Seandainya Aku Seorang Belanda
Oleh : KHD
Ki Hajar Dewantara |
Dalam berbagai karangan di surat-surat
kabar banyak sekali dipropagandakan untuk mengadakan suatu pesta besar disini,
di Hindia; pesta perayaan 100 tahun kemerdekaan Nederland. Penduduk negeri ini
tidak boleh lengah saja, bahwa pada bulan November yang akan datang genaplah
seratus tahun, bahwa Nederland menjadi suatu kerajaan dan tanah Nederland
menjadi suatu negara yang merdeka, sekalipun dengan begitu ia di belakang
sekali dalam barisan negara-negara.
Ditinjau dari segi yang patut, sudah
sepantasnya kejadian nasional yang bersejarah itu dirayakan dengan sebuah
pesta. Bukankah itu menandakan kecintaan orang Belanda kepada tanah airnya, tanda
setianya kepada tanah yang pernah dihiasi oleh nenek-moyangnya dengan
perbuatan-perbuatan pahlawan? perayaan itu akan menggambarkan perasaan bangga
mereka, bahwa seratus tahun yang lalu Nederland berhasil melemparkan tekanan
penjajahan dari bahunya dan ia sendiri menjadi suatu bangsa yang merdeka.
Saya mudah menangkap rasa gembira yang
keluar dari hati patriot Belanda masa sekarang, yang dapat merayakan jubileum
semacam itu. Karena saya juga seorang patriot, dan seperti juga dengan orang
Belanda yang benar-benar mencintai tanah airnya, begitu pula saya cinta pada
tanah air saya, lebih dari yang dapat saya katakan.
Alangkah gembiranya, alangkah senangnya,
dapat merayakan suatu hari nasional yang begitu besar artinya. Saya ingin,
dapat kiranya sebentar menjadi seorang Belanda, bukan seorang
“Staatsblad-Nederlander”, tetapi seorang putra Nederland Besar yang tulen, sama
sekali bebas dari cacat-cacat asing. Alangkah gembiranya aku, apabila nanti di
bulan November datang hari yang sebegitu lama ditunggu-tunggu, hari perayaan
kemerdekaan. Kegembiraan hatiku akan meluap-luap melihat bendera Belanda
berkibar sesenang-senangnya dengan secarik Oranje di atasnya. Suaraku akan parau
ikut serta menyanyikan lagu “Wilhelmus” dan “Wien Nederlands Bloed”, apabila
nanti musik mulai berbunyi. Saya akan menjadi sombong karena segala pernyataan
itu, saya akan memuji Tuhan dalam gereja Kristen bagi segala kebaikan-Nya, saya
akan meminta, memohon ke langit yang tinggi supaya Nederland kekal
kekuasaannya, juga ditanah jajahan ini, supaya mungkin bagi kita mempertahankan
kebesaran kita dengan kekuasaan yang besar ini di belakang kita. Saya akan
meminta bantuan uang kepada semua orang Belanda di Insulinda ini, bukan saja
untuk perayaan, tetapi juga untuk biaya rencana kapal perang Clijn, yang
berusaha segiat-giatnya guna mempertahankan kemerdekaan Nederland, saya
akan……ya saya tak tahu lagi apa yang akan saya perbuat seterusnya, jika saya
seorang Belanda, karena saya akan sanggup berbuat apa saja, dugaan saya.
Tetapi tidak, sungguh tidak! Apabila
saya seorang Belanda, saya tidak akan sanggup berbuat segala-galanya. Memang
saya berkehendak supaya pesta kemerdekaan yang akan datang itu diorganisasi
seluas-seluasnya, tetapi saya tidak mau kalau bumiputra negeri ini ikut serta
merayakan, saya akan melarang mereka ikut riang gembira pada pesta-pesta itu,
malahan saya ingin sekali memagari tempat-tempat keramaian itu, supaya tak ada
seorang bumiputra pun dapat melihat kegembiraan kita yang meluap-luap pada
peringatan hari kemerdekaan itu.
Di situlah terletak, menurut saya, suatu
hal yang tidak pantas, satu perbuatan yang tidak tahu malu, tidak senonoh,
apabila kita —saya masih seorang Belanda umpamanya– orang-orang
bumiputra disuruh ikut bergembira dalam merayakan kemerdekaan kita. Kita, pertama,
akan melukai perasaan kehormatan mereka, karena kita disini di atas tanah air
mereka yang kita kuasai memperingati kemerdekaan kita sendiri. Kita sekarang
beriang-riang gembira, karena seratus tahun yang lalu kita terlepas dari
kekuasaan asing; dan semuanya ini akan terjadi di bawah pandangan mereka yang
masih berdiri di bawah kekuasaan kita. Apakah kita tidak harus memikirkan,
bahwa budak-budak yang sial itu juga ingin mencapai suatu ketika, yang mereka
seperti kita sekarang dapat mengadakan suatu pesta yang serupa? Atau apakah
kita menyangka, bahwa kita dengan politik kita yang lama terus-menerus menindas
semangat yang hidup sudah membunuh segala perasaan kemanusiaan dalam jiwa
bumputera? Kalau begitu kita akan menipu diri sendiri, karena bangsa-bangsa
yang sebiadab-biadabnya pun menyumpahi tiap-tiap bentuk penjajahan. Apabila
saya seorang belanda, saya tidak akan mengadakan pesta kemerdekaan dalam
suatu negeri sedangkan kita menahan kemerdekaan bangsanya.
