digunakan sebagai mangsi, cairan berwarna hitam
tersebut disaring dengan kain lalu di dinginkan. Cara pembuatan mangsi di Garut
agak sedikit berbeda, terutama dalam penggunaan bahan baku. Di Garut, bahan
baku jelaga diperoleh dari merang –batang
malai padi yang dibakar sampai menjadi arang.
Daya tahan mangsi tradisional ini terbilang spektakuler alias tahan lama
bila dibandingkan dengan mangsi (tinta) modern sekarang ini.
Alfiyah
Dalam proses awal mempelajari tata bahasa
Arab, santri belajar ilmu nahwu untuk
memahami perubahan akhir setiap kata, bagaimana membunyikan huruf terakhir dari
sebuah kata. Lalu belajar ilmu sharaf
untuk memahami perubahan bentuk kata. Dengan sharaf, satu kata dasar bisa
berubah-rubah hingga 2.500 bentuk baru.
Salah satu rujukan tingkat menengah yang
tetap populer untuk mendalami tata bahasa Arab di pesantren, adalah Alfiyah
karangan ibnu Malik. Selain kitab ini, masih banyak kitab yang bisa digunakan
untuk mempelajari tata bahasa Arab.
Dalam tradisi literatur Arab, lazim dikenal
dua cara ilmuwan menuangkan gagasannya. Dengan menyusun nazham (syair) seperti dilakukan ibnu Malik, atau dalam bentuk natsar (prosa) seperti dikerjakan
Mushtafa Al-Ghulayaini dalam menulis Jami' al-Durus Al-Arabiyah –sebuah kitab tata bahasa Arab yang lebih
populer di kalangan akademisi.
Tentang Alfiyah sendiri, di pesantren lazim
dikenal tiga macam: Alfiyah ibnu Malik
(tata bahasa Arab), Alfiyah Zubad
(fikih), dan Alfiyah al-Iraqi (mushtalah
hadits). Alfiyyah yang terakhir sangat bersejarah bagi dunia pesantren, setelah
diberi syarah (penjelasan) oleh
Syaikh Mahfuzh bin Abdullah dari Tremas Pacitan. Syarah itu bernama Manhaj Dzaw al-Nazhar –salah satu rujukan penting tentang mustalah
hadits yang masih digunakan pesantren di Indonesia dan berbagai perguruan
tinggi di Timur Tengah.
Namun harus diakui, seorang santri yang
hafal Alfiyah ibnu Malik, belum tentu mahir membaca kitab kuning –sebab hafal bukan jaminan mampu memahami.
Demikian pula boleh disebut sedikit santri di pesantren Sunda yang mampu
berbahasa Arab (takallum/speaking) secara aktif. Justru di
sinilah uniknya pesantren salafiyah di tatar Sunda, setiap saat mereka bergelut dengan teks-teks berbahasa Arab namun yang keluar dari mulutnya adalah
bahasa/logat/cengkok yang kental ke-Sundaannya –termasuk dalam melagukan 1.000 bait Alfiyyah ibnu Malik itu.
Seperti di Pesantren Sadang Wanaraja
Garut, santri dikenalkan dengan tujuh macam lagu pembacaan Alfiyyah –dari mulai nada rendah (yang bisa mépéndé)
hingga nada tinggi (nu bisa ngahudangkeun). Ketujuh lagu itu ternyata lebih
dekat kepada irama lagu-lagu Sunda daripada
tembang padang pasir –dari tradisi ini,
sesungguhnya para santri telah terbiasa dengan apa yang sekarang populer
sebagai Nasyid; dan bernyanyi Akapela yang terkadang diiringi pukulan
meja/bangku.
Ada dua metode pembelajaran tradisional
di pesantren yang sampai saat ini dipakai, yakni:
1.
Metode
Sorogan atau Sorongan (bahasa Jawa artinya menyodorkan), sistem ini termasuk
belajar individual dimana seorang santri berhadapan langsung dengan ajengan, sedikit
banyaknya materi belajar tergantung kemampuan santri yang bersangkutan. Penyampaian pelajaran
secara bergilir ini biasanya dipraktekan pada santri yang jumlahnya sedikit (di
pesantren; langgar; masjid atau terkadang malah di rumah-rumah). Sasaran metode
ini adalah kelompok santri pada tingkat rendah (yang baru menguasai pembacaan
Al Quran). Metode ini digunakan untuk mengajarkan materi dalam kitab-kitab
kuning. Dalam praktiknya, santri membaca kitab secara bergantian, kemudian
kalau terjadi kekeliruan maka ajengan atau ustâdz membetulkannya.