Sejalan dengan pendapat ini bukan saja
tidak adil melainkan juga tidak pantas apabila bumiputra disuruh menyumbangkan
uang untuk keperluan dana pesta itu. Sudahlah mereka dihina dengan maksud
mengadakan perayaan kemerdekaan Nederland itu, sekarang dompet mereka
dikosongkan pula. Itulah suatu penghinaan moril dan pemerasan uang!
Apakah yang akan dicapai dengan pesta
perayaan itu disini, di Hindia? Apabila itu maksudnya menyatakan kegembiraan
nasional maka tidak bijaksana perayaan itu diadakan di sini, di negeri yang
terjajah. Orang akan menyakiti hati rakyatnya. Atau apakah dengan itu maksudnya
mempertunjukkan kebesaran dalam arti politik? Terutama dalam masa sekarang ini,
masa bangsa Hindia sedang membentuk diri sendiri dan masih berada pada
permulaan bangun tidur, adalah suatu kesalahan sikap memberi contoh kepada
bangsa itu, bagaimana kiranya ia harus merayakan kemerdekaannya. Orang menusuk
dengan cara begitu hawa nafsunya, dengan tidak sengaja dibangunkan perasaan
kemerdekaannya, harapannya akan kemerdekaan yang akan datang dengan tidak
sengaja disorakkan kepada bangsa itu: “Kau manusia lihatlah betapa kami
merayakan kemerdekaan kami; cintailah kemerdekaan, karena senang sekali
perasaan menjadi suatu bangsa yang merdeka, bebas dari segala penjajahan.”
Apabila bulan November tahun ini telah
lewat, kaum penjajah Belanda telah membuat suatu percobaan politik yang
berbahaya. Resiko ada pada mereka. Saya tak mau memikul tanggung jawab itu,
sekalipun saya seorang Belanda.
Kalau saya seorang Belanda, sekarang pada
saat ini, saya akan memprotes tentang maksud perayaan itu. Saya akan menulis
dalam segala surat kabar bahwa itu salah, saya akan menasihati sesama kaum
penjajah, bahwa berbahaya di waktu sekarang mengadakan pesta kemerdekaan, saya
akan mendesak kepada segala orang Belanda supaya jangan melukai perasaan bangsa
Hindia Belanda yang mulai bangun dan sadar itu agar supaya ia jangan sampai
naik darah. Sungguh, saya akan memprotes dengan segala tenaga yang ada pada
saya.
Tetapi………saya ini bukan orang Belanda,
saya cuma putra negeri tropika ini yang berkulit warna sawo, seorang bumiputra
jajahan Belanda ini, dan karena itu saya tidak akan memprotes.
Karena, kalau saya memprotes, orang akan
marah pada saya. Saya akan dipersalahkan menghasut bangsa Belanda, yang
memerintah di sini di negeri saya dan menjauhkan mereka itu dari saya. Dan itu
saya tidak mau, itu tidak boleh saya perbuat. Apabila saya orang Belanda,
bukankah saya tidak mau menghina bangsa bumiputra?
Juga orang akan menuduh saya kurang ajar
terhadap Sri Ratu, raja kita yang dihormati, dan itu tidak dapat diampuni,
sebab saya rakyatnya yang selalu harus setia kepada beliau.
Dan karena itu saya tidak memprotes!
Sebaliknya, saya akan ikut merayakan.
Apabila nanti diadakan pemungutan biaya,
saya akan memberi sumbangan, sekalipun karena itu saya akan mengurangi belanja
rumah tangga sampai separo. Kewajiban saya sebagai seorang bumiputra jajahan
Belanda ini, ialah untuk ikut serta menyemarakkan hari kemerdekaan Nederland,
negeri tuan kita. Saya akan meminta kepada orang-orang sebangsa saya,
orang-orang sesama rakyat kerajaan Nederland, untuk ikut serta dalam pesta itu,
sebab sekalipun pesta ini semata-mata berarti bagi Nederland, kita akan
mendapat di situ kesempatan yang sebaik-baiknya untuk menyatakan kesetiaan kita
dan kehormatan kita kepada Nederland. Dengan begitu kita akan mengadakan
“demonstrasi kesetiaan.” Syukurlah, saya bukan seorang Belanda.
Sekarang, lepas dari segala ironi.