2.
Metode
Bandungan atau Wetonan, yaitu dengan cara ceramah ajengan dihadapan sekelompok
santri. Ajengan membaca, menterjemahkan, menerangkan dan sekaligus mengulas
teks-teks kitab berbahasa Arab tanpa harokat
(gundul) dimana para santri mengikuti dengan Ngalogat dengan memakai kode-kode tertentu. Istilah weton berasal
dari bahasa Jawa yang berarti waktu
–disebut demikian karena pengajian model
ini dilakukan pada waktu-waktu tertentu yang biasanya dilaksanakan setelah
mengerjakan shalat fardhu. Metode ini digunakan oleh ajengan atau ustâdz
untuk menerangkan arti kitab-kitab kuning kepada santrinya dengan cara ajengan
atau ustâdz membaca kitab –dalam
praktiknya, santri hanya mencatat/Ngalogat apa yang diterangkan ajengan atau
ustâdz.
Metode lain yang digunakan, adalah:
balaghah; muhawarah; dan mudzakarah.
Di pesantren telah lama hidup tradisi
mudzakarah, yakni monolog seorang santri dalam membahas isu-isu keagamaan
sebagai alat berlatih menyampaikan secara lisan apa yang dipahami dari kitab kuning.
Jadi wajar, bila santri pada umumnya fasih berdakwah lisan.
Sebagai catatan: Pondok Pesantren
Qirooatussab’ah Kudang Balubur Limbangan Garut, menggunakan metode sorogan untuk
Bacaan Tujuh qiroatnya.
Pesantren
dalam Wacana Renaisans Sunda
Rehat sejenak di kobong. |
Dengan melihat penggunaan bahasa Sunda
pada aktivitas Ngalogat tersebut,
tidak menutup kemungkinan renaisans Sunda akan berawal dari lingkungan
pesantren. Pesantren yang dimaksud di sini ialah pesantren tradisional yang mengajar
santrinya dengan cara Ngalogat. Dari 2.969 pesantren yang lazim disebut
salafiyah itu, dengan jumlah santri mencapai 1.414.180 –menurut data Kanwil Depag Jabar 2000-2001 lebih dari 50% menggunakan
bahasa Sunda, sementara sisanya masih menggunakan bahasa Jawa. Sudut pandang
ini menarik, sebab keterpinggiran
pesantren dari wacana budaya Sunda selama ini, tidak membuatnya kehilangan sense of belonging terhadap budaya
(khususnya bahasa) Sunda. Mungkin pesantren termasuk pihak yang tidak suka
gembar-gembor telah melakukan sesuatu. Mereka terus berproses, hingga tak
merasa bahwa tradisi Ngalogat telah menjadi 'kurikulum' pewarisan bahasa Sunda
yang efektif. Pewarisan bahasa yang sistematis yang akan melestarikan bahasa Sunda
selama pesantren mampu bertahan.
Bahwa Arab identik dengan Islam, tentu
tak bisa dimungkiri, sebagaimana Eropa identik dengan Katolik atau India dengan
Hindu. Ada satu hal yang perlu ditegaskan di sini, bahwa ke-Araban yang berlaku
di kalangan pesantren salafiyah –tradisional
Sunda, bukanlah Arab dalam pengertian sebenarnya. Ke-Araban itu sudah mengalami
Sundanisasi sedemikian rupa sehingga
tak bisa dilepaskan dari kebudayaan Sunda itu sendiri. Realitas seperti ini
terjadi di semua wilayah di mana Islam tersebar. Ringkasnya, Arab orang Sunda
itu tak lagi dikenali (paling tidak bukan lagi mainstream) bagi orang
Arab saat ini. Ke-Araban itu sudah tidak lagi menyimpan roh Arab, tetapi sudah
berubah Nyunda. Tiadanya roh Arab itu bisa dilihat dari cara pengucapan
(logat, lentong) orang Sunda. Jadi, tidaklah perlu dikhawatirkan
pengaruh Arab kepada orang Sunda akan menghambat kebudayaan Sunda. Dengan ke-Arabannya
itu, komunitas pesantren justru akan menjadi benteng terakhir pelestarian
bahasa Sunda melalui tradisi Ngalogat-nya.
Semoga...
Mugia aya manfaatna.
ingin
BalasHapusbaru tahu ane kalo baca kitab pake loghat sunda he he
BalasHapusKitab Makna Petuk