Seperti telah saya katakan pada
permulaan karangan ini, perayaan 100 tahun kemerdekaan Nederland tersebut
menunjukkan besarnya kesetiaan kepada tanah air, dalam hal ini dari pihak orang
Belanda. Bolehlah mereka gembira pada perayaan nasional mereka itu. Yang
menjadi keberatan bagi saya dan banyak lagi orang yang setanah air dengan saya
ialah terutama bahwa sekarang bumiputra lagi yang akan membayar bagi suatu hal
yang bukan hal mereka. Apakah yang akan dibawakan oleh pesta yang kami ikuti
menyelenggarakan? Tidak sedikit juga, kecuali peringatan bagi kami, bahwa kami
bukan suatu bangsa yang merdeka dan bahwa “Nederland tidak akan menganugerahi
kami dengan kemerdekaan” –pendek kata, tidak, selama Tuan Idenburg menjadi
walinegara, dan lagi –ganjil benar– ajaran yang kita peroleh dari pesta-pesta
itu, bahwa merupakan kewajiban bagi tiap-tiap orang untuk mewakili bangsanya
sebaik-baiknya pada hari perayaan kemerdekaan.
Saya pun lebih setuju dengan pendapat
yang baru-baru ini untuk pertama kali dibentangkan dalam surat kabar bumiputra
“Kaoem Moeda” dan dalam “De Express” untuk membentuk di Bandung, tempat
datangnya bermula cita-cita mengadakan perayaan dan tempat duduk pusat komite,
suatu komisi terdiri dari beberapa orang bumiputra yang terpelajar; pada hari
perayaan itu badan tersebut akan mengirimkan kawat ucapan selamat kepada Ratu,
yang di dalamnya juga dianjurkan mencabut pasal 111 R.R dan segera mengadakan
suatu Parlemen Hindia.
Hasil dari permohonan itu –apalagi
bagian yang kemudian– saya tidak perbincangkan disini; artinya itu saja sudah
merupakan suatu nilai yang besar bagi kita. Bukankahh permintaan itu saja sudah
mengandung suatu proses, bahwa kita tidak diberi hak dan tetap tidak
diperkenankan untuk membicarakan hal-hal politik, bahwa dengan perkataan lain
kita dalam daerah ini tidak diberi kebebasan sama sekali? Suatu bangsa yang
cinta merdeka seperti bangsa Belanda yang sekarang akan merayakan
kemerdekaannya, tentu akan mengabulkan permintaan itu.
Tentang mengadakan parlemen, di situ
tersimpul sejelas-jelasnya keinginan yang besar untuk tidak boleh tidak ikut
serta mengeluarkan suara. Itu sangat perlu. Dimana ternyata sejelas-jelasnya
dari cara bangunannya bangsa Hindia, bahwa emansipasi –proses kemerdekaan– itu
cepat sekali jalannya, di situ dapat dipikirkan kemungkinan bahwa bangsa ini,
yang sekarang terjajah, suatu masa akan lebih besar dari tuannya. Bagaimana
nanti, apabila 40 juta manusia yang benar-benar bangun menuntut
pertanggungjawaban kepada seratus orang yang duduk dalam De Tweede Kamer yang
disebut Dewan Perwakilan Rakyat? Apakah orang pada akhirnya akan menyerah,
kalau krisis sudah ada?
Rasanya janggal terdengar, bahwa komite
tersebut akan meminta suatu parlemen. Selagi pemerintah hanya perlahan-lahan
bekerja untuk mengadakan suatu perwakilan kolonial, di mana paling bagus
beberapa orang saja diangkat oleh pemerintah sebagai apa yang dikatakan wakil
kita di dalam apa yang disebut koloniale raad itu –lihat misalnya
gemeenteraden– di sana datang komite berlari-lari kencang dengan suatu usul
yang hebat, tidak lebih dan tidak kurang suatu Parlemen Hindia.
Tampaknya maksud komite hanya memajukan
protes di dalam suatu permintaan yang sekarang tidak dapat diperkenankan, dan
tidak mengharapkan hasilnya. Ajaib memang adanya, bahwa tepat pada hari orang
Belanda merayakan kemerdekaannya, komite datang kepada Ratu dengan permohonan
untuk melenyapkan kekuasaan absolut Belanda atas suatu bangsa yang 40 juta
orang jumlahnya.
Lihatlah, sekarang sudah, betapa
pengaruh cita-cita perayaan itu.
Tidak, sekali-kali tidak, kalau saya
seorang Belanda, saya tidak akan merayakan jubileum seperti itu di sini dalam
suatu negeri yang kita jajah. Beri dahulu bangsa yang terjajah itu
kemerdekaannya, barulah merayakan kemerdekaan itu sendiri.
Tulisan RM Soewardi Soerjaningrat di koran De Expres
Judul Asli: "Als ik eens Nederlander was"
November 1913
Tidak ada komentar:
Posting Komentar